Monday, October 6, 2014

KEBEBASAN, SEBUAH HARAPAN YANG TERENGGUT KAPITALISME

| |

Berbicara masalah kebebasan di bulan Februari. Apa ini terdengar aneh dan agak konyol? Yuppz…mungkin memang berkesan seperti itu. Bukankah kita lebih sering memperbincangkan ini saat bulan Agustus yang notabene adalah bulan kemerdekaan Negara tercinta kita? Tapi saiia harap, ini tidak akan menjadi masalah. Kali ini saiia tidak akan membahas kemerdekaan dari perspektif Negara, saiia akan lebih banyak memperbincangkan kebebasan dari dalam diri seorang manusia.
Kebebasan dan kemerdekaan, seringkali kita tidak menemukan perbedaan yang jauh dalam dua kata ini. Maknanya hampir sama, bukan? Seorang yang sudah bebas, berarti ia seorang yang sudah merdeka dan seorang yang sudah merdeka berarti ia sudah benar-benar bebas. Merdeka dari apa? Bebas dari apa? Benarkah kita sudah benar-benar bebas?
Membicarakan masalah kebebasan manusia memang sulit. Mengapa saiia katakan sulit, karena kebebasan memiliki definisi sosial yang berbeda antara satu manusia dengan manusia yang lain. Ada yang sudah merasa bebas saat indikator A, B dan C terpenuhi, tapi ada juga yang merasa belum bebas meskipun indikator A sampai Z sudah terpenuhi. Jika sudah begini, bagaiumana kita mengawali pembicaraan tentang kebebasan yang bermakna absurd ini? Perbedaan definisi tentang kebebasan dari masing-masing individu mungkin muncul karena adanya perbedaan pengalaman dan segala hal yang mungkin menjadi background perbedaan pemikiran. Baiklah, saiia tidak akan membahas latar belakang munculnya perbedaan pemikiran semacam ini.
Sebelum saiia berbicara lebih jauh, mari kita samakan dulu persepsi kita tentang kebebasan. Secara text book, kebebasan bermakna sebagai suatu keadaan dimana kita merasa tidak terikat lagi dengan hal yang membatasi ruang gerak kita. Kebebasan adalah saat dimana kita bebas meneksplorasi segala kemampuan yang kita miliki. Lalu jika definisi secara umumnya sudah seperti itu, benarkah kita sudah bebas di era globalisasi seperti sekarang ini? Ketika kita bisa mengakses informasi begitu bebas, cepat dan mudah dari dunia yang ada jauh diluar dari jangkauan kita, benarkah kita sebagai manusia sudah bebas? Atau hanya sekedar kamuflase dan fatamorgana dari kebebasan yang terlihat samar dan sebenarnya tidak jelas?
Mari kita kaji bersama-sama.
Salah satu teori Karl Marx yang terkenal adalah teori tentang surplus value. Apa fenomena yang sedang coba dijelaskan Mbah Marx dengan teori ini? Dalam teori surplus value, Marx mengatakan bahwa surplus energi yang dimiliki manusia adalah sumber penindasan. Bagaimana penjelasan konkritnya? Apa keterkaitan antara kebebasan manusia dengan sistem kapitalisme yang sekarang sedang berlaku?
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang diciptakan sempurna dengan otak dan kemampuan berpikirnya. Otak yang dimiliki manusia memungkinkan mereka untuk berpikir hingga ke taraf yang paling abstrak dan memberdayakan segala potensialitas berkarya (bakat) yang dimiliki. Lalu apa yang diperlukan manusia agar bisa sampai ke taraf mampu meberdayakan bakat tersebut? Tentru saja, sebelum sampai ke taraf seperti itu, manusia harus memenuhi kebutuhan dasarnya terlabih dahulu. Apa saja kebutuhan dasar manusia? Makan, tempat tinggal, pakaian. Bagaimana manusia bisa memenuhi kebutuhan itu?
Dalam pola “kapitalisme” yang sedang dunia anut saat ini, pemenuhan kebutuhan semacam itu dapat dipenuhi dengan cara “menjual tenaga” pada pemilik modal, atau dalam hal ini kita sebut dengan kaum borjuis dan kapitalis. Dengan menjual daya kerja (labour force) pada kaum pemiliki modal, kita akan mendapatkan imbalan berupa uang atau materi yang bisa kita gunakan untuk melakukan pemenuhan kebutuhan. Dari cara yang banyak dilakukan manusia pada saat ini, kita bisa menyimpulkan jika itulah cara yang dilakukan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Mempertahankan gerak nyawa yang ada dalam tubuh mereka.
Untuk sejenak mari kita kesampingkan bagaimana cara manusia mempertahankan cara hidupnya. Apa yang manusia lakukan tidak mungkin hanya berakhir pada makan, minum, berpakaian dan tidur saja. Sebenarnya manusia akan memperoleh energi yang sangat banyak setelah mereka makan. Dengan energi yang banyak ini manusia bisa melakukan banyak hal yang memanfaatkan potensi dan kemampuan mereka. Sebut saja seperti melukis, bernyanyi, menciptakan lagu atau berbagai bakat lainnya yang memanfaatkan potensi yang dimiliki otak kita.
Akan tetapi hal tersebut tidak begitu saja biasa dilakukan jika mengingat pola hidup kapitalisme yang saat ini sedang kita anut. Dalam pola hidup yang seperti ini, mau tidak mau, suka tidak suka, rela tidak rela kita harus mau mengorbankan 10-12 jam dalam sehari kita untuk bekerja pada kaum pemilik modal. Belum cukup dengan itu, terkadang dengan berat hati kita juga harus menerima saat si atasan menyuruh kita menyelesaikan pekerjaan dan tugas lainnya di rumah. Jika sudah begini, berapa banyak lagi waktu yang kita punya agar bisa maksimal memanfaatkan potensi yang kita miliki? Jangankan untuk melakukan hal semacam itu, kita pasti akan lebih memilih untuk istirahat dan tidur menikmati sisa waktu yang kita miliki. Demi mempertahankan hidupnya, terkadang manusia harus merelakan untuk memndam potensi positif yang mereka miliki dengan menggunakan pola hidup “bangun-kerja-tidur-bangun lagi-kerja lagi-dan tidur lagi”. Apa seperti inikah wajah kebebasan yang kita harapkan? Seperti inikah kebebasan? Jika harus selalu seperti itu, kebebasan ternyata melelahkan juga, ya?
Sampai di penjelasan ini kemudian kita bisa bertanya “kemanakah larinya energi melimpah yang sebenarnya kita miliki hanya dengan sekali makan dan minum?” Jawaban pertanyaan inilah yang kemudian akan mengantarkan kita pada kesimpulan jika surplus value atau surplus energy yang dimiliki manusia adalah sumber penindasan.
Energi maksimal yang bisa didapatkan manusia hanya dengan memenuhi kebutuhan dasarnya itu tidak lari dan hilang begitu saja. Energi dan potensi lebih yang mereka miliki sebenarnya beralih menjadi milik kapitalis yang mempekerjakan mereka dalam bentuk untung (profit). Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Dalam system kapitalisme, pekerja entah ia dari golongan terdidik atau tidak, sebenarnya hanya diposisikan sebagai komoditas yang memiliki nilai tukar dan bisa diuangkan. Yupz, sebagai komoditas tentu saja mereka memiliki nilai tukar (exchange value), atau dalam bahasa yang sederhana, bisa kita sebut itu dengan harta. Harga yang harus dibayar para kapitalis untuk membeli kaum pekerja adalah sama dengan harga yang harus mereka bayar agar untuk membuat kaum buruh itu dapat tetap ada dan bekerja pada mereka, yaitu harga yang mereka bayarkan dalam bentuk gaji, jumlah uang minimal yang ditentukan perusahaan untuk membuat para pekerja dapat tetap memenuhi kebutuhan dasar. Tapi bagaimanapun kenyataan tidak bisa disangkal, hal yang dianggap sebagai komoditas oleh kaum kapitalis adalah tetap saja manusia yang tentu saja tidak hanya memiliki kebutuhan dasar, melainkan juga memiliki kemampuan dan daya kerja untuk mengaryakan potensinya. Jadi, hanya dengan membayar kelas pekerja dengan membayar kebutuhan dasar mereka, si kapitalis dengan demikian memiliki nilai keuntungan yang lebih (surplus) berupa energi berkarya dan potensi konstruktif yang sebenarnya tidak sedikitpun mendapatkan imbalan dari si kapitalis. Dari uang yang tidak dibayarkan inilah kemudian si kapitalis mendapatkan untung.
Lalu bagaiman jika kita memnuntut agar si kapitalis juga membayar harga energi berkarya kelas bekerja? Bukankah hal ini akan membuat semuanya menjadi fair dan kedua belah pihak sama-sama merasa diuntungkan?
Pada dasarnya itu adalah ide yang bagus, sayangnya hal tersebut sepertinya terlalu tidak mungkin untuk direalisasikan. Menagapa? Pertama, tidak ada satupun kapitalis yang tidak menginginkan keuntungan dari usaha mereka. Jadi, jika mereka tetap memaksakan diri untuk membayar harga energi berkarya kelas pekerja, maka lenyaplah sumber keuntungan yang dimiliki para kapitalis itu. Kedua, yang dimaksud dengan term “energi berkarya” bukanlah semata-mata energi yang dimiliki manusia untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas pabrik atau kantor, melainkan energi yang mereka punya untuk secara bebas mengembangkan potensi konstruktif  mereka, potensi positif yang dimiliki hidup mereka dan hidup mereka sendiri adalah sesuatu yang tidak ternilai, sesuatu yang tidak dapat ditukar dengan uang meski dalam jumlah berapapun. Sesuatu yang tidak bisa dibayar dengan benda apapun, dengan uang berapapun.
Jadi, pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme yang ada pada saat ini adalah sistem yang begitu merendahkan nilai kehidupan. Hidup manusia yang begitu kaya dengan potensi-potensi konstruktif direduksi menjadi sekedar mesin pengeruk uang dan keuntungan. Hal ini berlaku hampir di segala tempat, entah itu di pabrik, kantor, sawah, perkebunan, manusia diposisikan sebagai sekedar binatang peliharaan yang hanya butuh makan, minum, kandang, perawatan berkala sebagai sekedar mahluk yang hanya hidup dari roti saja. Kapitalisme memarjinalkan potensi-potensi konstruktif dari tiap diri manusia, satu persatu orang akhirnya benar-benar mati tanpa sempat memberdayakan potensi konstruktif yang mereka miliki, mati tanpa sempat mendayagunakan bakat terpendam yang mereka miliki, mati sebagai satu dari milyaran kaum pekerja (mayoritas individu memenuhi kebutuhannya dengan bekerja pada orang lain), mati sebagai satu data dalam angka statistik jumlah kematian. Seandainya tiap orang di beri waktu dan kemerdekaan untuk mengaryakan potensi-potensi konstruktif dan bakat terpendamnya, dunia pasti akan terasa jauh lebih baik daripada apa yang sedang kita alami saat ini.
Jadi, benarkah kita sebagai manusia sudah memiliki kebebasan yang benar-benar membebaskan dalam dunia kapitalisme? Rasanya belum….

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba