Monday, October 6, 2014

Embun dari Hati Assyifa (Part. 5)

| |

“Dit, maksud kamu apa sih bilang aku ini calon istri kamu? Kamu ngomong ama orang tua kamu, ini gak lucu, Dit?”

“Kamu pikir aku lagi lucu-lucuan? Aku serius. Kamu calon istri aku, aku gak main-main. Kamu cewek yang bakal aku nikahin.” Aku menatap serius wajah Syifa.

Semilir angin di halaman rumah Syifa terasa sejuk, aku masih menatap wajah Syifa, menunggu jawabannya atas pernyataanku tadi. Setelah membawanya menemuiku orang tuaku, aku semakin yakin untuk mengatakan perasaanku kepada gadis berkerudung itu. Apalagi melihat wajah Ibuku tadi, Mama memang menginginkan perempuan berjilbab yang menjadi pendampingku. Dari wajah Ayah dan Ibuku, aku bisa melihat jika mereka berdua sama sekali tidak keberatan dengan pilihanku.

“Apa kamu selalu seperti ini ke semua perempuan lain, Dit? Dekat dalam hitungan hari dan kemudian mengatakan dia adalah calon istrimu? Maaf, Dit. Aku gak punya waktu untuk main-main seperti ini.” sinis, pertanyaan yang tidak pernah aku sangka keluar dari bibir manis milik Syifa.

Syifa membalikan badannya, tapi genggaman  tanganku di pergelangan tangannya membuat ia tak bisa menjauh dariku

“Fa, aku gak lagi main-main. Aku serius! Oke, kalau kamu masih belum bisa mengiyakan keinginanku, kita tetep bisa berteman kan?”

Syifa melepaskan genggaman tanganku dengan satu tangan lainnya. Tanpa sepatah katapun, ia kemudian meninggalkanku dan masuk kedalam rumahnya.

Kali ini aku benar-benar daiam dan hanya bisa menatap tubuh Syifa yang menghilang bersamaan dengan ditutupnya pintu rumah itu.

********************

Beberapa hari ini aku memang sering melihat Angga merenung sendiri, ia juga tak seceria sebelumnya. Aku sudah berkali-kali bertanya ada apa dengannya. Tapi ia tak pernah sekalipun menjawab pertanyaanku. Aku mulai berpikir Angga menyukai Assyifa sepertiku, tapi setiap kali kutanyakan itu, Angga menyangkal. Ia selalu bilang “Tidak” untuk pertanyaanku yang seperti itu dan hal lain yang membuatku semakin yakin jika perasaannya terhdap Assyifa sama sepertiku adalah, ia selalu menghindariku dan menyuruhku berhenti jika sedang bercerita tentang gadis berkerudung itu.

Keheranan dan kebimbanganku masih belum sirna, saat aku datang ke rumahnya dan melihat Angga sedang berkemas-kemas.

“Lu mau kemana, Ngga?” tanyaku, Angga tak peduli, ia sibuk memasukkan beberapa pakaiannya k etas koper warna hitam itu.

“Lu denger gak sih gw tanya apa?!” aku membentak. Selama ini aku merasa sudah cukup sabar menghadapi diamnya. Tapi selalu diacuhkan setiap saat juga benar-benar membuatku marah.

“Gw mau ke Singapura.” Jawab Angga, ia masih enggan memandangku.

Aku kaget mendengar jawabannya. Singapura?

“Singapura? Lu mau ngapain?”

“Lu gak perlu tau.”

Angga meninggalkanku keluar kamar, ia menyuruh supirnya mengantarkannya ke Bandara, aku tak menyusulnya. Aku mengenal Angga sudah lebih dari 6 tahun dan aku tahu dia. Jika ada sesuatu yang ingin dia rahasiakan, dia pasti akan merahasiakannya, bahkan dari aku sekalipun.

Aku masih berdiri di teras menatap kepergian Angga, seorang perempuan keluar dari rumah dan menyapaku. Tante Widi, sejak sebulan lalu Ibu Angga itu memang tidak di rumah, ia menginap di rumah Mbak Nita, kakak Angga yang baru saja melahirkan anak pertamanya sebulan lalu.

“Tante, Angga ke Singapura ada apa ya?” tanyaku, aku berharap ada jawaban yang bisa memberitahuku apa alasan perubahan sikap Angga akhir-akhir ini.

“Lho, Angga bilang katanya temennya dirawat di rumah sakit Singapura. Kamu gak tahu?”

Aku semakin bingung mendengar penjelasan Tante Widi, aku menggelang.

“Adit gak tau, Tante.” Aku memaksa untuk tersenyum.

