Akhirnya kami sampai juga
dirumah Assyifa, rumah yang teramat jauh berbeda dengan rumahku.
Rumahnya sederhana sekali tapi tetap terlihat terawatt dan bersih.
Beberapa pot berisi tanaman hias juga menghiasi terasnya. Rumah yang
mencerminkan pemiliknya, anggun.
“Makasih ya udah mau anter aku pulang.” Wajah Assyifa menunduk menatap tanah yang diinjaknya. Entah karena masih takut atau ia masih sungkan denganku. Aku sendiri juga merasa salah tingkah, apalagi jika ingat kejadian beberapa waktu lalu. rasanya aku malu sendiri, sikapku benar-benar kekanak-kanakan waktu itu. marah di tepi jalan raya dan sempat menjadi perhatian beberapa orang yang lewat.
“Oke. Sama-sama….” Kalimatku menggantung, aku bingung harus bagaimana memulai ucapan maafku kepadanya.
“Syifa….!!” Teriaku tiba-tiba. Entah saraf otak mana yang menyuruhku berteriak seperti itu, syifa tertegun mendengarku menyebut namanya. Ia berpaling, kembali berjalan menghampiriku yang masih berdiri di sebelah motor kesayanganku.
“Darimana kamu tahu namaku?” tanyanya dengan tatapan yang sulit kudefinisikan apa artinya.
“Mmm….dari….dari…bokap gw.” Aku tersenyum kikuk, tapi merasa lega juga. Setidaknya kebohonganku cukup masuk akal.
“Oh…”
Aku tersenyum salah tingkah sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Ada apa manggil aku lagi?”
“Mmmm….mmmm…..gw…gw…gw mau minta maaf.” Aku mendengus, dengusan kesal karena sulitnya aku mengucapkan itu dan juga sekaligus kelegaanku karena akhirnya berhasil mengucapkan kata yang sulit itu.
Assyifa tersenyum “Oh, itu… udah aku lupain kok.”
“Oke…makasihhh.” Akhirnya aku kembali mampu mengendalikan diriku sendiri. Asyyifa tersenyum lagi, entah karena aneh melihat tingkahku atau apa. Senyumnya manis…
Ponselku berbunyi
Angga
Calling…
Aku segera memencet tombol “Reply”
“Jemput gw setelah lu nganter Assyifa.” Angga to the point, belum sempat aku menjawab ucapannya, ia sudah menutup teleponnya. Hmm…anak itu ternyata tahu apa yang aku lakukan, padahal tadi di parkiran aku sama sekali tak tahu ada dimana orang itu.
Aku menatap Assyifa, “Kalo gitu… gw pulang dulu ya.”
“Iya, makasih ya udah mau anter aku. Hati-hati di jalan.”
Entah kenapa aku berdebar-debar mendengar ucapan “hati-hati di jalan” yang baru saja diucapkan Assyifa. Ada getaran yang tidak bisa kumaknai. Entah apa…
********************
“Seneng ya?” Angga menyindirku setelah sampai di rumahnya. Malam ini aku menginap lagi di rumah Angga. Entah mengapa perasaanku jauh lebih bahagia jika berada di rumahnya daripada saat dirumahku sendiri. Tapi sepertinya mala mini bukan Cuma rumah Angga yang mambuatku bahagia. Assyifa… dia? Mungkin…
“Assyifa cantik juga ya….” Gumamku sambil memandangi langit-langit kamar Angga.
Angga melempar bantal tidurnya ke arahku, aku tersenyum dan meletakan bantal itu sebagai alas kepalaku.
“Dia gebetan bokap lu!” Angga ngakak…dan aku hanya tersenyum.
“Kalo gitu, gw saingan ama bokap gw?” aku bertanya sendiri…
Angga mesem…
“Dit, lu suka sama Assyifa?” tanya Angga to the point.
Aku diam sejenak lalu kemudian mengangkat bahu “Entahlah…gw belum berani bikin kesimpulan.”
Aku masih gamang dengan diriku sendiri, juga dengan hatiku. Aku belum terlalu mengenal Assyifa dan walaupun debar aneh itu ada, aku belum berani memastikan itu perasaan suka atau.,. yang lain.
“Gw cuma mau ngingetin lu, lu masih punya Dhea di Bandung.” Ucap Angga sambil menunjukan foto kami bertiga di laptopnya.
Dhea??
Shit!! Masalah keluargaku yang akhir-akhir ini membuat kepalaku seperti mau meledak ternyata sudah benar-benar membuatku lupa akan sosok Dhea. Pacarku yang kuliah di Bandung itu. Dhea…kemana saja dia? Ia bahkan mulai jarang menghubungiku. Beberapa kali aku sempat mengiriminya sms, tapi hanya sesekali di balasnya. Aku sudah hampir dua tahun ini menjalani hubunganku dengan Dhea. Satu tahun lalu kita masih bisa bersama karena SMA kita juga sama. Tapi Dhea lebih memilih kuliah di Bandung, sesuai dengan cita-citanya. Sejak itulah kita resmi menjalani hubungan jarak jauh. Awalnya sulit, kita yang selalu melakukan segalanya bersama tiba-tiba harus dipisahakan jarak. Tapi dengan berjalannya waktu, semuanya menjadi terasa mudah.
“Apa kabarnya Dhea yah?” tiba-tiba aku merasa kangen.
“Telepon donk…” jawab Angga santai, matanya masih asyik memandangi koleksi foto kami bertiga di Pantai Nusa Dua saat liburan semester pertama.
Aku mengambil ponselku dan segera menghubungi Dhea…nomornya tidak aktif.
“Gak aktif.” Aku kembali menghempaskan tubuhku di tempat tidur.
“Gak dicoba lagi?”
Aku menghela nafas, rasanya lelah juga hari ini “Mau gw nyoba seribu kali kalo masih belum aktif juga gak bakal gw bisa ngomong ama dia.”
Angga tersenyum, tapi bukan ke arahku. Ia tersenyum bersama laptopnya. Kali ini aku benar-benar khawatir dengan sahabatku itu.
“Assyifa anak kampus kita kan? Dia jurusan apa si?”
“Manajemen. Kenapa?” Angga memandangiku.
Tak ada jawaban, biarkan hanya aku dan Tuhan yang tahu apa yang akan aku lakukan.
********************
“Sob…lu ke kelas duluan aja ya….” Aku berlari meninggalkan Angga di pelataran parker.
“Woii….lu mau kemana???” Angga sedikit berteriak.
“Ada urusan…” aku juga bersuara sedikit keras. Barusan aku berlari dan kali ini aku sudah cukup jauh dari Angga.
FAKULTAS EKONOMI
Aku tak pernah ke fakultas ini sebelumnya, asing sekali rasanya. Aku terus menyusuri koridor kampus berharap secepatnya menemukan jurusan Manajemen. Entah kenapa, semalam tadi wajah Assyifa seperti bayangan yang menghantuiku, wajah cantik yang selalu nampak teduh dengan jilbab yang menutupi kepalanya, suaranya yang lembut, senyumnya yang manis dan bahkan aku juga mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi ketakutannya saat kita pertama kali bertemu. Cantik….
JURUSAN MANAJEMEN
Tulisan di papan itu membuatku girang. Akhirnya aku menemukan tempat ini, tempat dimana Assyifa pasti bisa kutemui. Tapi pertanyaanku berikutnya adalah “Di ruangan mana gw bisa nemuin Assyifa?” Entahlah…aku mulai menyesali ketololanku dan salah tingkahku semalam hingga tak sempat bertukar nomor ponsel dengan gadis jelita itu.
“Ya udah, ntar tanyain aja ama Syifa…dia pasti paham deh materi ini.” Salah seorang perempuan di gerombolan itu berbicara pada kawan lainnya
“Syifa udah berangkat?” tanya si perempuan lain.
“Biasanya si udah.” Perempuan itu memandangi jam tangannya.
“Kita kuliah di ruangan mana sih?” tanya si perempuan berkacamata itu.
“A2..” jawab si perempuan berjam tangan mewah itu.
Gerombolan perempuan itu masih terus membicarakan Syifa dan aku yakin yang mereka sebut Syifa adalah perempuan cantik berkerudung bernama Assyifa. Hah,,,terima kasih Tuhan… Kau sudah memberikanku indera pendengar yang cukup tajam.
RUANG A2
Kuarahkan mataku ke seluruh ruangan di Jurusan Manajemen. Ruangan itu ada di samping kananku, aku berlari kesana dan menatap ruangan yang masih kosong. Tak ada Assyifa, mungkin dia belum berangkat. Aku menunggu Assyifa di kursi depan ruangan itu. Hampir tiga jam, tapi aku sama sekali tidak melihat Assyifa. Aku mulai berpikir ada yang salah dengan pendengaranku. Assyifa tidak ada, lalu kemana dia?
Aku meninggalkan Kampus Ekonomi, menuju parkiran dan segera tancap gas menuju rumah Assyifa. Entah mengapa aku begitu cemas tak bisa melihat Syifa di kampusnya hari ini. pikiranku mulai bermacam-macam. Bayangan-bayangan buruk seketika terlintas di pikiranku. Aku benar-benar takut.
Ponsel di sakuku bergetar, tak kupedulikan, aku ingin segera sampai di rumah Assyifa. Sejenak getaran ponsel di sakuku tak kurasakan, tapi ia bergetar lagi. Aku mengurangi kecepatan motorku dan mengambil ponsel itu. Nomor rumahku…Tumben? Ada apa ini? aku mereject panggilan itu. pasti Bi Ijah yang menelepon. Entah untuk alasan apa, aku tidak peduli. Saat ini otakku sudah penuh karena Syifa. Aku masih mencemaskannya, benar-benar cemas.
Ponselku bergetar lagi, aku menyerah dan akhirnya menjawab telepon itu.
“Mas Adit…” suara Bi Ijah terdengar ketakutan.
“Ada apa, Bi?” aku masih menanggapi santai, aku juga sedang berusaha memfokuskan pikiranku ke jalanan.
“Ibu Mas…” Bi Ijah panik.
“Mama kenapa, Bi?” Aku mencoba bertanya sesantai mungkin, bukan karena aku tidak peduli apa yang sedang terjadi dengan Ibuku, aku hanya berharap suaraku yang santai juga bisa sedikit menenangkan Bi Ijah.
“Ibu dirumah sakit, Mas.”
Jawaban Bibi barusan membuatku mendadak mengerem motorku. Sebuah mobil dibelakangku juga ikut menghentikan mobilnya mendadak. Gerutuan kasar itu terdengar samar di telingaku. Tak ingin mendengar kecaman dari pengendara mobil lain, aku segera saja menepikan motorku.
“Mama kenapa, Bi?” aku mulai panik juga.
“Kecelakaan, Mas.” Bibi mulai terisak.
“Bibi udah telepon Papah?”
“Sudah Mas, tapi Bapak berangkat tadi pagi ke Kalimantan.”
Aku menarik nafas panjang, “Aku ke rumah sakit sekarang, Bi.”
Tanpa berpikir panjang aku segera memutar motorku menuju Rumah Sakit tempat Ibuku dirawat. Pikiranku makin panik, Assyifa dan Ibuka…lalu Ayahku. Aku tidak yakin ayahku akan segera kembali ke Jakarta, ia pasti sedang ada urusan bisnis di Kalimantan. Lagipula mengngingat pertengkaran yang hampir setiap hari itu, rasanya kecil kemungkinan Ayahku akan pulang hanya untuk sekedar melihat keadaan Ibu.
Jalanan macet yang baru saja kulewati tadi kini harus kembali kulalui. Aku berusaha mencari celah yang bisa kulalui dan secepatnya melihat keadaan Ibuku. Meskipun seringkali aku merasa jengkel karena Ibuku jarang sekali ada dirumah. Tapi kali ini aku benar-benar mengkhawatirkannya. Aku hanya bisa berdoa di sela-sela kecemasan dan kekhawatiranku. Berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada Ibuku. Bagaimanapun, aku masih membutuhkannya.
“Mama, tungguin Adit datang ya…” batinku.
Aku mempercepat laju motorku sambil berusaha menjaga konsentrasiku. Pikiranku benar-benar kacau.
Beberapa saat kemudian aku sampai di Rumah sakit tempat dimana Ibuku dirawat. Aku berlari menyusuri koridor Rumah Sakit. Bau anyir darah yang bercampur dengan aroma obat yang menusuk hidung, tangisan anak kecil yang takut akan jarum suntik dan perawat-perawat yang berlalu lalang tak sedikitpun kupedulikan. Langkah kakiku makin cepat, aku ingin segera melihat keadaan Ibuku. Hanya itu yang bisa membuatku berhenti merasa cemas.
Tepat di depan pintu ruangan UGD aku melihat Paman Munir, supir Ibuku. Ia nampak cemas dan mondar-mandir di ruangan itu. Aku menghampirinya…
“Paman,,,” Aku menyapa laki-laki paruh baya itu. Sejak dulu aku memang selalu memanggilnya begitu. Paman Munir, suami Bi Ijah itu sudah sejak lama menjadi supir di keluarga kami.
“Mas Adit…” aku menangkap ada ketakutan dari ucapan Paman Munir, aku memegang pundaknya agar ia tak merasa takut.
Kami duduk bersebelahan, Paman Munir tak berkata apa-apa, ia hanya duduk memndunduk menatap lantai keramik putih yang diinjaknya. Sesekali mulutnya namapak bergumam, mungkin ia sedang mendoakan Ibuku.
“Apa Paman ga nganterin Mama pergi?” tanyaku akhirnya. Ibuku tak pernah mengendarai mobilnya sendiri, ia selalu minta diantar oleh Paman Munir.
“Ndak, Mas.. tadi pagi ibu bilang mau berangkat sendiri saja katanya.”
“Oh…” aku mengangguk.
Hening lagi, kami larut dalam kecemasan masing-masing.
“Paman, bagaimana Mama bisa sampai kecelakaan?” tanyaku yang mulai bosan dengan suasana sepi ini.
“Mobil Ibu nabrak pembatas jalan, Mas…”
Aku menghela nafas panjang, kecelakaan tunggal. Apa ini karena beban pikiran Ibuku yang selalu bertengkar dengan Ayah?
Ayah…aku harap dia akan pulang. Aku harap dia akan ada disini menemani Ibuku.
“Bibi belum kesini ya, Paman?”
“Belum, Mas. Tadi Paman baru ngabari Bibi lewat telepon.
Aku menyandarkan punggungku di kursi ruang tunggu, kecemasanku belum hilang sama sekali. Aku terdiam dan…kembali mengingat Assyifa.
“Paman udah makan?” Wajah Paman Munir yang terlihat pucat juga membuatku merasa khawatir.
“Belum, Mas. Kenapa?”
Aku tersenyum, “Gak apa-apa. Paman tunggu disini ya.”
Aku berjalan menuju kantin rumah sakit ini, berniat membeli nasi bungkus untuk Paman Munir. Langkah kakiku melewati beberapa ruang pemeriksaan dan tiba-tiba saja mataku tertuju pada seseorang.
Seseorang yang ku kenal, seseorang yang membuatku cemas seharian ini.
Assyifa…
Aku memandangi sosok perempuan itu, hatiku ragu antara harus mendekat atau tidak. Tapi tiba-tiba saja kakiku seperti mendekat sendiri ke arahnya.
“Syifa…” aku menggumam pelan.
Gadis berjilbab itu menoleh, gumaman yang tadi kukira hanya suara hatiku ternyata benar-benar keluar dari bibirku.
Ia tersenyum dan aku masih mematung tanpa tahu apa yang harus ku lakukan. Tadi aku benar-benar hampir gila memikirkannya, tapi saat ini aku seperti kehilangan seluruh kesadaranku.
“Adit..” bibirnya tersenyum memanggil namaku, aku tergagap dari lamunanku.
Aku membalas senyumnya, walaupun dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku katakan.
“Syifa, kamu sedang apa disini?” tanyaku canggung, dan beberapa saat kemudian baru aku sadari betapa tololnya pertanyaanku.
Belum sempat Syifa menjawab pertanyaanku, Dokter sudah memanggil namanya untuk segera masuk ke ruang pemeriksaan…
Bersambung…..
“Makasih ya udah mau anter aku pulang.” Wajah Assyifa menunduk menatap tanah yang diinjaknya. Entah karena masih takut atau ia masih sungkan denganku. Aku sendiri juga merasa salah tingkah, apalagi jika ingat kejadian beberapa waktu lalu. rasanya aku malu sendiri, sikapku benar-benar kekanak-kanakan waktu itu. marah di tepi jalan raya dan sempat menjadi perhatian beberapa orang yang lewat.
“Oke. Sama-sama….” Kalimatku menggantung, aku bingung harus bagaimana memulai ucapan maafku kepadanya.
“Syifa….!!” Teriaku tiba-tiba. Entah saraf otak mana yang menyuruhku berteriak seperti itu, syifa tertegun mendengarku menyebut namanya. Ia berpaling, kembali berjalan menghampiriku yang masih berdiri di sebelah motor kesayanganku.
“Darimana kamu tahu namaku?” tanyanya dengan tatapan yang sulit kudefinisikan apa artinya.
“Mmm….dari….dari…bokap gw.” Aku tersenyum kikuk, tapi merasa lega juga. Setidaknya kebohonganku cukup masuk akal.
“Oh…”
Aku tersenyum salah tingkah sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Ada apa manggil aku lagi?”
“Mmmm….mmmm…..gw…gw…gw mau minta maaf.” Aku mendengus, dengusan kesal karena sulitnya aku mengucapkan itu dan juga sekaligus kelegaanku karena akhirnya berhasil mengucapkan kata yang sulit itu.
Assyifa tersenyum “Oh, itu… udah aku lupain kok.”
“Oke…makasihhh.” Akhirnya aku kembali mampu mengendalikan diriku sendiri. Asyyifa tersenyum lagi, entah karena aneh melihat tingkahku atau apa. Senyumnya manis…
Ponselku berbunyi
Angga
Calling…
Aku segera memencet tombol “Reply”
“Jemput gw setelah lu nganter Assyifa.” Angga to the point, belum sempat aku menjawab ucapannya, ia sudah menutup teleponnya. Hmm…anak itu ternyata tahu apa yang aku lakukan, padahal tadi di parkiran aku sama sekali tak tahu ada dimana orang itu.
Aku menatap Assyifa, “Kalo gitu… gw pulang dulu ya.”
“Iya, makasih ya udah mau anter aku. Hati-hati di jalan.”
Entah kenapa aku berdebar-debar mendengar ucapan “hati-hati di jalan” yang baru saja diucapkan Assyifa. Ada getaran yang tidak bisa kumaknai. Entah apa…
********************
“Seneng ya?” Angga menyindirku setelah sampai di rumahnya. Malam ini aku menginap lagi di rumah Angga. Entah mengapa perasaanku jauh lebih bahagia jika berada di rumahnya daripada saat dirumahku sendiri. Tapi sepertinya mala mini bukan Cuma rumah Angga yang mambuatku bahagia. Assyifa… dia? Mungkin…
“Assyifa cantik juga ya….” Gumamku sambil memandangi langit-langit kamar Angga.
Angga melempar bantal tidurnya ke arahku, aku tersenyum dan meletakan bantal itu sebagai alas kepalaku.
“Dia gebetan bokap lu!” Angga ngakak…dan aku hanya tersenyum.
“Kalo gitu, gw saingan ama bokap gw?” aku bertanya sendiri…
Angga mesem…
“Dit, lu suka sama Assyifa?” tanya Angga to the point.
Aku diam sejenak lalu kemudian mengangkat bahu “Entahlah…gw belum berani bikin kesimpulan.”
Aku masih gamang dengan diriku sendiri, juga dengan hatiku. Aku belum terlalu mengenal Assyifa dan walaupun debar aneh itu ada, aku belum berani memastikan itu perasaan suka atau.,. yang lain.
“Gw cuma mau ngingetin lu, lu masih punya Dhea di Bandung.” Ucap Angga sambil menunjukan foto kami bertiga di laptopnya.
Dhea??
Shit!! Masalah keluargaku yang akhir-akhir ini membuat kepalaku seperti mau meledak ternyata sudah benar-benar membuatku lupa akan sosok Dhea. Pacarku yang kuliah di Bandung itu. Dhea…kemana saja dia? Ia bahkan mulai jarang menghubungiku. Beberapa kali aku sempat mengiriminya sms, tapi hanya sesekali di balasnya. Aku sudah hampir dua tahun ini menjalani hubunganku dengan Dhea. Satu tahun lalu kita masih bisa bersama karena SMA kita juga sama. Tapi Dhea lebih memilih kuliah di Bandung, sesuai dengan cita-citanya. Sejak itulah kita resmi menjalani hubungan jarak jauh. Awalnya sulit, kita yang selalu melakukan segalanya bersama tiba-tiba harus dipisahakan jarak. Tapi dengan berjalannya waktu, semuanya menjadi terasa mudah.
“Apa kabarnya Dhea yah?” tiba-tiba aku merasa kangen.
“Telepon donk…” jawab Angga santai, matanya masih asyik memandangi koleksi foto kami bertiga di Pantai Nusa Dua saat liburan semester pertama.
Aku mengambil ponselku dan segera menghubungi Dhea…nomornya tidak aktif.
“Gak aktif.” Aku kembali menghempaskan tubuhku di tempat tidur.
“Gak dicoba lagi?”
Aku menghela nafas, rasanya lelah juga hari ini “Mau gw nyoba seribu kali kalo masih belum aktif juga gak bakal gw bisa ngomong ama dia.”
Angga tersenyum, tapi bukan ke arahku. Ia tersenyum bersama laptopnya. Kali ini aku benar-benar khawatir dengan sahabatku itu.
“Assyifa anak kampus kita kan? Dia jurusan apa si?”
“Manajemen. Kenapa?” Angga memandangiku.
Tak ada jawaban, biarkan hanya aku dan Tuhan yang tahu apa yang akan aku lakukan.
********************
“Sob…lu ke kelas duluan aja ya….” Aku berlari meninggalkan Angga di pelataran parker.
“Woii….lu mau kemana???” Angga sedikit berteriak.
“Ada urusan…” aku juga bersuara sedikit keras. Barusan aku berlari dan kali ini aku sudah cukup jauh dari Angga.
FAKULTAS EKONOMI
Aku tak pernah ke fakultas ini sebelumnya, asing sekali rasanya. Aku terus menyusuri koridor kampus berharap secepatnya menemukan jurusan Manajemen. Entah kenapa, semalam tadi wajah Assyifa seperti bayangan yang menghantuiku, wajah cantik yang selalu nampak teduh dengan jilbab yang menutupi kepalanya, suaranya yang lembut, senyumnya yang manis dan bahkan aku juga mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi ketakutannya saat kita pertama kali bertemu. Cantik….
JURUSAN MANAJEMEN
Tulisan di papan itu membuatku girang. Akhirnya aku menemukan tempat ini, tempat dimana Assyifa pasti bisa kutemui. Tapi pertanyaanku berikutnya adalah “Di ruangan mana gw bisa nemuin Assyifa?” Entahlah…aku mulai menyesali ketololanku dan salah tingkahku semalam hingga tak sempat bertukar nomor ponsel dengan gadis jelita itu.
“Ya udah, ntar tanyain aja ama Syifa…dia pasti paham deh materi ini.” Salah seorang perempuan di gerombolan itu berbicara pada kawan lainnya
“Syifa udah berangkat?” tanya si perempuan lain.
“Biasanya si udah.” Perempuan itu memandangi jam tangannya.
“Kita kuliah di ruangan mana sih?” tanya si perempuan berkacamata itu.
“A2..” jawab si perempuan berjam tangan mewah itu.
Gerombolan perempuan itu masih terus membicarakan Syifa dan aku yakin yang mereka sebut Syifa adalah perempuan cantik berkerudung bernama Assyifa. Hah,,,terima kasih Tuhan… Kau sudah memberikanku indera pendengar yang cukup tajam.
RUANG A2
Kuarahkan mataku ke seluruh ruangan di Jurusan Manajemen. Ruangan itu ada di samping kananku, aku berlari kesana dan menatap ruangan yang masih kosong. Tak ada Assyifa, mungkin dia belum berangkat. Aku menunggu Assyifa di kursi depan ruangan itu. Hampir tiga jam, tapi aku sama sekali tidak melihat Assyifa. Aku mulai berpikir ada yang salah dengan pendengaranku. Assyifa tidak ada, lalu kemana dia?
Aku meninggalkan Kampus Ekonomi, menuju parkiran dan segera tancap gas menuju rumah Assyifa. Entah mengapa aku begitu cemas tak bisa melihat Syifa di kampusnya hari ini. pikiranku mulai bermacam-macam. Bayangan-bayangan buruk seketika terlintas di pikiranku. Aku benar-benar takut.
Ponsel di sakuku bergetar, tak kupedulikan, aku ingin segera sampai di rumah Assyifa. Sejenak getaran ponsel di sakuku tak kurasakan, tapi ia bergetar lagi. Aku mengurangi kecepatan motorku dan mengambil ponsel itu. Nomor rumahku…Tumben? Ada apa ini? aku mereject panggilan itu. pasti Bi Ijah yang menelepon. Entah untuk alasan apa, aku tidak peduli. Saat ini otakku sudah penuh karena Syifa. Aku masih mencemaskannya, benar-benar cemas.
Ponselku bergetar lagi, aku menyerah dan akhirnya menjawab telepon itu.
“Mas Adit…” suara Bi Ijah terdengar ketakutan.
“Ada apa, Bi?” aku masih menanggapi santai, aku juga sedang berusaha memfokuskan pikiranku ke jalanan.
“Ibu Mas…” Bi Ijah panik.
“Mama kenapa, Bi?” Aku mencoba bertanya sesantai mungkin, bukan karena aku tidak peduli apa yang sedang terjadi dengan Ibuku, aku hanya berharap suaraku yang santai juga bisa sedikit menenangkan Bi Ijah.
“Ibu dirumah sakit, Mas.”
Jawaban Bibi barusan membuatku mendadak mengerem motorku. Sebuah mobil dibelakangku juga ikut menghentikan mobilnya mendadak. Gerutuan kasar itu terdengar samar di telingaku. Tak ingin mendengar kecaman dari pengendara mobil lain, aku segera saja menepikan motorku.
“Mama kenapa, Bi?” aku mulai panik juga.
“Kecelakaan, Mas.” Bibi mulai terisak.
“Bibi udah telepon Papah?”
“Sudah Mas, tapi Bapak berangkat tadi pagi ke Kalimantan.”
Aku menarik nafas panjang, “Aku ke rumah sakit sekarang, Bi.”
Tanpa berpikir panjang aku segera memutar motorku menuju Rumah Sakit tempat Ibuku dirawat. Pikiranku makin panik, Assyifa dan Ibuka…lalu Ayahku. Aku tidak yakin ayahku akan segera kembali ke Jakarta, ia pasti sedang ada urusan bisnis di Kalimantan. Lagipula mengngingat pertengkaran yang hampir setiap hari itu, rasanya kecil kemungkinan Ayahku akan pulang hanya untuk sekedar melihat keadaan Ibu.
Jalanan macet yang baru saja kulewati tadi kini harus kembali kulalui. Aku berusaha mencari celah yang bisa kulalui dan secepatnya melihat keadaan Ibuku. Meskipun seringkali aku merasa jengkel karena Ibuku jarang sekali ada dirumah. Tapi kali ini aku benar-benar mengkhawatirkannya. Aku hanya bisa berdoa di sela-sela kecemasan dan kekhawatiranku. Berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada Ibuku. Bagaimanapun, aku masih membutuhkannya.
“Mama, tungguin Adit datang ya…” batinku.
Aku mempercepat laju motorku sambil berusaha menjaga konsentrasiku. Pikiranku benar-benar kacau.
Beberapa saat kemudian aku sampai di Rumah sakit tempat dimana Ibuku dirawat. Aku berlari menyusuri koridor Rumah Sakit. Bau anyir darah yang bercampur dengan aroma obat yang menusuk hidung, tangisan anak kecil yang takut akan jarum suntik dan perawat-perawat yang berlalu lalang tak sedikitpun kupedulikan. Langkah kakiku makin cepat, aku ingin segera melihat keadaan Ibuku. Hanya itu yang bisa membuatku berhenti merasa cemas.
Tepat di depan pintu ruangan UGD aku melihat Paman Munir, supir Ibuku. Ia nampak cemas dan mondar-mandir di ruangan itu. Aku menghampirinya…
“Paman,,,” Aku menyapa laki-laki paruh baya itu. Sejak dulu aku memang selalu memanggilnya begitu. Paman Munir, suami Bi Ijah itu sudah sejak lama menjadi supir di keluarga kami.
“Mas Adit…” aku menangkap ada ketakutan dari ucapan Paman Munir, aku memegang pundaknya agar ia tak merasa takut.
Kami duduk bersebelahan, Paman Munir tak berkata apa-apa, ia hanya duduk memndunduk menatap lantai keramik putih yang diinjaknya. Sesekali mulutnya namapak bergumam, mungkin ia sedang mendoakan Ibuku.
“Apa Paman ga nganterin Mama pergi?” tanyaku akhirnya. Ibuku tak pernah mengendarai mobilnya sendiri, ia selalu minta diantar oleh Paman Munir.
“Ndak, Mas.. tadi pagi ibu bilang mau berangkat sendiri saja katanya.”
“Oh…” aku mengangguk.
Hening lagi, kami larut dalam kecemasan masing-masing.
“Paman, bagaimana Mama bisa sampai kecelakaan?” tanyaku yang mulai bosan dengan suasana sepi ini.
“Mobil Ibu nabrak pembatas jalan, Mas…”
Aku menghela nafas panjang, kecelakaan tunggal. Apa ini karena beban pikiran Ibuku yang selalu bertengkar dengan Ayah?
Ayah…aku harap dia akan pulang. Aku harap dia akan ada disini menemani Ibuku.
“Bibi belum kesini ya, Paman?”
“Belum, Mas. Tadi Paman baru ngabari Bibi lewat telepon.
Aku menyandarkan punggungku di kursi ruang tunggu, kecemasanku belum hilang sama sekali. Aku terdiam dan…kembali mengingat Assyifa.
“Paman udah makan?” Wajah Paman Munir yang terlihat pucat juga membuatku merasa khawatir.
“Belum, Mas. Kenapa?”
Aku tersenyum, “Gak apa-apa. Paman tunggu disini ya.”
Aku berjalan menuju kantin rumah sakit ini, berniat membeli nasi bungkus untuk Paman Munir. Langkah kakiku melewati beberapa ruang pemeriksaan dan tiba-tiba saja mataku tertuju pada seseorang.
Seseorang yang ku kenal, seseorang yang membuatku cemas seharian ini.
Assyifa…
Aku memandangi sosok perempuan itu, hatiku ragu antara harus mendekat atau tidak. Tapi tiba-tiba saja kakiku seperti mendekat sendiri ke arahnya.
“Syifa…” aku menggumam pelan.
Gadis berjilbab itu menoleh, gumaman yang tadi kukira hanya suara hatiku ternyata benar-benar keluar dari bibirku.
Ia tersenyum dan aku masih mematung tanpa tahu apa yang harus ku lakukan. Tadi aku benar-benar hampir gila memikirkannya, tapi saat ini aku seperti kehilangan seluruh kesadaranku.
“Adit..” bibirnya tersenyum memanggil namaku, aku tergagap dari lamunanku.
Aku membalas senyumnya, walaupun dengan perasaan yang entah seperti apa harus ku katakan.
“Syifa, kamu sedang apa disini?” tanyaku canggung, dan beberapa saat kemudian baru aku sadari betapa tololnya pertanyaanku.
Belum sempat Syifa menjawab pertanyaanku, Dokter sudah memanggil namanya untuk segera masuk ke ruang pemeriksaan…
Bersambung…..
0 respons:
Post a Comment