Aku terduduk di sudut ruang
gelap ini. pengap, hampa dan gelap. Tubuhku menggigil, nafasku tersengal
seolah memprotes keadaan. Tanganku terikat, kakiku terpasung dan jiwaku
terbelenggu. Aku bagai katak buta dalam tempurung. Diluar sana, mungkin
mentari terang menyinari dunia. Dunia mereka, bukan duniaku. Duniaku
hanya dipenuhi gelap dan pengap yang memuakkan, menjengkelkan dan
membosankan. Sesekali pintu kayu itu berderit dan kulihat wajah wanita
tua menyembul disana. Wanita tua yang mengurungku disini. Wanita tua
yang menganggapku gila seperti yang lainnya. Wanita yang berpikir aku
aneh dan mengerikan. Gila? Aku sungguh tak tahu teori apa yang mereka
pahami hingga menganggapku gila. Apa karena aku sering tersenyum seorang
diri? Bukankah senyum itu ibadah paling mulia yang disunahkan? Apa aku
dianggap gila karena aku melakukan ibadah paling mulia itu dimanapun dan
kapanpun? Apa mereka tidak tahu betapa bahagianya saat aku tersenyum?
Entahlah… sepertinya mereka tidak tahu. Otak mereka terlalu picik hingga
menganggap orang yang sedang berbahagia ini gila.
Di bawah rembulan, di taman ini. aku membelalakan mataku lebar-lebar. Hidungku kembang kempis menghirup udara malam. Entah malaikat apa yang merasuki jiwa wanita tua berwajah keriput itu hingga ia tak khawatir melepasku dari kandang kumuhku, sepertinya ia tahu betapa inginnya aku menikmati udara bebas malam ini seperti yang dulu biasa aku lakukan saat purnama menghiasi dunia. Disini…di tempat duduk ini, hidungku masih jelas mencium wangi parfumnya. Lembut belaian tangannya juga masih kurasa di wajahku. Ia bagai hantu yang selalu membayangiku, mengikuti setiap langkahku. Tidak ada tetapi tetap ada, ada dan akan selalu ada.
Lelaki berwajah tirus, putih dengan senyum menawannya, alis melengkung yang nyaris sempurna, menambah pesona di wajah misteriusnya. Itulah dia, laki-laki yang membuatku seperti sekarang ini. laki-laki yang pernah mencintaiku dengan sepenuh jiwa raganya, laki-laki yang selalu membuatku tersenyum disaat aku terkungkung kepedihan. Sekaligus laki-laki yang membuat orang berpikir bahwa aku gila.
Entah beberapa tahun yang lalu, di hadapanku ia tertidur pulas. Terbujur kaku di tempat tidur putih, mobil yang kami naiki bersama waktu itu meraung-raung memekakan telinga. Aku marah sekali rasanya waktu itu, laki-lakiku sedang tertidur pulas dan mobil putih tak tahu diri itu terus saja meraung. Laki-lakiku begitu kesakitan setelah semalam tadi tertabrak mobil, sepanjang malam ia tak sadarkan diri. Aku saksinya!! Matanya baru terbuka menjelang dini hari, ia menatapku, aku masih ingat betul seperti apa tatapannya, Di sela-sela sakitnya ia tersenyum padaku, tapi betapa bodohnya aku yang malah menangis melihat senyumnya. Ia kemudian mulai merintih kesakitan dan saat matahari mulai menyapa dunia, dengan tenang ia memejamkan matanya. Tidur lelap, ia kelelahan. Tapi ia terus tertidur hingga mobil putih itu sampai di depan rumah bercat biru. Beberapa orang bahkan harus menggotong tubuh laki-lakiku karena ia tak kunjung membuka matanya. Kulihat beberapa mata menangis, mereka bilang laki-lakiku pergi. Hah? Kebodohan apa ini?! Mata mereka buta, jelas-jelas laki-lakiku itu sedang tertidur pulas di depan kami semua. Saat itu aku mencoba menjelaskannya, tapi mereka mengabaikanku, tak menghiraukanku dan mungkin sejak itulah orang-orang aneh itu menganggapku gila. Padahal mereka yang gila, mereka tidak tahu, laki-lakiku itu mengatakan padaku sebelum tidurnya “aku mau tidur dulu ya” dan saat itu aku mengangguk. Aku percaya pendengaranku masih waras, aku tidak salah dengar! Dia tak mengatakan dia akan pergi, tapi kenapa orang-orang beranggapan laki-lakiku pergi?
Dan saat ini, di tempat yang sama, aku duduk menatap sang rembulan, seseorang dengan wajah asing duduk di sampingku. Aku tak peduli…
“Kamu menunggu seseorang?” suara asing itu mampir di pendengaranku. Aneh sekali manusia satu ini, tidak tahukah ia jika semua orang berpikir aku ini gila? Hampir sebagian besar orang berpikir entah berapa kali sebelum mereka duduk di dekatku, tapi ada apa dengan manusia satu ini?
“Tidakkah kamu melihat aku sedang bersama seseorang?” ucapku dingin tanpa menatap wajahnya. “sebaiknya kau pergi, apa kau tak merasa sedang mengganggu kami? Sambungku lagi. Kali ini kutatap wajah makhluk asing di sampingku itu dan kulihat ia tersenyum mendengar ucapanku. Entah apa maksud senyumnya, aku tak mengerti.
Aku kembali berpaling dan tersenyum bersama laki-lakiku yang berdiri tepat di hadapanku. Tak kuhiraukan sedikitpun wajah asing di sampingku. Akhirnya, kubiarkan saja ia tetap duduk disana. Ini bukan benar-benar “tempatku”, aku tak berhak mengusirnya. Beberapa anak manusia melewati kami bertiga, sebagian dari mereka berkata pada laki-laki asing di sampingku “Jangan dekat-dekat perempuan itu, dia gila.”. Lagi-lagi ucapan itu tak kuhiraukan, aku hanya berharap laki-laki asing di sampingku segera beranjak peergi. Saat ini aku hanya ingin bersama laki-lakiku. Tapi laki-laki asing itu tak beranjak dari sampingku, seperti aku, ia bahkan nampak lebih tidak peduli pada omongan orang-orang aneh yang baru saja lewat. Ia tetap diam di sampingku, hingga akhirnya orang-orang tak lagi peduli dan menganggap mahluk asing di sampingku juga sama sepertiku, gila.
Laki –laki itu kembali tersenyum saat mataku sekilas menatap wajahnya.
“Bisa kau kenalkan padaku siapa yang sedang bersamamu?” ucap si mahluk asing ramah.
Aku tersentak kaget mendengar ucapannya barusan. Ia tak menganggapku gila? Aku bahagia, sangat bahagia. Aku hampir tak percaya ada orang yang masih mau mempercayaiku. Mereka, orang-orang aneh itu selalu mengatai aku gila. Tapi laki-laki berwajah asing di sampingku ini berbeda. Tak butuh waktu lama, aku mulai merasa nyaman dengan si wajah asing. Aku merasa menemukan seorang teman yang bisa kuajak berbagi dan tanpa sadar lidahku mulai mengoceh. Kuceritakan semua padanya, aku bercerita tentang laki-lakiku, tentang belahan jiwaku. Hingga ceritaku selesai ia masih duduk di sampingku. Ia benar-benar mendengarkanku, memperhatikan semua kata-kataku dan tak mengabaikanku seperti yang lainnya. Aku benar-benar merasa diatas angin, akhirnya aku temukan orang yang peduli padaku. Orang-orang mengatakan laki-laki asing ini sama gilanya denganku, tapi aku tak peduli omongan mereka. Aku merasa nyaman di dekatnya, biarkan saja mereka bilang kami gila! Aku benar-benar tak tahu apa-apa tentang laki-laki asing di sampingku itu, yang aku tahu aku mulai tergila-gila padanya. Karena mahluk asing itu adalah satu-satunya orang yang memahamiku saat ini.
Di bawah rembulan, di taman ini. aku membelalakan mataku lebar-lebar. Hidungku kembang kempis menghirup udara malam. Entah malaikat apa yang merasuki jiwa wanita tua berwajah keriput itu hingga ia tak khawatir melepasku dari kandang kumuhku, sepertinya ia tahu betapa inginnya aku menikmati udara bebas malam ini seperti yang dulu biasa aku lakukan saat purnama menghiasi dunia. Disini…di tempat duduk ini, hidungku masih jelas mencium wangi parfumnya. Lembut belaian tangannya juga masih kurasa di wajahku. Ia bagai hantu yang selalu membayangiku, mengikuti setiap langkahku. Tidak ada tetapi tetap ada, ada dan akan selalu ada.
Lelaki berwajah tirus, putih dengan senyum menawannya, alis melengkung yang nyaris sempurna, menambah pesona di wajah misteriusnya. Itulah dia, laki-laki yang membuatku seperti sekarang ini. laki-laki yang pernah mencintaiku dengan sepenuh jiwa raganya, laki-laki yang selalu membuatku tersenyum disaat aku terkungkung kepedihan. Sekaligus laki-laki yang membuat orang berpikir bahwa aku gila.
Entah beberapa tahun yang lalu, di hadapanku ia tertidur pulas. Terbujur kaku di tempat tidur putih, mobil yang kami naiki bersama waktu itu meraung-raung memekakan telinga. Aku marah sekali rasanya waktu itu, laki-lakiku sedang tertidur pulas dan mobil putih tak tahu diri itu terus saja meraung. Laki-lakiku begitu kesakitan setelah semalam tadi tertabrak mobil, sepanjang malam ia tak sadarkan diri. Aku saksinya!! Matanya baru terbuka menjelang dini hari, ia menatapku, aku masih ingat betul seperti apa tatapannya, Di sela-sela sakitnya ia tersenyum padaku, tapi betapa bodohnya aku yang malah menangis melihat senyumnya. Ia kemudian mulai merintih kesakitan dan saat matahari mulai menyapa dunia, dengan tenang ia memejamkan matanya. Tidur lelap, ia kelelahan. Tapi ia terus tertidur hingga mobil putih itu sampai di depan rumah bercat biru. Beberapa orang bahkan harus menggotong tubuh laki-lakiku karena ia tak kunjung membuka matanya. Kulihat beberapa mata menangis, mereka bilang laki-lakiku pergi. Hah? Kebodohan apa ini?! Mata mereka buta, jelas-jelas laki-lakiku itu sedang tertidur pulas di depan kami semua. Saat itu aku mencoba menjelaskannya, tapi mereka mengabaikanku, tak menghiraukanku dan mungkin sejak itulah orang-orang aneh itu menganggapku gila. Padahal mereka yang gila, mereka tidak tahu, laki-lakiku itu mengatakan padaku sebelum tidurnya “aku mau tidur dulu ya” dan saat itu aku mengangguk. Aku percaya pendengaranku masih waras, aku tidak salah dengar! Dia tak mengatakan dia akan pergi, tapi kenapa orang-orang beranggapan laki-lakiku pergi?
Dan saat ini, di tempat yang sama, aku duduk menatap sang rembulan, seseorang dengan wajah asing duduk di sampingku. Aku tak peduli…
“Kamu menunggu seseorang?” suara asing itu mampir di pendengaranku. Aneh sekali manusia satu ini, tidak tahukah ia jika semua orang berpikir aku ini gila? Hampir sebagian besar orang berpikir entah berapa kali sebelum mereka duduk di dekatku, tapi ada apa dengan manusia satu ini?
“Tidakkah kamu melihat aku sedang bersama seseorang?” ucapku dingin tanpa menatap wajahnya. “sebaiknya kau pergi, apa kau tak merasa sedang mengganggu kami? Sambungku lagi. Kali ini kutatap wajah makhluk asing di sampingku itu dan kulihat ia tersenyum mendengar ucapanku. Entah apa maksud senyumnya, aku tak mengerti.
Aku kembali berpaling dan tersenyum bersama laki-lakiku yang berdiri tepat di hadapanku. Tak kuhiraukan sedikitpun wajah asing di sampingku. Akhirnya, kubiarkan saja ia tetap duduk disana. Ini bukan benar-benar “tempatku”, aku tak berhak mengusirnya. Beberapa anak manusia melewati kami bertiga, sebagian dari mereka berkata pada laki-laki asing di sampingku “Jangan dekat-dekat perempuan itu, dia gila.”. Lagi-lagi ucapan itu tak kuhiraukan, aku hanya berharap laki-laki asing di sampingku segera beranjak peergi. Saat ini aku hanya ingin bersama laki-lakiku. Tapi laki-laki asing itu tak beranjak dari sampingku, seperti aku, ia bahkan nampak lebih tidak peduli pada omongan orang-orang aneh yang baru saja lewat. Ia tetap diam di sampingku, hingga akhirnya orang-orang tak lagi peduli dan menganggap mahluk asing di sampingku juga sama sepertiku, gila.
Laki –laki itu kembali tersenyum saat mataku sekilas menatap wajahnya.
“Bisa kau kenalkan padaku siapa yang sedang bersamamu?” ucap si mahluk asing ramah.
Aku tersentak kaget mendengar ucapannya barusan. Ia tak menganggapku gila? Aku bahagia, sangat bahagia. Aku hampir tak percaya ada orang yang masih mau mempercayaiku. Mereka, orang-orang aneh itu selalu mengatai aku gila. Tapi laki-laki berwajah asing di sampingku ini berbeda. Tak butuh waktu lama, aku mulai merasa nyaman dengan si wajah asing. Aku merasa menemukan seorang teman yang bisa kuajak berbagi dan tanpa sadar lidahku mulai mengoceh. Kuceritakan semua padanya, aku bercerita tentang laki-lakiku, tentang belahan jiwaku. Hingga ceritaku selesai ia masih duduk di sampingku. Ia benar-benar mendengarkanku, memperhatikan semua kata-kataku dan tak mengabaikanku seperti yang lainnya. Aku benar-benar merasa diatas angin, akhirnya aku temukan orang yang peduli padaku. Orang-orang mengatakan laki-laki asing ini sama gilanya denganku, tapi aku tak peduli omongan mereka. Aku merasa nyaman di dekatnya, biarkan saja mereka bilang kami gila! Aku benar-benar tak tahu apa-apa tentang laki-laki asing di sampingku itu, yang aku tahu aku mulai tergila-gila padanya. Karena mahluk asing itu adalah satu-satunya orang yang memahamiku saat ini.
0 respons:
Post a Comment