Biografi singkat
Talcott Parsons dilahirkan di Colorado Springs, Colorado, USA pada 13
Desember 1902 dan meninggal pada 8 Mei 1979 di Munich, Jerman pada usia
76 tahun. Dia adalah seorang sosiolog yang cukup terkenal dengan
pemikiran-pemikirannya. Parsons lahir dalam sebuah keluarga yang
memiliki latar belakang yang saleh dan intelek. Ayahnya adalah seorang
pendeta gereja kongregasional, seorang profesor dan presiden dari sebuah
kampus kecil. Pada tahun 1920 ia masuk ke Amherts College dan
mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 1924. Setelah itu, ia
melanjutkan studi pasca sarjana di London School of Economics. Pada
tahun 1925, Parsons pindah ke Heidelberg, Jerman. Di kota ini, ia ikut
serta dalam sebuah pertemuan-pertemuan yang didirikan oleh MaxWeber
yang wafat lima tahun sebelum kedatangannya. Parsons sangat dipengaruhi
oleh karya Weber dan sebagian desertasi doktoralnya di Heidelberg
membahas karya Weber. Pada tahun 1927, ia menjadi instruktur dalam
ekonomi di Amherts. Parsons menjadi pengajar di Harvard pada tahun 1927,
dan meskipun ia berpindah jurusan beberapa kali, Parsons tetap berada
di Harvard sampai dengan ia wafat pada tahun 1979. Perjalanan kariernya
tidak pesat. Ia tidak memperoleh posisi tetap sampai dengan tahun 1939.
Dua tahun sebelumnya yakni pada 1937, ia mempublikasikan sebuah buku
yang menjadi dasar bagi teori-teorinya, yaitu buku The Structure of
Social Action. Satu buku yang tidak hanya memperkenalkan
teoritisi-teoritisi sosial utama semisal Weber kepada sosiolog lain.
Sesudah itu karier akademis Parsons maju pesat. Sejak tahun 1944, ia
menjadi ketua jurusan sosiologi di Harvard, Amerika Serikat. Pada tahun
1946, ia menjadi ketua jurusan hubungan sosial di universitas tersebut,
yang tidak hanya memasukkan sosiolog, tetapi juga berbagai sarjana ilmu
sosial lainnya. Pada tahun 1949, ia dipilih sebagai Presiden Assosiasi
Sosiologi Amerika. Dan pada tahun 1951 ia menjadi tokoh dominan
sosiologi Amerika seiring dengan terbitnya buku karyanya The Social
System. Pada akhir 1960-an, Parsons mendapat serangan oleh sayap radikal
sosiologi Amerika yang baru muncul, karena ia dipandang konservatif
(dalam sikap politiknya maupun teori-teorinya). Selain itu
teori-teorinya juga dipandang hanya sebagai skema kategorisasi
panjang-lebar yang rumit.
Pada tahun 1980-an, teori-teorinya diminati di seluruh dunia. Menurut
Holton dan Turner (1986), karya-karya Parsons memberikan kontribusi
lebih besar bagi teori sosiologi, daripada Marx, Weber maupun Durkheim.
Selain itu, ide-ide pemikiran Parsons maupun teori-teorinya, tidak hanya
mempengaruhi para pemikir konservatif namun juga teoretisi Neo-Marxian
(khususnya Jurgen Habermas)
Setelah kematian Parsons, sejumlah bekas mahasiswanya, semuanya sosiolog
sangat terkenal, merenungkan arti penting teorinya maupun pencipta
teori itu sendiri. Robert Merton, adalah salah seorang mahasiswanya
ketika Parsons baru saja mulai mengajar di Harvard. [4] Merton menjadi
teoritisi terkenal karena teori ciptaannya sendiri, menjelaskan bahwa
mahaiswa pascasarjana yang datang ke Harvard, di tahun-tahun itu bukan
hendak belajar dengan Parsons tetapi juga dengan Sorokin,salah seorang
anggota senior jurusan sosiologi yang menjadi musuh utama Parsons.
Celaan Merton mengenai kuliah pertama Parsons dalam teori juga menarik,
terutama karena materi yang disajikan adalah basis untuk salah satu buku
teori yang paling berpengaruh pada sosiologi.
Berdasarkan semua hasil karyanya, Talcott Parsons adalah tokoh fungsionalis struktural modern terbesar hingga saat ini.
Teori dan Pemikiran
Teori Fungsionalisme struktural
Pendekatan fungsional berusaha untuk melacak penyebab perubahan sosial
sampai ketidakpuasan masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara
pribadi mempengaruhi diri mereka. Pendekatan ini merupakan suatu
bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad
sekarang.
Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam
sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai
sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.
Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal
fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi
dan institusi.
Fungsi dikaitkan sebagai segala kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi
kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem. Ada empat
persyaratan mutlak yang harus ada supaya termasuk masyarakat bisa
berfungsi. Keempat persyaratan itu disebutnya AGIL. AGIL adalah
singkatan dari Adaption, Goal, Attainment, Integration, dan Latency.
Demi keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat harus menjalankan fungsi-fungsi tersebut, yakni;
1. Adaptasi (adaptation): supaya masyarakat bisa bertahan dia harus
mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan
lingkungan dengan dirinya.
2. Pencapain tujuan (goal attainment): sebuah sistem harus mampu
menentukan tujuannya dan berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah
dirumuskan itu.
3. Integrasi (integration): masyarakat harus mengatur hubungan di
antara komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.
4. Latency atau pemeliharaan pola-pola yang sudah ada: setiap
masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, dan membaharui baik
motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan
mepertahankan motivasi-motivasi itu.
a. Sistem Tindakan
Sistem tindakan diperkenalkan Parsons dengan skema AGIL-nya yang
terkenal. Parsons meyakini bahwa terdapat empat karakteristik
terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment,
Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika
memeninuhi empat criteria ini. Sistem mengandaikan adanya kesatuan
antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Kesatuan antara
bagian itu pada umumya mempunyai tujuan tertentu. Dengan kata lain,
bagian-bagian itu membentuk satu kesatuan (sistem) demi tercapainya
tujuan atau maksud tertentu.
1) Sistem organisme biologis (aspek bilogis manusia sebagai satu
sistem), dalam sistem tindakan berhubungan dengan fungsi adaptasi yakni
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai
dengan kebutuhan.
2) Sistem kepribadian, melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan
merumuskan tujuan dan menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai
tujuan-tujuan itu.
3) Sistem sosial berhubungan dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen-komponen pembentuk masyarakat itu.
4) Sistem kebudayaan berhubungan dengan fungsi pemeliharaan
pola-pola atau struktur-struktur yang ada dengan menyiapkan norma-norma
dan nilai-nilai yang memotivasi mereka dalam berbuat sesuatu.
Sedangkan defenisi sistem-sistem di atas menurut Talcott Parsons adalah sebagai berikut:
a) Sistem organisme atau aspek biologis dari manusia. Kesatuan yang
paling dasar dalam arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu.
Hal lain yang termasuk ke dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik
di mana manusia itu hidup.
b) Sistem kepribadian. Kesatuan yang paling dasar dari unit ini
ialah individu yang merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatiannya
dalam analisa ini ialah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan
sikap-sikap, seperti motivasi untuk mendapat kepuasan atau keuntungan.
c) Sistem sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau
lebih individu di dalam suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu
tidak terbatas antara individu-individu melainkan juga terdapat antara
kelompok-kelompok, institusi-institusi, masyarakat-masyarakat, dan
organisasi-organisasi internasional. Sistem sosial selalu terarah kepada
equilibrium (keseimbangan).
d) Sistem budaya. Dalam sistem ini, unit analisis yang paling dasar adalah kepercayaan religius, bahasa, dan nilai-nilai.
b. Skema Tindakan
Empat komponen skema tindakan:
1) Pelaku atau aktor: aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari
seorang individu atau suatu koletifitas. Parsons melihat aktor ini
sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan.
2) Tujuan (goal): tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras denga nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.
3) Situasi: tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi
dalam situasi. Hal-hal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan
kondisi.
4) Standar-standar normatif: ini adalah skema tindakan yang paling
penting menurut Parsons. Guna mencapai tujuan, aktor harus memenuhi
sejumlah standar atau aturan yang berlaku.
c. Perubahan Sosial
Konsep perubahan sosial Parsons bersifat perlahan-lahan dan selalu dalam
usaha untuk menyesuaikan diri demi terciptanya kembali equilibrium.