Aku pulang dari rumah Angga, kembali ke rumahku yang saat ini sudah lebih baik suasananya. Ibuku sudah kembali dari rumah sakit, dan tidak ada pertengkaran lagi antara kedua orang tuaku. Aku berharap itu akan terjadi untuk selamanya.
Aku menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu, pikiranku melayang menatap langit-langit ruangan itu. kuingat kembali semua yang sudah terjadi di hidupku beberapa hari terakhir ini. Aku kehilangan Dhea, Assyifa yang hingga kini masih mengacuhkanku dan aku juga kehilangan Angga yang dulu. Jika dunia selalu memiliki kebahagiaan dan kesedihan, kenapa kebahagiaanku karena kembali utuhnya keluargaku harus dibayar dengan kehilangan tiga orang terdekatku sekaligus?

“Dit, kamu kenapa?”

Tanpa kusadari Mama sudah duduk di sampingku. Mungkin sejak tadi aku memang terlalu asyik dengan lamunanku hingga tak sadar akan keberadaan Ibuku itu.

Aku bangun dan duduk bersandar, kepalaku menengadah.

“Gak apa-apa, Ma.”

Ibuku tersenyum, ia mendekat disisiku dan duduk di sampingku.

“Hubunganmu sama Assyifa gimana?”

Aku tersenyum tanpa tahu apa arti dari senyumanku sendiri, senyuman miris atau senyuman pedih. Yang jelas untuk saat ini, aku sedang tidak bisa tersenyum bahagia.

“Kok gitu senyumnya, lagi ada masalah ya?”

“Iya Ma, Syifa lagi marah sama aku.”

“Lho, kenapa?” Ibuku mulai penasaran.

“Gara-gara kemarin Adit bilang ke Mama sama Papa kalau Syifa calon istri Adit.”

Mama merasa aneh mendengar ceritaku, “Lho, kok bisa? Dia gak mau jadi istri kamu? Dia pacar kamu kan sekarang?”
Aku nyengir, “Belum, Ma. Kita cuma baru dekat aja kok.”

Mama mengangguk paham “Yap antes dia marah, dia merasa dipermainkan sama kamu. Orang baru dekat kok udah ngomong calon istri.”

Aku tertawa malu, merasa salah tingkah sendiri. Mungkin jika saat itu aku tidak menuruti kekonyolanku, bukan seperti ini kejadiannya.

“Tapi kamu sendiri yakin kan udah cinta ama dia?”

“Ya….gitu deh.”

“Lho, kok gitu deh?” Mama tak puas dengan jawabanku yang mengambang tak jelas.

Entahlah…aku memang belum bisa memastikan hatiku.

********************

Di kampus aku sibuk mencari informasi dari semua teman Angga, berharap ada yang bisa menjelaskan padaku sebab berubahnya sikap Angga dan kepergiannya yang mendadak ke Singapura. Aku mendatangi base camp organisasi kampus yang menaungi Angga.

“Angga ke Singapura?” Sarah malik balik bertanya padaku saat kutanyakan padanya tentang kepergian Angga yang tiba-tiba itu.

Aku mengangguk.

“Gw denger-denger, Diaz juga ada di Singapura.” Sarah bergumam

“Yakin lu?” aku mulai merasa senang, karena sepertinya kedatanganku ke base camp ini tidak sia-sia. Aku berharap ada
informasi lebih banyak lagi yang bisa kutahu tentang Angga.

“Iya…tapi udah sejak beberapa hari yang lalu. Angga berangkat kapan sih?”

“Baru kemarin.” Jawabku.

“Ohh.. ya, lu coba tanya aja sama anak lainnya, siapa tahu ada yang lebih ngerti dari gw.”

Aku mengangguk, “Thanks ya…”

Aku keluar dari ruangan itu, aku berniat langsung ke rumah Diaz. Tapi langkah kakiku terhenti. Mataku menangkap bayangan Syifa, seketika aku terpaku. Syifa membalikan badan dan aku tidak bisa lagi mengelak dari pandangan matanya yang teduh. Beberapa saat lamanya kami saling berpandangan, tapi tiba-tiba Syifa berlalu, pergi entah kemana. Mungkin ia sedang mencoba menghindariku.

********************

“Den Adit, sudah lama ya gak main kesini.” Komentar Bibi saat melihat kedatangan Adit di rumah Dhea.

Aku tersenyum, pandanganku menjelajah ke dalam ruang tamu.

“Nyari Non Dhea ya, Den?”

“Gak Bi, aku nyari Diaz. Dhea udah berangkat ke Bandung kan, Bi?”

Si Bibi malah nampak bingung.

“Non Dhea gak berangkat ke Bandung kok, Den. Ibu, Bapak, Den Diaz dan Non Dhea sekarang ada di Singapura semua.”

Aku keget mendengar jawaban pembantu rumah Dhea itu. Dhea membohongiku, dia berpamitan kembali ke Bandung padaku, bukan ke Singapura. Kebohongan Dhea padaku dan perubahan sikap Angga, apa itu ada hubungannya? Aku bertanya pada diriku sendiri.

“Ada acara apa, Bi di Singapura?” aku mulai menyelidiki.

“Gak ada apa-apa, Den. Non Dhea sakit dan harus diobati disana.”

Dhea sakit, sakit apa? Separah apa sakitnya hingga ia harus keluar dari Indonesia hanya untuk sekedar berobat?

“Dhea sakit apa, Bi?”

“Bibi gak ngerti Den.”

“Oh, ya udah kalau gitu saya pulang dulu, Bi.”

Aku meninggalkan rumah Dhea dengan pertanyaan yang masih tersimpan di otakku. Jika memang Dhea sakit dan Angga sudah tahu tentang itu, kenapa dia harus menyembunyikannya dari aku? Lalu sebenarnya separah apa sakit Dhea hingga ia harus pergi ke Singapura? Dhea itu perempuan yang ceria, dia jarang sekali sakit.

*********************

“Sampai kapan lu mau kaya gini ama gw? Lu pikir diem lu nyelesein masalah?” Aku menatap  Syifa tajam.

“Dit, gw cuma pengin ngasih waktu buat kamu mastiin perasaan kamu.” Jawab Syifa setelah beberapa saat terdiam.

“Dengan cara lu diemin gw dan cuekin gw? Gak pernah bales sms gw, gak pernah angkat telepon gw dan dan ngehindar ketemu gw? Gak ada cara yang lebih baik?” nada suaraku meninggi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sangat mudah emosi.

“Dit, aku lagi kerja sekarang. Tolong jangan ganggu aku.”

Aku menghalangi langkah Syifa yang hendak keluar dari dapur kantor Ayahku. Kali ini aku benar-benar tidak akan mengizinkan Syifa menghindariku lagi.

“Mau kemana lagi lu? Masih mau ngehindar dari gw? Fa, gw udah minta maaf sama lu dan gw juga udah gak keberatan kalau lu mau kita temenan aja. Tapi gak kaya gini caranya. Gw gak bisa lu ngehindarin gw terus-terusan.” Aku sedikit melunakan suaraku. Bagaimanapun juga aku tak ingin Syifa malah tambah menjauh dariku.

Syifa memandangku, ia terdiam.

“Karena aku juga lagi memastikan perasaanku sama kamu, Dit.”

Jawaban Syifa barusan membuatku seketika menutup mulutku, Syifa memandangku serius dengan tatapan matanya yang indah.

“Jadi maksud lu….” Suaraku menggantung.

“Iya, aku juga...mulai ngerasa suka sama kamu, walaupun aku belum terlalu yakin dengan perasaanku.”

Aku menelan ludah, “Sampai kapan lu mau meyakinkan perasaan lu?”

Syifa menunduk lama, membuatku makin geram.

“Fa, sampai kapan waktu yang lu mau buat ngeyakinin perasaan lu?” aku mengulang pertanyaanku.

“Sekarang aku yakin.” Ucap Syifa lirih, aku bahkan nyaris tak mendengar suaranya.

Aku tersenyum lebar, jantungku malah berdebar lebih kencang mendengar apa yang baru saja dikatakan Syifa.

“Jadi?” aku menatap Syifa.

“Apa?” Syifa malah balik bertanya padaku.

“Kita pacaran?”

Syifa tak langsung menjawab pertanyaanku, “Mungkin, tapi aku lebih suka nyebut itu sebagai proses saling kenal dulu.”
Aku tersenyum, “Oke, apapun namanya terserah lu. Yang penting lu suka ama gw dan gw juga cinta banget sama lu.”
Wajah Syifa merona merah, entah karena bahagia atau malah karena malu.

“Gw anterin lu pulang ntar ya.”

Syifa mengangguk, hatiku melompat kegirangan.

********************

Sejak saat itu aku semakin dekat dengan Syifa, aku juga semakin sering bertemu Ayahku di kantor. Meskipun sekarang aku sudah cukup dekat dengan Syifa, aku masih menunggu kepulangan Angga dari Singapura. Aku berharap dia segera menceritakan semuanya padaku. Apa yang sedang terjadi sebenarnya, apa yang tidak aku tahu dan apa yang mereka rahasiakan dariku. Angga dan Dhea, aku sempat berpikir buruk tentang mereka, tapi akhirnya aku lebih memilih untuk menepiskan pikiranku sendiri. Angga tidak akan mengkhianatiku. Berkali-kali aku menghubungi Angga, Dhea dan Diaz secara bergantian, tapi tidak satupun dari mereka yang membalas emailku, mengangkat telepon atau sekedar membalas smsku. Seperti ada rahasia besar yang kompak mereka sembunyikan, dan itu yang aku benar-benar ingin tau.

Hari ini Syifa libur kerja, aku mengajaknya makan malam. Bukan makan malam romantis, aku hanya ingin mengobrol dengan Syifa.

Aku memesan makanan untukku dan Syifa, malam ini ia nampak lebih cantik dan anggun dengan gamis warna krem dan jilbab senada.

“Kamu kelihatan cantik malam ini.” aku tersenyum kecil, Syifa tersipu malu mendengar ucapanku barusan.

“Makasih…” Syifa hanya menunduk saja.

“Kamu lagi ngobrol sama meja ya?” aku mencoba mencairkan suasana dengan sedikit berurau.

Syifa mengangkat wajahnya, ia tersenyum kecil ke arahku.

“Dit, akhir-akhir ini kamu sepertinya agak pendiam. Ada masalah ya?” tanya Syifa sambil menyendok makanannya.

Aku sedikit tersenyum, merasa senang ternyata ia memperhatikan keadaanku juga.

“Yah…sedikit ada masalah. Tapi gak apa-apa kok.”

“Boleh aku tahu?”

“Yakin mau tahu?” aku malah balik tanya. Sedikit bergurau, sebenarnya aku memang berniat menceritakan semuanya tentang Dhea dan Angga. Hanya saja aku sendiri juga tak enak hati harus membicarakan mantan pacarku dengan pacar baruku sekarang.

“Kalau aku gak yakin, aku gak akan nanya, Dit.” Syifa menjawab sedikit kesal karena keseriusannya hanya ditanggapi seperti lelucon olehku.

“Aku lagi bingung aja, Fa. Akhir-akhir ini sikap Angga, sahabatku beneran berubah. Jadi diam banget, dan beberapa hari lalu dia juga mendadak pergi ke Singapura. Aku gak tahu apa alasannya. Ibu dan teman-temannya bilang kalau dia mau ngejenguk salah satu temannya yang sakit.” Aku memulai ceritaku.

“Ya udah, mungkin dia emang lagi jenguk temennya. Aku curiga nih ama kamu dan Angga. Kamu jealous ya Angga ninggalin kamu ke Singapura buat jenguk temennya?” Syifa mulai berani bercanda denganku. Aku tersenyum mendengar gurauannya.

“Gak gitu, Fa. Aku cuma ngerasa kalau Angga lagi rahasiain sesuatu sama aku. Yang sakit itu temen deket aku juga, tapi Angga dan temenku itu gak pernah cerita sama sekali ke aku.” Aku merangkai kata dengan hati-hati, sedikit khawatir akan menyinggung perasaan Syifa. Aku tidak bohong, Dhea bukan lagi kekasihku semenjak aku mengiyakan keinginannya untuk mengakhiri hubungan. Jadi rasanya aku tidak salah menyebutnya teman, meskipun hubunganku dengannya tidak sedekat dulu sebelum kita menjadi pasangan kekasih.

“Siapa temen kamu yang sakit itu, Dit? Sakit apa dia?”

“Dhea.” Aku menatap Syifa sesaat, berharap sikapnya tak langsung berubah setelah aku menyebut nama itu, meski syifa tak tahu Dhea adalah mantan pacarku, entah kenapa aku merasa khawatir jika ia tahu apa yang sebenarnya. “Aku juga gak tahu dia sakit apa, semuanya ngerahasiain dari aku.” Aku kembali melanjutkan ucapanku.

“Kamu dekat banget ya ama Dhea?”

Aku mulai menangkap kecemburuan di suara Dhea.

“Ya…kita bertiga deket kok. Makanya aku heran kenapa Angga ngerahasiainnya dari aku.”

“Dhea itu mantan cewekku.” Aku berkata pelan, berharap Syifa tidak marah mendengar ucapanku.

Syifa mengangguk, ekspresinya datar saja.

“Kamu gak marah kan?” aku sedikit ketakutan.

“Kenapa aku harus marah, semua orang punya masa lalu kok.” Jawaban Syifa yang dewasa membuatku merasa tenang.

“Kamu berapa lama sih pacaran ama Dhea dulu?” tanya Dhea.

“Dua tahun, sejak kelas 3 SMA. Tapi abis itu kita long distance, Dhea milih kuliah di Bandung.” Aku mulai terbuka dengan masa laluku.

“Udah lama putus ama Dhea?” Syifa sepertinya benar-benar ingin tau, aku ragu menjawabnya.

“Kenapa? Kok ngeliatin aku gitu?” Syifa tersenyum kikuk, merasa salah tingkah karena terus kupandangi.

“Aku cuma pengin tau, Dit. Gak apa-apa kan?”

“Udah lumayan lama kok.” Jawabku sambil menyedot minuman di hadapanku.

“Tapi kamu milih aku, bukan cuma karena kesepian abis putus kan?”

Aku diam, Syifa masih menunggu jawabanku.

Bersambung….

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba