"Iya, apa dia setuju?" Rekan kerjaku yang bernama Ikhsan ikut bertanya.
Tiba-tiba pintu ruangan kerjaku terbuka, Azvin ternyata sudah menungguku disana. Teman-temanku yang tadinya bergerombol dan mencecarku dengan pertanyaan langsung diam seketika. Suasana menjadi hening, Azvin tidak bersuara, ia hanya memandangku. Pandangan yang menuntut jawaban, jawaban yang sama seperti apa yang teman-temanku harapkan. Aku menatap Azvin sesaat kemudian melirik rekan kerjaku satu persatu. Aku berjalan pelan meninggalkan kerumunan teman-temanku, semakin mendekat pada Azvin.
"Apa bisa Bapak Manajer ini traktir kita malam ini?" Tanyaku sambil menunjukan proposal tepat dihadapan wajah Azvin.
Suasana hening kembali riuh, beberapa rekan kerjaku bereteriak kegirangan. Azvin mengambil proposal dari tanganku dengan cepat dan kemudian mengeceknya. Ia tersenyum lebar, kemudian meraihku dalam pelukannya.
"Aku tau ini akan mudah bagimu." Azvin mengecup keningku.
Beberapa rekan kerjaku berdehem menyaksikan adegan tersebut. Kami berdiri canggung setelah aku melepaskan diri dari pelukannya. Kutinggalkan Azvin memasuki ruanganku.
"Maaf, aku mungkin terlalu lepas kontrol." Wajahnya masih terlihat bahagia.
Aku tersenyum kecil, "Kamu selalu seperti itu, manusiawi." Aku menghempaskan badanku di sofa ruanganku.
"Dia orang yang aneh, kan?" Tanyanya setelah duduk menyebelahiku.
Aku mengerutkan kening, tidak paham kemana arah pertanyaannya.
"Orang yang baru saja kau temui." Azvin meletakan proposal itu di hadapanku.
Aku mengangkat bahu, kembali mengingat Indra. "Mungkin, sedikit." Aku tertawa kecil, "Bagaimana kamu tau tentang itu?"
"Dia menolak menemuiku, dan lebih memilih bertemu denganmu. Itu aneh kan?"
"Jadi kamu pikir, hanya orang aneh yang mau menemuiku?" Aku mencubit kecil lengan Azvin.
"Bukan begitu, in a job I think everyone would prefer to meet someone who has a higher position for a cooperation agreement. But, he seems different."
"Mungkin dia tau kalau public relation perusahaan ini adalah perempuan yang cantik?"
Azvin tersenyum kecil, "Kalau begitu aku yakin dia laki-laki pintar. Apa dia menggodamu?"
"Kenapa, kamu khawatir?"
"Aku melepas perempuan cantik untuk bertemu laki-laki pintar tanpa pengawasanku. Aku rasa wajar kalau aku khawatir."
Aku mencium pipi Azvin, "Percayalah, ia tidak akan sedikitpun mempengaruhi hatiku."
"Thanks a lot." Azvin mengusap rambutku.
"Oke, aku harus kembali ke ruanganku. Tidak masalah, kan?"
Aku menggeleng sambil sedikit tersenyum, "Jangan lupakan satu hal, teman-teman diluar sana menunggu traktiranmu. Mungkin akan baik jika kamu lakukan sebelum keberangkatanmu ke Singapura besok."
Azvin terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Aku akan sangat sibuk malam ini, bagaimana kalau kutraktir saja mereka dengan delivery order?" Azvin memberikanku ide, ide konyol yang pernah kudengar darinya.
"Jangan konyol! Mereka mengharapkan lebih dari itu. Mereka sudah bekerja keras untuk ini."
"Oke, ini baru mulai sebenarnya. Tapi katakan pada mereka, aku akan mentraktir mereka malam ini."
"Thanks a lot."
Azvin tersenyum dan bergegas meninggalkan ruanganku.
Aku baru saja ingin memulai pekerjaan lain saat Mbak Mia kemudian memasuki ruanganku.
"Bagaimana, apa kita dapat hadiah?"
Aku menggeleng tanpa menatapnya, mataku memandang layar komputer.
"Apa? Apa-apaan ini? Bahkan tidak ada sebungkus makanan delivery order?"
Aku mendongak menatapnya, makanan delivery order memang sudah sangat populer dikantor ini. Makanan survival, begitu kata Azvin.
"Menyebalkan sekali ini, ia hanya mempedulikanmu. Kamu satu-satunya anggota divisi yang mendapatkan ruangan eksklusif darinya. Kamu mendapatkan segalanya darinya, tapi kami?" Ucap Mbak Mia mendramatisir.
"Sudahlah, jangan berlebihan." Aku menepuk bahunya. "Katakan saja pada semuanya, kosongkan jadwal malam ini. Pak Manajer akan mentraktir kita malam ini."
"Kamu serius?" Wajah Mbak Mia seketika berubah lebih cerah.
Aku mengangguk.
Mbak Mia keluar dari ruanganku, tapi tak lama kemudian ia kembali membuka pintu ruanganku.
"Kau tau, kau benar-benar membuat kami semua iri. Laki-lakimu memang luar biasa." Ucapnya sambil tetap berdiri di bibir pintu.
Aku tersenyum kecil melihat tingkah seniorku itu, "Ya, dia mungkin terlalu luar biasa hingga bisa membuatku bertahan sejauh ini."
Mbak Mia menutup pintu.
Malam harinya Azvin benar-benar memenuhi janjinya untuk mentraktir aku dan seluruh rekan kerjaku. Tadinya ia berniat membawa kami semua ke salah satu restoraqn mewah, tapi sepertinya seluruh rekan kerjaku tidak suka itu. Aku juga merasa begitu, tempat mewah itu selalu mengekang kebebasan. Setidaknya itu pandangan subjektifku.
Pada akhirnya kami memilih restoran yang biasa saja, Azvin memesan roti bakar dan aku tetap dengan saladku. Badanku naik beberapa kilo bulan ini, dan aku harus diet makan malam untuk sekedar menguranginya sedikit
Azvin nampak duduk santai setelah sempat membuka jas dan melonggarkan dasinya. Ia kemudian asyik memainkan tabletnya.
"Makanlah sepuasnya, Azvin akan membayar semua yang kita makan." Ucapku seperti memberi pengumuman. Azvin melirikku sesaat dengan senyum kecilnya sebelum kembali konsentrasi ke layar tabletnya.
Aku mendengus kesal karena melihatnya asyik sendiri. Aku kemudian mengambil tablet itu dari tangannya. Ia menatapku aneh, menuntut penjelasan atas apa yang kulakukan.
"Kamu tidak akan main game disini. Jadi, bersenang-senanglah bersama kami, manusia. Bukan dengan tokoh-tokoh gamemu itu." Ucapku seraya memasukkan tablet kedalam tasnya dan kemudian meletakkan tas itu di dekatku, menjauhkan dari jangkauannya.
Malam ini benar-benar menjadi malam yang luar biasa. Aku kembali melihat Azvin seperti saat masih di bangku kuliah dulu, sahabat yang menyenangkan, cerdas, pandai bersosialisasi. Jauh berbeda dengan Azvin yang sekarang, serius dan sangat perfeksionis. Ia selalu bilang, itu tuntutan pekerjaan.
Makan malam ini akhirnya benar-benar berakhir setelah Azvin mengantar seluruh teman-temanku ke rumahnya masing-masing. Dan terakhir, ia mengantarku.
"Aku senang hari ini." Ucapku setelah beberapa saat meninggalkan rumah Febri. Rekan kerjaku yang paling terakhir kami antarkan.
"Kenapa? Karena melihat manajer mengantarkan anak buahnya?" Azvin mencoba bergurau.
Aku tertawa kecil, "Itu salah satunya. Tapi ada yang lebih dari itu."
"Apa?" Keningnya berkerut.
"Aku melihatmu seperti dulu saat kamu masih menjadi mahasiswa. Menyenangkan, ceria, ringan, dan tidak terlalu serius. Aku suka itu."
Azvin menatapku beberapa saat sebelum akhirnya kembali memusatkan perhatian pada kemudinya.
"Apa kamu benar-benar sudah kehilangan aku yang seperti itu?" Tanyanya sambil menatap jalanan yang masih ramai dilalui kendaraan.
"Almost." Aku menggumam pelan, tapi kemudian aku tersenyum. "Tapi kamu yang sekarang juga membuatku tau, kamu laki-laki yang bisa bertanggung jawab." Tanganku meraih pipinya dan berhenti disana untuk beberapa saat.
Azvin menggenggam tanganku, kemudian menciumnya.
Akhirnya, aku menghabiskan sisa perjalanan menuju rumahku dengan pembicaraan tentang masa lalu kami saat masih kuliah. Kami saling tertawa, saling meledek dan sesekali menggerutu karena kesal yang bercampur sebal. Malam yang indah...
"Kamu harus segera tidur malam ini. Besok pagi kamu harus bangun pagi untuk mengejar pesawatmu."
Azvin mengangguk.
Aku baru saja hendak membuka pintu mobil saat Azvin memegang tanganku.
"Terima kasih malam ini karena kamu sudah bahagia. Itu jauh lebih membahagiakan dari memenangkan tender perusahaan."
Aku tertawa mendengar analoginya, "Tidak perlu gombal. Kita sudah enam tahun." Aku mengingatkan.
Azvin turun dari mobil dan membukakan pintu untukku. Aku yang baru saja turun dari mobil langsung didekapnya.
"Enam tahun bukan halangan bagi kita untuk tetap bisa romantis seperti abg-abg muda itu, kan?"
Aku tertawa lagi.
Azvin memandangku yang masih ada dalam pelukannya, perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku memejamkan mata, dan menikmati ciumannya untuk beberapa saat.
"Kamu mau mengantarku besok pagi, kan?" Kali ini ia memeluk kepalaku di dadanya.
Aku mengangguk.
"Baiklah, segera tidur. Aku akan menjemputmu besok pagi."
Aku mengangguk lagi.
Azvin mengecup keningku dan melaju dengan mobilnya setelah mengucapkan selamat malam dan selamat tidur untukku.
Pukul tiga pagi alarm di hapeku membangunkanku. Dengan badan yang masih sedikit lemas karena baru tertidur selama dua jam, aku memaksakan diriku meninggalkan tempat tidur. Aku terduduk di pinggiran tempat tidur dan menyempatkan untuk sms Azvin sebelum pergi mandi.
Sudah bangun? I hope you're not late.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan menuju kamar mandi. Mandi dini hari, kebiasaan yang jarang kulakukan tapi ternyata menyenangkan. Aku benar-benar merasa segar meskipun barusan mandi dengan air hangat. Rasanya semua kelelahan yang semalam menghampiriku hilang begitu saja.
Suara klakson mobil terdengar dari halaman rumahku, aku membuka sedikit tirai jendela dan melihat Azvin melambaikan tangan ke arah jendela kamarku.
"Aku kira kamu akan datang sedikit lebih siang. Ini baru jam empat pagi." Kataku sambil menunjukan arloji tepat di hadapan wajahnya.
"Kamu tau ini Jakarta, dan aku takut macet. Lagipula aku harus sarapan denganmu hari ini dan itu pasti akan sedikit lebih lama." Ia menutup pintu mobil.
"Kenapa kamu tidak bersama supir? Biasanya kamu diantar supir kalau mau bepergian seperti ini."
"Kamu bawa saja mobilku nanti."
"Halamanku sudah cukup hanya dengan satu mobil. Bahkan disaat kamu tidak ada, apa kamu akan melarangku menggunakan mobilku? Aku kan bisa diantar supir seperti biasanya." Aku sedikit kesal.
"Jangan marah-marah, ini masih pagi. Kamu taruh saja di rumahku, kamu bisa naik taksi untuk pulang. Supirku tidak bisa mengantarku sepagi ini, anaknya sedang diopname di rumah sakit. Tadinya aku ingin naik taksi, tapi aku harus pergi menjemputmu, sarapan denganmu, jadi mungkin tidak efisien."
Aku mengangguk paham.
"Kamu mau sarapan apa?"
"Apapun itu, aku masih kenyang karena makanan semalam."
"Kenyang? kamu hanya makan salad dan beberapa biskuit gandum. Ayolah, aku tidak masalah jika badanmu hanya bertambah beberapa kilo."
Aku mengerucutkan bibirku karena kesal, "Kamu memang tidak masalah, tapi aku tidak suka bertambah gendut. Itu tidak cantik."
Azvin tertawa, "Dulu di kampus kamu yang paling ngotot menentang anggapanku mengenai konstruk yang dibentuk media tentang kecantikan. Langsing, rambut lurus, putih, ramping, ....." Azvin menggantung kalimatnya.
"Pake matic." Aku memotong cepat kalimatnya yang masih belum terselesaikan.
"Oke, kamu mungkin lebih cantik dari konstruksi media itu tentang cantik. Kamu bisa menggunakan mobil, satu hal yang jelas lebih mahal daripda motor matic. Tapi, kenapa kamu sekarang terjebak sendiri dalam konstruksi media kalau cantik itu langsing?" Azvin menatapku dengan tatapannya yang bernada meledek.
"Karena aku korban dunia yang sedang terjerat kapitalisme. Yah, aku hidup di dunia dan wajar aku jadi korbannya. Ingin menjadi cantik ala kapitalis." Aku mengangkat bahu.
"Seiring waktu idealisme itu bisa berubah, yah?" Azvin tersenyum kecil.
