Beberapa hari terakhir ini acara berita menjadi sangat menarik bagi saya. Beberapa acara berita hampir semuanya membahas topik yang sama. Arsyad yang ditahan karena membuat karikatur yang dianggap menghina presiden hingga membuat ibunya bersujud di hadapan pers untuk meminta maaf atas perbuatan anaknya, dualisme kepemimpinan DPR antara KIH dan KMP, blusukan Jokowi dan menteri-menteri kabinetnya hingga yang paling terbaru adalah kebijakan pemerintah Jakarta tentang pelarangan untuk para pengendara motor melintasi kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Semua topik diatas menjadi sangat menarik bagi saya, apalagi tentang sengketa yang belum juga bisa terselesaikan antara KIH dan KMP. Benar-benar seperti sebuah film horor thriller yang menyimpan misteri, pemilu 2014 benar-benar event lima tahunan yang menciptakan efek berkepanjangan kali ini. Jujur saja, saya sendiri bukan penyuka Jokowi, tapi juga bukan penghamba Prabowo. Kali ini, saya akan sedikit memberikan analisis saya tentang fenomena blusukan yang kini seolah-olah menjadi agenda utama Jokowi dan menteri-menteri di kabinetnya. Tentunya, saya akan berusaha menjadi netral dalam analisis saya, tidak menjadi RCTI, TV-One atau Metro Tv yang semenjak pemilu 2014 juga sangat dipertanyakan netralitas dan integritasnya.
Blusukan, kegiatan mendatangi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat umum ini dipopulerkan oleh Presiden kita yang baru saja dilantik, Ir. H. Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi. Kegiatan yang populer sebagai agenda kampanye presiden 2014 ini ternyata tidak hanya sering dilakukan oleh Bapak Presiden kita, kali ini kegiatan ini juga mulai digandrungi oleh menteri-menteri yang berada dalam lingkaran kabinetnya. Beberapa hari berturut-turut, siaran berita televisi dan media-media online menyorot kegiatan beberapa menteri yang busukan dengan mendatangi pasar, pelabuhan atau kmapung-kampung yang sebagian besar masyarakatnya adalah masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Saking banyaknya menteri yang melakukan kegiatan ini, pertanyaan mulai timbul bagi masyarakat Indonesia, perdebatan tentang efektifitas program blusukan juga mulai ramai diperbincangkan masyarakat. Perdebatan yang paling banyak terdengar adalah tentang tujuan blusukan itu sendiri, Sebuah cara petinggi-petinggi Negara menunjukan perhatiannya terhadap masyarakat kelas bawah atau sebuah "ritual wajib" untuk mempertahankan eksistensi mereka?
Beberapa kelompok masyarakat menganggap blusukan hanyalah rutinitas tidak penting untuk mempertahankan eksistensi para petinggi dan sebuah program wajib untuk membuat menteri tetap memiliki nilai baik dimata masyarakat. Bagaimana tidak, Negara merah putih yang ramah ini, tentulah akan sangat bahagia jika petinggi-petingginya juga orang yang ramah, akrab dengan masyarakat kelas bawah yang banyak mendominasi negara ini.
Beberapa orang lainnya memiliki anggapan berbeda tentang fenomena blusukan ini, blusukan dianggap mereka sebagai bukti nyata bahwa petinggi-petinggi kita adalah orang yang rajin, giat bekerja dan memiliki kepedulian tinggi terhadap masyarakatnya. Beberapa orang yang mengaku menjadi fans berat para petinggi ini, bahkan merasa sangat bangga dengan mengatakan, "Lihatlah, aku tidak salah coblos orang pada pemilu kemarin. Dia benar-benar orang yang ramah dan bertanggung jawab, sangat memikirkan rakyatnya." Tentu saja, wajah si pemilik telinga yang baru saja mendapat pujian ini merona bukan kepalang demi mendengarkan pujian mantap dari penggemarnya itu.
Lalu sebenarnya, pentingkah program blusukan itu?
Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah kita sering sekali melakukan beberapa hal yang efektifitasnya sangat rendah, Bahkan beberapa kegiatan dengan dana milyaran juga sering kali dianggap tidak berguna. Seperti halnya blusukan, tiga tahun yang lalu, pembangunan toilet DPR dengan dana hampir 20 Milyar juga menarik perhatian banyak kalangan masyarakat, sebagian besar masyarakat beranggapan dana yang bisa digunakan untuk program kesejahteraan desa-desa tertinggal itu terlalu berlebihan jika hanya digunakan untuk memperbaiki toilet mewah DPR yang jika diamati masih sangat bagus dan belum perlu diperbaiki. Tidak hanya pembangunan toilet dan banggar DPR yang menarik perhatian waktu itu, rapat-rapat besar yang menelan dana milyaran juga dianggap tidak berguna. Rapat yang seharusnya berisi otak-otak segar anggotanya justru berjalan tanpa manfaat, beberapa wakil kita asyik dengan smartphonenya dan beberapa diantaranya asyik bermimpi dengan mata terpejam.
Tahun ini, fenomenanya sedikit berbeda, blusukan tentu saja tidak membutuhkan dana sebanyak itu. Tapi, blusukan tetap saja menciptakan kontroversinya sendiri, memancing pendapat dari berbagai kalangan, pendukung, pembenci atau bahkan yang berdiri dalam pihak netral sekalipun.
Blusukan, sebuah kegiatan yang sebenarnya akan sangat efektif untuk membangun citra pemerintah ini bisa menjadi media yang sangat baik untuk membangun komunikasi antara pemerintah dengan masyarakatnya. Sebuah kegiatan yang tentu saja akan sangat berpengaruh untuk membuat kebijakan dan peraturan baru. Melalui blusukan, pemerintah seharusnya mengerti apa yang diinginkan dan diharapkan masyarakat dan lebih lanjutnya, pemerintah akan mengerti bagaimana seharusnya membuat kebijakan. Tapi sayangnya, sebagian besar masyarakat terlanjur beranggapan bahwa blusukan adalah rutinitas dan ageda membosankan milik pemerintah. Yah, karena masyarakat Indonesia yang tengah beranjak cerdas ini sudah bosan dicekoki kedok kebaikan pemerintah kita. Seharusnya, pemerintah bisa tetap menjadikan blusukan sebagai kegiatan yang menyenangkan bagi masyarakatnya, bukan kegiatan membosankan tanpa manfaat.
0 respons:
Post a Comment