Dengan kata lain, perubahan yang dimaksudkan oleh Parsons itu bersifat
evolusioner dan bukannya revolusioner. Konsep tentang perubahan yang
bersifat evolusioner dari Parsons dipengaruhi oleh para pendahulunya
seperti Aguste Comte, Hebert Spencer, dan Emile Durkheim.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa
masyarakat menjadi satu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para
anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi
perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu
system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan.
Dengan demikian masyarakat adalah merupakan sekumpulan sistem-sistem
sosial yang satu sama lain berhubungan dan memiliki ketergantungan.
Talcott Parsons menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat
masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya
selain diwarnai oleh adanya keteraturan yang ada di Amerika, juga
dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo
Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori
Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.
Teori Fungsionalisme Struktural mempunyai latar belakang kelahiran
dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis
dengan struktur social dan berpandangan tentang adanya keteraturan
dalam masyarakat.
Teori Fungsionalisme Struktural Parsons mengungkapkan suatu keyakinan
yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan suatu sistem. Akan
tetapi optimisme Parsons itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam
Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang parah
itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya mencemaskan
dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka
optimism teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana dinyatakan oleh
Gouldner (1970:142) bahwa untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma,
yang dengan jelas memiliki batas-batas strukturalnya, seperti yang
dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan
pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang
sama-sama kita miliki.
Teori Struktural Fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan
sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang
saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala
kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus
utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk
mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup
sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu
dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu, proses
sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang
berlaku.
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh
tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik
keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya, teori ini
melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung
seperti sebuah siklus yang akan mewujudkan keseimbangan baru. Variable
yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai
dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari
luar sistem sosial.
Gagasan-gagasan inti dari fungsionalisme ialah perspektif holistis
(bersifat menyeluruh), yaitu sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh
bagian-bagian demi tercapainya tujuan-tujuan dari keseluruhan,
kontinuitas dan keselarasan dan tata berlandaskan consensus mengenai
nilai-nilai fundamental.
Teori fungsional ini menganut faham positivisme, yaitu suatu ajaran yang
menyatakan bahwa spesialisasi harus diganti dengan pengujian pengalaman
secara sistematis. Sehingga dalam melakukan pengkajian haruslah
mengikuti aturan ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, fenomena tidak
didekati secara kategoris berdasarkan tujuan membangun ilmu dan bukan
untuk tujuan praktis. Analisis teori fungsional bertujuan untuk
menemukan hukum-hukum universal (generalisasi) dan bukan mencari
keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan demikian, teori fungsional
berhadapan dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak
mungkin mengambilnya secara keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai
jalan keluarnya, agar dapat mengkaji relitas universal tersebut maka
diperlukan representasi dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel
yang mewakili. Dengan kata lain, keterwakilan (representatifitas)
menjadi sangat penting.
Pendekatan fungsionalisme – struktural dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar berikut ini.
1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Hubungan saling mempengaruhi di antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik.
3. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan
sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung
bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis.
4. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi, sekalipun terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.
5. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual
(perlahan-lahan atau bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan
tidak revolusioner.
6. Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem
sosial adalah konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat
mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.
Demi memudahkan kajian teori-teori yang digagas Parsons, Peter Hamilton
berpendapat bahwa Teori Parsonsian dapat dibagai ke dalam 3 fase.
1. Fase Permulaan. Fase ini berisi tahap-tahap perkembangan atas
teori Voluntaristik (segi kemauan) dari tindakan sosial dibandingkan
dengan pandangan-pandangan sosiologi yang positivistis, utilitarian, dan
reduksionis.
2. Fase Kedua. Fase ini berisi gerakannya untuk membebaskan diri
dari kekangan teori tindakan sosial yang mengambil arah fungsionalisme
struktural ke dalam pengembangan suatu teori tindakan
kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting.
3. Fase Ketiga. Fase ini terutama mengenai model sibernetik
(elektronik pengendali) dari sistem-sistem sosial dan kesibukannya dalam
mendefinisikan dan menjelaskan perubahan sosial.
Dari ketiga fase tersebut, dapat dinyatakan bahwa Parsons telah
melakukan tugas penting, yaitu: ia mencoba untuk mendapatkan suatu
penerapan dari sebuah konsep yang memadai atas hubungan-hubungan antara
teori sosiologi dengan ekonomi. Ia juga mencari kesimpulan-kesimpulan
metodologis dan epistemologis dari apa yang dinamakan sebagai konsep
sistem teoritis dalam ilmu sosial. Ia mencari basis-basis teoritis dan
metodologis dari gagasan tindakan sosial dalam pemikiran sosial.
4 Fungsi Imperatif Sistem Tindakan (AGIL)
Poloma menyatakan bahwa dalam teori struktural fungsional Parsons
ini, terdapat empat (4) fungsi untuk semua sistem tindakan. Secara
sederhana fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang
pemahamannya tentang masyarakat didasarkan pada model sistem organik
dalam ilmu biologi. Artinya, fungsionalisme melihat masyarakat sebagai
sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan
lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan.
Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa
persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah
sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan apa yang
dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa
bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah: Adaptasi, Pencapaian
Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL
(Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency).
1. Adaptasi.
Sebuah sistem ibarat makhluk hidup. Artinya agar dapat terus berlangsung
hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada.
Harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung.
2. Goal (Pencapaian)
Sebuah sistem harus memiliki suatu arah yang jelas, dapat berusaha
mencapai tujuan utamanya. Dalam syarat ini, sistem harus dapat mengatur,
menentukan dan memiliki sumber daya untuk menetapkan dan mencapai
tujuan yang bersifat kolektif.
3. Integrasi
Sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi
komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga
fungsi penting lainnya.
4. Latensi
Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan
memperbaiki pola-pola cultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Sistem Kultural (Latency) Sistem Sosial (Integration)
Organisme Perilaku (Adaptation) Sistem Kepribadian (Goal Attainment)
Gambar 1.1 Struktur Sistem Tindakan Umum
Berdasarkan skema AGIL di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi
fungsi sistem adalah sebagai Pemeliharaan Pola (sebagai alat internal),
Integrasi (sebagai hasil internal), Pencapaian Tujuan (sebagai hasil
eksternal), Adaptasi (alat eksternal). Pada skema sistem tindakan
tersebut, dapat dilihat bahwa Parson menekankan pada hierarki yang
jelas. Pada tingkatan yang paling rendah yaitu pada lingkungan organis,
sampai pada tingkatan yang paling tinggi, realitas terakhir. Dan pada
tingkat integrasi menurut sistem Parsons terjadi atas 2 cara : pertama,
masing-masing tingkat yanng lebih rendah menyediakan kondisi atau
kekuatan yang diperlukan untuk tingkatan yang lebih tinggi. Kedua,
tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada dibawahnya.
Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan
dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat
empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia
itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada
dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang
disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih
sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh
lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut
dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu
manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi
pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur
lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara
normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan
tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu
dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang
unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi dan norma.
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu
individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan
berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi
yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai dengan
bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain
hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan
oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan
orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut
dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur
sebagaimana dikemukakan di atas.
Kritik Terhadap Teori Talcott Parsons
Parsons menggunakan masyarakat Amerika sebagai bentuk masyarakat yang
terstruktur dengan baik. Namun jika menggunakan konsep AGIL yang telah
diungkapkan Parsons, ia telah gagal menganalisis masyarakat Inggris yang
pada saat ini masih berbentuk kerajaan. Seperti yang diungkapkan
Parsons sebelumnya bahwa era evolusi akhir tidak boleh terkontaminasi
dengan budaya kerajaan. Tujuan utama Parsons sendiri adalah menginginkan
adanya keseimbangan masyarakat melalui perubahan sosial, namun
masyarakat Inggris sendiri tetap stabil meskipun tidak mencapai era The
New Lead Society seperti yang dipaparkan oleh Parsons. Pada unit
analisis AGIL pun terdapat beberapa fakta yang dapat menyangkalnya,
contohnya pada suku Badui dalam, masyarakat suku ini tidak beradaptasi
dengan lingkungan sekitarnya, yang berarti menurut analisis AGIL, tidak
memenuhi fungsi adaptation maka tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dari
sistem masyarakat tersebut. Tetapi nyatanya masyarakat suku Badui dalam
tetap dapat eksis tanpa fungsi adaptation tersebut.
Pada intinya Parsons menjelaskan teori fungsionalisme strukturalnya
kepada suatu pemahaman mengenai sistem yang mengacu kepada konsep
equilibrium dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya untuk dapat memahami
atau mendeskripsikan suatu sistem maka harus ada suatu fungsi mengenai
hal tersebut. Maka dari itu Parsons percaya, bahwa ada empat persyaratan
mutlak yang harus ada suypaya fungsionalis masyarakat dapat berjalan,
yakni AGIL. pada dasarnya Parsons melihat bahwa AGIL ini mampu menjadi
sebuah fungsi sebagai keteraturan yang harus dimiliki dan dijalankan
setiap masyarakat. AGIL mempunyai arti : Adaptation (Adaptasi), Goal
attainment (Pencapaian tujuan), Integration (Integrasi) dan Latensi
(Pemeliharaan pola). Dengan adanya hal ini, Parsons yakin bahwa tingkat
keseimbangan dalam masyarakat akan tersusun dan terjaga sehingga
terhindar dari adanya kerusakan fungsional antar pribadi di dalamnya,
hal ini, menimbulkan banyak asumsi-asumsi yang kontroversial yang
seharusnya Parsons teliti lebih lanjut, bahwa jika fungsi AGIL ini hanya
mampu melenggangkan atau mempertahankan suatu kekuasaan atas kedudukan
individu, maka tidak mungkin suatu sistem organisme yang ia jelaskan
mampu terlaksana, serta ia terlalu merendahkan konsepsi mengenai
perubahan sosial secara revolusioner yang dapat terjadi secara
tiba-tiba. Dalam teorinya ini, Parsons lebih tertuju kepada sistem
sebagai satu kesatuan daripada aktor sebagai peran yang menduduki suatu
kendali sistem, bukannya mempelajari bagaimana aktor tersebut mampu
menciptakan dan memelihara sistem tetapi sebaliknya.
Hal yang patut untuk di kaji lebih dalam mengenai kelemahan teori
fungsionalisme-struktural & AGIL bahwa pandangan pendekatan ini
terlalu bersifat umum atau terlalu kuat memegang norma, karena
menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni,
stabil, seimbang, dan mapan. Ini terjadi karena analogi dari masyarakat
dan tubuh manusia yang dilakukan oleh Parsons bisa diilustrasikan, bahwa
tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kanan dengan tangan kiri,
demikian pula tidak mungkin terjadi ada satu tubuh manusia yang membunuh
dirinya sendiri dengan sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat
dalam masyarakat.
Teori Parsons tersebut, terlalu mengedepankan strukturalisasi pencapaian
yang menekankan konsep equilibrium dalam dalam sistem di masyarakat
secara fakta, serta ia terlalu subjektif dengan angan-angannya bahwa
setiap individu senantiasa mensosialiasikan diri terhadap lingkungan dan
lingkungan juga menyesuaikan fungsinya terhadap diri, dan ia lebih
menekankan pada aspek perubahan sosial secara evolusioner di bandingkan
revolusioner akibat dasar pemikiran sistem biologisnya.
Adapun kritik lainnya terhadap Talcott Parsons adalah pemikirannya
tentang masyarakat yang terlalu menekankan pada keseimbangan dalam
masyarakat, sehingga ia kurang memperhatikan tentang perubahan dan
mobilisasi sosial. Ini berarti dia melepaskan postivisme Comte dari
fungsionalisme. Parsons juga gagal membuktikan keempirisan dari teorinya
sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya, walaupun menurut dasar
logikanya, ia menggunakan logika deduksi.
Kesimpulan Teori Talcott Parsons
1. Masyarakat adalah satu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para
anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi
perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu
system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan.
2. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan
tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan
hidupnya.
3. Sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan
yang bersifat dinamis, gradual (perlahan-lahan atau bertahap) melalui
penyesuaian-penyesuaian dan tidak revolusioner.
4. beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus
dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan adalah harus memenuhi
imperatif fungsional sebagai berikut: Adaptasi, Pencapaian Tujuan,
Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal
Attainment, Integration, Latency).
5. Bahwa tindakan manusia dipandang sebagai kenyataan sosial yang
terkecil dan mendasar yang selalu didorong oleh kemauan (voluntaristik)
untuk mencapai tujuan dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang
disepakati.
Link for this:
http://id.wikipedia.org/wiki/Talcott_Parsons
http://fatmasari713.wordpress.com/2012/11/25/ilmu-dan-paradigma-ilmu-ilmu-sosial-talcott-parsons/