Namanya Oktavianing Setyawati, satu diantara dua adikku yang luar biasa.
Tak ada banyak hal yang bisa kuceritakan tentangnya. Lahir pada 30
Oktober 1994 dan meninggal 15 tahun kemudian. Aku lupa tepatnya tanggal
berapa. menyedihkan, ya... mungkin aku bukan kakak yang baik, tapi aku
tetap saja seorang kakak yang seringkali merindukan kehadirannya,
manusiawi.
Tak pernah kering air mata dan kerinduan saat aku menceritakan tentangnya, tak pernah habis segala rasa untuknya. Aku merindukannya, sangat. Lebih dari apapun, aku sangat merindukannya.
Nama lengkapnya Oktavianing Setyawati, perempuan pendiam yang tak banyak omong. Masa kecilnya, ia adalah gadis yang begitu berani, satu-satunya diantara kami bertiga waktu itu yang paling berani.
Berani?
Dulu, Mama seringkali melarang kami bermain di sungai tapi dia selalu menganggap laragan itu sebatas angin lalu. tak pernah dihiraukannya. Bukan, bukan karena ia gadis yang tak penurut. Sungguh, ia gadis yang sangat penurut. Hobinya berenang waktu itu, sayang... bagi keluarga kami waktu itu bermain ke kolam renang adalah satu kegiatan yang mahal dilakukan jadi tak mungkin kami mengunjungi kolam renang secara rutin. tak ada jalan lain, adikku bersama teman-temannya yang lain memilih berenang di sungai. meski harus melanggar perintah Mama, tapi akhirnya hanya ia yang paling pintar berenang diantara kami bertiga.
Yah, dia berani...sangat!!!
Aku sebenarnya tak terlalu dekat dengannya, jarak usia kami 4 tahun, dan dia tidak banyak menghabiskan waktu di rumahnya. Semasa kecil, ia lebih sering tnggal si rumah tante daripada dirumah bersama kami, bersama aku kakaknya, alin adik bungsuku, mama dan bapak. Memasuki usia SMP dia melanjutkan studinya di salah satu pesantren di Wonosobo, sebuah kota yang tak terlalu jauh jaraknya dari tempat tinggalku. disana ia tidak hanya bersekolah, tapi sekaligus menjadi santri yang sedang berusaha memperdalam agama.
Aku bangga memilikinya, aku bangga sempat menjadi kakaknya, aku bangga pernah menjadi bagian darinya, menjadi keluarganya, menjadi salah satu orang yang pernah dicintainya.
Tapi aku sedih....
Gadis pendiam yang cantik itu pernah begitu marah padaku, kata-katanya yang masih kuingat "Seandainya Mbak Ayu bikin Mama sedih lagi, Aning gak akan anggap Mbak Ayu kakak." Begitu katanya. Jelas terdengar sangat tegas dan kesal meski aku hanya mendengarnya lewat sambungan telepon. Ya, dulu ia mengucapkannya lewat telepon karena saat itu dia ada di pesantrennya dan aku di rumah.
Ah Aning, seandainya kamu bisa lebih lama di dunia, bisa lebih banyak menegurku dan memperingatkanku.
Aning, apa sekarang kamu masih menganggapku kakakmu?
Aning, aku pernah menyesal memarahimu. Ya, dulu aku memarahimu habis-habisan karena kamu meminjamkan mukenaku kepada orang lain tanpa seizinku. kemarahan terakhirku kepadamu. kemarahan yang selalu menciptakan sesal berkepanjangan. Seandainya waktu berulang dan aku tau kau akan pergi, mungkin aku tak akan melakukan itu. Maaf...
Tanggal yang kulupa itu, tanggal dimana kamu pergi untuk selamanya. Tanggal paling menyesakkan yang pernah aku rasakan.
PAgi hari waktu tu Mama begitu panik mendengar kabar dari salah satu pemimpin pondok putri di pesantrenmu. Katanya kamu jatuh dan masuk rumah sakit. Kamu tau seperti apa paniknya Mama, luar biasa. Mama langsung bergegas mengganti bajunya dan pergi ke pesantrenmu. Tak ada isak tak ada suara tapi air matanya deras tanpa henti. Sebelum keberangkatannya aku sempat menenangkannya, mengatakan tak akan terjadi apa-apa karena aku percaya kamu kuat. Tapi tak mempan, yah... hati seorang Ibu dan firasatnya memang selalu kuat kan?
Sebelum berangkat Mama sempat mengingatkanku untuk tak usah masuk kuliah, tapi kukatakan "Aku ada presentasi". Padahal itu bohong, ya... karena sebenarnya aku hanya enggan menghabiskan waktu di rumah sendirian. Maaf, Ning...
Di kampus...
Seusai kuliah aku duduk-duduk di bangku parkiran bersama teman yang bernama Fitri. Saat itu hatiku memang tak enak, entah pertanda atau firasat. Pada Fitri aku mengatakan semuanya dan seperti aku yang menenankan Mama, ia juga menenangkanku. Dan entah kebetulan atau apa, setelah itu aku menelepon kakak angkatanku, sesama mahasiswa sosiologi yang rumahnya tak jauh dari rumah kita. Kamu tau siapa dia kan, ning?
Belum sempat aku mengatakan apa-apa, seseorang di seberang telepon itu mengatakan seperti ini.
"Ayu, aku turut berduka cita ya..."
Kebingungan melandaku, "Berduka cita untuk siapa?" tanyaku.
"Buat adikmu." ucapnya.
Aku tertawa kecil "Adikku, gak usah ngaco!! Adikku kan cuma jatuh."
Hening...
"Iya...maksud aku berduka cita buat adik kamu yang jatuh itu." Dia mulai terbata-bata.
Hening lagi....
Dan tiba-tiba entah suara siapa di seberang telepon sana...
"Nur, itu yang meninggal beneran Adiknya Ayu?"
Aku terdiam, air mataku mulai menetes. tenggorokanku tercekat. Aning, seandainya kamu tahu betapa kagetnya aku saat itu.
"Yu..." Ucap si penelepon panik.
"Iya." Jawabku dengan suara tercekat.
"Kamu masih di kampus?"
"Iya." Suaraku masih tercekat, tatapanku kosong.
"Jangan pulang, tunggu disitu. aku jemput!"
"Tidak usah!!" Bantahku, suaraku mengeras seketika bersamaan dengan air mata yang turun makin deras. "Aku bisa pulang sendiri!" lanjutku.
Belum sempat ia mengucapkan apa-apa, aku bergegas mencari motorku. fitri sempat menenangkanku, menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Jarak dari kampus ke rumahku kurang lebih satu setengah jam dan aku menggunakan motor sebagai alat transportasiku. kondisi hatiku yang labil dan batinku yang sedang tak menentu tentu saja membuatnya khawatir.
Aku baru saja menhidupkan motorku saat tiba-tiba salah seorang sepupuku meng-sms-i-ku.
"Ayu, nanti pulang kuliah kamu ke kostanku. Ada yang mau aku omongin. Kita pulang bareng."
Kurang lebih seperti itu smsnya waktu itu.
Kubalas singkat saja.
"Tak perlu, aku sudah tau. aku pulang duluan."
Ia meneleponku, panik membiarkanku pulang sendiri tapi tak kuhiraukan panggilannya. Kupacu motorku dengan kecepatan nyaris seratus lebih. Tak peduli apapun, dengan mata berkaca-kaca dan kacamata yang mulai mengembun aku makin mempercepat motorku. Aku ingin melihatmu untuk yang terakhir, Ning...
Sampai di rumah semuanya sudah begitu ramai. Tak kupedulikan motor, kutaruh begitu saja hingga nyaris roboh.
"Jangan masuk dulu, sedang serah terima jenazah." Ucap Lik Tri yang saat itu memapahku karena saking lemasnya tubuhku. Aku histeris, nyaris menerobos keramaian orang-orang itu saat seseorang yang entah siapa menahanku.
Aning...
Kamu terlelap begitu cantik, pipimu memerah dan bibirmu tersenyum. Wajahmu tenang, membuat siapapun yang melihatnya merasakan kedamaian yang teramat sangat.
Ning, saat itu Mama begitu kehilanganmu.
Tapi ia begitu tabah, bahkan kesabarannya nyaris luar biasa.
Aku tak bisa menghentikan tanisku, apalagi saat kulihat Alin juga histeris disana.
Aning...
Seseorang menjemput Alin si dekolahnya setelah mendengar kabar kepergianmu. Ia histeris di sekolahnya.
Aning, kami semua benar-benar sangat kehilanganmu.
Sore itu mendung, hujan mengguyur bumi seolah ikut merasakan sedih karena kehilanganmu. Santri terbaik pondok pesantren, kata Kyai pimpinan pesantrenmu.
Aku tak sanggup berkata-kata melihat jenazahmu perlaan masuk ke liang kubur dan pelan-pelan orang-orang membaka kain kafan yang menutupi wajahmu. menghadapkanmu pada kiblat.
Sebuah perjalanan panjang bertemu Allah, itu katamu tentan kematian kan??
semakin teriris hatiku saat mereka mulai menginjak-injak tanah tempatmu dikubur, memastikan agar tanah itu padat dan tak gugur.
Dan sebuah kebanggan kembali menghinggapi hatiku.
"Jeazahnya wangi sekali. Tak pernah aku menguburkan orang sewangi ini. Senyumnya merekah, pipinya merona emerahan, wajahnya damai dan tenang."
Tak pelak, ucapan itu seperti diiyakan oleh semua orang yang tadi sempat turun ke liang lahatmu.
Aku menangis, bahagia, sedih dan terharu.
Apa kelak aku bisa menghadap Allah dengan cara sepertimu?? Indah sekali sepertinya...
Sebuah cerita mengalir tentang sebab kepergianmu. Cerita yang cukup membuatku diam dari tangis histerisku.
Ning, mereka bilang kamu terjatuh saat akan mengambil air wudhu untuk shalat subuhmu. Kamu terjatuh karena terpeleset, tapi itu tak membuatmu langsung meninggal. Kata mereka, kau sempat melakukan shalat subuh bahkan kau menghadapNya disaat sujud terakhirmu di shalat subuh.
Subhanallah...
Aning, begitu banyak waktu yang sudah kusia-siakan. mungkin benar, aku bukan kakak yang baik karena tak pernah sempat membahagiakanmu. mngkin aku bukan kaka yang baik karena aku begitu sering memarahimu, maaf...
Tiga hari sebelum kamu pergi, kamu sempat kembali ke rumah. Kamu ajak temanmu pergi jalan-jalan naik motor berkeliling kampung. keinginan yang jarang kamu minta...
Kamu mengajakku mengunjungi seluruh keluarga dan saudara, bahkan saat disana kamnu tak henti-hentinya minta diajak masuk surga.
Kamu traktir teman-temanmu makan dan mengatakan kamu akan pergi jauh...
Bahkan saat itu di rumah lik yanti saat kamu hendak shalat maghrib, mata kami bahkan mengantarmu hngga bayang tubuhmu menghilang di belokan.
Aning seandainya aku tahu itu adalah firasat....
Mungkin tidak akan kusia-siakan waktu yang tersisa.
Aning, disana kau sudah bahagia....
Mungkin tak sebahagia saat masih di dunia bersama kami...
Tapi percayalah, kami mencintaimu.... sangat mencintaimu.
Hanya do'a yang bisa kami panjatkan...
Maafkan kesalahan kami, khususnya kesalahanku yang tak pernah menjadi kakak yang baik untukmu.
Cinta kami untukmu tak akan pernah habis.
Tak pernah kering air mata dan kerinduan saat aku menceritakan tentangnya, tak pernah habis segala rasa untuknya. Aku merindukannya, sangat. Lebih dari apapun, aku sangat merindukannya.
Nama lengkapnya Oktavianing Setyawati, perempuan pendiam yang tak banyak omong. Masa kecilnya, ia adalah gadis yang begitu berani, satu-satunya diantara kami bertiga waktu itu yang paling berani.
Berani?
Dulu, Mama seringkali melarang kami bermain di sungai tapi dia selalu menganggap laragan itu sebatas angin lalu. tak pernah dihiraukannya. Bukan, bukan karena ia gadis yang tak penurut. Sungguh, ia gadis yang sangat penurut. Hobinya berenang waktu itu, sayang... bagi keluarga kami waktu itu bermain ke kolam renang adalah satu kegiatan yang mahal dilakukan jadi tak mungkin kami mengunjungi kolam renang secara rutin. tak ada jalan lain, adikku bersama teman-temannya yang lain memilih berenang di sungai. meski harus melanggar perintah Mama, tapi akhirnya hanya ia yang paling pintar berenang diantara kami bertiga.
Yah, dia berani...sangat!!!
Aku sebenarnya tak terlalu dekat dengannya, jarak usia kami 4 tahun, dan dia tidak banyak menghabiskan waktu di rumahnya. Semasa kecil, ia lebih sering tnggal si rumah tante daripada dirumah bersama kami, bersama aku kakaknya, alin adik bungsuku, mama dan bapak. Memasuki usia SMP dia melanjutkan studinya di salah satu pesantren di Wonosobo, sebuah kota yang tak terlalu jauh jaraknya dari tempat tinggalku. disana ia tidak hanya bersekolah, tapi sekaligus menjadi santri yang sedang berusaha memperdalam agama.
Aku bangga memilikinya, aku bangga sempat menjadi kakaknya, aku bangga pernah menjadi bagian darinya, menjadi keluarganya, menjadi salah satu orang yang pernah dicintainya.
Tapi aku sedih....
Gadis pendiam yang cantik itu pernah begitu marah padaku, kata-katanya yang masih kuingat "Seandainya Mbak Ayu bikin Mama sedih lagi, Aning gak akan anggap Mbak Ayu kakak." Begitu katanya. Jelas terdengar sangat tegas dan kesal meski aku hanya mendengarnya lewat sambungan telepon. Ya, dulu ia mengucapkannya lewat telepon karena saat itu dia ada di pesantrennya dan aku di rumah.
Ah Aning, seandainya kamu bisa lebih lama di dunia, bisa lebih banyak menegurku dan memperingatkanku.
Aning, apa sekarang kamu masih menganggapku kakakmu?
Aning, aku pernah menyesal memarahimu. Ya, dulu aku memarahimu habis-habisan karena kamu meminjamkan mukenaku kepada orang lain tanpa seizinku. kemarahan terakhirku kepadamu. kemarahan yang selalu menciptakan sesal berkepanjangan. Seandainya waktu berulang dan aku tau kau akan pergi, mungkin aku tak akan melakukan itu. Maaf...
Tanggal yang kulupa itu, tanggal dimana kamu pergi untuk selamanya. Tanggal paling menyesakkan yang pernah aku rasakan.
PAgi hari waktu tu Mama begitu panik mendengar kabar dari salah satu pemimpin pondok putri di pesantrenmu. Katanya kamu jatuh dan masuk rumah sakit. Kamu tau seperti apa paniknya Mama, luar biasa. Mama langsung bergegas mengganti bajunya dan pergi ke pesantrenmu. Tak ada isak tak ada suara tapi air matanya deras tanpa henti. Sebelum keberangkatannya aku sempat menenangkannya, mengatakan tak akan terjadi apa-apa karena aku percaya kamu kuat. Tapi tak mempan, yah... hati seorang Ibu dan firasatnya memang selalu kuat kan?
Sebelum berangkat Mama sempat mengingatkanku untuk tak usah masuk kuliah, tapi kukatakan "Aku ada presentasi". Padahal itu bohong, ya... karena sebenarnya aku hanya enggan menghabiskan waktu di rumah sendirian. Maaf, Ning...
Di kampus...
Seusai kuliah aku duduk-duduk di bangku parkiran bersama teman yang bernama Fitri. Saat itu hatiku memang tak enak, entah pertanda atau firasat. Pada Fitri aku mengatakan semuanya dan seperti aku yang menenankan Mama, ia juga menenangkanku. Dan entah kebetulan atau apa, setelah itu aku menelepon kakak angkatanku, sesama mahasiswa sosiologi yang rumahnya tak jauh dari rumah kita. Kamu tau siapa dia kan, ning?
Belum sempat aku mengatakan apa-apa, seseorang di seberang telepon itu mengatakan seperti ini.
"Ayu, aku turut berduka cita ya..."
Kebingungan melandaku, "Berduka cita untuk siapa?" tanyaku.
"Buat adikmu." ucapnya.
Aku tertawa kecil "Adikku, gak usah ngaco!! Adikku kan cuma jatuh."
Hening...
"Iya...maksud aku berduka cita buat adik kamu yang jatuh itu." Dia mulai terbata-bata.
Hening lagi....
Dan tiba-tiba entah suara siapa di seberang telepon sana...
"Nur, itu yang meninggal beneran Adiknya Ayu?"
Aku terdiam, air mataku mulai menetes. tenggorokanku tercekat. Aning, seandainya kamu tahu betapa kagetnya aku saat itu.
"Yu..." Ucap si penelepon panik.
"Iya." Jawabku dengan suara tercekat.
"Kamu masih di kampus?"
"Iya." Suaraku masih tercekat, tatapanku kosong.
"Jangan pulang, tunggu disitu. aku jemput!"
"Tidak usah!!" Bantahku, suaraku mengeras seketika bersamaan dengan air mata yang turun makin deras. "Aku bisa pulang sendiri!" lanjutku.
Belum sempat ia mengucapkan apa-apa, aku bergegas mencari motorku. fitri sempat menenangkanku, menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Jarak dari kampus ke rumahku kurang lebih satu setengah jam dan aku menggunakan motor sebagai alat transportasiku. kondisi hatiku yang labil dan batinku yang sedang tak menentu tentu saja membuatnya khawatir.
Aku baru saja menhidupkan motorku saat tiba-tiba salah seorang sepupuku meng-sms-i-ku.
"Ayu, nanti pulang kuliah kamu ke kostanku. Ada yang mau aku omongin. Kita pulang bareng."
Kurang lebih seperti itu smsnya waktu itu.
Kubalas singkat saja.
"Tak perlu, aku sudah tau. aku pulang duluan."
Ia meneleponku, panik membiarkanku pulang sendiri tapi tak kuhiraukan panggilannya. Kupacu motorku dengan kecepatan nyaris seratus lebih. Tak peduli apapun, dengan mata berkaca-kaca dan kacamata yang mulai mengembun aku makin mempercepat motorku. Aku ingin melihatmu untuk yang terakhir, Ning...
Sampai di rumah semuanya sudah begitu ramai. Tak kupedulikan motor, kutaruh begitu saja hingga nyaris roboh.
"Jangan masuk dulu, sedang serah terima jenazah." Ucap Lik Tri yang saat itu memapahku karena saking lemasnya tubuhku. Aku histeris, nyaris menerobos keramaian orang-orang itu saat seseorang yang entah siapa menahanku.
Aning...
Kamu terlelap begitu cantik, pipimu memerah dan bibirmu tersenyum. Wajahmu tenang, membuat siapapun yang melihatnya merasakan kedamaian yang teramat sangat.
Ning, saat itu Mama begitu kehilanganmu.
Tapi ia begitu tabah, bahkan kesabarannya nyaris luar biasa.
Aku tak bisa menghentikan tanisku, apalagi saat kulihat Alin juga histeris disana.
Aning...
Seseorang menjemput Alin si dekolahnya setelah mendengar kabar kepergianmu. Ia histeris di sekolahnya.
Aning, kami semua benar-benar sangat kehilanganmu.
Sore itu mendung, hujan mengguyur bumi seolah ikut merasakan sedih karena kehilanganmu. Santri terbaik pondok pesantren, kata Kyai pimpinan pesantrenmu.
Aku tak sanggup berkata-kata melihat jenazahmu perlaan masuk ke liang kubur dan pelan-pelan orang-orang membaka kain kafan yang menutupi wajahmu. menghadapkanmu pada kiblat.
Sebuah perjalanan panjang bertemu Allah, itu katamu tentan kematian kan??
semakin teriris hatiku saat mereka mulai menginjak-injak tanah tempatmu dikubur, memastikan agar tanah itu padat dan tak gugur.
Dan sebuah kebanggan kembali menghinggapi hatiku.
"Jeazahnya wangi sekali. Tak pernah aku menguburkan orang sewangi ini. Senyumnya merekah, pipinya merona emerahan, wajahnya damai dan tenang."
Tak pelak, ucapan itu seperti diiyakan oleh semua orang yang tadi sempat turun ke liang lahatmu.
Aku menangis, bahagia, sedih dan terharu.
Apa kelak aku bisa menghadap Allah dengan cara sepertimu?? Indah sekali sepertinya...
Sebuah cerita mengalir tentang sebab kepergianmu. Cerita yang cukup membuatku diam dari tangis histerisku.
Ning, mereka bilang kamu terjatuh saat akan mengambil air wudhu untuk shalat subuhmu. Kamu terjatuh karena terpeleset, tapi itu tak membuatmu langsung meninggal. Kata mereka, kau sempat melakukan shalat subuh bahkan kau menghadapNya disaat sujud terakhirmu di shalat subuh.
Subhanallah...
Aning, begitu banyak waktu yang sudah kusia-siakan. mungkin benar, aku bukan kakak yang baik karena tak pernah sempat membahagiakanmu. mngkin aku bukan kaka yang baik karena aku begitu sering memarahimu, maaf...
Tiga hari sebelum kamu pergi, kamu sempat kembali ke rumah. Kamu ajak temanmu pergi jalan-jalan naik motor berkeliling kampung. keinginan yang jarang kamu minta...
Kamu mengajakku mengunjungi seluruh keluarga dan saudara, bahkan saat disana kamnu tak henti-hentinya minta diajak masuk surga.
Kamu traktir teman-temanmu makan dan mengatakan kamu akan pergi jauh...
Bahkan saat itu di rumah lik yanti saat kamu hendak shalat maghrib, mata kami bahkan mengantarmu hngga bayang tubuhmu menghilang di belokan.
Aning seandainya aku tahu itu adalah firasat....
Mungkin tidak akan kusia-siakan waktu yang tersisa.
Aning, disana kau sudah bahagia....
Mungkin tak sebahagia saat masih di dunia bersama kami...
Tapi percayalah, kami mencintaimu.... sangat mencintaimu.
Hanya do'a yang bisa kami panjatkan...
Maafkan kesalahan kami, khususnya kesalahanku yang tak pernah menjadi kakak yang baik untukmu.
Cinta kami untukmu tak akan pernah habis.