Berbicara masalah kebebasan di bulan Februari. Apa ini terdengar aneh
dan agak konyol? Yuppz…mungkin memang berkesan seperti itu. Bukankah
kita lebih sering memperbincangkan ini saat bulan Agustus yang notabene
adalah bulan kemerdekaan Negara tercinta kita? Tapi saiia harap, ini
tidak akan menjadi masalah. Kali ini saiia tidak akan membahas
kemerdekaan dari perspektif Negara, saiia akan lebih banyak
memperbincangkan kebebasan dari dalam diri seorang manusia.
Kebebasan
dan kemerdekaan, seringkali kita tidak menemukan perbedaan yang jauh
dalam dua kata ini. Maknanya hampir sama, bukan? Seorang yang sudah
bebas, berarti ia seorang yang sudah merdeka dan seorang yang sudah
merdeka berarti ia sudah benar-benar bebas. Merdeka dari apa? Bebas dari
apa? Benarkah kita sudah benar-benar bebas?
Membicarakan masalah
kebebasan manusia memang sulit. Mengapa saiia katakan sulit, karena
kebebasan memiliki definisi sosial yang berbeda antara satu manusia
dengan manusia yang lain. Ada yang sudah merasa bebas saat indikator A, B
dan C terpenuhi, tapi ada juga yang merasa belum bebas meskipun
indikator A sampai Z sudah terpenuhi. Jika sudah begini, bagaiumana kita
mengawali pembicaraan tentang kebebasan yang bermakna absurd ini?
Perbedaan definisi tentang kebebasan dari masing-masing individu mungkin
muncul karena adanya perbedaan pengalaman dan segala hal yang mungkin
menjadi background perbedaan pemikiran. Baiklah, saiia tidak akan
membahas latar belakang munculnya perbedaan pemikiran semacam ini.
Sebelum
saiia berbicara lebih jauh, mari kita samakan dulu persepsi kita
tentang kebebasan. Secara text book, kebebasan bermakna sebagai suatu
keadaan dimana kita merasa tidak terikat lagi dengan hal yang membatasi
ruang gerak kita. Kebebasan adalah saat dimana kita bebas meneksplorasi
segala kemampuan yang kita miliki. Lalu jika definisi secara umumnya
sudah seperti itu, benarkah kita sudah bebas di era globalisasi seperti
sekarang ini? Ketika kita bisa mengakses informasi begitu bebas, cepat
dan mudah dari dunia yang ada jauh diluar dari jangkauan kita, benarkah
kita sebagai manusia sudah bebas? Atau hanya sekedar kamuflase dan
fatamorgana dari kebebasan yang terlihat samar dan sebenarnya tidak
jelas?
Mari kita kaji bersama-sama.
Salah satu teori Karl
Marx yang terkenal adalah teori tentang surplus value. Apa fenomena yang
sedang coba dijelaskan Mbah Marx dengan teori ini? Dalam teori surplus
value, Marx mengatakan bahwa surplus energi yang dimiliki manusia adalah
sumber penindasan. Bagaimana penjelasan konkritnya? Apa keterkaitan
antara kebebasan manusia dengan sistem kapitalisme yang sekarang sedang
berlaku?
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang diciptakan
sempurna dengan otak dan kemampuan berpikirnya. Otak yang dimiliki
manusia memungkinkan mereka untuk berpikir hingga ke taraf yang paling
abstrak dan memberdayakan segala potensialitas berkarya (bakat) yang
dimiliki. Lalu apa yang diperlukan manusia agar bisa sampai ke taraf
mampu meberdayakan bakat tersebut? Tentru saja, sebelum sampai ke taraf
seperti itu, manusia harus memenuhi kebutuhan dasarnya terlabih dahulu.
Apa saja kebutuhan dasar manusia? Makan, tempat tinggal, pakaian.
Bagaimana manusia bisa memenuhi kebutuhan itu?
Dalam pola
“kapitalisme” yang sedang dunia anut saat ini, pemenuhan kebutuhan
semacam itu dapat dipenuhi dengan cara “menjual tenaga” pada pemilik
modal, atau dalam hal ini kita sebut dengan kaum borjuis dan kapitalis.
Dengan menjual daya kerja (labour force) pada kaum pemiliki modal, kita
akan mendapatkan imbalan berupa uang atau materi yang bisa kita gunakan
untuk melakukan pemenuhan kebutuhan. Dari cara yang banyak dilakukan
manusia pada saat ini, kita bisa menyimpulkan jika itulah cara yang
dilakukan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Mempertahankan gerak
nyawa yang ada dalam tubuh mereka.
Untuk sejenak mari kita
kesampingkan bagaimana cara manusia mempertahankan cara hidupnya. Apa
yang manusia lakukan tidak mungkin hanya berakhir pada makan, minum,
berpakaian dan tidur saja. Sebenarnya manusia akan memperoleh energi
yang sangat banyak setelah mereka makan. Dengan energi yang banyak ini
manusia bisa melakukan banyak hal yang memanfaatkan potensi dan
kemampuan mereka. Sebut saja seperti melukis, bernyanyi, menciptakan
lagu atau berbagai bakat lainnya yang memanfaatkan potensi yang dimiliki
otak kita.
Akan tetapi hal tersebut tidak begitu saja biasa
dilakukan jika mengingat pola hidup kapitalisme yang saat ini sedang
kita anut. Dalam pola hidup yang seperti ini, mau tidak mau, suka tidak
suka, rela tidak rela kita harus mau mengorbankan 10-12 jam dalam sehari
kita untuk bekerja pada kaum pemilik modal. Belum cukup dengan itu,
terkadang dengan berat hati kita juga harus menerima saat si atasan
menyuruh kita menyelesaikan pekerjaan dan tugas lainnya di rumah. Jika
sudah begini, berapa banyak lagi waktu yang kita punya agar bisa
maksimal memanfaatkan potensi yang kita miliki? Jangankan untuk
melakukan hal semacam itu, kita pasti akan lebih memilih untuk istirahat
dan tidur menikmati sisa waktu yang kita miliki. Demi mempertahankan
hidupnya, terkadang manusia harus merelakan untuk memndam potensi
positif yang mereka miliki dengan menggunakan pola hidup
“bangun-kerja-tidur-bangun lagi-kerja lagi-dan tidur lagi”. Apa seperti
inikah wajah kebebasan yang kita harapkan? Seperti inikah kebebasan?
Jika harus selalu seperti itu, kebebasan ternyata melelahkan juga, ya?
Sampai
di penjelasan ini kemudian kita bisa bertanya “kemanakah larinya energi
melimpah yang sebenarnya kita miliki hanya dengan sekali makan dan
minum?” Jawaban pertanyaan inilah yang kemudian akan mengantarkan kita
pada kesimpulan jika surplus value atau surplus energy yang dimiliki
manusia adalah sumber penindasan.
Energi maksimal yang bisa
didapatkan manusia hanya dengan memenuhi kebutuhan dasarnya itu tidak
lari dan hilang begitu saja. Energi dan potensi lebih yang mereka miliki
sebenarnya beralih menjadi milik kapitalis yang mempekerjakan mereka
dalam bentuk untung (profit). Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Dalam
system kapitalisme, pekerja entah ia dari golongan terdidik atau tidak,
sebenarnya hanya diposisikan sebagai komoditas yang memiliki nilai
tukar dan bisa diuangkan. Yupz, sebagai komoditas tentu saja mereka
memiliki nilai tukar (exchange value), atau dalam bahasa yang sederhana,
bisa kita sebut itu dengan harta. Harga yang harus dibayar para
kapitalis untuk membeli kaum pekerja adalah sama dengan harga yang harus
mereka bayar agar untuk membuat kaum buruh itu dapat tetap ada dan
bekerja pada mereka, yaitu harga yang mereka bayarkan dalam bentuk gaji,
jumlah uang minimal yang ditentukan perusahaan untuk membuat para
pekerja dapat tetap memenuhi kebutuhan dasar. Tapi bagaimanapun
kenyataan tidak bisa disangkal, hal yang dianggap sebagai komoditas oleh
kaum kapitalis adalah tetap saja manusia yang tentu saja tidak hanya
memiliki kebutuhan dasar, melainkan juga memiliki kemampuan dan daya
kerja untuk mengaryakan potensinya. Jadi, hanya dengan membayar kelas
pekerja dengan membayar kebutuhan dasar mereka, si kapitalis dengan
demikian memiliki nilai keuntungan yang lebih (surplus) berupa energi
berkarya dan potensi konstruktif yang sebenarnya tidak sedikitpun
mendapatkan imbalan dari si kapitalis. Dari uang yang tidak dibayarkan
inilah kemudian si kapitalis mendapatkan untung.
Lalu bagaiman
jika kita memnuntut agar si kapitalis juga membayar harga energi
berkarya kelas bekerja? Bukankah hal ini akan membuat semuanya menjadi
fair dan kedua belah pihak sama-sama merasa diuntungkan?
Pada
dasarnya itu adalah ide yang bagus, sayangnya hal tersebut sepertinya
terlalu tidak mungkin untuk direalisasikan. Menagapa? Pertama, tidak ada
satupun kapitalis yang tidak menginginkan keuntungan dari usaha mereka.
Jadi, jika mereka tetap memaksakan diri untuk membayar harga energi
berkarya kelas pekerja, maka lenyaplah sumber keuntungan yang dimiliki
para kapitalis itu. Kedua, yang dimaksud dengan term “energi berkarya”
bukanlah semata-mata energi yang dimiliki manusia untuk mengerjakan dan
menyelesaikan tugas-tugas pabrik atau kantor, melainkan energi yang
mereka punya untuk secara bebas mengembangkan potensi konstruktif
mereka, potensi positif yang dimiliki hidup mereka dan hidup mereka
sendiri adalah sesuatu yang tidak ternilai, sesuatu yang tidak dapat
ditukar dengan uang meski dalam jumlah berapapun. Sesuatu yang tidak
bisa dibayar dengan benda apapun, dengan uang berapapun.
Jadi,
pada dasarnya sistem ekonomi kapitalisme yang ada pada saat ini adalah
sistem yang begitu merendahkan nilai kehidupan. Hidup manusia yang
begitu kaya dengan potensi-potensi konstruktif direduksi menjadi sekedar
mesin pengeruk uang dan keuntungan. Hal ini berlaku hampir di segala
tempat, entah itu di pabrik, kantor, sawah, perkebunan, manusia
diposisikan sebagai sekedar binatang peliharaan yang hanya butuh makan,
minum, kandang, perawatan berkala sebagai sekedar mahluk yang hanya
hidup dari roti saja. Kapitalisme memarjinalkan potensi-potensi
konstruktif dari tiap diri manusia, satu persatu orang akhirnya
benar-benar mati tanpa sempat memberdayakan potensi konstruktif yang
mereka miliki, mati tanpa sempat mendayagunakan bakat terpendam yang
mereka miliki, mati sebagai satu dari milyaran kaum pekerja (mayoritas
individu memenuhi kebutuhannya dengan bekerja pada orang lain), mati
sebagai satu data dalam angka statistik jumlah kematian. Seandainya tiap
orang di beri waktu dan kemerdekaan untuk mengaryakan potensi-potensi
konstruktif dan bakat terpendamnya, dunia pasti akan terasa jauh lebih
baik daripada apa yang sedang kita alami saat ini.
Jadi, benarkah
kita sebagai manusia sudah memiliki kebebasan yang benar-benar
membebaskan dalam dunia kapitalisme? Rasanya belum….
Monday, October 6, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 respons:
Post a Comment