“Dit, maksud kamu apa sih bilang aku ini calon istri kamu? Kamu ngomong ama orang tua kamu, ini gak lucu, Dit?”
“Kamu
pikir aku lagi lucu-lucuan? Aku serius. Kamu calon istri aku, aku gak
main-main. Kamu cewek yang bakal aku nikahin.” Aku menatap serius wajah
Syifa.
Semilir angin di halaman rumah Syifa terasa sejuk,
aku masih menatap wajah Syifa, menunggu jawabannya atas pernyataanku
tadi. Setelah membawanya menemuiku orang tuaku, aku semakin yakin untuk
mengatakan perasaanku kepada gadis berkerudung itu. Apalagi melihat
wajah Ibuku tadi, Mama memang menginginkan perempuan berjilbab yang
menjadi pendampingku. Dari wajah Ayah dan Ibuku, aku bisa melihat jika
mereka berdua sama sekali tidak keberatan dengan pilihanku.
“Apa
kamu selalu seperti ini ke semua perempuan lain, Dit? Dekat dalam
hitungan hari dan kemudian mengatakan dia adalah calon istrimu? Maaf,
Dit. Aku gak punya waktu untuk main-main seperti ini.” sinis, pertanyaan
yang tidak pernah aku sangka keluar dari bibir manis milik Syifa.
Syifa membalikan badannya, tapi genggaman tanganku di pergelangan tangannya membuat ia tak bisa menjauh dariku
“Fa, aku gak lagi main-main. Aku serius! Oke, kalau kamu masih belum bisa mengiyakan keinginanku, kita tetep bisa berteman kan?”
Syifa
melepaskan genggaman tanganku dengan satu tangan lainnya. Tanpa sepatah
katapun, ia kemudian meninggalkanku dan masuk kedalam rumahnya.
Kali ini aku benar-benar daiam dan hanya bisa menatap tubuh Syifa yang menghilang bersamaan dengan ditutupnya pintu rumah itu.
********************
Beberapa
hari ini aku memang sering melihat Angga merenung sendiri, ia juga tak
seceria sebelumnya. Aku sudah berkali-kali bertanya ada apa dengannya.
Tapi ia tak pernah sekalipun menjawab pertanyaanku. Aku mulai berpikir
Angga menyukai Assyifa sepertiku, tapi setiap kali kutanyakan itu, Angga
menyangkal. Ia selalu bilang “Tidak” untuk pertanyaanku yang seperti
itu dan hal lain yang membuatku semakin yakin jika perasaannya terhdap
Assyifa sama sepertiku adalah, ia selalu menghindariku dan menyuruhku
berhenti jika sedang bercerita tentang gadis berkerudung itu.
Keheranan dan kebimbanganku masih belum sirna, saat aku datang ke rumahnya dan melihat Angga sedang berkemas-kemas.
“Lu mau kemana, Ngga?” tanyaku, Angga tak peduli, ia sibuk memasukkan beberapa pakaiannya k etas koper warna hitam itu.
“Lu
denger gak sih gw tanya apa?!” aku membentak. Selama ini aku merasa
sudah cukup sabar menghadapi diamnya. Tapi selalu diacuhkan setiap saat
juga benar-benar membuatku marah.
“Gw mau ke Singapura.” Jawab Angga, ia masih enggan memandangku.
Aku kaget mendengar jawabannya. Singapura?
“Singapura? Lu mau ngapain?”
“Lu gak perlu tau.”
Angga
meninggalkanku keluar kamar, ia menyuruh supirnya mengantarkannya ke
Bandara, aku tak menyusulnya. Aku mengenal Angga sudah lebih dari 6
tahun dan aku tahu dia. Jika ada sesuatu yang ingin dia rahasiakan, dia
pasti akan merahasiakannya, bahkan dari aku sekalipun.
Aku
masih berdiri di teras menatap kepergian Angga, seorang perempuan
keluar dari rumah dan menyapaku. Tante Widi, sejak sebulan lalu Ibu
Angga itu memang tidak di rumah, ia menginap di rumah Mbak Nita, kakak
Angga yang baru saja melahirkan anak pertamanya sebulan lalu.
“Tante,
Angga ke Singapura ada apa ya?” tanyaku, aku berharap ada jawaban yang
bisa memberitahuku apa alasan perubahan sikap Angga akhir-akhir ini.
“Lho, Angga bilang katanya temennya dirawat di rumah sakit Singapura. Kamu gak tahu?”
Aku semakin bingung mendengar penjelasan Tante Widi, aku menggelang.
“Adit gak tau, Tante.” Aku memaksa untuk tersenyum.
Aku
pulang dari rumah Angga, kembali ke rumahku yang saat ini sudah lebih
baik suasananya. Ibuku sudah kembali dari rumah sakit, dan tidak ada
pertengkaran lagi antara kedua orang tuaku. Aku berharap itu akan
terjadi untuk selamanya.
Aku menghempaskan tubuhku di sofa ruang
tamu, pikiranku melayang menatap langit-langit ruangan itu. kuingat
kembali semua yang sudah terjadi di hidupku beberapa hari terakhir ini.
Aku kehilangan Dhea, Assyifa yang hingga kini masih mengacuhkanku dan
aku juga kehilangan Angga yang dulu. Jika dunia selalu memiliki
kebahagiaan dan kesedihan, kenapa kebahagiaanku karena kembali utuhnya
keluargaku harus dibayar dengan kehilangan tiga orang terdekatku
sekaligus?
“Dit, kamu kenapa?”
Tanpa
kusadari Mama sudah duduk di sampingku. Mungkin sejak tadi aku memang
terlalu asyik dengan lamunanku hingga tak sadar akan keberadaan Ibuku
itu.
Aku bangun dan duduk bersandar, kepalaku menengadah.
“Gak apa-apa, Ma.”
Ibuku tersenyum, ia mendekat disisiku dan duduk di sampingku.
“Hubunganmu sama Assyifa gimana?”
Aku
tersenyum tanpa tahu apa arti dari senyumanku sendiri, senyuman miris
atau senyuman pedih. Yang jelas untuk saat ini, aku sedang tidak bisa
tersenyum bahagia.
“Kok gitu senyumnya, lagi ada masalah ya?”
“Iya Ma, Syifa lagi marah sama aku.”
“Lho, kenapa?” Ibuku mulai penasaran.
“Gara-gara kemarin Adit bilang ke Mama sama Papa kalau Syifa calon istri Adit.”
Mama merasa aneh mendengar ceritaku, “Lho, kok bisa? Dia gak mau jadi istri kamu? Dia pacar kamu kan sekarang?”
Aku nyengir, “Belum, Ma. Kita cuma baru dekat aja kok.”
Mama mengangguk paham “Yap antes dia marah, dia merasa dipermainkan sama kamu. Orang baru dekat kok udah ngomong calon istri.”
Aku
tertawa malu, merasa salah tingkah sendiri. Mungkin jika saat itu aku
tidak menuruti kekonyolanku, bukan seperti ini kejadiannya.
“Tapi kamu sendiri yakin kan udah cinta ama dia?”
“Ya….gitu deh.”
“Lho, kok gitu deh?” Mama tak puas dengan jawabanku yang mengambang tak jelas.
Entahlah…aku memang belum bisa memastikan hatiku.
********************
Di
kampus aku sibuk mencari informasi dari semua teman Angga, berharap ada
yang bisa menjelaskan padaku sebab berubahnya sikap Angga dan
kepergiannya yang mendadak ke Singapura. Aku mendatangi base camp
organisasi kampus yang menaungi Angga.
“Angga ke Singapura?” Sarah malik balik bertanya padaku saat kutanyakan padanya tentang kepergian Angga yang tiba-tiba itu.
Aku mengangguk.
“Gw denger-denger, Diaz juga ada di Singapura.” Sarah bergumam
“Yakin lu?” aku mulai merasa senang, karena sepertinya kedatanganku ke base camp ini tidak sia-sia. Aku berharap ada
informasi lebih banyak lagi yang bisa kutahu tentang Angga.
“Iya…tapi udah sejak beberapa hari yang lalu. Angga berangkat kapan sih?”
“Baru kemarin.” Jawabku.
“Ohh.. ya, lu coba tanya aja sama anak lainnya, siapa tahu ada yang lebih ngerti dari gw.”
Aku mengangguk, “Thanks ya…”
Aku
keluar dari ruangan itu, aku berniat langsung ke rumah Diaz. Tapi
langkah kakiku terhenti. Mataku menangkap bayangan Syifa, seketika aku
terpaku. Syifa membalikan badan dan aku tidak bisa lagi mengelak dari
pandangan matanya yang teduh. Beberapa saat lamanya kami saling
berpandangan, tapi tiba-tiba Syifa berlalu, pergi entah kemana. Mungkin
ia sedang mencoba menghindariku.
********************
“Den Adit, sudah lama ya gak main kesini.” Komentar Bibi saat melihat kedatangan Adit di rumah Dhea.
Aku tersenyum, pandanganku menjelajah ke dalam ruang tamu.
“Nyari Non Dhea ya, Den?”
“Gak Bi, aku nyari Diaz. Dhea udah berangkat ke Bandung kan, Bi?”
Si Bibi malah nampak bingung.
“Non Dhea gak berangkat ke Bandung kok, Den. Ibu, Bapak, Den Diaz dan Non Dhea sekarang ada di Singapura semua.”
Aku
keget mendengar jawaban pembantu rumah Dhea itu. Dhea membohongiku, dia
berpamitan kembali ke Bandung padaku, bukan ke Singapura. Kebohongan
Dhea padaku dan perubahan sikap Angga, apa itu ada hubungannya? Aku
bertanya pada diriku sendiri.
“Ada acara apa, Bi di Singapura?” aku mulai menyelidiki.
“Gak ada apa-apa, Den. Non Dhea sakit dan harus diobati disana.”
Dhea sakit, sakit apa? Separah apa sakitnya hingga ia harus keluar dari Indonesia hanya untuk sekedar berobat?
“Dhea sakit apa, Bi?”
“Bibi gak ngerti Den.”
“Oh, ya udah kalau gitu saya pulang dulu, Bi.”
Aku
meninggalkan rumah Dhea dengan pertanyaan yang masih tersimpan di
otakku. Jika memang Dhea sakit dan Angga sudah tahu tentang itu, kenapa
dia harus menyembunyikannya dari aku? Lalu sebenarnya separah apa sakit
Dhea hingga ia harus pergi ke Singapura? Dhea itu perempuan yang ceria,
dia jarang sekali sakit.
*********************
“Sampai kapan lu mau kaya gini ama gw? Lu pikir diem lu nyelesein masalah?” Aku menatap Syifa tajam.
“Dit, gw cuma pengin ngasih waktu buat kamu mastiin perasaan kamu.” Jawab Syifa setelah beberapa saat terdiam.
“Dengan
cara lu diemin gw dan cuekin gw? Gak pernah bales sms gw, gak pernah
angkat telepon gw dan dan ngehindar ketemu gw? Gak ada cara yang lebih
baik?” nada suaraku meninggi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sangat
mudah emosi.
“Dit, aku lagi kerja sekarang. Tolong jangan ganggu aku.”
Aku
menghalangi langkah Syifa yang hendak keluar dari dapur kantor Ayahku.
Kali ini aku benar-benar tidak akan mengizinkan Syifa menghindariku
lagi.
“Mau kemana lagi lu? Masih mau ngehindar dari gw?
Fa, gw udah minta maaf sama lu dan gw juga udah gak keberatan kalau lu
mau kita temenan aja. Tapi gak kaya gini caranya. Gw gak bisa lu
ngehindarin gw terus-terusan.” Aku sedikit melunakan suaraku.
Bagaimanapun juga aku tak ingin Syifa malah tambah menjauh dariku.
Syifa memandangku, ia terdiam.
“Karena aku juga lagi memastikan perasaanku sama kamu, Dit.”
Jawaban Syifa barusan membuatku seketika menutup mulutku, Syifa memandangku serius dengan tatapan matanya yang indah.
“Jadi maksud lu….” Suaraku menggantung.
“Iya, aku juga...mulai ngerasa suka sama kamu, walaupun aku belum terlalu yakin dengan perasaanku.”
Aku menelan ludah, “Sampai kapan lu mau meyakinkan perasaan lu?”
Syifa menunduk lama, membuatku makin geram.
“Fa, sampai kapan waktu yang lu mau buat ngeyakinin perasaan lu?” aku mengulang pertanyaanku.
“Sekarang aku yakin.” Ucap Syifa lirih, aku bahkan nyaris tak mendengar suaranya.
Aku tersenyum lebar, jantungku malah berdebar lebih kencang mendengar apa yang baru saja dikatakan Syifa.
“Jadi?” aku menatap Syifa.
“Apa?” Syifa malah balik bertanya padaku.
“Kita pacaran?”
Syifa tak langsung menjawab pertanyaanku, “Mungkin, tapi aku lebih suka nyebut itu sebagai proses saling kenal dulu.”
Aku tersenyum, “Oke, apapun namanya terserah lu. Yang penting lu suka ama gw dan gw juga cinta banget sama lu.”
Wajah Syifa merona merah, entah karena bahagia atau malah karena malu.
“Gw anterin lu pulang ntar ya.”
Syifa mengangguk, hatiku melompat kegirangan.
********************
Sejak
saat itu aku semakin dekat dengan Syifa, aku juga semakin sering
bertemu Ayahku di kantor. Meskipun sekarang aku sudah cukup dekat dengan
Syifa, aku masih menunggu kepulangan Angga dari Singapura. Aku berharap
dia segera menceritakan semuanya padaku. Apa yang sedang terjadi
sebenarnya, apa yang tidak aku tahu dan apa yang mereka rahasiakan
dariku. Angga dan Dhea, aku sempat berpikir buruk tentang mereka, tapi
akhirnya aku lebih memilih untuk menepiskan pikiranku sendiri. Angga
tidak akan mengkhianatiku. Berkali-kali aku menghubungi Angga, Dhea dan
Diaz secara bergantian, tapi tidak satupun dari mereka yang membalas
emailku, mengangkat telepon atau sekedar membalas smsku. Seperti ada
rahasia besar yang kompak mereka sembunyikan, dan itu yang aku
benar-benar ingin tau.
Hari ini Syifa libur kerja, aku mengajaknya makan malam. Bukan makan malam romantis, aku hanya ingin mengobrol dengan Syifa.
Aku memesan makanan untukku dan Syifa, malam ini ia nampak lebih cantik dan anggun dengan gamis warna krem dan jilbab senada.
“Kamu kelihatan cantik malam ini.” aku tersenyum kecil, Syifa tersipu malu mendengar ucapanku barusan.
“Makasih…” Syifa hanya menunduk saja.
“Kamu lagi ngobrol sama meja ya?” aku mencoba mencairkan suasana dengan sedikit berurau.
Syifa mengangkat wajahnya, ia tersenyum kecil ke arahku.
“Dit, akhir-akhir ini kamu sepertinya agak pendiam. Ada masalah ya?” tanya Syifa sambil menyendok makanannya.
Aku sedikit tersenyum, merasa senang ternyata ia memperhatikan keadaanku juga.
“Yah…sedikit ada masalah. Tapi gak apa-apa kok.”
“Boleh aku tahu?”
“Yakin
mau tahu?” aku malah balik tanya. Sedikit bergurau, sebenarnya aku
memang berniat menceritakan semuanya tentang Dhea dan Angga. Hanya saja
aku sendiri juga tak enak hati harus membicarakan mantan pacarku dengan
pacar baruku sekarang.
“Kalau aku gak yakin, aku gak akan
nanya, Dit.” Syifa menjawab sedikit kesal karena keseriusannya hanya
ditanggapi seperti lelucon olehku.
“Aku lagi bingung aja,
Fa. Akhir-akhir ini sikap Angga, sahabatku beneran berubah. Jadi diam
banget, dan beberapa hari lalu dia juga mendadak pergi ke Singapura. Aku
gak tahu apa alasannya. Ibu dan teman-temannya bilang kalau dia mau
ngejenguk salah satu temannya yang sakit.” Aku memulai ceritaku.
“Ya
udah, mungkin dia emang lagi jenguk temennya. Aku curiga nih ama kamu
dan Angga. Kamu jealous ya Angga ninggalin kamu ke Singapura buat jenguk
temennya?” Syifa mulai berani bercanda denganku. Aku tersenyum
mendengar gurauannya.
“Gak gitu, Fa. Aku cuma ngerasa
kalau Angga lagi rahasiain sesuatu sama aku. Yang sakit itu temen deket
aku juga, tapi Angga dan temenku itu gak pernah cerita sama sekali ke
aku.” Aku merangkai kata dengan hati-hati, sedikit khawatir akan
menyinggung perasaan Syifa. Aku tidak bohong, Dhea bukan lagi kekasihku
semenjak aku mengiyakan keinginannya untuk mengakhiri hubungan. Jadi
rasanya aku tidak salah menyebutnya teman, meskipun hubunganku dengannya
tidak sedekat dulu sebelum kita menjadi pasangan kekasih.
“Siapa temen kamu yang sakit itu, Dit? Sakit apa dia?”
“Dhea.”
Aku menatap Syifa sesaat, berharap sikapnya tak langsung berubah
setelah aku menyebut nama itu, meski syifa tak tahu Dhea adalah mantan
pacarku, entah kenapa aku merasa khawatir jika ia tahu apa yang
sebenarnya. “Aku juga gak tahu dia sakit apa, semuanya ngerahasiain dari
aku.” Aku kembali melanjutkan ucapanku.
“Kamu dekat banget ya ama Dhea?”
Aku mulai menangkap kecemburuan di suara Dhea.
“Ya…kita bertiga deket kok. Makanya aku heran kenapa Angga ngerahasiainnya dari aku.”
“Dhea itu mantan cewekku.” Aku berkata pelan, berharap Syifa tidak marah mendengar ucapanku.
Syifa mengangguk, ekspresinya datar saja.
“Kamu gak marah kan?” aku sedikit ketakutan.
“Kenapa aku harus marah, semua orang punya masa lalu kok.” Jawaban Syifa yang dewasa membuatku merasa tenang.
“Kamu berapa lama sih pacaran ama Dhea dulu?” tanya Dhea.
“Dua
tahun, sejak kelas 3 SMA. Tapi abis itu kita long distance, Dhea milih
kuliah di Bandung.” Aku mulai terbuka dengan masa laluku.
“Udah lama putus ama Dhea?” Syifa sepertinya benar-benar ingin tau, aku ragu menjawabnya.
“Kenapa? Kok ngeliatin aku gitu?” Syifa tersenyum kikuk, merasa salah tingkah karena terus kupandangi.
“Aku cuma pengin tau, Dit. Gak apa-apa kan?”
“Udah lumayan lama kok.” Jawabku sambil menyedot minuman di hadapanku.
“Tapi kamu milih aku, bukan cuma karena kesepian abis putus kan?”
Aku diam, Syifa masih menunggu jawabanku.
Bersambung….
Monday, October 6, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 respons:
Post a Comment