"Segalanya dalam hidup ini bisa berubah, kita hanya harus membuat pilihan. Berubah lebih baik atau menjadi lebih buruk, semuanya ada di tangan kita. Mungkin dulu aku masih berpikir bahwa aku bisa hidup di dunia tanpa aturan dan segala hal yang sedang menjerat dunia, tapi itu sulit. Bagaimanapun aku adalah bagian kecil dari dunia ini sedang kapitalis sedang meraja. Mau tidak mau aku harus menjadi proletar, marjinal atau semacamnya. Tapi ini jerat menyenangkan, siapapun di dunia ini menikmatinya bahkan juga aku."
"Yah, sedikit menggadaikan idealisme akan jauh lebih terhormat sepertinya daripada menjajakan tubuh. Ini zaman yang sulit untuk mempertahankan idealisme." Azvin tersenyum.
"Sudahlah, ini obrolan yang terlalu berat untuk suasana sepagi ini. Oh iya, aku benar-benar ingin beristirahat hari ini. Jadi mungkin, aku akan bolos kerja."
"Beristirahatlah, akan kuurus tentang absensimu nanti."
Aku tersenyum kecil, "Apa semuanya masih kurang untukmu? Aku dipandang aneh karena aku pacarmu, karena semua perlakuan istimewamu padaku. Ruangan yang seharusnya menjadi ruangan para ketua divisi, aku memiliki padahal bukan itu jabatanku. Semua previllage yang kamu berikan pasti akan sedikit menciptakan iri untuk pegawai lainnya. Aku berterima kasih untuk semuanya, tapi untuk seterusnya biarkan aku melakukannya sendiri. Aku sudah dewasa, perlakukan aku seperti selayaknya aku orang dewasa." Aku menatap Azvin penuh harap.
"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan." Ia tersenyum dan mengelus rambutku.
"Terima kasih."
Pagi ini aku melewatkan sarapan dengan Azvin di salah satu restoran cepat saji, aku memakan sandwich segelas cappucino latte. Makanan dan minuman yang tidak ada dalam daftar makanan untuk diet, semoga badanku tidak bertambah gemuk lagi. Setelah menghabiskan sarapan, kami segera menuju ke airport. Keberangkatan pagi pukul, 06.00. Semoga tidak perlu diundur. Aku melihat arlojiku sudah menunjukan pukul lima pagi, jarak kami ke bandara sudah cukup dekat, jalanan juga masih lengang. Tidak ada yang perlu kami khawatirkan.
Kami menunggu kira-kira setengah jam. Azvin kembali memelukku untuk beberapa saat setelah mendengar pengumuman pesawat yang akan dinaikinya segera berangkat.
"Kamu harus baik-baik saja, seperti yang sudah-sudah."
"Jangan terlalu khawatir, ini bukan yang pertama kamu meninggalkan aku keluar negeri. Kamu hanya pergi beberapa hari, semuanya akan sama saja." Aku menepuk punggungnya.
Azvin melepaskan pelukannya, memegang lenganku dan menatapku beberapa saat, "Aku tau kamu pasti akan baik-baik saja. Aku akan merindukanmu." Sebuah kecupan mendarat di keningku seperti biasanya.
Aku mengangguk, meyakinkannya.
Azvin menarik kopernya dan setelah melakukan pemeriksaan tiket dan passport, aku akan melihatnya lagi tiga hari sejak hari ini.
*******************
Hari ini aku benar-benar bolos kerja, aku sudah menghubungi kantor dan tidak ada yang keberatan. Ini bukan minggu-minggu sibuk. Aku sudah menyelesaikan hampir semua pekerjaanku, jadi aku tidak harus mencemaskan apapun. Hari ini aku hanya menghabiskan waktuku ditempat tidur, semakin lama semakin bosan. Ini bukan hari libur, aku tentu saja tidak bisa menemui teman-temanku diluar kantor, apalagi ini masih jam kerja. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke toko buku dan mampir ke supermarket untuk memebeli beberapa makanan yang aku butuhkan untuk memenuhi isi lemari es. Sayuran dan buah-buahan, itu juga harus ada dalam daftar belanjaku.
Aku sedang asyik memilih sayuran untuk membuat sup makan malam nanti. Aku memang bukan ahli memasak, tapi hari ini aku berencana belajar memasak sup dari resep majalah langgananku.
"Hai..." suara seseorang mengalihkan perhatianku dari sayur-sayuran yang sedang kupilih.
Aku menatap si pemilik suara, Indra berdiri di sebelahku. Tangannya menenteng keranjang belanja berisi bahan-bahan memasak. Aku menatapnya aneh.
"Kenapa?" ia mengikuti pandanganku, melihat ke keranjang belanja yang ada di tangannya.
"Kamu memasak?" tanyaku ingin tau.
Dia tertawa, "Apa itu lucu? Aku laki-laki lajang, tidak ada istri yang memasak untukku. Mau tidak mau, aku harus memasak sendiri."
