Monday, October 6, 2014

Dari “kami” Untuk “TUAN”

| |

Wahai Tuan yang berdiri di lantai emas…
Wahai Tuan yang menapakan kakinya di atas gumpalan kemewahan…
Bisakah kau dengarkan kami, layaknya kami yang dulu memasang kuping tuk mendengarkan janji manismu saat kampanye?
Tahukah Tuan, otak kami selalu berkeliaran memikirkanmu. Menyimak penuh perhatian segala berita di layar yang membuat kami merasa sangat dekat dengan Tuan. Apakah kau tahu, Tuan? Itu karena kami semua teramat mencintaimu. Cinta kamilah yang mengantarmu ke lantai emas sana. Sayang kamilah yang membuatmu bisa merasakan segudang kemewahan. Tapi kenapa, Tuan? Kenapa kini kau khianati cinta tulus kami? Kenapa kau lupakan kami yang mendukungmu, Tuan? Dimana janji manismu? Apa itu juga sudah terbang dari ingatanmu, Tuan? Sungguh Tuan… kau teramat melukai kami, kau campakan kami, kau khianati cinta kami dengan caramu yang teramat indah. Yah…ternyata benar, dibalik keindahannya, cinta memang terkadang membawa luka. Tapi kenapa harus kami yang kau jadikan tumbal, Tuan? Menyedihkan sekali nasib kami, Tuan.
Wahai Tuan, kau begitu asyik dan terbuai dengan keindahan dunia. Apa kau tahu, Tuan? Tubuh-tubuh mulus wanita yang kau nikmati itu adalah bukti betapa kami sangat lapar. Lapar? Mungkin kau geli mendengarnya, tapi itulah kami, Tuan. Memang lucu rasanya, kami hidup di Negeri Permadani Padi, tapi kami harus melelang tubuh hanya demi sesuap nasi. Kami ingin sepertimu, yang hanya dengan duduk dan memejamkan mata di ruangan mewah saja makanan berlari menghampirimu. Kau benar-benar membuat kami iri, Tuan.
Wahai Tuan, kami para Ibu disini begitu cemas, takut, galau dan akh…entah apa lagi namanya. Perasaan tak karuan berbaur di hati kami, kami sakit, Tuan. Kami hanya bisa terbaring lemah tak berdaya menatap anak-anak kami tercinta. Jaminan kesehatan yang kau janjikan bagai debu di padang pasir yang terbang disapu angin. Apakah kau sama sekali tak ingat ucapanmu dulu, Tuan? Bisakah kau sedikit bermurah hati pada kami? Sisakan sepeser saja uang plesiranmu, penuhi ikrarmu dulu agar kami para Ibu melarat bisa membeli sekantong obat. Kami ingin sembuh, kami ingin bangun dari tempat tidur, kembali ke sawah juragan kami, berharap bisa membeli sesuap nasi untuk mengganjal perut anak kami yang semakin kurus.
Wahai Tuan, kami para Guru. Kami ingin bercerita padamu, apa kau punya waktu untuk mendengar dongeng picisan ini? Anak-anak berwajah penuh cita-cita setiap hari nampak semangat, mereka berjalan dengan sepatu usangnya. Tapi kaki-kaki mereka seolah sudah karatan, hingga tak merasakan lagi tajamnya bebatuan dan beceknya lubang jalanan. Sungguh anak-anak Bangsa yang mengagumkan bukan? Wajah-wajah polos mereka membuat kami iba, peluh di dahinya mereka biarkan kering karena panasnya mentari yang menembus dinding. Sampai kapan mereka merasakan derita ini, Tuan? Atap langit yang memayungi kami setiap hari di kelas ini. Apa kau tak merasakan iba dihatimu, Tuan? Kalian buat gedung berkursi empuk itu bagai surga dunia, tak bisakah kau buatkan gedung sekolah yang layak untuk kami? Kau buat kolam renang bahkan tempat memijat di tempatmu duduk dan memejamkan mata. Kami disini hanya butuh bangku kayu dan atap merah agar kulit kami tidak makin menghitam diterjang Sang surya. Bermurah hatilah sedikit, Tuan. Setidaknya, pikirkanlah wajah-wajah penuh mimpi ini, Tuan.
Wahai Tuan, kau lihat becak kami? Setiap hari kami bermesraan dengan teriknya Sang Raja Siang. Tak masalah, Tuan. Asalkan kami bisa membuat istri dan anak kami senang. Membuat mereka tersenyum dengan sedikit uang recehan yang mampir di kantong. Kami berterima kasih padamu, Tuan yang masih menyisakan sedikit jalanan untuk kami lewati. Bersanding dengan mobil mewah di jalanan panas berdebu sudah cukup meyenangkan kami. Yah, kami tak mungkin memilikinya jadi sekedar bersandingpun juga tak apa. Sore hari kami pulang, berharap bisa menikmati petang di rumah sempit dekat gang berlubang. Tapi Tuan, ada apa ini? Rumah kami roboh! Rata dengan tanah! Anak istri kami menangis histeris berbalut debu, mereka berteriak memilukan “Jangan gusur rumah kami!!! Pergi kalian!!!” Istri kami berteriak, anak kami menangis sesenggukan sampai kehabisan nafas. Tuan, muslihat macam apa lagi ini? Kau bilang surat tanah ini palsu?!!! Tolong, jangan buat kami makin menderita, Tuan! Kami tak butuh tempat seluas lapangan golf yang kau buat di seberang sana, kami tak butuh tempat semewah mal-mal yang biasa kau kunjungi dan kami juga tak butuh apartemen setinggi tempat pesrsinggahanmu. Kami sudah merasa cukup dengan ruang kecil ini, ruang kecil untuk melepas penat setelah seharian lelah mengayuh becak. Lalu apakah kami harus tidur di becak? Berhimpitan dengan anak dan istri? Apakah masih kurang mal di Negara ini? Tidakkah cukup lapangan golf yang kau bangun? Investasi, itu dalihmu. Entahlah, aku tak mengerti apa artinya dan aku juga tak mau peduli. Setamak itukah kau, Tuan? Hingga tempat kecil kami juga kau ambil?

Wahai Tuan, apa kau lihat kami disini? Di balik jeruji besi ini kami habiskan hari. Pengap, gelap, kumuh dan kotor. Kata Pak Hakim, kami akan menghabiskan lima belas tahun disini. Apakah kau tahu, Tuan? Kami melongo di meja hijau. Kemarin saat kami mencuri sandal, mata kami sempat menatap wanita kawanmu di layar kaca. Kami tak tahu pasti, tapi katanya ia itu koruptor. Ia hidup bergelimang kemewahan di hotel prodeo mewah yang bahkan jauh lebih lapang dari kandang kami. Entah berapa triliun uang yang berpindah ke kantongnya, entah berapa mobil mewah yang menghiasi garasi rumahnya. Uang yang seharusnya bisa membantu kehidupan kami itu dilalap habis kawanmu, Tuan. Kami bahkan harus diam-diam mencuri sandal usang, tapi kenapa kawanmu begitu gampang? Lima belas tahun, Tuan. Lima belas tahun!! Jika ini memang hukuman kami, kami terima. Tapi apa benar hukuman ini sebanding dengan apa yang kami lakukan? Kami dengar kemarin wanita itu bebas! Ludruk macam apa ini? Seharusnya kami yang bebas, tapi kenapa malah wanita itu? Anak cucu kami menunggu kami pulang, Tuan. Kami harus memberinya makan. Jadi lebih baik, bebaskanlah kami dan biarkan wanita itu tetap di surganya. Atau kalau tidak, biarkanlah kami dan keluarga pindah ke hotel prodeonya. Hmm…kawanmu benar-benar membuatku iri, Tuan. Istri kami iri padamu dan kami iri pada teman wanitamu, konyol!!
Wahai Tuan, tadi pagi kami menangis di hadapan Bapak Ibu kami, kami merajuk sambil terus merengek di hadapan wajah keriput mereka. Kau tahu kenapa, Tuan? Kami ingin sekolah, kami ingin pandai, kami ingin cerdas! Kami iri melihat wajah-wajah tampan dan cantik berseragam itu, kami ingin seperti anak-anak Tuan. Menghabiskan waktu di sekolah bersama kawan, belajar bersama guru-guru yang anggun dan ramah. Setiap pagi, dari tepian sungai kami menatap mobil Tuan melaju cepat diatas jembatan, mengantarkan anak-anak Tuan menuju sekolahnya. Sedangkan kami, tangan kami sibuk memecah kerikil. Kata Ibu, kami harus membantu Ayah yang sudah tua dan sakit-sakitan. Huh,,,sebal sekali rasanya. Entah sebal pada siapa sebenarnya. Dulu Tuan menjanjikan kami sekolah gratis, Tuan lupa ya? Dulu aku ikut pawai, mendukung Tuan kata Bapak. Walaupun hingga kini kami tidak paham dulu mendukungmu untuk apa, tapi bukankah janji harus ditepati? Kata Bapak kami seperti itu, Tuan. Apa Tuan tidak takut dibakar di neraka gara-gara tak menepati janji? Ngeri Tuan… apa Tuan takut kalau kami akan mengalahkan kepintaran Tuan menipu kami? Tenang Tuan… tak usah khawatir, jika kami bisa menjadi seperti Tuan, otak kami pasti akan lebih suci. Akh,,,jadi ingat yang dulu Tuan katakan “Jika aku jadi anggota DPR, aku akan bla…bla…bla…” Maaf Tuan, apa kami boleh tanya? Apa itu anggota DPR? Maklum. kami kan tidak sekolah. Jangankan sekolah, makan saja kami susah. Hufht…apa mau dikata, iya kan Tuan? Seandainya kami terlahir menjadi anak Tuan… Akh, tapi sepertinya lebih baik seperti ini. Kami tak ingin punya Bapak yang dipenjara, karena kami pasti akan kesepian tanpa Bapak. Kami juga tak ingin terus sendiri ditinggal Bapak yang sedang berwisata ke Luar Negeri untuk bersembunyi. Kasihan sekali jika Bapak kami tak bisa hidup bebas, kami juga pasti akan menangis saat mereka bilang “Bapakmu koruptor!”
Wahai Tuan, ini curhat kami. Ini hanya sebagian kecil keinginan kami. Maaf  jika kami terlalu merepotkan dan menyita waktumu. Tapi bukankah melayani kami adalah tanggung jawabmu?  Jadi tolong dengarkan rintihan kami, kami hanya ingin kau tahu apa yang kami inginkan, apa yang kami harapkan. Silahkan kau nikmati kursi empukmu, Tuan. Tapi tolong, jangan abaikan kami. Jangan lupakan kami yang telah mengantarkanmu ke kursi empuk itu. Jangan lupakan cinta kami, Tuan.

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba