Syifa masih duduk menemaniku,
Angga juga ada diantara kami. Syifa diam dan sama sekali tidak tahu apa
yang harus dilakukannya. Sedangkan aku masih benar-benar marah. Entah
marah pada siapa sebenarnya. Aku merasa semua orang sudah membohongiku.
Diaz dan Dhea….
“Ngga, kenapa sih Dhea harus ngerahasiain semuanya dari kita?” tanyaku pada Angga, tapi mataku masih terus tertuju pada rumput hijau yang sedang kuinjak.
“Gw gak ngerti. Diaz juga sama sekali gak ngomong tentang itu di Singapura.”
“Waktu itu gw pacarnya Dhea dan dia sama sekali gak ngasih tahu gw, bahkan tiap kali dia pulang ke Jakarta buat pemeriksaan, dia juga gak sekalipun ngabarin gw. Kenapa gw harus telat tahu semuanya sih?”
Angga tak menjawab.
“Udah ya, kalian gak usah jengkel dan marah-marah terus. Dhea pasti punya alasan untuk itu. Cuma kadang sesuatu yang baik menurut satu orang, juga belum tentu baik menurut orang lain. Daripada kita marah, mendingan kita doain Dhea biar cepat pulih keadaannya.”
Aku mengangkat wajahku menatap Syifa, ia tersenyum menghiburku. Ucapannya yang lembut dan selalu bijak benar-benar menguatkanku.
“Thanks ya, Fa. Kamu udah nguatin aku.” Syifa mengangguk, sekali lagi ia tersenyum, dan hatiku benar-benar sejuk seperti daun hijau segar yang mendapat embun di pagi saat fajar menjelang.
**********************
“Jadi cewek berjilbab kemarin yang gw lihat itu cewek lu sekarang?” tanya Diaz saat tak sengaja bertemu denganku di kampus.
“Iya.” Jawabku mantap, kali ini sudah tak ada sedikitpun keraguan dalam hatiku, aku yakin kalau aku memang benar-benar mencintai Syifa.
“Tapi lu gak bisa gini, lu mau ninggalin Dhea justru disaat Dhea sakit? Gitu?” kali ini suara Diaz terdengar emosi. Sepertinya ia benar-benar marah karena mendengar apa yang baru saja kukatakan.
“Kenapa gw gak bisa?” aku malah balik tanya dengan santainya, tak ada alasan baginya untuk melarang apa yang akan aku lakukan. “Gw gak pernah ada niat buat ninggalin Dhea sendirian disaat-saat seperti ini. Gw akan ada di sampingnya, hanya aja posisi gw sekarang udah sama kaya gimana posisinya Angga. Gw dan Dhea cuma teman, sahabat, dan gak lebih dari itu. Dhea cerita sama lu kan kalau dia yang udah mutusin gw?” kali ini aku memandang Diaz.
“Ya…dia cerita ke gw, tapi dia ngomong gitu kan karena dia gak pengin lu tahu dia lagi menderita karena penyakitnya, dia gak pengin lu tau penderitaannya.” Diaz masih mencari alasan untuk membela adiknya.
“Apa lu mikir sesederhana itu? berapa kali gw dibohongin ama Dhea? Juga ama lu? Setiap kali Dhea datang buat pemeriksaan dan kemoterapi di Jakarta, gw sama sekali gak tau. Gw sms gak pernah lagi dibales dan gw telepon, cuma sekali-kali diangkat. Lalu dia pulang ke Jakarta kemarin dan seenaknya bilang kalau dia pengen bikin surprise buat gw dengan tidak memberitahukan kedatangannya. Belum abis disitu, Dhea mutusin gw dan bohong kalau dia udah punya cowok lain di Bandung. Lu bisa bayangin perasaan gw, Yaz? Gw berdiri di posisi pacar, tapi gw sama sekali gak tahu apa-apa tentang dia. Lalu apa gunanya gw? Semua kebohongan Dhea malah bikin gw ngerasa tersiksa dan selalu ngebuat gw ngerasa jadi manusia paling bodoh….” Aku berhenti bicara, Diaz hanya diam mendengar penjelasanku. Ia tak menyanggah, apalagi membantah. Aku harap dia menerima keputusanku dan mengerti perasaanku, aku bukan ingin meninggalkan adiknya justru disaat-saat tersulitnya. Aku hanya tidak ingin menjalani hubungan yang malah akan terus membuat aku menjadi merasa bodoh. Aku tidak ingin dibohongi, karena aku juga tetap laki-laki normal yang bisa merasa sakit hati karena dibohongi. Aku hanya ingin ada disamping Dhea seperti Angga, sebagai sahabat.
“Gw minta maaf, Dit… gw gak ada maksud buat bohongin lu.”
Aku menarik nafas panjang dan tersenyum menatap rumput, “Lu gak perlu minta maaf dan gw juga gak perlu maafin siapapun disini. Lu kakaknya Dhea dan gw tau lu pasti bakal ngelindungin dia selamanya.” Jawabku santai.
“Gimana keadaan Dhea sekarang? Apa dia udah membaik?” aku menyambung kalimatku yang sempat terputus tadi.
“Dhea sama sekali belum sadar, Dokter sendiri udah angkat tangan dengan penyakit Dhea yang emang udah stadium akhir itu. kalaupun nanti Dhea masih bisa sadar, yang bisa Dokter lakuin hanya memberikan obat pereda sakitnya. Kanker itu sudah terlanjur menyebar di seluruh tubuh Dhea. Lu udah dengar kemarin kan?”
Aku mendesah, bagaimanapun aku sudah merasa sakit karena kebohongan Dhea, aku masih tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan Dhea.
“Kamu gak ke Rumah Sakit lagi?” aku tahu Diaz berharap aku tidak enggan untuk menemui Dhea lagi di rumah sakit. Aku tidak akan merasa enggan untuk melihat sahabatku, jadi aku pasti akan tetap menengok Dhea.
*********************
“Gimana keadaan Dhea sekarang, Dit?” tanya Syifa saat kami makan bersama di kantin kampus Manajemen.
“Gak baik…Dhea sama sekali belum sadar dan dokter juga udah menyerah dengan penyakit Dhea yang udah stadium akhir.”
“Inalillahi…” gumam Dhea prihatin. “Kamu udah jenguk dia?” tanya Dhea setelah menikmati sedikit minumannya.
Aku menggelang, “Belum…mungkin nanti. Aku hanya bingung apa yang harus aku lakukan disana sementara aku sama sekali gak tau apa-apa tentang Dhea.”
“Dhea cinta sama kamu, dia bakal ngerasain kehadiranmu disana. Siapa tahu itu bisa memberinya kekuatan untuk segera sadar.”
“Apa benar begitu?” aku meragukan ucapan Syifa.
“Yah…cinta akan selalu memberi kekuatan.” Syifa menyunggingkan senyumnya.
“Apa kamu juga merasa lebih kuat setelah jatuh cinta sama aku?” aku meledek Syifa, dia malah tersipu malu. Pipinya yang putih seketika merona merah dan hampir sama dengan kerudung pink yang dikenakannya.
“Yah…aku merasa bersemangat menjalani semuanya.” Jawaban Syifa benar-benar membuat hatiku berbunga.
“Oh ya, Fa… aku bawain komik yang mau aku kasih buat Arfan. Aku titipin lewat kamu aja ya, aku belum sempat kerumah kamu lagi.” Kataku sambil mengambil beberapa komik yang aku bawa di dalam tasku. Aku menyerahkan komik itu ke tangan Syifa.
“Nanti aku antar kamu ke tempat kerja ya, tapi aku gak bisa jemput kamu. Aku mau ke Rumah Sakit jenguk Dhea, gak apa-apa kan?” aku meminta pendapat Syifa.
“Iya Adit, gak apa-apa kok. Kamu tungguin Dhea ya dan jangan lupa terus berdoa. Semoga itu bisa bikin keadaan Dhea jauh lebih baik.”
“Oke sayang….” Aku mengerlingkan mataku kearah Syifa dan memasukan suapan terakhir mie ayam kedalam mulutku.
****************************
Suasana ruangan Dhea begitu panik, entah karena ada apa, layar pendeteksi denyut jantung Dhea tiba-tiba berhenti. Tante Indah kembali terisak kuat saat Dokter menyuruh kami semua untuk keluar meninggalkan Dhea sendiri agar segera mendapat penanganan. Aku menatap Angga yang juga ada disitu dengan tatapan kosong, Angga juga terlihat cemas.Diluar ruangan kami berempat hanya bisa berdoa. Om Bayu masih memeluk Tante Indah dan berusaha untuk menghentikan tangisnya. Sementara Angga dan aku hanya bisa diam sambil terus berdoa dengan perasaan berdebar. Diaz tidak ada disini, dia masih ada di kampusnya.
Hampir satu jam tim Dokter itu ada di ruangan Dhea, tapi mereka belum juga muncul. Aku berharap yang terbaik untuk Dhea dan tidak ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. Angga terus menatap pintu ruangan kamar Dhea dengan pandangan cemas. Ia pasti sama sepertiku, ia menunggu tim Dokter itu keluar dan mengatakan sesuatu yang baik tentang keadaan Dhea.
Beberapa menit kemudian tim dokter keluar dari tuangan Dhea, Tante Indah dan Om Bayu langsung mendekatinya.
“Dhea sudah sadar sekarang, tapi keadaannya masih benar-benar lemah. Kita berdoa saja agar dia bisa semakin kuat melawan penyakitnya.” Salah satu dokter berkata pada Tante Indah. Mendengar ucapan itu aku dan Angga menarik nafas panjang, kami benar-benar merasa lega dan seperti lepas dari beban berat.
Aku dan Angga melangkah di belakang Tante Indah dan Om Bayu, tapi kata-kata Dokter kemudian menghentikan langkah kami, “Karena keadaan Dhea yang masih sangat lemah, kami hanya mengizinkan maksimal dua orang untuk ada di dalam bersama Dhea.”, aku menatap Angga dan kami kembali ke tempat duduk dimana kami menunggu tadi.
Hanya beberapa saat saja Om Bayu dan Tante Indah berada di dalam ruangan Dhea, mereka kemudian keluar dan menghampiri kami berdua.
“Gimana Dhea, Om?” tanyaku, aku benar-benar merasa khawatir dan aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi.
Om Bayu memegang pundaku, “Dhea ingin ketemu kalian.” Jawab Om Bayu lemah.
Aku dan Angga saling berpandangan, tapi tanpa basa-basi lagi, kami segera meninggalkan Om dan tante Bayu memasuki ruang kamar Dhea.
Di kamar Dhea aku benar-benar tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku menggenggam erat tangan Dhea dan duduk di kursi samping tempat tidurnya. Wajah Dhea nampak pucat pasi, tubuhnya lemas dan tatapan matanya kosong. Ia memandangiku, sepertinya ada yang ingin dia ucapkan.
“Dhe…kamu gak perlu ngomong apa-apa. Kamu sekarang istirahat aja dulu….” kataku lembut. Aku benar-benar prihatin melihat keadaan Dhea. Tak ada suara yang ia ucapkan untuk menjawab kata-kataku barusan, bibirnya sedang mencoba tersenyum ke arahku.
“Gw…mau….minta maaf…sama kali……an. Gw minta….ma…af…udahhh…bo…hongi…..kali…an.” ucap Dhea terbata-bata. Nafasnya tersengal, ia memejamkan matanya untuk beberapa saat seperti sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada di dalam raga lemahnya.
“Udah, Dhe…kita udah maafin lu kok.” Suara itu milik Angga, sedangkan aku hanya diam dan diam saja. Bibirku seperti kehilangan kekuatannya untuk terbuka. Keadaan Dhea yang sedang kritis membuatku tak berminat sedikitpun untuk menjawab ucapannya. Aku mempererat genggaman tanganku. Aku tidak ingin cengeng, tapi entah kenapa satu tetes air mata mulai turun menciptakan gerimis di pipiku.
Angga membelai kepala Dhea yang sudah tanpa rambut itu, dia juga diam….
“Syifa…..apa…dia di…sini?”
Aku menggelang lemah, “Gak Dhe, Syifa lagi kerja. Kamu harus sembuh kalau mau ketemu dia.” Aku mencoba memberi kekuatan pada Dhea, meski suaraku sendiri seperti tercekat di kerongkongan.
“Gw….mau ketemu….dia se…ka…rang.” Dhea kembali menarik nafas panjang, matanya menatapku penuh harap. Ia benar-benar ingin aku mengabulkan permohonannya.
Aku menatap Angga, “Gw jemput Syifa.” Ucap Angga kemudian. Aku mengangguk, di dalam hati aku mengucapkan terima kasihku padanya. Aku memang ingin bersama Dhea disini. Aku ingin menemani Dhea, Angga juga begitu, tapi demi aku dan Dhea, dia mengorbakan keinginannya itu.