"Bukan lucu, aku pikir kamu hanya terlalu sibuk untuk memasak. Apa kamu ahli untuk hal ini?"
"Tidak juga, tapi sepertinya aku bisa membuat masakan lebih baik darimu." Ia mencibir keranjang belanjaku.
Aku cemberut sedikit, "Yah, hari ini aku berencana belajar memasak. Kamu keberatan mengajariku?" Ucapku senang karena menemukan ide cemerlang.
"Tidak juga, dimana aku bisa mengajarimu?"
Aku terdiam dan berpikir, mengajak Indra ke dapur rumahku rasanya tidak mungkin. Tidak ada apa-apa yang bisa kugunakan disana. Kami pasti akan butuh lebih dari sekedar panci dan kompor. Aku hanya selalu merebus air dan memasak mie instan sesekali di rumah. Yah, untuk urusan makanan aku lebih sering membelinya di rumah.
"Kalau begitu kita ke apartemenku saja." Indra memberikan ide seolah ia tau apa yang kupikirkan.
"Oke!" Aku menyambut senang idenya. "Kita mau masak apa?"
Indra tersenyum kecil melihat kerianganku, "Kamu suka apa?" Ia menatapku, berharap aku memberikan ide.
"Aku nyaris seperti omnivora, tapi aku butuh lebih dari pasta." Kali ini aku mencibir pasta yang ada di keranjang belanjanya.
"Ini hanya untuk cadangan di rumah, yah... makan pasta akan lebih baik daripada mie instan aku rasa."
Aku sedikit cemberut lagi, aku tau ia sedang menyindirku.
"Lalu hari ini kamu sebenarnya mau masak apa?" tanyaku jengkel.
"Aku ingin membuat soto dan rica-rica, dan untuk desert aku berencana membuat mango smoothies dan cheese cake."
Aku melongo mendengar penjelasannya, "Are you serious?"
"Kenapa? Kamu kaget karena tau aku lebih pintar darimu?"
Aku mengangguk tanpa sadar, Indra tertawa kecil.
"Oke, aku setuju idemu. Perpaduan tradisional dan modern yang akan menyegarkan, mungkin?"
"Semoga begitu."
Aku dan Indra berjalan beriringan menyusuri setiap lorong di supermarket, aku sudah tidak sabar memasak bersamanya hari ini.
"Kamu bawa mobil?" Tanya Indra saat kami hendak menuju tempat parkir.
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, kita naik saja mobilmu."
"Lalu, kendaraanmu bagaimana?"
"Itu hanya motor, aku bisa menyuruh orang mengambilnya. Atau nanti kamu antar aku lagi kesini untuk mengambil sendiri, oke?"
Aku mengangguk, kedua kalinya aku menyetujui ide Indra hari ini.
"Azvin kemana, kenapa ia tidak menemanimu." Tanya Indra sembari menyalakan mesin mobil.
"Pagi tadi ia berangkat ke Singapura."
"Berlibur?"
Aku menggeleng, "Urusan pekerjaan."
"Di hari-hari menjelang akhir pekan seperti ini? Dia pasti sangat sibuk, ya?"
Aku terdiam, aku benar-benar lupa kalau ini hari Jum'at. Azvin mengatakan padaku ada urusan bisnis tiga hari disana, sedangkan aku tau urusan bisnis tidak akan mungkin di akhir pekan. Jadi, aku pasti tidak akan menemuinya tiga hari kemudian. Itu pasti perlu lima hari.
Aku tersenyum kaku setelah beberapa saat terdiam, "Aku lupa ini hari Jum'at. Yah, mungkin dia ingin berlibur sebelum memulai rutinitas bisnisnya." Aku terdiam lagi beberapa saat, mengingat waktu itu Azvin memang sempat mengajakku ikut ke Singapura untuk liburan singkat.
"Payah sekali ingatanmu." Kali ini Indra mengejekku.
Aku mencibir, "Bukan begitu, aku punya banyak hal yang harus aku ingat." Ucapku sedikit berdalih.
Indra terbahak sedikit, "Sepertinya memori otakmu dan memori hapeku masih lebih besar memori hapeku, ya?"
Aku melotot menatapnya, "Hei, jangan kamu pikir kamu bisa mengejekku hanya karena kamu akan mengajariku memasak hari ini! Aku bisa saja menurunkanmu di tengah jalan, ini mobilku! Ingat itu!" Aku memberinya sedikit ancaman.
Bukannya takut, Indra malah tersenyum kecil mendengar ancamanku. "Oke, turunkan aku. Tapi dengan memori otakmu yang kecil itu, apa kamu tau jalan pulang kerumah?" Indra masih belum berhenti menyerangku dengan ejekannya, ancamanku benar-benar tidak berarti.
"Kamu ternyata lebih menyebalkan dari yang aku kira. Bagaimana Azvin bisa bersahabat baik dengan orang sepertimu? Pacarmu pasti sering kesal, kan?"
"Aku dan Azvin sama-sama pintar, jadi kami cocok sebagai sahabat." Indra mencibir ke arahku.
"Pacarmu mana?" Pertanyaanku berusaha mengganti topik pembicaraan.
Wajah Indra yang tadinya terlihat senang sedikit berubah.
"Aku menghabiskan tiga tahun terakhirku dengan seorang perempuan bernama Gatha, asistenku sebelumnya. Perempuan cerdas yang bisa membuatku nyaman, perempuan yang menjadikan cita-cita sebagai semangat hidupnya. Itu memang menjadikannya sedikit ambisius. Ia lulusan sekertaris yang suka sekali menggambar desain baju. Mimpinya untuk belajar di Paris begitu besar, aku berusaha membantunya. Diam-diam aku mengirim desain rancangannya ke salah satu kompetisi berhadiah belajar di Paris selama satu tahun. Ia begitu bahagia, dan aku lebih bahagia karena melihatnya bahagia. Sayangnya, apa yang kulakukan ternyata tidak sepenuhnya benar. Kesalahan yang baginya mungkin indah, karena itu mengantarkan ia lebih dekat pada mimpinya. Tapi aku harus kehilangannya karena ia harus pergi ke Paris." Indra berceloteh begitu saja tentang kisah cintanya di hadapanku.
Aku tersenyum kecil, sedikit memahami perasaannya. "Kalian terlalu kekanakan menurutku. Jarak mungkin memang masalah, tapi tidak perlu dijadikan serumit itu." Aku menaikkan alisku.
Indra tersenyum kecil, senyum yang dibuat-buat. Senyum yang seolah sedang ia gunakan untuk menutupi kesedihannya di hadapanku.
"Tidak ada yang memperumit, dari awal aku tau Gatha tidak bisa menjalani long distance, aku menganggapnya mudah tapi dia pernah trauma karena masalah seperti ini dengan mantan kekasihnya."
Aku tersenyum, "Jadi, kamu tidak sepintar yang aku bayangkan? Kamu tau trauma Gatha tapi malah berusaha mengirimkannya ke tempat yang jauh darimu. Itu karena ukuran otakmu sepertinya tidak lebih besar dari otakku."
Indra tertawa mendengar ucapanku, sedikit lega juga karena aku bisa sedikit mengembalikan keceriaan yang sempat menghilang sesaat dari wajahnya.
"Aku berpikir untuk menghilangkan trauma dan ketakutannya dengan cara itu."
"Tidak akan sesederhana itu untuk merubah seseorang, kamu mungkin perlu belajar tentang itu."
Indra mengangguk pelan.
"Lalu, kamu mau menunggu Gatha?"
Indra menarik nafas panjang, "Aku masih mencintainya hingga saat ini, ia baru pergi dua bulan lalu. Aku ingin menunggunya, tapi bukankah manusia itu selalu berubah? Bahkan hatinya? Aku akan mengharapkannya kembali padaku jika hatiku tidak berubah, masih ada sepuluh bulan sebelum ia kembali dan segala sesuatu bisa terjadi saat itu."
Aku mengangguk, "Kamu cerdas, pilihan bagus. Move on! Semangat!" aku menghadapkan kepalan tanganku tepat di hadapan wajahnya.
"Kamu labil, tadi mengatakan aku bodoh dan sekarang mengatakan aku cerdas."
Aku tersenyum kecil, menyadari sedikit kebodohanku.
Ia tersenyum padaku.
Apa mungkin hati dan cintaku juga akan berubah seperti Azvin yang pernah merubah arah hatinya? Aku menghela nafas panjang, berusaha mengabaikan kenangan buruk itu. Suasana hening, aku dan Indra sama-sama sibuk dengan kenangan kita, sibuk mencoba melupakan dan mengabaikannya. Sibuk berlalu dari kesedihan kami masing-masing, sibuk melompat ke masa depan dengan luka yang belum mengering. Kami masih sibuk, sibuk karena kenangan buruk. Aku tau itu bodoh, dan aku rasa Indra juga menyadari itu.
"Hai..." suara seseorang mengalihkan perhatianku dari sayur-sayuran yang sedang kupilih.
Aku menatap si pemilik suara, Indra berdiri di sebelahku. Tangannya menenteng keranjang belanja berisi bahan-bahan memasak. Aku menatapnya aneh.
"Kenapa?" ia mengikuti pandanganku, melihat ke keranjang belanja yang ada di tangannya.
"Kamu memasak?" tanyaku ingin tau.
Dia tertawa, "Apa itu lucu? Aku laki-laki lajang, tidak ada istri yang memasak untukku. Mau tidak mau, aku harus memasak sendiri."
"Bukan lucu, aku pikir kamu hanya terlalu sibuk untuk memasak. Apa kamu ahli untuk hal ini?"
"Tidak juga, tapi sepertinya aku bisa membuat masakan lebih baik darimu." Ia mencibir keranjang belanjaku.
Aku cemberut sedikit, "Yah, hari ini aku berencana belajar memasak. Kamu keberatan mengajariku?" Ucapku senang karena menemukan ide cemerlang.
"Tidak juga, dimana aku bisa mengajarimu?"
Aku terdiam dan berpikir, mengajak Indra ke dapur rumahku rasanya tidak mungkin. Tidak ada apa-apa yang bisa kugunakan disana. Kami pasti akan butuh lebih dari sekedar panci dan kompor. Aku hanya selalu merebus air dan memasak mie instan sesekali di rumah. Yah, untuk urusan makanan aku lebih sering membelinya di rumah.
"Kalau begitu kita ke apartemenku saja." Indra memberikan ide seolah ia tau apa yang kupikirkan.
"Oke!" Aku menyambut senang idenya. "Kita mau masak apa?"
Indra tersenyum kecil melihat kerianganku, "Kamu suka apa?" Ia menatapku, berharap aku memberikan ide.
"Aku nyaris seperti omnivora, tapi aku butuh lebih dari pasta." Kali ini aku mencibir pasta yang ada di keranjang belanjanya.
"Ini hanya untuk cadangan di rumah, yah... makan pasta akan lebih baik daripada mie instan aku rasa."
Aku sedikit cemberut lagi, aku tau ia sedang menyindirku.
"Lalu hari ini kamu sebenarnya mau masak apa?" tanyaku jengkel.
"Aku ingin membuat soto dan rica-rica, dan untuk desert aku berencana membuat mango smoothies dan cheese cake."
Aku melongo mendengar penjelasannya, "Are you serious?"
"Kenapa? Kamu kaget karena tau aku lebih pintar darimu?"
Aku mengangguk tanpa sadar, Indra tertawa kecil.
"Oke, aku setuju idemu. Perpaduan tradisional dan modern yang akan menyegarkan, mungkin?"
"Semoga begitu."
Aku dan Indra berjalan beriringan menyusuri setiap lorong di supermarket, aku sudah tidak sabar memasak bersamanya hari ini.
"Kamu bawa mobil?" Tanya Indra saat kami hendak menuju tempat parkir.
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, kita naik saja mobilmu."
"Lalu, kendaraanmu bagaimana?"
"Itu hanya motor, aku bisa menyuruh orang mengambilnya. Atau nanti kamu antar aku lagi kesini untuk mengambil sendiri, oke?"
Aku mengangguk, kedua kalinya aku menyetujui ide Indra hari ini.
"Azvin kemana, kenapa ia tidak menemanimu." Tanya Indra sembari menyalakan mesin mobil.
"Pagi tadi ia berangkat ke Singapura."
"Berlibur?"
Aku menggeleng, "Urusan pekerjaan."
"Di hari-hari menjelang akhir pekan seperti ini? Dia pasti sangat sibuk, ya?"
Aku terdiam, aku benar-benar lupa kalau ini hari Jum'at. Azvin mengatakan padaku ada urusan bisnis tiga hari disana, sedangkan aku tau urusan bisnis tidak akan mungkin di akhir pekan. Jadi, aku pasti tidak akan menemuinya tiga hari kemudian. Itu pasti perlu lima hari.
Aku tersenyum kaku setelah beberapa saat terdiam, "Aku lupa ini hari Jum'at. Yah, mungkin dia ingin berlibur sebelum memulai rutinitas bisnisnya." Aku terdiam lagi beberapa saat, mengingat waktu itu Azvin memang sempat mengajakku ikut ke Singapura untuk liburan singkat.
"Payah sekali ingatanmu." Kali ini Indra mengejekku.
Aku mencibir, "Bukan begitu, aku punya banyak hal yang harus aku ingat." Ucapku sedikit berdalih.
Indra terbahak sedikit, "Sepertinya memori otakmu dan memori hapeku masih lebih besar memori hapeku, ya?"
Aku melotot menatapnya, "Hei, jangan kamu pikir kamu bisa mengejekku hanya karena kamu akan mengajariku memasak hari ini! Aku bisa saja menurunkanmu di tengah jalan, ini mobilku! Ingat itu!" Aku memberinya sedikit ancaman.
Bukannya takut, Indra malah tersenyum kecil mendengar ancamanku. "Oke, turunkan aku. Tapi dengan memori otakmu yang kecil itu, apa kamu tau jalan pulang kerumah?" Indra masih belum berhenti menyerangku dengan ejekannya, ancamanku benar-benar tidak berarti.
"Kamu ternyata lebih menyebalkan dari yang aku kira. Bagaimana Azvin bisa bersahabat baik dengan orang sepertimu? Pacarmu pasti sering kesal, kan?"
"Aku dan Azvin sama-sama pintar, jadi kami cocok sebagai sahabat." Indra mencibir ke arahku.
"Pacarmu mana?" Pertanyaanku berusaha mengganti topik pembicaraan.
Wajah Indra yang tadinya terlihat senang sedikit berubah.
"Aku menghabiskan tiga tahun terakhirku dengan seorang perempuan bernama Gatha, asistenku sebelumnya. Perempuan cerdas yang bisa membuatku nyaman, perempuan yang menjadikan cita-cita sebagai semangat hidupnya. Itu memang menjadikannya sedikit ambisius. Ia lulusan sekertaris yang suka sekali menggambar desain baju. Mimpinya untuk belajar di Paris begitu besar, aku berusaha membantunya. Diam-diam aku mengirim desain rancangannya ke salah satu kompetisi berhadiah belajar di Paris selama satu tahun. Ia begitu bahagia, dan aku lebih bahagia karena melihatnya bahagia. Sayangnya, apa yang kulakukan ternyata tidak sepenuhnya benar. Kesalahan yang baginya mungkin indah, karena itu mengantarkan ia lebih dekat pada mimpinya. Tapi aku harus kehilangannya karena ia harus pergi ke Paris." Indra berceloteh begitu saja tentang kisah cintanya di hadapanku.
Aku tersenyum kecil, sedikit memahami perasaannya. "Kalian terlalu kekanakan menurutku. Jarak mungkin memang masalah, tapi tidak perlu dijadikan serumit itu." Aku menaikkan alisku.
Indra tersenyum kecil, senyum yang dibuat-buat. Senyum yang seolah sedang ia gunakan untuk menutupi kesedihannya di hadapanku.
"Tidak ada yang memperumit, dari awal aku tau Gatha tidak bisa menjalani long distance, aku menganggapnya mudah tapi dia pernah trauma karena masalah seperti ini dengan mantan kekasihnya."
Aku tersenyum, "Jadi, kamu tidak sepintar yang aku bayangkan? Kamu tau trauma Gatha tapi malah berusaha mengirimkannya ke tempat yang jauh darimu. Itu karena ukuran otakmu sepertinya tidak lebih besar dari otakku."
Indra tertawa mendengar ucapanku, sedikit lega juga karena aku bisa sedikit mengembalikan keceriaan yang sempat menghilang sesaat dari wajahnya.
"Aku berpikir untuk menghilangkan trauma dan ketakutannya dengan cara itu."
"Tidak akan sesederhana itu untuk merubah seseorang, kamu mungkin perlu belajar tentang itu."
Indra mengangguk pelan.
"Lalu, kamu mau menunggu Gatha?"
Indra menarik nafas panjang, "Aku masih mencintainya hingga saat ini, ia baru pergi dua bulan lalu. Aku ingin menunggunya, tapi bukankah manusia itu selalu berubah? Bahkan hatinya? Aku akan mengharapkannya kembali padaku jika hatiku tidak berubah, masih ada sepuluh bulan sebelum ia kembali dan segala sesuatu bisa terjadi saat itu."
Aku mengangguk, "Kamu cerdas, pilihan bagus. Move on! Semangat!" aku menghadapkan kepalan tanganku tepat di hadapan wajahnya.
"Kamu labil, tadi mengatakan aku bodoh dan sekarang mengatakan aku cerdas."
Aku tersenyum kecil, menyadari sedikit kebodohanku.
Ia tersenyum padaku.
Apa mungkin hati dan cintaku juga akan berubah seperti Azvin yang pernah merubah arah hatinya? Aku menghela nafas panjang, berusaha mengabaikan kenangan buruk itu. Suasana hening, aku dan Indra sama-sama sibuk dengan kenangan kita, sibuk mencoba melupakan dan mengabaikannya. Sibuk berlalu dari kesedihan kami masing-masing, sibuk melompat ke masa depan dengan luka yang belum mengering. Kami masih sibuk, sibuk karena kenangan buruk. Aku tau itu bodoh, dan aku rasa Indra juga menyadari itu.
0 respons:
Post a Comment