Monday, October 6, 2014

Embun dari Hati Assyifa (Part. 3)

| |

Aku baru saja akan memberikan nasi bungkus yang memang kubelikan untuk Paman Munir, tapi mataku tertuju pada seorang perempuan yang ada di sampingnya.

Dhea…

Bagaimana ia bisa ada disini?

“Dhe…” kali ini aku sudah berdiri di sampingnya.

Perempuan dengan rambut sebahu itu tersenyum, aku memberikan nasi bungkus yang kubeli tadi pada Paman. Paman memandangiku, “Makan dulu, Paman.”

“Kok kamu bisa ada disini sih?” kali ini aku memandangi wajah Dhea. Jujur saja aku merasa terkejut dengan kehadirannya.

Dhea tersenyum sambil merapikan rambutnya.

“Kamu kaget?”

“Yah…sedikit.” Jawabku.

“Hanya…. sedikit?”

Aku tertawa dan mengelus rambutnya. Hal yang sudah lama kurindukan dari Dhea adalah keceriaannya. Itulah hal pertama yang dulu membuatku tertarik padanya. Ia pembohong yang baik, yang bisa tetap selalu terlihat bahagia meski sedang dirundung masalah sekalipun.

“Ada masalah?” aku mulai khawatir, sebelumnya Dhea tidak pernah seperti ini. ia pasti akan selalu memberitahuku setiap kali akan pulang.

Dhea mengangkat bahu, “Apa terlihat seperti itu?”

Aku tak menjawab, aku malah asyik memandanginya.

“Gak ada masalah apa-apa kok, aku sebenernya Cuma pengen bikin surprise aja buat kamu. Tapi tadi waktu aku kerumah kamu, Bi Ijah bilang Tante Nadia kecelakaan. Jadi aku langsung kesini. Sepertinya aku datang di waktu yang salah ya?”
Kutatap wajah Dhea, aku merindukan saat seperti ini. saat yang tidak bisa menjadi seperti dulu. saat-saat yang tidak bisa lagi kulakukan setiap hari seperti dulu.

“Gak pernah ada saat yang salah untuk kamu, Dhe. Selama cinta aku masih ada sama kamu, kapanpun adalah saat yang tepat untuk kamu datang ke aku.” Aku menatap tajam ke arahnya, pipi Dhea merona merah mendengar ucapanku. Ia tersenyum…

“Angga gak disini?” Dhea mengalihkan pembicaraan.

Angga….

Hari ini aku bahkan sama sekali tidak mengingatnya sedikitpun.

“Angga belum tahu.” Tanganku mulai sibuk menulis sms yang langsung kukirim untuk sahabat dekatku itu.
Dhea tertawa…

“Kenapa?”

“Ternyata banyak hal yang aku lewatkan saat aku di Bandung ya? Apa kalian memang tidak sedekat dulu lagi? Biasanya Angga selalu jadi orang pertama yang tahu tentang kamu, begitu juga kamu dengan dia.”

Ucapan Dhea membuatku tersenyum. Yah, Aku dan Angga memang sudah sangat dekat. Hampir tidak ada lagi rahasia diantara kami. Maklum saja, kami bersahabat sejak masih zaman biru-putih.

“Angga lagi kuliah.”

“Kamu sendiri gak kuliah?”

Aku gelagepan, pertanyaan Dhea benar-benar membuatku skak matt.

“Mmm…tadi,,,tadi,,,aku…ada urusan.” Aku tersenyum, senyum yang kupaksakan dan aku rasa, Dhea tahu itu.
Dokter keluar dari ruang UGD, aku yang masih sangat cemas dengan keadaan Ibuku langsung saja menghapirinya.
“Dok, bagaimana keadaan Ibu saya?” tanyaku tanpa basa-basi.

Dokter yang rambutnya sudah sedikit memutih itu memegang pundaku.

“Cuma luka ringan, Ibu baik-baik saja. Hanya sedikit shock, jadi masih belum sadar.”

Aku menghela nafas lega, Dokter itu tersenyum dan kemudian berlalu meninggalkan kami bertiga.
“Alhamdulillah…” Gumam Paman Munir lirih.

Tanpa menunggu lama, aku langsung saja masuk menemui Ibuku. Matanya masih terpejam, beberapa luka di tubuhnya juga sudah dibersihkan dan ditutup perban. Aku mengelus rambutnya, entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang juga merasakan sakit di tubuhku.

********************

“Lu baik banget, Dhe…traktir gw di restoran mahal gini. Lagi banyak duit lu?” Angga mencoba bergurau dengan Dhea. Malam ini Dhea memang mengajak makan malam di salah satu restoran mewah, dan ini tidak seperti Dhea yang biasanya.

“Ini gak gratis kok…” Dhea tersenyum.

Angga menatap Dhea, tak paham dengan apa maksud ucapan kekasih sahabatnya itu.

“Oke,,, ada beberapa pertanyaan yang harus lu jawab dan anggap aja, itu bayarannya. Deal?” Dhea mengulurkan tangannya, Angga langsung menyalaminya.

“Oke…asal pertanyaan itu bukan tentang pupuk, tanaman atau sejenisnya, gw masih bisa jawab.” Angga mengerlingkan matanya.

Dhea tersenyum, “Kita mulai pertanyaan pertama sekarang, bisa?”

Angga mengangkat bahu, “Kenapa gak? Apa sih yang mau lu tanyain?”

“Adit.”

Angga mengangguk “Oke.”

“Adit sudah sedikit berbeda ya, apa lu tahu kira-kira dia kenapa?” Dhea mengaduk-aduk milk-shake kesukaannya.

“Beda gimana maksud lu?” Angga tak paham arah pembicaraan Dhea.

“Apa dia nyembunyiin sesuatu dari lu?”

Angga terdiam, berpikir sejenak, “Kayaknya si gak ada, kenapa sih?”

“Gak apa-apa. Adit masih rajin kuliah kan?”

“Ya…rajin…” jawab Angga gamang. Ia memang sedikit berbohong. Adit memang terlihat agak malas beberapa hari terakhir ini.

“Kemarin lusa dia kuliah?”

“Mmm….gak sih, tapi dia bilang ada urusan.”

“Urusan apa?” Dhea mulai menyelidiki.

“Gw gak tahu, dia gak cerita tentang itu.”

Dhea mengangguk, lalu menyuapkan steak ke dalam mulutnya.

“Apa ada cewek yang lagi deket ama dia?”

Lagi-lagi Angga terdiam sambil berpikir sejenak “Gak ada kok…”

“Termasuk dengan cewek berjilbab?” Dhea tersenyum.

“Apaan sih, Dhe? Cewek berjilbab siapa?” Angga mulai merasa sebal dengan pertanyaan Dhea yang baginya teerlalu menyelidiki.

“Kemarin waktu di rumah sakit gw ngeliat Adit lagi saling pandang ama cewek beerjilbab. Tadinya gw pikir mereka gak kenal, tapi kayanya gw salah. Cewek itu bahkan juga tahu nama Adit.”

“Gw gak ngerti, cewek kaya apa?” Angga mulai tertarik.

“Cewek yang…dimata gw si biasa aja. Dia berjilbab lebar. Lu yakin gak kenal?”

“Cewek…berjilbab lebar,,,setau gw sih gak ada temen kita yang kayak gitu. Tapi…kemarin-kemarin Adit emang abis ada masalah ama cewek berjilbab. Udah kelar kok, gw si belum tau lagi perkembangannya. Bisa aja dia, tapi gw gak tahu juga. Lagian gak semua temen Adit gw kenal kan?”

“Siapa nama tuh cewek?” Dhea belum berhenti menyelidiki.

Angga meletakan sendok dan garpu di piring makanannya, ia lalu meminum minumannya. Angga menatap tajam ke arah Dhea.

“Dhe, apa untungnya si buat lu nyelidikin temen gw kayak gini? Kalo lu emang gak percaya ama dia, ya gak usah pacaran ama dia. Lagian kalo dia deket ama cewek lain, menurut gw sih wajar aja. Lu sendiri gak pernah perhatian ama dia. Sejak lu pindah ke Bandung, Adit sering ngerasa kehilangan lu. Sekarang gw tanya, seberapa tahu lu ama Adit? Keluarga Adit lagi sedikit berantakan saat ini, apa lu juga tahu itu? Lu gak usah nyalahin Adit kalau dia deket ama cewek lain karena Adit emang lagi butuh perhatian. Dan sayangnya perhatian itu udah ilang. Gak dari nyokapnya, gak dari bokapnya, juga gak dari lu!”

Dhea terdiam mendengar penjelasan Angga yang panjang lebar, seketika ia merasa sangat disudutkan dengan ucapan Angga barusan. Angga menyambar tasnya, dan berlalu meninggalkan Dhea tanpa kata.

********************

“Dit, apa Papah gak pulang?”

Aku tertegun mendengar pertanyaan Ibuku barusan, bingung harus menjawab apa. Ayahku memang belum pulang hingga saat ini. kecelakaan Ibuku dua hari yang lalu ternyata belum cukup menggerakan hatinya untuk segera kembali ke rumah. tapi pertanyaan Ibuku barusan seperti menjadi tanda jika ia masih mengharapkan datangnya Ayah. Aku berharap itu bukan hanya imajinasiku saja. Jika benar Ibuku masih mencintai Ayahku, maka masih ada kemungkinan aku kembali hidup sebagai anak dari keluarga normal yang damai.

“Mungkin kerjaannya belum kelar, Ma. Pasti Papah pulang kok. Adit telepon Papah ya, Ma?” aku meminta persetujuan. Ibuku diam, tapi aku tahu ia tak keberatan aku melakukannya.

“Iya, Dit. Kenapa?” tanya Papah saat menjawab teleponku. Aku langsung saja mengaktifkan loudspeakernya dan mendekatkan ponsel pada Ibuku.

“Pah, Mamah kangen nih…” aku mulai bergurau, walaupun sebenarnya htiku sedikit khawatir kalau gurauanku tidak mendapat respon yang baik dari Ayahku. Ibuku tersenyum mendengar ucapanku.

“Mamah? Gimana sekarang keadaannya, Dit?” tanya Papa. Aku senang, sepertinya Ayahku masih punya kepedulian untuk Ibuku.

“Ngobrol sendiri aja ya sama Mama…” tanganku makin mendekatkan ponsel itu kearah Ibuku.

Sesaat kemudian aku tersenyum bahagia melihat Ibuku yang sedang melepas rindu dengan Ayah.

********************

“Lagi hepi nih kayaknya?” Angga meledekku.

“Yah…nyokap gw udah damai ama bokap gw. Bokap gw juga balik, dan sekarang dia lagi nungguin nyokap di rumah sakit.” Aku tersenyum, Angga tidak salah, aku memang benar-benar sedang merasa bahagia saat ini.

“Waw,,,syukur deh kalo gitu.”

Aku mengangguk.

“Abis kuliah gw mau jalan ama Dhea. Yah, kemarin-kemarin gw sibuk ngurus nyokap di rumah sakit dan ntar gw mau jalan ama dia. Tiga hari lagi dia balik ke Bandung, lu ikut jalan bareng kita kan?”

“Gw gak bisa, Bos. Sorry. Lagian gw juga gak mau cuma jadi saksi hidup pacaran kalian.” Angga tertawa, aku juga.

“Assyifa gimana?” pertanyaan Angga yang tiba-tiba itu langsung membuat tawaku berhenti seketika.

“Entahlah…”

Angga tersenyum, “Jujur deh, lu sebenernya nyaman gak sih jalan ama Dhea?”

“Nyaman….tapi gak kaya dulu waktu dia masih deket ama gw.”

“Mau terus jalan ama Dhea.”

“Yah…” jawabku, meski aku sendiripun tidak yakin dengan apa yang baru saja kukatakan.

“Kemarin gw ketemu ama Dhea dan dia banyak tanya tentang lu.”

Aku memandang Angga dengan tatapan penuh pertanyaan.

“Tentang seseorang yang ketemu lu di rumah sakit. Hmm,,,katanya dia lihat lu lagi liat-liatan ama tuh cewek. Siapa tuh cewek?”

“Cewek?” aku malah balik bertanya, tak paham apa yang sedang dibicarakan Angga.

Angga mengangguk, “Iya cewek, cewek berjilbab katanya.”

Pikiranku kembali melayang beberapa hari yang lalu. cewek berjilbab?

Assyifa…

Hanya dia perempuan berjilbab yang aku temui di rumah sakit. Dhea melihat itu? itu hanya kebetulan. Kebetulan yang membuat rasa cemasku hilang karena akhirnya hari itu aku bisa memandang wajah teduhnya yang selalu nampak anggun dibalut jilbab rapi.

“Gw ketemu Assyifa kebetulan aja, lagian kita sama sekali gak sempat ngobrol kok.”

“Dhea mulai curiga ama lu.” Angga tersenyum.

Aku mendengus, kupikir ia sudah tidak punya lagi rasa itu sejak saat beberapa hari yang lalu ia mengacuhkanku. Curiga itu, apa Dhea masih mencintaiku seperti dulu?

Bersambung….

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba