(My Own Story from 15 November 2011)
Aku masih menatap kertas berisi tulisan Dinda, kertas yang ia sematkan bersama rangkaian bunga mawar yang ia hadiahkan untuk ulang tahunku. Bukan benar-benar bunga, karena itu hanya bunga plastik. Dinda…ia sengaja membelikannya untuk hadiah ulang tahunku lima hari lalu. Aku baru saja membuka lemarinya dan melihat bunga mawar yang ia siapkan untukku hari ini. Sedangkan gadis cilik itu, Dinda… sudah seminggu ini ia berpulang ke rumah Tuhannya.
Dinda…
Aku menangis, menangis sedih untuk pertama kalinya sejak kematian Dinda tujuh hari lalu. Kertas ditanganku, tulisan ungkapan cintanya padaku, rangkaian bunga mawar untuk kado ulang tahunku, semuanya benar-benar mengingatkanku akan dosa-dosaku dan kekejamanku padanya. Aku memandangi foto Dinda, berharap bisa merasa dekat dengan sosoknya. tapi, lagi-lagi tangis penyesalan membuncah. Air mata berderai membanjiri wajahku. Dinda… maafkan aku, maafkan Ibu tirimu ini, Nak…
********************
Aku sedang duduk santai di kursiku, lelah sekali rasanya tubuhku seharian ini. Hari ini aku benar-benar bekerja keras. Mencuci pakaian, membersihkan rumah yang begitu luas, memasak hingga melayani semua keperluan majikanku dan 3 anaknya. Yah, aku harus bekerja keras setiap hari. Narto, suamiku…ia hanya buruh serabutan yang tak seberapa gajinya. Kami hidup bertiga. Aku, Narto dan anak kami…Minah. Saat ini Minah duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, aku sendiri tak tahu apa ia bisa melanjutkan sekolahnya atau tidak. Keuangan kami benar-benar pas-pasan. Menyekolahkan Minah hingga di Sekolah Dasar saja sudah membuatku sulit bernafas. Apalagi harus meneruskannya ke SMP. Entahlah, aku belum punya rencana untuk itu. Penghasilanku sebagai pembantu juga tak seberapa, dan suamiku? Aku juga tak bisa terlalu mengandalkannya.
Aku masih menikmati waktu santaiku dan Minah sedang asyik belajar di kamarnya. Aku bangun dari tempat dudukku saat kudengar suara ketukan pintu dari luar gubuk kami. Narto, suamiku sudah kembali pulang dari tempat kerjanya.
Saat membuka pintu untuknya, aku melihat ada yang berbeda dengan raut wajahnya. Wajahnya terlihat pucat, seperti ada masalah dan beban yang sedang ia sembunyikan dariku. Narto duduk di tempatku bersantai tadi, sedangkan aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan segelas kopi untuknya, cukup kopi pahit tanpa gula, persediaan gula di rumah kami memang sudah habis sejak kemarin.
Kusajikan kopi hitam pahit itu tepat di hadapan suamiku, ia segera saja mencicipi kopi buatanku. Hanya beberapa kecap saja, aku tahu kopi itu masih panas. Setidaknya…aku tahu itu dari uap yang masih mengepul dari gelas kopi suamiku.
“Ada masalah apa, Pak? Kok keliatannya lemas begitu?”
Suamiku mengangkat wajahnya, ia tak lagi menunduk. Kini wajah Narto sedang memandangiku.
“Ndak apa-apa, Bu…” jawabnya sambil menghela nafas panjang. Ia juga langsung beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Aku menyusul suamiku ke kamar, tapi ia malah sudah terbaring. Aku tak ingin mengganggunya, mungkin ia lelah. Dan tak lama kemudian, ia sudah terlelap.
********************
Pagi harinya suamiku berangkat lebih awal, dan tak seperti biasanya ia menciumi Minah hingga sedikit mengeluarkan air mata. Ia juga mencium keningku dan berpesan padaku untuk menjaga Minah dengan baik. Aku benar-benar tak mengerti ada apa dengan suamiku, tapi kubiarkan saja ia berangkat. Lagipula, akan sulit bagi kami jika harus tidak bekerja walau hanya satu hari.
Aku juga sedang bersiap-siap menuju rumah majikanku, semua pekerjaan di rumah sudah kuselesaikan dan Minah juga baru saja berangkat ke sekolah. Aku baru saja menutup pintu, seorang wanita muda yang masih terlihat cantik berdiri di hadapanku. Ada bayi kecil dalam dekapannya.
“Ada apa, Mbak?” tanyaku pada si wanita yang berdiri di hadapanku.
Wanita itu tak langsung menjawab pertanyaanku, bola matanya malah menjelajahi seluruh dinding luar rumahku. Entah apa yang sedang ia cari, aku malah dibuat makin bingung menghadapinya.
“Apa benar ini rumah Mas Narto?” tanyanya dengan wajah sedikit ketakutan, aku mengangguk.
“Iya, kenapa Mbak?”
Si wanita malah menatap wajah bayinya. Matanya berkaca-kaca dan aku makin tak paham. Ada apa ini sebenarnya?
“Bu, ini anaknya Mas Narto…” kalimatnya menggantung, isaknya makin kuat.
Aku terperangah, tubuhku seperti lemas seketika. Aku benar-benar kehilangan kendali. Tubuhku ambruk, dan wanita itu mencoba menolongku tapi aku langsung saja menampik tangannya. Kehadirannya benar-benar membuatku marah.
“Lalu untuk apa kamu kemari?!” aku membentak, beberapa orang yang berlalu di depan rumahku sejenak melirikku, tapi aku tak peduli.
“Aku ingin menitipkan anak ini pada Mas Narto…” suaranya bergetar, tapi jawabannya membuatku makin marah.
Aku mendorong tubuh wanita itu, doronganku mungkin terlalu keras, bayi di gendongannya bahkan sempat terpental.
Bayi perempuan itu menangis, tapi wanita itu malah berlari, pergi meninggalkan anak perempuannya yang menangis merasakan nyeri di tubuhnya karena terlempar.
********************
Narto…suamiku itu ternyata pergi meninggalkanku. Sejak pagi ia berangkat kerja tujuh tahun lalu, ia sama sekali tak pernah kembali. Sedangkan aku, aku kini hidup bertiga. Bayi kecil itu teerpaksa aku rawat meski dengan perasaan kesal dan jengkel yang teramat sangat. Minah sudah lulus SMP dan kini ia juga bekerja membantuku di rumah Nyonya Tari, majikanku. Sementara bayi yang dulu diberi nama Dinda oleh Minah itu, ia sama sekali tak ku sekolahkan. Tak ada biaya lebih untukknya. Ia kusuruh bekerja untuk membantuku dan Minah. Aku tak tahu apa yang setiap hari dilakukannya, yang aku tahu dia harus menyetorkan uang setiap harinya padaku. Dia bukan anakku, dan aku tak merasa perlu bertanggung jawab atas dirinya.
Dinda sering kumarahi, bahkan tubuhnya juga sering aku pukul dengan sapu lidi. Saat itu ia akan menangis, tapi tangisnya hanya membuat aku makin keras memukulinya. Semakin keras tangisnya, semakin besar pula kemarahan dan kebencian yang aku rasakan pada Ibu kandungnya dan juga suamiku. Aku sering membuat tubuhnya lecet-lecet bahkan hingga berdarah, aku pernah melemparinya dengan gelas hingga tangannya terluka karena pecahan belingnya. Tapi aku tak peduli.
Dinda selalu sabar, ia seperti tak pernah membenciku, bahkan setiap harinya yang dilakukan adalah mencoba mencari perhatianku. Setiap pagi tanpa kuperintah, ia selalu membuatkan segelas the hangat. Tak pernah kuminum sama sekali…
Ia bahkan memasak untukku, mencuci semua baju-bajuku dan membersihkan rumah setiap hari. Minah sibuk kerja, ia lebih sering menginap di rumah Nyonya Tari daripada pulang ke rumah.
Banyak hal yang selalu Dinda lakukan untukku, tapi aku tak pernah peduli. Hatiku sudah membeku, rasaku sudah mati untuknya.
*******************
Pagi ini aku merasa seluruh tubuhku pegal, aku juga merasa pusing. Dinda memijiti kakiku, bahkan seluruh tubuhku. Tapi seperti dulu aku menampik tangan Ibunya, aku juga menampik tangan mungilnya. Aku tak ingin tangannya menyentuh tubuhku.
Dinda keluar dari kamarku dan tanpa kusuruh, ia juga membuatkan the panas untukku. Aku menampik gelasnya, tapi malang, the panas itu malah menyiram tubuhku. Aku makin marah pada Dinda, sedangkan gadis kecil itu ketakutan di sudut kamar. Tubuhnya bergetar. Aku mengambil sapu lidi, dan langsung memukulkannya pada Dinda. Beberapa kali Dinda menjerit, tapi aku tak peduli…pukulanku makin keras. Hingga akhirnya, ia benar-benar terdiam.
***********************
Aku masih memandangi foto Dinda dan sekali lagi membaca suratnya. Tulisannya acak-acakan, aku juga tak tahu darimana ia belajar menulis.
Mama Dinda…
Mama,,,selamat ulang tahun yah…
Semoga Mama panjang umur dan makin sayang sama Dinda.
Mama,,,Dinda sayang Mama…tapi kenapa Mama selalu marah sama Dinda? Apa Mama benci banget sama Dinda? Apa Mama tidak suka sama Dinda? Mama tidak pernah marah sama Mbak Minah, tapi Mama selalu marah sama Dinda. Apa karena Dinda gak cantik kaya Mbak Minah, jadi Mama tidak sayang sama Dinda?
Mama,,,apa Mama akan marah lagi kalau Dinda ngasih bunga ini untuk ulang tahun Mama? Dinda pernah lihat KTP Mama dan Dinda tahu kalo Mama ulang tahun. Mama jangan marah ya kalo Dinda cuma bisa beli bunga yang murah. Dinda gak bisa beli bunga mahal karena Dinda gak punya uang banyak.
Mama,,,Dinda sayang sama Mama. Kadang Dinda iri lihat Mbak Minah yang bisa tiduran dipangkuan Mama, Dinda juga pengin seperti itu, Ma… Dinda pengin kaya Mbak Minah yang bisa pergi ke pasar bareng Mama, Dinda pengin disayang Mama.
Dinda pengin bisa ada deket sama Mama terus, walau Mama marah-marah, walau Mama sering mukuli Dinda. Tapi Dinda seneng asal Dinda bisa deket Mama.
Mama…Dinda mau bilang maaf sama Mama, maafin Dinda Ma. Dinda sering diam-diam masuk kamar Mama saat Mama tidur, Dinda sering liatin wajah Mama kalau Mama tidur. Dinda pengin meluk Mama, tapi Dinda takut Mama bangun. Mama sudah capek kerja di rumah Bu Tari, Dinda gak mau ganggu Mama. Dinda ingin bubu bareng sama Mama, Dinda pingin rambutnya dielus-elus kaya Mba Minah.
Mama, apa teh buatan Dinda gak enak? Kenapa Mama ga minum? Tiap hari Dinda bikin the buat Mama, tapi Mama ga pernah minum. Tiap hari Dinda masak buat Mama, Mama juga ga pernah makan. Ga enak ya, Ma? Kalo gitu, nanti Dinda coba bikin yang lebih enak ya, Ma… Mama masih mau kan nyobain teh dan masakan Dinda?
Mama…Dinda sayang Mama. Selamat ulang tahun ya Mama….
Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan air mataku… semuanya kembali terlintas. Jeritan Dinda dan isak tangisnya. Rasa sakitnya yang memilukan karena aku. Aku pembunuh, aku pembunuh anak terbaik!! Aku yang membunuh Dinda
Dinda…
Aku menangis, menangis sedih untuk pertama kalinya sejak kematian Dinda tujuh hari lalu. Kertas ditanganku, tulisan ungkapan cintanya padaku, rangkaian bunga mawar untuk kado ulang tahunku, semuanya benar-benar mengingatkanku akan dosa-dosaku dan kekejamanku padanya. Aku memandangi foto Dinda, berharap bisa merasa dekat dengan sosoknya. tapi, lagi-lagi tangis penyesalan membuncah. Air mata berderai membanjiri wajahku. Dinda… maafkan aku, maafkan Ibu tirimu ini, Nak…
********************
Aku sedang duduk santai di kursiku, lelah sekali rasanya tubuhku seharian ini. Hari ini aku benar-benar bekerja keras. Mencuci pakaian, membersihkan rumah yang begitu luas, memasak hingga melayani semua keperluan majikanku dan 3 anaknya. Yah, aku harus bekerja keras setiap hari. Narto, suamiku…ia hanya buruh serabutan yang tak seberapa gajinya. Kami hidup bertiga. Aku, Narto dan anak kami…Minah. Saat ini Minah duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, aku sendiri tak tahu apa ia bisa melanjutkan sekolahnya atau tidak. Keuangan kami benar-benar pas-pasan. Menyekolahkan Minah hingga di Sekolah Dasar saja sudah membuatku sulit bernafas. Apalagi harus meneruskannya ke SMP. Entahlah, aku belum punya rencana untuk itu. Penghasilanku sebagai pembantu juga tak seberapa, dan suamiku? Aku juga tak bisa terlalu mengandalkannya.
Aku masih menikmati waktu santaiku dan Minah sedang asyik belajar di kamarnya. Aku bangun dari tempat dudukku saat kudengar suara ketukan pintu dari luar gubuk kami. Narto, suamiku sudah kembali pulang dari tempat kerjanya.
Saat membuka pintu untuknya, aku melihat ada yang berbeda dengan raut wajahnya. Wajahnya terlihat pucat, seperti ada masalah dan beban yang sedang ia sembunyikan dariku. Narto duduk di tempatku bersantai tadi, sedangkan aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan segelas kopi untuknya, cukup kopi pahit tanpa gula, persediaan gula di rumah kami memang sudah habis sejak kemarin.
Kusajikan kopi hitam pahit itu tepat di hadapan suamiku, ia segera saja mencicipi kopi buatanku. Hanya beberapa kecap saja, aku tahu kopi itu masih panas. Setidaknya…aku tahu itu dari uap yang masih mengepul dari gelas kopi suamiku.
“Ada masalah apa, Pak? Kok keliatannya lemas begitu?”
Suamiku mengangkat wajahnya, ia tak lagi menunduk. Kini wajah Narto sedang memandangiku.
“Ndak apa-apa, Bu…” jawabnya sambil menghela nafas panjang. Ia juga langsung beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Aku menyusul suamiku ke kamar, tapi ia malah sudah terbaring. Aku tak ingin mengganggunya, mungkin ia lelah. Dan tak lama kemudian, ia sudah terlelap.
********************
Pagi harinya suamiku berangkat lebih awal, dan tak seperti biasanya ia menciumi Minah hingga sedikit mengeluarkan air mata. Ia juga mencium keningku dan berpesan padaku untuk menjaga Minah dengan baik. Aku benar-benar tak mengerti ada apa dengan suamiku, tapi kubiarkan saja ia berangkat. Lagipula, akan sulit bagi kami jika harus tidak bekerja walau hanya satu hari.
Aku juga sedang bersiap-siap menuju rumah majikanku, semua pekerjaan di rumah sudah kuselesaikan dan Minah juga baru saja berangkat ke sekolah. Aku baru saja menutup pintu, seorang wanita muda yang masih terlihat cantik berdiri di hadapanku. Ada bayi kecil dalam dekapannya.
“Ada apa, Mbak?” tanyaku pada si wanita yang berdiri di hadapanku.
Wanita itu tak langsung menjawab pertanyaanku, bola matanya malah menjelajahi seluruh dinding luar rumahku. Entah apa yang sedang ia cari, aku malah dibuat makin bingung menghadapinya.
“Apa benar ini rumah Mas Narto?” tanyanya dengan wajah sedikit ketakutan, aku mengangguk.
“Iya, kenapa Mbak?”
Si wanita malah menatap wajah bayinya. Matanya berkaca-kaca dan aku makin tak paham. Ada apa ini sebenarnya?
“Bu, ini anaknya Mas Narto…” kalimatnya menggantung, isaknya makin kuat.
Aku terperangah, tubuhku seperti lemas seketika. Aku benar-benar kehilangan kendali. Tubuhku ambruk, dan wanita itu mencoba menolongku tapi aku langsung saja menampik tangannya. Kehadirannya benar-benar membuatku marah.
“Lalu untuk apa kamu kemari?!” aku membentak, beberapa orang yang berlalu di depan rumahku sejenak melirikku, tapi aku tak peduli.
“Aku ingin menitipkan anak ini pada Mas Narto…” suaranya bergetar, tapi jawabannya membuatku makin marah.
Aku mendorong tubuh wanita itu, doronganku mungkin terlalu keras, bayi di gendongannya bahkan sempat terpental.
Bayi perempuan itu menangis, tapi wanita itu malah berlari, pergi meninggalkan anak perempuannya yang menangis merasakan nyeri di tubuhnya karena terlempar.
********************
Narto…suamiku itu ternyata pergi meninggalkanku. Sejak pagi ia berangkat kerja tujuh tahun lalu, ia sama sekali tak pernah kembali. Sedangkan aku, aku kini hidup bertiga. Bayi kecil itu teerpaksa aku rawat meski dengan perasaan kesal dan jengkel yang teramat sangat. Minah sudah lulus SMP dan kini ia juga bekerja membantuku di rumah Nyonya Tari, majikanku. Sementara bayi yang dulu diberi nama Dinda oleh Minah itu, ia sama sekali tak ku sekolahkan. Tak ada biaya lebih untukknya. Ia kusuruh bekerja untuk membantuku dan Minah. Aku tak tahu apa yang setiap hari dilakukannya, yang aku tahu dia harus menyetorkan uang setiap harinya padaku. Dia bukan anakku, dan aku tak merasa perlu bertanggung jawab atas dirinya.
Dinda sering kumarahi, bahkan tubuhnya juga sering aku pukul dengan sapu lidi. Saat itu ia akan menangis, tapi tangisnya hanya membuat aku makin keras memukulinya. Semakin keras tangisnya, semakin besar pula kemarahan dan kebencian yang aku rasakan pada Ibu kandungnya dan juga suamiku. Aku sering membuat tubuhnya lecet-lecet bahkan hingga berdarah, aku pernah melemparinya dengan gelas hingga tangannya terluka karena pecahan belingnya. Tapi aku tak peduli.
Dinda selalu sabar, ia seperti tak pernah membenciku, bahkan setiap harinya yang dilakukan adalah mencoba mencari perhatianku. Setiap pagi tanpa kuperintah, ia selalu membuatkan segelas the hangat. Tak pernah kuminum sama sekali…
Ia bahkan memasak untukku, mencuci semua baju-bajuku dan membersihkan rumah setiap hari. Minah sibuk kerja, ia lebih sering menginap di rumah Nyonya Tari daripada pulang ke rumah.
Banyak hal yang selalu Dinda lakukan untukku, tapi aku tak pernah peduli. Hatiku sudah membeku, rasaku sudah mati untuknya.
*******************
Pagi ini aku merasa seluruh tubuhku pegal, aku juga merasa pusing. Dinda memijiti kakiku, bahkan seluruh tubuhku. Tapi seperti dulu aku menampik tangan Ibunya, aku juga menampik tangan mungilnya. Aku tak ingin tangannya menyentuh tubuhku.
Dinda keluar dari kamarku dan tanpa kusuruh, ia juga membuatkan the panas untukku. Aku menampik gelasnya, tapi malang, the panas itu malah menyiram tubuhku. Aku makin marah pada Dinda, sedangkan gadis kecil itu ketakutan di sudut kamar. Tubuhnya bergetar. Aku mengambil sapu lidi, dan langsung memukulkannya pada Dinda. Beberapa kali Dinda menjerit, tapi aku tak peduli…pukulanku makin keras. Hingga akhirnya, ia benar-benar terdiam.
***********************
Aku masih memandangi foto Dinda dan sekali lagi membaca suratnya. Tulisannya acak-acakan, aku juga tak tahu darimana ia belajar menulis.
Mama Dinda…
Mama,,,selamat ulang tahun yah…
Semoga Mama panjang umur dan makin sayang sama Dinda.
Mama,,,Dinda sayang Mama…tapi kenapa Mama selalu marah sama Dinda? Apa Mama benci banget sama Dinda? Apa Mama tidak suka sama Dinda? Mama tidak pernah marah sama Mbak Minah, tapi Mama selalu marah sama Dinda. Apa karena Dinda gak cantik kaya Mbak Minah, jadi Mama tidak sayang sama Dinda?
Mama,,,apa Mama akan marah lagi kalau Dinda ngasih bunga ini untuk ulang tahun Mama? Dinda pernah lihat KTP Mama dan Dinda tahu kalo Mama ulang tahun. Mama jangan marah ya kalo Dinda cuma bisa beli bunga yang murah. Dinda gak bisa beli bunga mahal karena Dinda gak punya uang banyak.
Mama,,,Dinda sayang sama Mama. Kadang Dinda iri lihat Mbak Minah yang bisa tiduran dipangkuan Mama, Dinda juga pengin seperti itu, Ma… Dinda pengin kaya Mbak Minah yang bisa pergi ke pasar bareng Mama, Dinda pengin disayang Mama.
Dinda pengin bisa ada deket sama Mama terus, walau Mama marah-marah, walau Mama sering mukuli Dinda. Tapi Dinda seneng asal Dinda bisa deket Mama.
Mama…Dinda mau bilang maaf sama Mama, maafin Dinda Ma. Dinda sering diam-diam masuk kamar Mama saat Mama tidur, Dinda sering liatin wajah Mama kalau Mama tidur. Dinda pengin meluk Mama, tapi Dinda takut Mama bangun. Mama sudah capek kerja di rumah Bu Tari, Dinda gak mau ganggu Mama. Dinda ingin bubu bareng sama Mama, Dinda pingin rambutnya dielus-elus kaya Mba Minah.
Mama, apa teh buatan Dinda gak enak? Kenapa Mama ga minum? Tiap hari Dinda bikin the buat Mama, tapi Mama ga pernah minum. Tiap hari Dinda masak buat Mama, Mama juga ga pernah makan. Ga enak ya, Ma? Kalo gitu, nanti Dinda coba bikin yang lebih enak ya, Ma… Mama masih mau kan nyobain teh dan masakan Dinda?
Mama…Dinda sayang Mama. Selamat ulang tahun ya Mama….
Aku benar-benar tak sanggup lagi menahan air mataku… semuanya kembali terlintas. Jeritan Dinda dan isak tangisnya. Rasa sakitnya yang memilukan karena aku. Aku pembunuh, aku pembunuh anak terbaik!! Aku yang membunuh Dinda
0 respons:
Post a Comment