"Apa rencanamu hari ini?" Tanya Indra dalam perjalanan mengantarku pulang. Indra memutuskan mengentarku pulang hingga ke rumah karena ia khawatir aku tidak bisa mengingat jalan. Harus aku akui aku memang payah soal ingat mengingat, tapi perlakuan Indra sedikit berlebihan. Ia terlalu banyak mengkhawatirkanku.
"Entahlah. Mungkin hanya tidur-tiduran saja seharian. Aku mengantuk gara-gara tidak tidur semalaman." Aku bersandar lemas di kursi mobil.
"Mau makan es krim?" Indra memberikan tawaran yang menarik.
"Itu menyenangkan, tapi aku benar-benar lelah. Aku hanya ingin tidur."
"Oke, baiklah. Istirahatlah seharian ini. Oh iya, hari minggu aku dan teman-temanku berencana pergi ke dufan. Mau ikut?" Tanya Indra lagi.
"Mau!" Aku menjawab semangat, melupakan rasa lelah yang sempat menjeratku dan membayangkan betapa asyiknya menghabiskan akhir pekan disana.
Indra sedikit kaget melihatku yang kehilangan rasa lelah seketika.
"Hei, kemana rasa lelahmu? Kamu benar-benar makhluk terlabil yang pernah kutemui. Kemarin kamu mengataiku bodoh, tapi beberapa menit kemudian kamu memujiku cerdas. Hari ini, beberapa menit yang lalu kamu terlihat lelah, lemas dan menyedihkan tapi sekarang terlihat segar seperti tidak pernah lelah. Bagaimana bisa kamu begitu labil?"
Seperti biasanya, aku hanya mengerucutkan bibirku. "Kamu benar-benar mengingatku dengan baik ya?" Aku tersenyum riang.
Indra menatapku dengan sedikit keterkejutan, ia pasti sama sekali tidak menduga kalau aku akan membalikannya dengan kata-kata itu.
"Kamu suka di apartemenku?" Indra memulai kebiasaan yang mirip denganku, mencari topik pembicaraan lain dengan memberikan pertanyaan yang jelas sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang kukatakan sebelumnya.
"Aku lebih suka makananmu." Ujarku senang.
Indra menaikkan alisnya, "Aku lupa, aku baru saja membawa omnivora kelaparan ke tempat tinggalku kemarin."
"Aku hanya menghabiskan sedikit makananmu, tapi aku memberikan lebih dari cukup untuk membalasnya."
"Apa?"
"Aku mengembalikan apa yang pernah hilang disana sejak kepergian Gatha. Kamu mengatakan itu semalam."
"Jadi apa yang harus kulakukan untuk berterima kasih?"
"Traktir aku es krim!" Seruku spontan tanpa perlu berpikir lama.
"Kamu ini, bukannya tadi kamu menolak karena mengantuk?"
"Aku berubah pikiran." Aku merengek sedikit manja.
Indra tersenyum kecil, "Bilang saja kamu menyesal menolak tawaranku barusan dan gengsi untuk mengatakan kamu ingin pergi denganku. Yah, kadang penyesalan seperti itu baru akan muncul setelah sebentar lagi aku sampai mengantarmu ke rumah."
"Eh, itu baru beberapa menit yang lalu kan?"
Indra tersenyum lagi, "Jadi benar kan apa yang kukatakan tadi itu adalah isi pikiranmu?"
Aku terdiam dan menunduk, merasa terjebak karena ucapanku sendiri.
"Tidak usah malu, kepalamu itu tembus pandang di mataku jadi aku bisa melihat seluruh isi otakmu."
Aku sedikit cemberut, Indra membawa kendaraanku memutar balik.
"Aku tau tempat makan eskrim yang enak!" Ujarku semangat.
Indra mencibirku, "Kamu benar-benar orang yang bisa merubah perasaan dengan cepat ya?"
"Itu pujian atau kamu sedang menghinaku?"
"Apa kamu merasa terhina dengan ucapanku?"
"Kamu seperti sedang meledekku."
"Meledek apa? Aku hanya bertanya."
Aku menatap keluar jendela mobil, "Aku merasa kamu sedang meledekku karena ucapanku semalam. Aku juga tidak mengerti, kita baru berkenalan kemarin dan aku sudah memutuskan untuk mengatakan kalau apa yang aku rasakan kepadamu itu cinta. Kamu seperti sedang meledekku karena aku terlalu cepat mencintai kamu."
"Maaf, tapi aku sama sekali tidak bermaksud begitu. Apa kamu merasa bersalah karena memutuskan mencintaiku?" Indra menggenggam tanganku.
"Yah, sedikit sisi hatiku merasa bersalah. Azvin pernah melakukan ini padaku dan membuat aku begitu sakit karenanya. Lalu apa bedanya aku dengan dia jika aku juga menyakitinya dengan cara yang sama?"
"Kurasa, perasaanmu pada Azvin sudah berubah sejak awal, bukan saat kamu mengenalku.
Zy, itu bukan lagi cinta. Aku tau kamu sangat ingin lepas darinya tapi kamu benar-benar tidak tau caranya. Kamu tidak ingin melakukan cara yang jahat untuk membuatnya melupakanmu tapi disisi lain kamu tau jelas dia itu cengeng dan kacau, jadi bahkan walaupun kamu meninggalkannya dengan cara baik-baik kamu tau itu juga akan sulit untuknya."
Aku terdiam mendengar ucapan Indra, sedikit sisi otakku membenarkannya. Indra mempererat genggamannya di tanganku.
"Zy, jangan melukai dirimu sendiri lagi. Jangan berpura-pura kuat hanya karena kamu tidak ingin melihat orang lain menjadi lemah. Pada akhirnya kamu yang akan semakin hancur, karena kamu akan semakin rapuh."
"Apa aku harus meninggalkan Azvin?"
Indra tersenyum dan mengecup telapak tanganku, "Itu semua pilihanmu, aku peduli padamu dan mungkin kamu benar tentang aku yang juga mulai merasakan cinta untukmu. Tapi aku laki-laki dan Azvin juga, aku akan terlihat seperti pengecut jika terus memaksa kamu meninggalkan dia karena aku. Kamu yang merasakan, kamu yang akan benar-benar tau seperti apa keputusan terbaik untukmu sendiri."
Aku mendesah, "Cinta itu rumit, kan?"
"Bukan cinta yang rumit tapi kita yang sering mempersulit."
Aku menguap...
"Apa kamu benar-benar mengantuk?"
Aku mengangguk pelan.
"Lalu kenapa kamu masih mengajakku mentraktirmu es krim?"
"Aku masih ingin bersamamu."
Indra mendadak menginjak rem mobil, jika aku tidak menggunakan seat belt, kupastikan keningku akan membentur dashboard mobil dan memutar balik arah mobil tanpa meminta pendapatku. Sesaat ia menatapku aneh, aku benar-benar tidak bisa menjelaskan apa yang sedang dipikirkannya. Ia seperti kesal, tapi entah kenapa aku malah merasa bahagia dengan tatapannya.
"Kamu tidak suka?" Aku bertanya dengan sedikit ketakutan.
Indra tidak bersuara, ia sama sekali tidak memberikan jawaban apapun. Matanya tajam menatap jalanan di hadapannya, ia benar-benar sudah tidak mempedulikanku bahkan saat aku geram karena ia mengendarai mobil diatas kecepatan rata-rata.
*********************
Sesampainya di rumahku, Indra masih tetap diam dan tidak mengatakan apapun kepadaku. Ia membuka pintu mobil untukku keluar. Ia berdiri menyandarkan tubuhnya di mobil menungguku membuka pintu rumah. Saat pintu terbuka, ia menyusulku masuk dan menutup pintunya begitu saja hingga terdengar suara yang cukup keras. Aku mencoba untuk tidak memandangnya, tapi Indra meraih tanganku dan menyeretku kedalam pelukannya.
"Aku menyayangimu! Aku bahkan akan tetap bersamamu jika kamu tertidur. Kamu tidak perlu memaksakan diri." Indra membelai kepalaku, mencium rambutku dan mempererat pelukannya. Aku tidak bisa berkutik dan hanya menikmati pelukannya.
Indra melepaskan pelukannya, ia duduk di sofa dan mengajakku untuk merebahkan kepala di pangkuannya. Aku menurut, dan ia mengusap-ngusap kepalaku hingga aku benar-benar terlelap.
Aku tertidur hampir selama setengah hari, Indra sudah tidak ada di sofaku. Aku menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku dan duduk malas sambil melihat-lihat ponselku. Azvin sama sekali tidak menghubungiku, mungkin ia terlalu sibuk dengan liburannya. Aku melihat sekeliling rumahku, semuanya rapi, barang-barang terletak di tempat dimana seharusnya mereka berada. Aku sedikit terperangah, tapi aku tau Indra pasti melakukan semuanya untukku. Aku menuju lemari es, buah-buahan segar dan biskuit ada di dalamnya. Indra bahkan berbelanja untukku. Ternyata aku benar-benar tidur seperti orang mati.
Aku sedang menikmati apel segar sambil menonton televisi saat handphoneku memberi tanda sms masuk.
Maaf meninggalkanmu dan membawa mobilmu lagi.
Aku malas naik taxi. Kalau kamu sudah bangun, balas smsku.
Aku akan kembali ke rumahmu nanti malam dan membawa makan malam.
Dapurmu payah, aku sama sekali tidak bisa berbuat apa2 disana.
Kalau lapar, habiskan saja buah dan biskuit di lemari es.
Segera aku membalas sms Indra
Thanks. Sebenarnya aku lebih suka kamu disini.
Masakan sesuatu yang enak.
Mau kusewa jadi tukang bersih2 di rumahku?
Indra mengsms-i lagi,
Hai Nona, berapa banyak kamu sanggup membayarku?
Aku tau sulit berpisah dengan orang sepertiku,iya kan?
Aku tersenyum kecil membaca sms-nya.
Aku membayarmu dengan hatiku yang penuh cinta :p
Kurasa kamu tak perlu memasak, aku ingin makan sate.
Indra membalas lagi
Hei nona gengsi, bilang saja kalau kau ingin aku cepat datang.
Jadi kau ingin aku tidak perlu memasak, kan?
Aku sudah tidak terkejut, Indra mungkin salah satu orang yang diciptakan dengan kemampuan membaca pikiran.
Baiklah, cepat datang dan jangan sampai aku mendatangimu lebih dulu.
Indra masih membalas lagi.
Kamu benar-benar merindukanku, ya?
Aku langsung membalas lagi
Merindukanmu lebih dari apapun!
Indra menjawab lagi smsku.
Aku juga merindukanmu, Nona.
Bersabarlah, aku segera datang.
Aku melihat jam digital di ponselku, pukul lima tepat. Indra pasti baru akan datang sekitar pukul tujuh malam nanti. Aku memandang jam dinding, entah kenapa rasanya gerakan jarum-jarumnya itu sangat lambat hingga membuatku geram.
Pukul 18.15
Aku merapikan rambutku yang baru saja kukeramasi, mengeringkannya dengan hair drayer dan sedikit membuatnya ikal di bagian ujung.
Pukul 18.30
Aku membuka lemari dan memilih pakaian. Entah ada apa denganku, aku bahkan tidak pernah serumit ini untuk Azvin. Menghabiskan nyaris dua puluh lima menit memilih baju, akhirnya aku memutuskan menggunakan celana jeans dan t'shirt berwarna biru langit dan cardigan, outter andalanku yang berwarna senada. Sebuah pilihan aneh yang akhirnya kupilih dalam dua puluh lima menit terakhir. Yah, gengsiku masih menguasai diri. Aku tidak ingin Indra melihatku terlalu merasa diistimewakan dengan pilihan pakaianku yang berlebihan.
Pukul 19.04
Aku sudah benar-benar rapi dengan semuanya. Pakaian dan make-up yang biasa.
Aku duduk di ruang televisi, menonton salah satu channel yang aku tidak tau sedang membahas apa karena konsentrasiku hanya terpaku pada jam dinding saja. Aku benar-benar tidak sabar, rasanya seperti lama sekali.
Pukul 19. 21
Bel rumahku berbunyi, aku melonjak girang kegirangan.
"Kenapa kamu lama sekali?" Tanyaku langsung setelah membuka pintu.
Indra tersenyum kecil, ia semakin terlihat tampan dengan setelannya yang casual. Ah, aku kan sedang jatuh cinta...jadi apapun yang dikenakannya pasti akan terlihat sempurna dimataku.
"Kamu benar-benar tidak sabar ya?" Indra mengusap wajahku dan menyingkirkan poni yang menutupi dahiku.
Aku mengangguk. "Apa kamu benar-benar membawa apa yang kuinginkan?" Mataku melirik kotak besar yang ia bawa di kantong plastik.
Indra mengikuti pandangan mataku, dan mengangkatnya hingga sejajar dengan wajahku.
"Mau makan malam denganku?"
Aku mengangguk yakin.
"Oke, tunggu disini biar aku menyiapkannya."
Indra menuju dapur dengan kotak makanannya, sementara aku melanjutkan acara nonton televisi.
Indra kembali dengan membawa beberapa piring berisi sate ayam dan kambing, nasi, kepiting saus tiram dan cah kangkung. Ia bahkan menyiapkan strawberry smoothies yang terlihat menyegarkan.
"Kamu memasak semuanya?" Aku memandang takjub ke arahnya.
"Tidak, aku hanya membuat minumannya. Kamu melarangku memasak agar bisa cepat-cepat kemari, kan?"
Aku tersenyum menatapnya, ia membalas senyumanku.
"Semuanya terlihat enak." Kataku sambil menatap piring-piring itu bergiliran.
"Beri tau aku, adakah menurutmu makanan yang tidak enak? Selera makanmu benar-benar luar biasa. Pasti buah dan biskuit itu tidak sanggup menahan laparmu, kan?" Indra meledekku lagi.
"Bagaimana bisa aku tidak menyadari kalau kamu membelikan semua itu saat aku tertidur?" Aku bertanya pada diriku sendiri.
Indra terkekeh, "Kamu tau, kamu benar-benar tidur seperti ular yang baru saja memakan sapi. Aku bahkan terburu-buru karena takut kamu akan bangun. Jangankan bangun, kamu malah mendengkur lebih keras saat aku kembali."
"Benarkah?"Aku tidak yakin, aku tidak pernah tau kalau aku mendengkur saat tidur.
"Sudahlah, makan saja. Kamu lapar, kan?"
"Sangat lapar!" Aku meraih satu tusuk sate ayam dan menggigitnya. Indra menaruh cah kangkung di piringku.
"Aku mau kepitingnya." Ucapku sambil mengunyah daging sate kambing.
"Tunggu dulu." Indra memisahkan bagian keras kepiting dari daginya dan menyuapkannya padaku.
Kami makan bersama-sama sambil menonton film bioskop yang sedang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Acara makan bersama berlangsung menyenangkan, kami tidak berhenti bergurau, bercanda dan meledek satu sama lain. Hingga acara makan selesai, aku merasa benar-benar kenyang.
"Biarkan aku yang membereskannya." Tanganku merebut piring kosong dari tangan Indra.
Indra tersenyum dan mengusap kepalaku dengan tangan kirinya.
Slesai membereskan piring-piring itu aku kembali ke ruang televisi, Indra sudah duduk bersandar di sofa. Indra merentangkan tangannya, memintaku duduk di pelukannya.
"Terima kasih, ya. Kamu benar-benar membuatku bahagia dua hari ini."
"Tidak akan hanya dua hari, akan kubuat kamu terus bahagia selama kamu mengenalku." Indra menyandarkan dagunya di kepalaku.
"Apa hari ini kamu sudah tidur?" tanyaku sambil menggenggam tangannya yang sedang memeluk pinggangku.
"Aku tidak membutuhkan waktu sebanyak kamu untuk tidur."
"Iya, aku tau aku tidur sangat lama."
"Kamu merasa lebih baik kan setelah tidur?"
Aku mengangguk.
"Apa besok kita jadi jalan-jalan ke dufan?" Tanyaku yang sudah tidak sabar menunggu hari esok.
"Iya, tapi kami berencana naik motor. Apa kamu keberatan?"
"Tidak masalah." Jawabku yakin.
"Yah, bahkan jika aku mengajakmu jalan kaki kesana, aku juga yakin jawabanmu akan sama seperti sekarang."
"Huh, mana mau aku jalan kaki sejauh itu. Aku bisa mati kehausan."
Indra tersenyum kecil, ia semakin mempererat pelukannya padaku. Aku diam menikmati pelukan Indra, Indra juga terdiam meskipun aku tidak tau apa yang membuatnya diam.
"Apa kamu bosan?" Tanyaku setelah beberapa saat kami sama-sama terdiam.
"Bosan? Bagaimana bisa aku bosan jika sedang denganmu?" Indra balik menanyaiku.
Aku meletakan kepalaku di bahunya, hingga wajah kami saling menempel.
"Apa kamu ingin pulang sekarang?"
"Apa kamu akan melarangku pulang?"
"Aku tidak mungkin melarangmu pulang, tapi rasanya berat sekali aku menjauh darimu."
"Ternyata kamu benar-benar menyukaiku, ya?" Indra mencubit pipi kananku.
"Kenapa kamu terus berkata seperti itu. Apa kamu tidak benar-benar menyukaiku?"
"Aku sangat menyayangimu dan jujur saja itu membuatku enggan meninggalkanmu."
"Apa dulu kamu juga seperti ini dengan Gatha?"
Indra mendesah mendengar pertanyaanku, "Tidak, aku begitu sulit menemuinya karena kesibukannya. Aku tidak benar-benar banyak menghabiskan waktu dengannya selama tiga tahun ini. Di kantor, aku dan dia hanya sebatas pekerjaan. Ia benar-benar profesional untuk urusan pekerjaannya."
"Kamu menyebalkan." Aku merengut manja.
Indra mengerutkan kening, "Kenapa?"
"Apa kamu sama sekali tidak merasa bersalah memuji Gatha di hadapanku?"
Indra tersenyum sedikit, "Cemburumu begitu besar, aku tidak sedang memujinya hanya sedang mengatakan apa yang sebenarnya."
Berbeda dengan apa yang kurasakan sebelum Indra datang, kali ini waktu berjalan begitu cepat. Jarumnya menunjuk ke angka sepuluh tepat. Indra melonggarkan pelukannya dan berjalan ke kamar mandi.
"Apa kamu mau pulang sekarang?"
"Iya, aku harus istirahat. Kamu juga harus istirahat untuk besok kan?"
"Kamu mau membawa mobilku lagi?"
Indra menggeleng, "Tidak usah... aku bisa naik taksi."
"Mau kuantar?" Aku berdiri tepat dihadapannya.
Indra memelukku dari belakang, "Lalu setelah sampai di apartemenku kamu akan mencari alasan untuk menginap?" Indra berbisik di telingaku.
"Tidak, aku hanya ingin mengantarmu."
"Tidak perlu, matamu sudah terlihat mengantuk."
"Izinkan, sebagai ucapan terima kasih." Aku merengek manja.
"Dalam cinta, tidak ada terima kasih."
Aku diam saja, Indra memandangku dan entah kenapa mataku tiba-tiba saja berkaca-kaca.
Indra menarik nafas, "Baiklah, untuk kali ini kamu mengantarku. Hanya untuk kali ini. Oke?"
"Janji!" Aku menunjukan kelingkingku.
Indra mengaitkan kelingkingnya disana, ia mengacak-acak rambutku.
*************************
Aku menggapai ponselku dengan mata masih sedikit terpejam. Alarmnya sudah kuatur jam enam pagi, berarti ini waktunya aku bangun. Aku menyingkirkan selimutku dan menuju ke kamar mandi dengan semangat yang sulit kupahami. Jangankan mandi di pagi hari saat akhir pekan, biasanya aku bahkan enggan meninggalkan tempat tidurku. Bergegas aku menyelesaikan mandi dan bersiap-siap untuk menjalani hari ini, bersama Indra.
Jarum jam baru menunjukan pukul tujuh, masih ada tiga jam untuk menunggu Indra menjemputku. Yah, Indra baru akan menjemputku pukul sepuluh nanti. Aku menghabiskan roti tawar dan selai, menyambar tas yang sudah kusiapkan setelah meminum habis segelas susu. Aku memutuskan untuk datang ke apartemen Indra.
"Hai...!" Ucapku riang saat Indra membuka pintu apartemennya.
Indra tidak membalas sapaanku, matanya menoleh jam dinding.
"Apa jamku mati?" Tanyanya dengan wajah yang terlihat lusuh, jelas ia pasti baru bangun.
"Tidak, aku hanya datang sedikit lebih awal. Boleh aku masuk?"
Indra meninggalkan pintu dan merebahkan badannya di sofa, sementara aku langsung berjalan ke dapur.
"Kamu mau apa di dapurku?" Tanya Indra tanpa memandangku.
"Aku membelikanmu jus. Ini pasti akan baik untukmu." Ucapku sambil menuang jus kemasan kedalam gelas.
"Seharusnya kamu meralat kata-katamu menjadi, aku membuatkanmu jus. Apa membuat jus saja kamu tidak bisa? Payah."
"Hei, kamu bahkan mengejekku saat matamu benar-benar terbuka. Itu cara mengawali hari yang buruk!" Aku memasukan sisa jus kedalam lemari es.
Indra mendudukan dirinya di sofa, aku menghampirinya dan menyerahkan gelas berisi jus ke tangannya.
"Boleh aku tidur sejam lagi? Ini baru jam delapan." Tanya Indra setelah menghabiskan jus yang kuberikan.
"Kamu benar-benar mau meninggalkan tamumu tidur? Rasakan ini!" Aku memukul Indra dengan bantal, Indra menghindar tapi aku terus berusaha melakukannya. Indra memegang pergelangan tanganku.
"Hei, apa bagusnya mengawali hari dengan memukuli orang?" Indra membalikan ucapanku.
Aku mengerucutkan bibirku, "Kamu ini benar-benar menyebalkan. Tidak bisakah kamu lebih sopan kepada tamu cantikmu ini?"
"Hei Nona tamu, sejak kapan orang bertamu sepagi ini?" Indra melangkah ke kamarnya.
"Kamu mau kemana?" Aku bertanya kesal.
"Mandi." Jawabnya singkat.
"Bagus, hari ini kamu harus menjadi sangat tampan untukku."
"Aku ini sudah tampan sejak masih di kandungan ibuku." Indra sedikit berteriak dari kamarnya.
Aku baru saja ingin meletakkan gelas kosong ke wastafel, tapi langkahku terhenti. Perhatianku tertuju pada salah satu meja yang berada di ruangan itu, meja yang kemarin kulihat penuh foto-foto Indra dan Gatha. Meja itu masih tetap angkuh berdiri disana, tapi permukaannya kosong. Kuletakkan lagi gelas kosong itu diatas meja dan menghampiri meja yang sedang mencuri perhatianku itu. Sebuah kardus kecil terletak tepat dibawahnya. Perlahan tanganku membuka kardus itu, foto-foto Indra dan Gatha, bahkan masih lengkap dengan bingkainya kini tersimpan rapi disana. Aku menelan ludah dan kembali menutupnya. Aku kembali terduduk di sofa, pandanganku kosong. Tiba-tiba aku memikirkan Gatha. Gatha dan Azvin. Aku kembali mengecek ponselku, Azvin sama sekali tidak menghubungiku. Apa Singapura telah membuatnya benar-benar melupakanku?
Indra keluar dari kamarnya sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah, ia menatapku sejenak. Aku memandangnya, entah kenapa aku terus memandangnya.
"Kamu kenapa?" Indra terlihat heran melihat perubahan sikapku yang sebelumnya begitu bersemangat dan ceria.
"Apa kamu tidak berpikir kalau Gatha masih mencintaimu?" Tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Indra lebih dulu.
Indra termangu sejenak, ia semakin heran mendengar pertanyaanku. "Kenapa aku harus memikirkan seperti itu?"
"Kamu menyimpan foto-fotomu bersama Gatha didalam kardus? Kenapa kamu memindahkannya?"
Indra menatap meja yang menjadi tempatnya meletakkan foto-foto itu untuk beberapa saat dan kemudian mengalihkan pandangannya ke mataku. "Aku melakukannya karena tidak ingin membuatmu terluka. Kamu sedang mencintaiku saat ini dan aku tidak ingin orang yang sedang mencintaiku saat ini terluka hanya karena gambar dan kenangan masa laluku yang seharusnya kulupakan. Aku tidak ingin kamu terluka."
Entah mengapa air mataku mentes begitu saja.
"Apa kamu hanya melakukannya karena itu? Karena kamu tau aku mencintaimu dan tidak ingin aku terluka."
Indra menyeka pipiku."Lebih tepatnya karena aku ingin melupakan itu. Saat ini kamu bersamaku, aku ingin melewati semuanya denganmu tanpa harus merasa hidup dalam kenangan. Aku sama sekali tidak ingin membuatmu terluka bahkan sekalipun itu hanya dengan gambar."
Aku menatap Indra dalam-dalam, entah kenapa aku semakin mencintainya.
"Aku pikir kamu hanya sedang kasihan kepadaku."
Indra tersenyum melihatku menyeka sisa air mata seperti anak kecil. "Mungkin kamu perlu merendam otakmu lebih lama sebelum kamu mencucinya. Berhenti berpikir buruk tentangku." Indra menjepit hidungku dengan kedua jarinya.
"Apa kamu sudah sarapan?" Tanya Indra sambil mengoleskan selai di roti tawarnya.
"Sudah."
"Sarapan apa?"
"Roti dan segelas susu. Sudahlah, kamu tidak usah bertingkah seperti ahli gizi."
"Aku kan memang mengerti masalah gizi lebih baik darimu."
Aku merengut sebal dan tidak menanggapi gurauan Indra, tanganku sudah asyik membuka-buka majalah otomotif yang tertumpuk di bawah meja. Indra duduk tepat disampingku dengan membawa piring berisi tiga tumpukan roti.
"Kamu benar-benar menghabiskan ini untuk sarapan?"
"Kenapa? Nafsu makanmu sendiri begitu besar. Kenapa kamu heran dengan orang yang banyak makan?"
"Tapi aku tidak makan sebanyak itu saat sarapan."
"Benarkah? Aku tidak yakin."
Aku mendengus kesal.
Indra asyik menonton berita sedangkan aku masih membaca-baca majalah otomotifnya.
Bel pintu berbunyi, Indra beranjak membuka pintu. Aku merapikan tumpukan majalah yang baru saja kubaca.
"Haiii...." Sura Feby langsung menyapa kami saat Indra membuka pintu.
Nathan menatapku. "Hai, Zy.... sudah lama disini? Kukira kemarin Indra mengatakan ia yang akan menjemputmu."
"Mungkin Zicha terlalu merindukan Indra." Feby mengerlingkan matanya ke arahku.
Natha tersenyum penuh arti ke arahku.
"Ada roti, boleh kumakan?" Ricky bahkkan bertanya setelah gigitan pertamanya.
"Zy, aku ada sesuatu untukmu." Nathan menyodorkan tas kotak kepadaku.
"Apa ini?" Aku bertanya dengan sedikit tidak mengerti.
"Buka saja." Feby mengganti channel televisi.
"Apa kamu berulang tahun hari ini, Zy?" Tanya Celia polos.
Aku mengangkat bahu menanggapi pertanyaan Celia. Indra melihat kotak dari Nathan dengan wajah penasaran. Begitu juga aku, Ricky dan Celia.
"Apa ini?" Aku semakin tidak mengerti setelah melihat isi bungkusan yang diberikan Nathan.
Indra mendekat ke arahku, menatap hadiah dari Nathan dan kemudian memandang Nathan dengan tatapan yang artinya sama dengan tatapanku.
Celia berdiri di sampingku, ia juga benar-benar tidak mengerti apa maksud Nathan memberikan hadiah itu.
"Nathan, kenapa kamu memberikan Zicha lukisan?"
Lukisan sketsa dua orang yang sedang berpelukan.
Feby tersenyum kecil, matanya memberi isyaarat kepada Nathan untuk menjelaskan.
"Oke, maaf sebelumnya." Nathan terdiam sesaat, "Kemarin malam saat menginap, aku melihat kalian berpelukan dan entah kenapa aku jadi ingin melukisnya."
Aku mendesah, memandang Nathan dengan pandangan tidak percaya, "Kalian mengintip?"
Ricky bangkit dari sofa dan merebut lukisan yang masih ada di tanganku.
"Hai laki-laki, memeluk pacar sahabat itu tidak baik." Ricky menyikut lengan Indra yang berdiri mematung.
"Zy, kenapa kalian berpelukan?" Celia menatapku meminta penjelasan.
Suasana hening, aku benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan Celia. Badanku terasa benar-benar lemas hingga seperti ingin jatuh. Indra menggenggam tanganku seperti ingin memberi kekuatan.
"Oke, aku mengerti. Maaf untuk pertanyaanku. Cinta itu datang begitu saja, kita sama sekali tidak punya kuasa untuk mengaturnya, kan?" Semua yang ada di ruangan itu menatap Celia bersamaan, benar-benar tidak menduga kalimat itu akan keluar dari mulut seorang Celia.
Celia memeluk bahuku, "Zy, Indra salah satu sahabat kami. Aku hanya tidak ingin siapapun melukai salah satu dari kami. Aku paham dan kalian berdua pasti tau apa yang terbaik."
Air mataku menetes, Celia tersenyum menghiburku.
"Tidak ada yang salah dengan cinta, kalian pasangan yang serasi." Nathan mengamati lukisannya sendiri.
"Jujur aku sama sekali tidak memahami apa yang terjadi saat ini. Aku juga tidak ingin menghakimi siapapun. Aku mengenal Indra sejak lama dan aku tau kalian sama-sama terlihat bahagia saat bersama."
Celia menepuk pundakku, mencoba menyuruhku tersenyum. Aku balas memeluknya begitu saja.
Indra merebut lukisan dari tangan Nathan. Jujur aku sempat melihat matanya seperti menahan kemarahan saat ia mendengar Nathan memberikan penjelasan tentang lukisan yang diberikan kepadaku.
Indra menghampiriku, "Lihat, bukankah aku lebih tampan dari ini?" Indra menunjuk gambar laki-laki di dalam lukisan.
Aku tersenyum kecil, Indra menatapku beberapa saat. Ada kelegaan yang kulihat dimatanya, entah karena apa.
"Nathan, apa kamu tidak merasa sudah menggambar perempuan yang terlalu cantik disini? Ini benar-benar berlebihan." Indra melemparkan lukisan itu kearah Nathan yang sedang duduk di sofa.
Indra mencium rambutku.
"Tidak ada yang perlu dipertanyakan, aku tidak merebut siapapun dari siapapun. Aku menyayangi dia sama seperti dia menyayangiku, itu jauh lebih dari cukup untuk menjalin sebuah hubungan."
Aku masih diam saat melihat mereka semua tersenyum. Sekali lagi, Feby mengerlingkan matanya kepadaku.
"Hai...!" Ucapku riang saat Indra membuka pintu apartemennya.
Indra tidak membalas sapaanku, matanya menoleh jam dinding.
"Apa jamku mati?" Tanyanya dengan wajah yang terlihat lusuh, jelas ia pasti baru bangun.
"Tidak, aku hanya datang sedikit lebih awal. Boleh aku masuk?"
Indra meninggalkan pintu dan merebahkan badannya di sofa, sementara aku langsung berjalan ke dapur.
"Kamu mau apa di dapurku?" Tanya Indra tanpa memandangku.
"Aku membelikanmu jus. Ini pasti akan baik untukmu." Ucapku sambil menuang jus kemasan kedalam gelas.
"Seharusnya kamu meralat kata-katamu menjadi, aku membuatkanmu jus. Apa membuat jus saja kamu tidak bisa? Payah."
"Hei, kamu bahkan mengejekku saat matamu benar-benar terbuka. Itu cara mengawali hari yang buruk!" Aku memasukan sisa jus kedalam lemari es.
Indra mendudukan dirinya di sofa, aku menghampirinya dan menyerahkan gelas berisi jus ke tangannya.
"Boleh aku tidur sejam lagi? Ini baru jam delapan." Tanya Indra setelah menghabiskan jus yang kuberikan.
"Kamu benar-benar mau meninggalkan tamumu tidur? Rasakan ini!" Aku memukul Indra dengan bantal, Indra menghindar tapi aku terus berusaha melakukannya. Indra memegang pergelangan tanganku.
"Hei, apa bagusnya mengawali hari dengan memukuli orang?" Indra membalikan ucapanku.
Aku mengerucutkan bibirku, "Kamu ini benar-benar menyebalkan. Tidak bisakah kamu lebih sopan kepada tamu cantikmu ini?"
"Hei Nona tamu, sejak kapan orang bertamu sepagi ini?" Indra melangkah ke kamarnya.
"Kamu mau kemana?" Aku bertanya kesal.
"Mandi." Jawabnya singkat.
"Bagus, hari ini kamu harus menjadi sangat tampan untukku."
"Aku ini sudah tampan sejak masih di kandungan ibuku." Indra sedikit berteriak dari kamarnya.
Aku baru saja ingin meletakkan gelas kosong ke wastafel, tapi langkahku terhenti. Perhatianku tertuju pada salah satu meja yang berada di ruangan itu, meja yang kemarin kulihat penuh foto-foto Indra dan Gatha. Meja itu masih tetap angkuh berdiri disana, tapi permukaannya kosong. Kuletakkan lagi gelas kosong itu diatas meja dan menghampiri meja yang sedang mencuri perhatianku itu. Sebuah kardus kecil terletak tepat dibawahnya. Perlahan tanganku membuka kardus itu, foto-foto Indra dan Gatha, bahkan masih lengkap dengan bingkainya kini tersimpan rapi disana. Aku menelan ludah dan kembali menutupnya. Aku kembali terduduk di sofa, pandanganku kosong. Tiba-tiba aku memikirkan Gatha. Gatha dan Azvin. Aku kembali mengecek ponselku, Azvin sama sekali tidak menghubungiku. Apa Singapura telah membuatnya benar-benar melupakanku?
Indra keluar dari kamarnya sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah, ia menatapku sejenak. Aku memandangnya, entah kenapa aku terus memandangnya.
"Kamu kenapa?" Indra terlihat heran melihat perubahan sikapku yang sebelumnya begitu bersemangat dan ceria.
"Apa kamu tidak berpikir kalau Gatha masih mencintaimu?" Tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Indra lebih dulu.
Indra termangu sejenak, ia semakin heran mendengar pertanyaanku. "Kenapa aku harus memikirkan seperti itu?"
"Kamu menyimpan foto-fotomu bersama Gatha didalam kardus? Kenapa kamu memindahkannya?"
Indra menatap meja yang menjadi tempatnya meletakkan foto-foto itu untuk beberapa saat dan kemudian mengalihkan pandangannya ke mataku. "Aku melakukannya karena tidak ingin membuatmu terluka. Kamu sedang mencintaiku saat ini dan aku tidak ingin orang yang sedang mencintaiku saat ini terluka hanya karena gambar dan kenangan masa laluku yang seharusnya kulupakan. Aku tidak ingin kamu terluka."
Entah mengapa air mataku mentes begitu saja.
"Apa kamu hanya melakukannya karena itu? Karena kamu tau aku mencintaimu dan tidak ingin aku terluka."
Indra menyeka pipiku."Lebih tepatnya karena aku ingin melupakan itu. Saat ini kamu bersamaku, aku ingin melewati semuanya denganmu tanpa harus merasa hidup dalam kenangan. Aku sama sekali tidak ingin membuatmu terluka bahkan sekalipun itu hanya dengan gambar."
Aku menatap Indra dalam-dalam, entah kenapa aku semakin mencintainya.
"Aku pikir kamu hanya sedang kasihan kepadaku."
Indra tersenyum melihatku menyeka sisa air mata seperti anak kecil. "Mungkin kamu perlu merendam otakmu lebih lama sebelum kamu mencucinya. Berhenti berpikir buruk tentangku." Indra menjepit hidungku dengan kedua jarinya.
"Apa kamu sudah sarapan?" Tanya Indra sambil mengoleskan selai di roti tawarnya.
"Sudah."
"Sarapan apa?"
"Roti dan segelas susu. Sudahlah, kamu tidak usah bertingkah seperti ahli gizi."
"Aku kan memang mengerti masalah gizi lebih baik darimu."
Aku merengut sebal dan tidak menanggapi gurauan Indra, tanganku sudah asyik membuka-buka majalah otomotif yang tertumpuk di bawah meja. Indra duduk tepat disampingku dengan membawa piring berisi tiga tumpukan roti.
"Kamu benar-benar menghabiskan ini untuk sarapan?"
"Kenapa? Nafsu makanmu sendiri begitu besar. Kenapa kamu heran dengan orang yang banyak makan?"
"Tapi aku tidak makan sebanyak itu saat sarapan."
"Benarkah? Aku tidak yakin."
Aku mendengus kesal.
Indra asyik menonton berita sedangkan aku masih membaca-baca majalah otomotifnya.
Bel pintu berbunyi, Indra beranjak membuka pintu. Aku merapikan tumpukan majalah yang baru saja kubaca.
"Haiii...." Sura Feby langsung menyapa kami saat Indra membuka pintu.
Nathan menatapku. "Hai, Zy.... sudah lama disini? Kukira kemarin Indra mengatakan ia yang akan menjemputmu."
"Mungkin Zicha terlalu merindukan Indra." Feby mengerlingkan matanya ke arahku.
Natha tersenyum penuh arti ke arahku.
"Ada roti, boleh kumakan?" Ricky bahkkan bertanya setelah gigitan pertamanya.
"Zy, aku ada sesuatu untukmu." Nathan menyodorkan tas kotak kepadaku.
"Apa ini?" Aku bertanya dengan sedikit tidak mengerti.
"Buka saja." Feby mengganti channel televisi.
"Apa kamu berulang tahun hari ini, Zy?" Tanya Celia polos.
Aku mengangkat bahu menanggapi pertanyaan Celia. Indra melihat kotak dari Nathan dengan wajah penasaran. Begitu juga aku, Ricky dan Celia.
"Apa ini?" Aku semakin tidak mengerti setelah melihat isi bungkusan yang diberikan Nathan.
Indra mendekat ke arahku, menatap hadiah dari Nathan dan kemudian memandang Nathan dengan tatapan yang artinya sama dengan tatapanku.
Celia berdiri di sampingku, ia juga benar-benar tidak mengerti apa maksud Nathan memberikan hadiah itu.
"Nathan, kenapa kamu memberikan Zicha lukisan?"
Lukisan sketsa dua orang yang sedang berpelukan.
Feby tersenyum kecil, matanya memberi isyaarat kepada Nathan untuk menjelaskan.
"Oke, maaf sebelumnya." Nathan terdiam sesaat, "Kemarin malam saat menginap, aku melihat kalian berpelukan dan entah kenapa aku jadi ingin melukisnya."
Aku mendesah, memandang Nathan dengan pandangan tidak percaya, "Kalian mengintip?"
Ricky bangkit dari sofa dan merebut lukisan yang masih ada di tanganku.
"Hai laki-laki, memeluk pacar sahabat itu tidak baik." Ricky menyikut lengan Indra yang berdiri mematung.
"Zy, kenapa kalian berpelukan?" Celia menatapku meminta penjelasan.
Suasana hening, aku benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan Celia. Badanku terasa benar-benar lemas hingga seperti ingin jatuh. Indra menggenggam tanganku seperti ingin memberi kekuatan.
"Oke, aku mengerti. Maaf untuk pertanyaanku. Cinta itu datang begitu saja, kita sama sekali tidak punya kuasa untuk mengaturnya, kan?" Semua yang ada di ruangan itu menatap Celia bersamaan, benar-benar tidak menduga kalimat itu akan keluar dari mulut seorang Celia.
Celia memeluk bahuku, "Zy, Indra salah satu sahabat kami. Aku hanya tidak ingin siapapun melukai salah satu dari kami. Aku paham dan kalian berdua pasti tau apa yang terbaik."
Air mataku menetes, Celia tersenyum menghiburku.
"Tidak ada yang salah dengan cinta, kalian pasangan yang serasi." Nathan mengamati lukisannya sendiri.
"Jujur aku sama sekali tidak memahami apa yang terjadi saat ini. Aku juga tidak ingin menghakimi siapapun. Aku mengenal Indra sejak lama dan aku tau kalian sama-sama terlihat bahagia saat bersama."
Celia menepuk pundakku, mencoba menyuruhku tersenyum. Aku balas memeluknya begitu saja.
Indra merebut lukisan dari tangan Nathan. Jujur aku sempat melihat matanya seperti menahan kemarahan saat ia mendengar Nathan memberikan penjelasan tentang lukisan yang diberikan kepadaku.
Indra menghampiriku, "Lihat, bukankah aku lebih tampan dari ini?" Indra menunjuk gambar laki-laki di dalam lukisan.
Aku tersenyum kecil, Indra menatapku beberapa saat. Ada kelegaan yang kulihat dimatanya, entah karena apa.
"Nathan, apa kamu tidak merasa sudah menggambar perempuan yang terlalu cantik disini? Ini benar-benar berlebihan." Indra melemparkan lukisan itu kearah Nathan yang sedang duduk di sofa.
Indra mencium rambutku.
"Tidak ada yang perlu dipertanyakan, aku tidak merebut siapapun dari siapapun. Aku menyayangi dia sama seperti dia menyayangiku, itu jauh lebih dari cukup untuk menjalin sebuah hubungan."
Aku masih diam saat melihat mereka semua tersenyum. Sekali lagi, Feby mengerlingkan matanya kepadaku.
0 respons:
Post a Comment