“Tunggu gw dateng sama Syifa, ya……….” Angga mendekatkan tatapannya ke wajah Dhea sambil tetap memegang kepalanya. Dhea mengangguk lemah dengan matanya yang terpejam.
Angga keluar dari kamar Dhea dan berpapasan dengan Diaz yang sudah berdiri diluar bersama Tante Indah dan Om Bayu.
“Mau kemana lu?” tanya Diaz saat melihat Angga keluar dengan terburu-buru.
“Dhea pengin ketemu Syifa, gw mau jemput dia.”
“Kenapa bukan Adit?”
Angga tersenyum, “Dhea lebih butuh Adit daripada gw sekarang dan gw juga tau keinginan Adit untuk ada sama Dhea jauh lebih penting daripada gw…….” Kalimat Angga terdengar menggantung.
“Gimana keadaan Dhea sekarang?” Diaz memotong ucapan Angga.
“Lu liat aja sendiri.” Jawab Angga singkat dan segera berlalu meninggalkan Diaz.
*********************
“Syifa…….!!!” Teriak Angga saat melihat Syifa yang baru saja keluar dari ruangan sambil membawa nampan berisi beberapa gelas kosong bekas kopi. Syifa menghentikan langkah kakinya saat mendengar suara seseorang yang memanggilnya.
“Angga…..” Syifa sedikit terkejut setelah menoleh dan melihat Angga yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
Angga berlari mendekat kearah Syifa.
“Lu ikut gw sekarang.” Ucap Angga dengan nafas yang terengah-engah.
“Ada apa, Ngga?” Syifa malah bingung.
“Udah, gak usah banyak tanya. Gw jelasin di jalan.” Angga menarik tangan Syifa.
“Bentar, Ngga… aku naruh gelas dulu ke belakang.”
“Oke…cepetan! Gw tunggu disini.”
“Tapi gw lagi kerja, Ngga… ada apaan sih?”
Angga mendengus kesal, “Lu gak usah khawatir ama kerjaan lu. Bokap Adit juga gak bakal mecat lu. Sekarang buruan lu taruh tuh gelas dan cepat balik kesini lagi!” Angga memerintah dengan intonasi suara yang sedikit lebih keras. Syifa menurut, ia meninggalkan Angga ke pantry dengan benak yang penuh tanda tanya.
Syifa kembali ke hadapan Angga dengan pakaian cleaning servicenya, Angga tak peduli, ia kemudian menarik tangan Syifa agar bisa berjalan lebih cepat. Syifa mengikuti langkah Angga dengan langkah yang sedikit tertatih.
“Ada apa sih, Ngga?” tanya Syifa saat sedang dalam perjalanan.
“Dhea kritis, dia pengin ketemu lu.”
“Astaghfirullah… Adit disana kan?”
“Iya, tapi dia penginnya ketemu lu bukan Adit. Gw aja gak ngerti mau ngapain.” Jawab Angga cuek sambil menarik gas motornya lebih kencang.
“Angga ati2 deh!!” Syifa ketakutan, tapi Angga tidak peduli. Ia ingin segera bertemu Dhea.
Sesampainya di rumah sakit, Angga tidak melihat Om Indah dan Tante Yanti di depan ruang kamar Dhea. Diaz sendiri ada di dalam bersamaku. Angga tidak peduli larangan dokter yang disampaikannya saat ia hendak masuk bersamaku tadi.
Meskipun melihat sudah ada aku dan Diaz, dia tetap menarik tangan Syifa memasuki ruang kamar Dhea. Melihat kedatangan Syifa, aku beranjak dari tempat duduku dan mempersilahkan Syifa duduk. Syifa menatapku, ia nampak ragu tapi aku mengangguk meyakinkan Syifa bahwa semuanya baik-baik saja.
Angga dan Diaz sadar betul kehadiran mereka tidak terlalu penting saat ini, tapi mereka juga tak ingin meninggalkan Dhea. Mereka ingin tetap bersama Dhea.
“Syifa….” Dhea memanggil Syifa lemah, Syifa menggenggam tangan Dhea seperti yang tadi kulakukan.
“Iya, Dhea… kenapa?” tanya Syifa dengan suara purau.
“Gw…nitip….Adit.”
“Gak, Dhe… kita bakal sama-sama bareng Adit. Kamu gak akan pergi kemanapun, kamu sembuh! Kamu gak boleh ngomong gitu.” Air mata Syifa mulai turun setetes.
Dhea mencoba tersenyum, sedangkan Syifa menyeka air mata yang mulai turun deras di pipinya. Aku berdiri di belakang tempat duduk Syifa dengan wajah tertunduk. Sekarang aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
“Jangan…bohong…i….Adit….lagi…” kali ini suara Dhea terdengar sedikit lebih lancar.
Syifa mengangguk, “Aku gak akan bohongin Adit, Dhe. Gak cuma aku, kamu juga harus tetap ada biar kita bisa sama-sama bahagiain Adit.”
Kali ini semua mata tertuju pada Syifa dan Dhea. Hal yang dulu sama sekali tidak Angga ingin lihat sekarang terjadi begitu saja di hadapan matanya. Diaz masih membelai kepala adiknya yang sudah gundul, ia sama sekali tak sanggup mengatakan apapun.
Aku…aku terdiam menyaksikan semuanya. Semua yang terjadi dimataku benar-benar membuka mataku. Syifa yang begitu dewasa dan Dhea yang begitu mencintaiku. Aku tak ingin kehilangan siapapun, salah satu diantara mereka. Aku ingin mereka berdua tetap ada. Air mataku menetes, dan aku hanya mampu terdiam terpaku menatap lantai putih kamar Dhea. Tak ada yang bisa kulakukan, aku hanya berdoa dalam hati agar tidak kehilangan siapapun, bahkan salah satu dari mereka.
Kali ini Dhea menatap Diaz, “Kak, Mama dan…Papa….dimana?” tanya Dhea dengan suara yang agak tersendat.
“Gw panggilin sekarang ya….” Diaz mengecup kening Dhea sebelum ia berlalu keluar.
Kali ini Angga mendekat, Angga sudah berlinang air mata dan kini jarak matanya sudah begitu dekat dengan wajah Dhea. Tak ada suara, Angga hanya terisak. Dhea tersenyum. Perlahan tangan lemahnya melepaskan genggaman tangan Syifa dan menghapus airmata Angga.
“Kapan mau punya pacar?” Dhea mencoba bergurau meski dengan suara yang berat.
Angga mencoba tersenyum dan menggenggam tangan Dhea yang baru saja menghapus air matanya.
“Kalau lu gak pergi, gw bakal punya pacar baru.”
Aku menatap Angga kaget, aku merasa ada maksud tersirat dari apa yang baru saja diucapkan Angga, tapi aku tak ingin bertanya apapun disaat seperti ini.
“Lu baik-baik ya, Ngga…” Dhea mulai merasa tak kuat berbicara lebih banyak lagi.
Tante Indah dan Om Bayu datang, Syifa mempersilahkan Tante Indah duduk di kursinya dan Angga menyerahkan tempatnya untuk Om Bayu. Tante Indah terisak, Dhea masih diam.
“Mama…..Papa……Kak Diaz…..” Dhea menarik nafasnya, Diaz mendekat.
“Apa sayang?” tanya Tante Indah dengan mata berlinang air mata.
Dhea memandang Ayahnya, Om Bayu tersenyum seperti ingin menguatkan anak perempuan satu-satunya itu.
“Maka….sih…buat….semua….” Kalimat Dhea terputus, ia benar-benar sudah tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Matanya seketika terpejam dan bersamaan dengan itu layar komputer di samping kanan kepala Dhea hanya menunjukan garis lurus. Tante Indah berteriak histeris, Om Bayu juga menangis sambil menciumi kening Dhea. Angga sama saja, ia hanya tertunduk pilu, tapi isaknya terdengar jelas. Diaz menangis tanpa suara, hanya air matanya saja yang terus mengalir. Syifa memeluk Tante Indah, suara tangis dan air mata mereka berbaur menjadi satu. Aku sendiri hanya bisa bersandar lemas di dinding kamar serba putih ini. aku menatap wajah pucat Dhea dengan bibirnya yang kering. Tuhan menjawab doaku dengan mengambil Dhea dari sampingku.
Dan saat ini, semua air mata di ruangan ini memiliki satu arti yang sama……
Lima Tahun Kemudian……
Angin berhembus pelan membelai wajahku, suara burung gereja yang saling bersahutan juga seperti menjadi alunan musik yang menghiburku. Aku berdiri di sisi makam Dhea. Bersama Syifa, Angga dan Nadia, calon istri Angga. Hari ini aku merasa seperti kambali ke beberapa tahun silam saat masih benar-benar bersama Dhea dan Angga, kedua sahabat terbaiku.
Aku berjongkok di sisi makam Dhea, tanganku membelai lembut nisannya, “Dhea… seandainya kamu disini, aku ingin kita wujudkan mimpi kita bersama…..” aku tak menyelesaikan kalimatku. Mataku memandang Angga, ia juga mengikutiku, berjongkok dan mengelus nisan Dhea dari sisi yang berlainan denganku.
“Dhea….dulu lu pengin kita bertiga bisa nikah disaat bersamaan. Kamu tahu, tiga hari lagi apa yang pernah kita mimpikan akan jadi kenyataan.” Angga menyambung ucapanku.
Aku meraih tangan Syifa dan mengajaknya berjongkok disisiku, Syifa menurut.
“Dhea….kamu udah kenal sama Syifa kan? Syifa ini akan jadi istri aku, Dhe…” aku memandangi nisan Dhea untuk beberapa saat, kemudian mataku beralih memandang Syifa.
“Dhe…doain kita juga ya… kamu kan sekarang udah lebih dekat sama Tuhan daripada kita….” Kali ini mulut Syifa yang berbicara, ia kemudian menaburkan bunga mawar diatas makam Dhea.
“Dhe, kenalin… ini Nadia, calon istri gw. Lu kaget ya Dhe? Yah… gw pernah cerita kan sama lu tentang cinta pertama gw di SMP? Itu Nadia. Dan lu tau, Dhe… gw akhirnya ngedapetin dia dan tiga hari lagi, dia bakal jadi istri gw.” Angga terharu, matanya mulai berkaca-kaca.
Nadia hanya tersenyum sambil ikut menaburkan mawar, tak ada yang dia ucapkan. Ia memang belum pernah mengenal Dhea sebelumnya.
Kami masih asyik bercerita di makam Dhea, seolah-olah ia benar-benar hadir diantara kami berempat dan mendengarkan cerita kami semua.
********************
Hari pernikahanku akhirnya datang juga. Aku dan Syifa serta Angga dan Nadia, kami menikah di hari yang sama dan ruangan yang sama. Ada dua penghulu juga yang akan menikahkan kami berdua disaat bersamaan. Sejak semalam tadi perasaanku benar-benar sulit terkatakan. Semalam tadi aku kembali mengingat semuanya tentang aku, Angga dan Dhea. Segala yang kita lalui bersama seakan seperti kembali aku jalani.
Syifa belum keluar dari tempat persembunyiannya, ia baru akan kelaur menemuiku setelah aku mengucapkan Ijab Qabul. Aku menatap Angga yang duduk tidak jauh dariku, ia tersenyum sambil menunjukan jempolnya seolah memberitahuku jika ia juga sudah siap.
Dan Ijab Qabul itupun akhirnya benar-benar sudah kulalui…..
Aku tersenyum, menarik nafas merasa lega. Saat ini… aku dan Angga bukan lagi laki-laki lajang.
Wajah cantik Syifa dan Nadia keluar dari balik tirai. Syifa menghampiriku, menyalami tanganku dan menciumya. Aku balas mencium keningnya. Semua tamu yang hadir tersenyum seperti ikut merasa bahagia. Aku memakaikan cincin pernikahan di jari Syiifa, satu bukti jika Syifa sudah benar-benar sah menjadi milikku. Aku menatap wajah para tamu satu persatu, menikmati senyuman mereka…
Dan saat itu…aku seperti melihat sosok Dhea dengan gaun putihnya. Ia tersenyum padaku.
“Dhea datang…” bisiku lirih di telinga Syifa, istriku.
Syifa menatapku tak mengerti, aku kembali melihat sosok Dhea berdiri dengan tamu lainnya. Syifa menatapku tak percaya, ia juga melihatnya.
Aku mengalihkan pandanganku pada Angga dan aku tahu, ia juga sedang terkejut ketika melihat arah yang sama dengan yang sudah kulihat tadi.
Angga menatapku, kami saling berpandangan beberapa saat, dan saat mata kami kembali mencari sosok Dhea, ia sudah tidak ada.
Dhea menghilang dari kumpulan para tamu, tapi tidak dari hati kami semua.
Dhea adalah kenangan terindah bagiku dan Syifa adalah embun yang akan menjadi penyejukku selamanya…
*****____________END____________*****
“Ngga, kenapa sih Dhea harus ngerahasiain semuanya dari kita?” tanyaku pada Angga, tapi mataku masih terus tertuju pada rumput hijau yang sedang kuinjak.
“Gw gak ngerti. Diaz juga sama sekali gak ngomong tentang itu di Singapura.”
“Waktu itu gw pacarnya Dhea dan dia sama sekali gak ngasih tahu gw, bahkan tiap kali dia pulang ke Jakarta buat pemeriksaan, dia juga gak sekalipun ngabarin gw. Kenapa gw harus telat tahu semuanya sih?”
Angga tak menjawab.
“Udah ya, kalian gak usah jengkel dan marah-marah terus. Dhea pasti punya alasan untuk itu. Cuma kadang sesuatu yang baik menurut satu orang, juga belum tentu baik menurut orang lain. Daripada kita marah, mendingan kita doain Dhea biar cepat pulih keadaannya.”
Aku mengangkat wajahku menatap Syifa, ia tersenyum menghiburku. Ucapannya yang lembut dan selalu bijak benar-benar menguatkanku.
“Thanks ya, Fa. Kamu udah nguatin aku.” Syifa mengangguk, sekali lagi ia tersenyum, dan hatiku benar-benar sejuk seperti daun hijau segar yang mendapat embun di pagi saat fajar menjelang.
**********************
“Jadi cewek berjilbab kemarin yang gw lihat itu cewek lu sekarang?” tanya Diaz saat tak sengaja bertemu denganku di kampus.
“Iya.” Jawabku mantap, kali ini sudah tak ada sedikitpun keraguan dalam hatiku, aku yakin kalau aku memang benar-benar mencintai Syifa.
“Tapi lu gak bisa gini, lu mau ninggalin Dhea justru disaat Dhea sakit? Gitu?” kali ini suara Diaz terdengar emosi. Sepertinya ia benar-benar marah karena mendengar apa yang baru saja kukatakan.
“Kenapa gw gak bisa?” aku malah balik tanya dengan santainya, tak ada alasan baginya untuk melarang apa yang akan aku lakukan. “Gw gak pernah ada niat buat ninggalin Dhea sendirian disaat-saat seperti ini. Gw akan ada di sampingnya, hanya aja posisi gw sekarang udah sama kaya gimana posisinya Angga. Gw dan Dhea cuma teman, sahabat, dan gak lebih dari itu. Dhea cerita sama lu kan kalau dia yang udah mutusin gw?” kali ini aku memandang Diaz.
“Ya…dia cerita ke gw, tapi dia ngomong gitu kan karena dia gak pengin lu tahu dia lagi menderita karena penyakitnya, dia gak pengin lu tau penderitaannya.” Diaz masih mencari alasan untuk membela adiknya.
“Apa lu mikir sesederhana itu? berapa kali gw dibohongin ama Dhea? Juga ama lu? Setiap kali Dhea datang buat pemeriksaan dan kemoterapi di Jakarta, gw sama sekali gak tau. Gw sms gak pernah lagi dibales dan gw telepon, cuma sekali-kali diangkat. Lalu dia pulang ke Jakarta kemarin dan seenaknya bilang kalau dia pengen bikin surprise buat gw dengan tidak memberitahukan kedatangannya. Belum abis disitu, Dhea mutusin gw dan bohong kalau dia udah punya cowok lain di Bandung. Lu bisa bayangin perasaan gw, Yaz? Gw berdiri di posisi pacar, tapi gw sama sekali gak tahu apa-apa tentang dia. Lalu apa gunanya gw? Semua kebohongan Dhea malah bikin gw ngerasa tersiksa dan selalu ngebuat gw ngerasa jadi manusia paling bodoh….” Aku berhenti bicara, Diaz hanya diam mendengar penjelasanku. Ia tak menyanggah, apalagi membantah. Aku harap dia menerima keputusanku dan mengerti perasaanku, aku bukan ingin meninggalkan adiknya justru disaat-saat tersulitnya. Aku hanya tidak ingin menjalani hubungan yang malah akan terus membuat aku menjadi merasa bodoh. Aku tidak ingin dibohongi, karena aku juga tetap laki-laki normal yang bisa merasa sakit hati karena dibohongi. Aku hanya ingin ada disamping Dhea seperti Angga, sebagai sahabat.
“Gw minta maaf, Dit… gw gak ada maksud buat bohongin lu.”
Aku menarik nafas panjang dan tersenyum menatap rumput, “Lu gak perlu minta maaf dan gw juga gak perlu maafin siapapun disini. Lu kakaknya Dhea dan gw tau lu pasti bakal ngelindungin dia selamanya.” Jawabku santai.
“Gimana keadaan Dhea sekarang? Apa dia udah membaik?” aku menyambung kalimatku yang sempat terputus tadi.
“Dhea sama sekali belum sadar, Dokter sendiri udah angkat tangan dengan penyakit Dhea yang emang udah stadium akhir itu. kalaupun nanti Dhea masih bisa sadar, yang bisa Dokter lakuin hanya memberikan obat pereda sakitnya. Kanker itu sudah terlanjur menyebar di seluruh tubuh Dhea. Lu udah dengar kemarin kan?”
Aku mendesah, bagaimanapun aku sudah merasa sakit karena kebohongan Dhea, aku masih tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan Dhea.
“Kamu gak ke Rumah Sakit lagi?” aku tahu Diaz berharap aku tidak enggan untuk menemui Dhea lagi di rumah sakit. Aku tidak akan merasa enggan untuk melihat sahabatku, jadi aku pasti akan tetap menengok Dhea.
*********************
“Gimana keadaan Dhea sekarang, Dit?” tanya Syifa saat kami makan bersama di kantin kampus Manajemen.
“Gak baik…Dhea sama sekali belum sadar dan dokter juga udah menyerah dengan penyakit Dhea yang udah stadium akhir.”
“Inalillahi…” gumam Dhea prihatin. “Kamu udah jenguk dia?” tanya Dhea setelah menikmati sedikit minumannya.
Aku menggelang, “Belum…mungkin nanti. Aku hanya bingung apa yang harus aku lakukan disana sementara aku sama sekali gak tau apa-apa tentang Dhea.”
“Dhea cinta sama kamu, dia bakal ngerasain kehadiranmu disana. Siapa tahu itu bisa memberinya kekuatan untuk segera sadar.”
“Apa benar begitu?” aku meragukan ucapan Syifa.
“Yah…cinta akan selalu memberi kekuatan.” Syifa menyunggingkan senyumnya.
“Apa kamu juga merasa lebih kuat setelah jatuh cinta sama aku?” aku meledek Syifa, dia malah tersipu malu. Pipinya yang putih seketika merona merah dan hampir sama dengan kerudung pink yang dikenakannya.
“Yah…aku merasa bersemangat menjalani semuanya.” Jawaban Syifa benar-benar membuat hatiku berbunga.
“Oh ya, Fa… aku bawain komik yang mau aku kasih buat Arfan. Aku titipin lewat kamu aja ya, aku belum sempat kerumah kamu lagi.” Kataku sambil mengambil beberapa komik yang aku bawa di dalam tasku. Aku menyerahkan komik itu ke tangan Syifa.
“Nanti aku antar kamu ke tempat kerja ya, tapi aku gak bisa jemput kamu. Aku mau ke Rumah Sakit jenguk Dhea, gak apa-apa kan?” aku meminta pendapat Syifa.
“Iya Adit, gak apa-apa kok. Kamu tungguin Dhea ya dan jangan lupa terus berdoa. Semoga itu bisa bikin keadaan Dhea jauh lebih baik.”
“Oke sayang….” Aku mengerlingkan mataku kearah Syifa dan memasukan suapan terakhir mie ayam kedalam mulutku.
****************************
Suasana ruangan Dhea begitu panik, entah karena ada apa, layar pendeteksi denyut jantung Dhea tiba-tiba berhenti. Tante Indah kembali terisak kuat saat Dokter menyuruh kami semua untuk keluar meninggalkan Dhea sendiri agar segera mendapat penanganan. Aku menatap Angga yang juga ada disitu dengan tatapan kosong, Angga juga terlihat cemas.Diluar ruangan kami berempat hanya bisa berdoa. Om Bayu masih memeluk Tante Indah dan berusaha untuk menghentikan tangisnya. Sementara Angga dan aku hanya bisa diam sambil terus berdoa dengan perasaan berdebar. Diaz tidak ada disini, dia masih ada di kampusnya.
Hampir satu jam tim Dokter itu ada di ruangan Dhea, tapi mereka belum juga muncul. Aku berharap yang terbaik untuk Dhea dan tidak ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. Angga terus menatap pintu ruangan kamar Dhea dengan pandangan cemas. Ia pasti sama sepertiku, ia menunggu tim Dokter itu keluar dan mengatakan sesuatu yang baik tentang keadaan Dhea.
Beberapa menit kemudian tim dokter keluar dari tuangan Dhea, Tante Indah dan Om Bayu langsung mendekatinya.
“Dhea sudah sadar sekarang, tapi keadaannya masih benar-benar lemah. Kita berdoa saja agar dia bisa semakin kuat melawan penyakitnya.” Salah satu dokter berkata pada Tante Indah. Mendengar ucapan itu aku dan Angga menarik nafas panjang, kami benar-benar merasa lega dan seperti lepas dari beban berat.
Aku dan Angga melangkah di belakang Tante Indah dan Om Bayu, tapi kata-kata Dokter kemudian menghentikan langkah kami, “Karena keadaan Dhea yang masih sangat lemah, kami hanya mengizinkan maksimal dua orang untuk ada di dalam bersama Dhea.”, aku menatap Angga dan kami kembali ke tempat duduk dimana kami menunggu tadi.
Hanya beberapa saat saja Om Bayu dan Tante Indah berada di dalam ruangan Dhea, mereka kemudian keluar dan menghampiri kami berdua.
“Gimana Dhea, Om?” tanyaku, aku benar-benar merasa khawatir dan aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi.
Om Bayu memegang pundaku, “Dhea ingin ketemu kalian.” Jawab Om Bayu lemah.
Aku dan Angga saling berpandangan, tapi tanpa basa-basi lagi, kami segera meninggalkan Om dan tante Bayu memasuki ruang kamar Dhea.
Di kamar Dhea aku benar-benar tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku menggenggam erat tangan Dhea dan duduk di kursi samping tempat tidurnya. Wajah Dhea nampak pucat pasi, tubuhnya lemas dan tatapan matanya kosong. Ia memandangiku, sepertinya ada yang ingin dia ucapkan.
“Dhe…kamu gak perlu ngomong apa-apa. Kamu sekarang istirahat aja dulu….” kataku lembut. Aku benar-benar prihatin melihat keadaan Dhea. Tak ada suara yang ia ucapkan untuk menjawab kata-kataku barusan, bibirnya sedang mencoba tersenyum ke arahku.
“Gw…mau….minta maaf…sama kali……an. Gw minta….ma…af…udahhh…bo…hongi…..kali…an.” ucap Dhea terbata-bata. Nafasnya tersengal, ia memejamkan matanya untuk beberapa saat seperti sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada di dalam raga lemahnya.
“Udah, Dhe…kita udah maafin lu kok.” Suara itu milik Angga, sedangkan aku hanya diam dan diam saja. Bibirku seperti kehilangan kekuatannya untuk terbuka. Keadaan Dhea yang sedang kritis membuatku tak berminat sedikitpun untuk menjawab ucapannya. Aku mempererat genggaman tanganku. Aku tidak ingin cengeng, tapi entah kenapa satu tetes air mata mulai turun menciptakan gerimis di pipiku.
Angga membelai kepala Dhea yang sudah tanpa rambut itu, dia juga diam….
“Syifa…..apa…dia di…sini?”
Aku menggelang lemah, “Gak Dhe, Syifa lagi kerja. Kamu harus sembuh kalau mau ketemu dia.” Aku mencoba memberi kekuatan pada Dhea, meski suaraku sendiri seperti tercekat di kerongkongan.
“Gw….mau ketemu….dia se…ka…rang.” Dhea kembali menarik nafas panjang, matanya menatapku penuh harap. Ia benar-benar ingin aku mengabulkan permohonannya.
Aku menatap Angga, “Gw jemput Syifa.” Ucap Angga kemudian. Aku mengangguk, di dalam hati aku mengucapkan terima kasihku padanya. Aku memang ingin bersama Dhea disini. Aku ingin menemani Dhea, Angga juga begitu, tapi demi aku dan Dhea, dia mengorbakan keinginannya itu.
“Tunggu gw dateng sama Syifa, ya……….” Angga mendekatkan tatapannya ke wajah Dhea sambil tetap memegang kepalanya. Dhea mengangguk lemah dengan matanya yang terpejam.
Angga keluar dari kamar Dhea dan berpapasan dengan Diaz yang sudah berdiri diluar bersama Tante Indah dan Om Bayu.
“Mau kemana lu?” tanya Diaz saat melihat Angga keluar dengan terburu-buru.
“Dhea pengin ketemu Syifa, gw mau jemput dia.”
“Kenapa bukan Adit?”
Angga tersenyum, “Dhea lebih butuh Adit daripada gw sekarang dan gw juga tau keinginan Adit untuk ada sama Dhea jauh lebih penting daripada gw…….” Kalimat Angga terdengar menggantung.
“Gimana keadaan Dhea sekarang?” Diaz memotong ucapan Angga.
“Lu liat aja sendiri.” Jawab Angga singkat dan segera berlalu meninggalkan Diaz.
*********************
“Syifa…….!!!” Teriak Angga saat melihat Syifa yang baru saja keluar dari ruangan sambil membawa nampan berisi beberapa gelas kosong bekas kopi. Syifa menghentikan langkah kakinya saat mendengar suara seseorang yang memanggilnya.
“Angga…..” Syifa sedikit terkejut setelah menoleh dan melihat Angga yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
Angga berlari mendekat kearah Syifa.
“Lu ikut gw sekarang.” Ucap Angga dengan nafas yang terengah-engah.
“Ada apa, Ngga?” Syifa malah bingung.
“Udah, gak usah banyak tanya. Gw jelasin di jalan.” Angga menarik tangan Syifa.
“Bentar, Ngga… aku naruh gelas dulu ke belakang.”
“Oke…cepetan! Gw tunggu disini.”
“Tapi gw lagi kerja, Ngga… ada apaan sih?”
Angga mendengus kesal, “Lu gak usah khawatir ama kerjaan lu. Bokap Adit juga gak bakal mecat lu. Sekarang buruan lu taruh tuh gelas dan cepat balik kesini lagi!” Angga memerintah dengan intonasi suara yang sedikit lebih keras. Syifa menurut, ia meninggalkan Angga ke pantry dengan benak yang penuh tanda tanya.
Syifa kembali ke hadapan Angga dengan pakaian cleaning servicenya, Angga tak peduli, ia kemudian menarik tangan Syifa agar bisa berjalan lebih cepat. Syifa mengikuti langkah Angga dengan langkah yang sedikit tertatih.
“Ada apa sih, Ngga?” tanya Syifa saat sedang dalam perjalanan.
“Dhea kritis, dia pengin ketemu lu.”
“Astaghfirullah… Adit disana kan?”
“Iya, tapi dia penginnya ketemu lu bukan Adit. Gw aja gak ngerti mau ngapain.” Jawab Angga cuek sambil menarik gas motornya lebih kencang.
“Angga ati2 deh!!” Syifa ketakutan, tapi Angga tidak peduli. Ia ingin segera bertemu Dhea.
Sesampainya di rumah sakit, Angga tidak melihat Om Indah dan Tante Yanti di depan ruang kamar Dhea. Diaz sendiri ada di dalam bersamaku. Angga tidak peduli larangan dokter yang disampaikannya saat ia hendak masuk bersamaku tadi.
Meskipun melihat sudah ada aku dan Diaz, dia tetap menarik tangan Syifa memasuki ruang kamar Dhea. Melihat kedatangan Syifa, aku beranjak dari tempat duduku dan mempersilahkan Syifa duduk. Syifa menatapku, ia nampak ragu tapi aku mengangguk meyakinkan Syifa bahwa semuanya baik-baik saja.
Angga dan Diaz sadar betul kehadiran mereka tidak terlalu penting saat ini, tapi mereka juga tak ingin meninggalkan Dhea. Mereka ingin tetap bersama Dhea.
“Syifa….” Dhea memanggil Syifa lemah, Syifa menggenggam tangan Dhea seperti yang tadi kulakukan.
“Iya, Dhea… kenapa?” tanya Syifa dengan suara purau.
“Gw…nitip….Adit.”
“Gak, Dhe… kita bakal sama-sama bareng Adit. Kamu gak akan pergi kemanapun, kamu sembuh! Kamu gak boleh ngomong gitu.” Air mata Syifa mulai turun setetes.
Dhea mencoba tersenyum, sedangkan Syifa menyeka air mata yang mulai turun deras di pipinya. Aku berdiri di belakang tempat duduk Syifa dengan wajah tertunduk. Sekarang aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
“Jangan…bohong…i….Adit….lagi…” kali ini suara Dhea terdengar sedikit lebih lancar.
Syifa mengangguk, “Aku gak akan bohongin Adit, Dhe. Gak cuma aku, kamu juga harus tetap ada biar kita bisa sama-sama bahagiain Adit.”
Kali ini semua mata tertuju pada Syifa dan Dhea. Hal yang dulu sama sekali tidak Angga ingin lihat sekarang terjadi begitu saja di hadapan matanya. Diaz masih membelai kepala adiknya yang sudah gundul, ia sama sekali tak sanggup mengatakan apapun.
Aku…aku terdiam menyaksikan semuanya. Semua yang terjadi dimataku benar-benar membuka mataku. Syifa yang begitu dewasa dan Dhea yang begitu mencintaiku. Aku tak ingin kehilangan siapapun, salah satu diantara mereka. Aku ingin mereka berdua tetap ada. Air mataku menetes, dan aku hanya mampu terdiam terpaku menatap lantai putih kamar Dhea. Tak ada yang bisa kulakukan, aku hanya berdoa dalam hati agar tidak kehilangan siapapun, bahkan salah satu dari mereka.
Kali ini Dhea menatap Diaz, “Kak, Mama dan…Papa….dimana?” tanya Dhea dengan suara yang agak tersendat.
“Gw panggilin sekarang ya….” Diaz mengecup kening Dhea sebelum ia berlalu keluar.
Kali ini Angga mendekat, Angga sudah berlinang air mata dan kini jarak matanya sudah begitu dekat dengan wajah Dhea. Tak ada suara, Angga hanya terisak. Dhea tersenyum. Perlahan tangan lemahnya melepaskan genggaman tangan Syifa dan menghapus airmata Angga.
“Kapan mau punya pacar?” Dhea mencoba bergurau meski dengan suara yang berat.
Angga mencoba tersenyum dan menggenggam tangan Dhea yang baru saja menghapus air matanya.
“Kalau lu gak pergi, gw bakal punya pacar baru.”
Aku menatap Angga kaget, aku merasa ada maksud tersirat dari apa yang baru saja diucapkan Angga, tapi aku tak ingin bertanya apapun disaat seperti ini.
“Lu baik-baik ya, Ngga…” Dhea mulai merasa tak kuat berbicara lebih banyak lagi.
Tante Indah dan Om Bayu datang, Syifa mempersilahkan Tante Indah duduk di kursinya dan Angga menyerahkan tempatnya untuk Om Bayu. Tante Indah terisak, Dhea masih diam.
“Mama…..Papa……Kak Diaz…..” Dhea menarik nafasnya, Diaz mendekat.
“Apa sayang?” tanya Tante Indah dengan mata berlinang air mata.
Dhea memandang Ayahnya, Om Bayu tersenyum seperti ingin menguatkan anak perempuan satu-satunya itu.
“Maka….sih…buat….semua….” Kalimat Dhea terputus, ia benar-benar sudah tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Matanya seketika terpejam dan bersamaan dengan itu layar komputer di samping kanan kepala Dhea hanya menunjukan garis lurus. Tante Indah berteriak histeris, Om Bayu juga menangis sambil menciumi kening Dhea. Angga sama saja, ia hanya tertunduk pilu, tapi isaknya terdengar jelas. Diaz menangis tanpa suara, hanya air matanya saja yang terus mengalir. Syifa memeluk Tante Indah, suara tangis dan air mata mereka berbaur menjadi satu. Aku sendiri hanya bisa bersandar lemas di dinding kamar serba putih ini. aku menatap wajah pucat Dhea dengan bibirnya yang kering. Tuhan menjawab doaku dengan mengambil Dhea dari sampingku.
Dan saat ini, semua air mata di ruangan ini memiliki satu arti yang sama……
Lima Tahun Kemudian……
Angin berhembus pelan membelai wajahku, suara burung gereja yang saling bersahutan juga seperti menjadi alunan musik yang menghiburku. Aku berdiri di sisi makam Dhea. Bersama Syifa, Angga dan Nadia, calon istri Angga. Hari ini aku merasa seperti kambali ke beberapa tahun silam saat masih benar-benar bersama Dhea dan Angga, kedua sahabat terbaiku.
Aku berjongkok di sisi makam Dhea, tanganku membelai lembut nisannya, “Dhea… seandainya kamu disini, aku ingin kita wujudkan mimpi kita bersama…..” aku tak menyelesaikan kalimatku. Mataku memandang Angga, ia juga mengikutiku, berjongkok dan mengelus nisan Dhea dari sisi yang berlainan denganku.
“Dhea….dulu lu pengin kita bertiga bisa nikah disaat bersamaan. Kamu tahu, tiga hari lagi apa yang pernah kita mimpikan akan jadi kenyataan.” Angga menyambung ucapanku.
Aku meraih tangan Syifa dan mengajaknya berjongkok disisiku, Syifa menurut.
“Dhea….kamu udah kenal sama Syifa kan? Syifa ini akan jadi istri aku, Dhe…” aku memandangi nisan Dhea untuk beberapa saat, kemudian mataku beralih memandang Syifa.
“Dhe…doain kita juga ya… kamu kan sekarang udah lebih dekat sama Tuhan daripada kita….” Kali ini mulut Syifa yang berbicara, ia kemudian menaburkan bunga mawar diatas makam Dhea.
“Dhe, kenalin… ini Nadia, calon istri gw. Lu kaget ya Dhe? Yah… gw pernah cerita kan sama lu tentang cinta pertama gw di SMP? Itu Nadia. Dan lu tau, Dhe… gw akhirnya ngedapetin dia dan tiga hari lagi, dia bakal jadi istri gw.” Angga terharu, matanya mulai berkaca-kaca.
Nadia hanya tersenyum sambil ikut menaburkan mawar, tak ada yang dia ucapkan. Ia memang belum pernah mengenal Dhea sebelumnya.
Kami masih asyik bercerita di makam Dhea, seolah-olah ia benar-benar hadir diantara kami berempat dan mendengarkan cerita kami semua.
********************
Hari pernikahanku akhirnya datang juga. Aku dan Syifa serta Angga dan Nadia, kami menikah di hari yang sama dan ruangan yang sama. Ada dua penghulu juga yang akan menikahkan kami berdua disaat bersamaan. Sejak semalam tadi perasaanku benar-benar sulit terkatakan. Semalam tadi aku kembali mengingat semuanya tentang aku, Angga dan Dhea. Segala yang kita lalui bersama seakan seperti kembali aku jalani.
Syifa belum keluar dari tempat persembunyiannya, ia baru akan kelaur menemuiku setelah aku mengucapkan Ijab Qabul. Aku menatap Angga yang duduk tidak jauh dariku, ia tersenyum sambil menunjukan jempolnya seolah memberitahuku jika ia juga sudah siap.
Dan Ijab Qabul itupun akhirnya benar-benar sudah kulalui…..
Aku tersenyum, menarik nafas merasa lega. Saat ini… aku dan Angga bukan lagi laki-laki lajang.
Wajah cantik Syifa dan Nadia keluar dari balik tirai. Syifa menghampiriku, menyalami tanganku dan menciumya. Aku balas mencium keningnya. Semua tamu yang hadir tersenyum seperti ikut merasa bahagia. Aku memakaikan cincin pernikahan di jari Syiifa, satu bukti jika Syifa sudah benar-benar sah menjadi milikku. Aku menatap wajah para tamu satu persatu, menikmati senyuman mereka…
Dan saat itu…aku seperti melihat sosok Dhea dengan gaun putihnya. Ia tersenyum padaku.
“Dhea datang…” bisiku lirih di telinga Syifa, istriku.
Syifa menatapku tak mengerti, aku kembali melihat sosok Dhea berdiri dengan tamu lainnya. Syifa menatapku tak percaya, ia juga melihatnya.
Aku mengalihkan pandanganku pada Angga dan aku tahu, ia juga sedang terkejut ketika melihat arah yang sama dengan yang sudah kulihat tadi.
Angga menatapku, kami saling berpandangan beberapa saat, dan saat mata kami kembali mencari sosok Dhea, ia sudah tidak ada.
Dhea menghilang dari kumpulan para tamu, tapi tidak dari hati kami semua.
Dhea adalah kenangan terindah bagiku dan Syifa adalah embun yang akan menjadi penyejukku selamanya…
*****____________END____________*****
0 respons:
Post a Comment