Monday, October 13, 2014

VICKY (Part. 2)

| |

Aku masih mengingat jelas setiap detail tubuhnya. Tubuh tingginya yang putih, matanya yang nyaris sempurna dengan tatapan lembutnya, senyumnya yang sederhana tapi menawan, wajah kalemnya yang memancarkan pesona dan bibirnya yang tak banyak bicara. Aku masih ingat betul bagaimana dulu aku mengagumi sosoknya, bukan hanya dulu, bahkan hingga detik ini kekaguman masih bercokol kuat di relung hati yang tak terlihat. Aku mencoba mengabaikannya, tapi tak mampu sedikitpun. Semakin aku mencoba menarik kekagumanku dan mencabut suka yang bercokol kuat, aku malah makin terluka. Aku tak terlalu mengenalnya, apalagi memahaminya. Aku hanya sekilas tahu tentangnya, tapi itu sudah membuatku jatuh cinta, seperti itulah mungkin tepatnya. Dialah, Vicky.
Aku mengenalnya secara kebetulan, tapi aku percaya sesuatu selalu terjadi untuk sebuah alasan. Alasan yang kadang tak terpikirkan, tak bisa dipahami dan dimengerti. Aku sendiri masih belum tahu ada alasan apa di balik semuanya, aku tak mau memikirkan alasan itu karena aku yakin suatu saat nanti, entah kapan, aku juga akan tahu pada akhirnya.
Saat itu tak sengaja mataku menatap sosoknya. Laki-laki tampan itu duduk di dekatku, berjarak beberapa kursi dari tempat dudukku. Kulihat wajahnya yang tenang memandang serius ke depan. Diam-diam aku mengaguminya, wajah yang penuh pesona itu seolah menarik perasaanku begitu saja pada pusaran kekaguman yang amat dalam. Dalam sekali, hingga aku tenggelam. Kuperhatikan wajahnya, senyumnya, dan… semuanya. Ia memang benar-benar menarik.
“Siapa dia?” tanyaku pada kawan di sebelahku, Vita mengikuti arah lirikan mataku. Ia tak langsung menjawab pertanyaanku, bibirnya malah tersenyum nakal seolah sedang menggodaku.
“Kanapa?” tanya Vita dengan senyum menggodanya.
“Cakep.” Bisikku sedikit nakal.
Vita tersenyum.
Aku bisa saja langsung menyapanya, mengajaknya kenalan dan langsung tahu siapa dia saat itu juga. Tapi ini bukan tempatku, bukan kelasku, bukan kampusku. Aku hanya seseorang yang dengan sengaja mengilegalkan diri dengan mengikuti kelas Vita, sahabat baikku. Aku tak bisa berbuat banyak, tapi bukan berarti ini sebuah bentuk “menyerah”. Maaf, tidak ada kata menyerah dalam hidupku. Aku bukan perempuan lemah. Kalau aku masih menjadi perempuan lemah abad ini, kasihan sekali Alm. R.A. Kartini yang sudah susah payah mengupayakan emansipasi kaum wanita. Bukankah sikapku ini bisa dibilang sebagai salah satu bentuk penghargaan terhadap perjuangannya? Semoga guru SDku merasa puas bisa melihat aku mengamalkan ajarannya, hahaha.
Kelas sudah usai, tapi masih ada kelas berikutnya setelah ini. Aku girang bukan main, ternyata aku masih bisa menikmati wajah laki-laki itu. Jika hidup harus dinikmati, maka wajahnya adalah hidup. Rugi sekali bukan jika aku malah menyia-nyiakan ini?
Di kelas kedua aku kembali menatap wajahnya, lebih dari itu, ia bahkan duduk di dekatku. Tak ada jarak lagi, kursi kami berdua bahkan nyaris menempel. Tanpa basa-basi aku mengulurkan tanganku, mengajaknya berkenalan. Hurray!! Ia menerima tawaranku dan dengan senyum menawannya ia enyambut uluran tanganku. Awal yang bagus bukan?
“Vicky.” Jawabnya sambil menerima uluran tanganku. Senyumnya yang menawan kembali kulihat. Darahku seketika berdesir lebih cepat mengalir di setiap sel-sel tubuhku. Aku seperti terbang saja rasanya…
“Ayu.” Ujarku sedikit gagap.
Dia tersenyum lagi.
Dosen mata kuliah itu belum datang juga, aku mengobrol beberapa hal dengan Vicky. Ia bertanya darimana asalku dan dalam rangka apa aku datang ke kotanya. Aku menjawab sekenanya saja, pesonanya benar-benar membuat isi otakku lenyap, menguap. Vicky menepuk pundak kawan laki-laki di sebelahnya, ia kemudian bertukar tempat duduk dengan laki-laki itu. Entah siapa, sebenarnya aku sudah berkenalan dengannya tapi kini aku memang benar-benar lupa. Apa ada yang tahu? Hehehe.
Kelas berikutnya lagi, kali ini aku memtuskan untuk menunggu Vita dari luar. Sebenarnya aku masih ingin melihat Vicky, tapi otakku sudah terlalu malas mendengarkan ucapan dosen yang tak bisa kupahami dengan jelas. Bagaimana paham, seumur hidupku baru sekali ini aku mengenal mata kuliah itu. Entahlah, aku juga sudah lupa nama mata kuliah yang memang tidak penting untuk diingat itu.
Aku menginap di kost Vita. Sekamar bertiga, ada juga Ani, kawan dekat Vita yang sebenarnya lebih dulu ku kenal. Yah… aku mengenalnya dari Amin, mantan cowokku yang sudah memutuskanku begitu saja karena mantan kekasihnya. Malang sekali bukan nasibku? Kejadian itu memang belum lama, mungkin hanya seminggu lalu. kesal sekali sebenarnya, tapi tak apalah. Bukankah sudah ada Vicky? Rasanya laki-laki itu benar-benar membuatku melupakan Amin seketika. Meskipun belum lupa seppenuhnya, karena nama dia masih sedikit tersimpan di hatiku. Yah, mungkin tinggal huruf A-nya saja. Hohoho.
Dari Vita, aku mendapatkan nomor ponsel Vicky dan seketika aku dan Vicky sudah asyik ber-sms-an. Can you describe my feels? So excellent! Aku bahkan berteriak setiap ia membalas smsku.
Tiga hari sudah aku berada di Wonosobo, cukup sudah aku mengistirahatan otakku. Sedikit kesegaran sudah kudapatkan di kota dingin ini. Kesegaran karena udaranya dan tentu saja karena Vicky.
Aku berpamitan pada dua sahabatku dan tentu saja pada Vicky walaupun cuma sekedar lewat sms. Dan hal yang paling tidak aku kira adalah, Vicky menungguku kembali kekotanya dan berjanji akan mentraktirku makanan khas Wonosobo. Amazing!!
“Vicky orangnya cuek loh sama cewek. Kayaknya dia gak pernah kaya gitu” ucapan Vita makin membuatku melayang. Jika saja jumlah langit tidak tujuh, mungkin aku sudah sampai di puncaknya saat ini. Cuek? Aku rasa tidak. Kami mengobrol dengan lancar semalam, bercanda ringan dan saling tertawa walau sekedar lewat sebuah pesan. Hah, Vicky benar-benar membuatku mabuk.
Ckckckckckckck…..
Aku kembali ke kotaku, Amin sama sekali tak menemuiku di Wonosobo. Jujur saja, aku hanya ingin mendengarkan kata maafnya setelah ia mencampakanku begitu saja. Tapi jangankan minta maaf, ia malah sama sekali tak tahu kehadiranku di kotanya. Hah, sepertinya dunia ini memang butuh satu tempat yang bisa digunakan untuk merangsang daya sensitivitas laki-laki yang tak berperasaan.
Beberapa minggu kemudian…
Entah darimana Amin tahu kalau aku sempat melancong ke kotanya ( melancong?), ia kemudian mendatangiku di kampus, meminta maaf padaku, mengajakku kembali lagi menjadi kekasihnya. Aku seperti tersihir dan begitu saja menuruti permintaannya. Tapi, itu tidak berarti aku melupakan Vicky. Aku bahkan selalu membayangkan jika Vicky yang berada di dekatku, bukan Amin. Munafikkah aku? Tapi bukankah rasa memang tak bisa didustai?
Saat itu aku sedang makan siang bersama Amin, menikmati semangkuk bakso sambil mengobrol. Ponselku bergetar dan Amin langsung menyambarnya

From: Vicky
Katanya lagi di Wonosobo, mau aku beliin tempe kemul? Keluar bareng yuk!

Amin menatapku marah, aku hanya menanggapinya dengan diam. Ia membalas sms Vicky, entah apa. Aku sendiri bahkan tak bisa tahu karena ia langsung saja menghapus sent itemsnya.
Menyebalkan!!
Kejadian itu entah sudah beberapa bulan yang lalu, aku sudah hampir lupa. Kini aku sudah tak lagi bersama Amin, aku sudah melupakan semua tentangnya. Tak penting lagi kuingat, ia terlalu tak bermartabat ( emosi seorang mantan, hahaha ).
Kini aku melewati hidupku seorang diri, aku juga kehilangan nomor kontak Vicky karena saat Amin marah, nomor itu langsung di hapusnya. Aku benar-benar kesal saat itu. untung saja aku segera menghubungi Vita dan menyuruhnya menyampaikan maafku untuk Vicky, semoga dia sudah memaafkan.
Aku sedang asyik dengan jejaring sosialku, mengarungi dunia virtual dengan ribuan teman yang mungkin sama sekali tak ku kenal. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok yang berkomentar di salah satu status facebooku.
Abdillah Vicky!!!
Aku mengecek profilnya dan ku pastikan dialah Vicky yang selama ini kukenal. Kami kembali mengobrol, dan aku juga tak lupa meminta nomor ponselnya. Kali ini langsung, tanpa perantara.
Akhirnya aku mengucapkan maafku langsung pada Vicky, belum ada jawaban dan ia memang berubah dingin sekarang. Entahlah…
Aku hanya berharap semuanya berjalan di jalur yang ku inginkan, semoga saja.

‘’aku yakin kegagalanku pergi kesana memiliki alasan. Wait you, Vicky.”

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba