Aku masih mengingat jelas setiap detail tubuhnya. Tubuh tingginya
yang putih, matanya yang nyaris sempurna dengan tatapan lembutnya,
senyumnya yang sederhana tapi menawan, wajah kalemnya yang memancarkan
pesona dan bibirnya yang tak banyak bicara. Aku masih ingat betul
bagaimana dulu aku mengagumi sosoknya, bukan hanya dulu, bahkan hingga
detik ini kekaguman masih bercokol kuat di relung hati yang tak
terlihat. Aku mencoba mengabaikannya, tapi tak mampu sedikitpun.
Semakin aku mencoba menarik kekagumanku dan mencabut suka yang bercokol
kuat, aku malah makin terluka. Aku tak terlalu mengenalnya, apalagi
memahaminya. Aku hanya sekilas tahu tentangnya, tapi itu sudah
membuatku jatuh cinta, seperti itulah mungkin tepatnya. Dialah, Vicky.
Aku
mengenalnya secara kebetulan, tapi aku percaya sesuatu selalu terjadi
untuk sebuah alasan. Alasan yang kadang tak terpikirkan, tak bisa
dipahami dan dimengerti. Aku sendiri masih belum tahu ada alasan apa di
balik semuanya, aku tak mau memikirkan alasan itu karena aku yakin
suatu saat nanti, entah kapan, aku juga akan tahu pada akhirnya.
Saat
itu tak sengaja mataku menatap sosoknya. Laki-laki tampan itu duduk di
dekatku, berjarak beberapa kursi dari tempat dudukku. Kulihat wajahnya
yang tenang memandang serius ke depan. Diam-diam aku mengaguminya,
wajah yang penuh pesona itu seolah menarik perasaanku begitu saja pada
pusaran kekaguman yang amat dalam. Dalam sekali, hingga aku tenggelam.
Kuperhatikan wajahnya, senyumnya, dan… semuanya. Ia memang benar-benar
menarik.
“Siapa dia?” tanyaku pada kawan di sebelahku, Vita
mengikuti arah lirikan mataku. Ia tak langsung menjawab pertanyaanku,
bibirnya malah tersenyum nakal seolah sedang menggodaku.
“Kanapa?” tanya Vita dengan senyum menggodanya.
“Cakep.” Bisikku sedikit nakal.
Vita tersenyum.
Aku
bisa saja langsung menyapanya, mengajaknya kenalan dan langsung tahu
siapa dia saat itu juga. Tapi ini bukan tempatku, bukan kelasku, bukan
kampusku. Aku hanya seseorang yang dengan sengaja mengilegalkan diri
dengan mengikuti kelas Vita, sahabat baikku. Aku tak bisa berbuat
banyak, tapi bukan berarti ini sebuah bentuk “menyerah”. Maaf, tidak ada
kata menyerah dalam hidupku. Aku bukan perempuan lemah. Kalau aku
masih menjadi perempuan lemah abad ini, kasihan sekali Alm. R.A.
Kartini yang sudah susah payah mengupayakan emansipasi kaum wanita.
Bukankah sikapku ini bisa dibilang sebagai salah satu bentuk
penghargaan terhadap perjuangannya? Semoga guru SDku merasa puas bisa
melihat aku mengamalkan ajarannya, hahaha.
Kelas sudah usai, tapi
masih ada kelas berikutnya setelah ini. Aku girang bukan main,
ternyata aku masih bisa menikmati wajah laki-laki itu. Jika hidup harus
dinikmati, maka wajahnya adalah hidup. Rugi sekali bukan jika aku
malah menyia-nyiakan ini?
Di kelas kedua aku kembali menatap
wajahnya, lebih dari itu, ia bahkan duduk di dekatku. Tak ada jarak
lagi, kursi kami berdua bahkan nyaris menempel. Tanpa basa-basi aku
mengulurkan tanganku, mengajaknya berkenalan. Hurray!! Ia menerima
tawaranku dan dengan senyum menawannya ia enyambut uluran tanganku.
Awal yang bagus bukan?
“Vicky.” Jawabnya sambil menerima uluran
tanganku. Senyumnya yang menawan kembali kulihat. Darahku seketika
berdesir lebih cepat mengalir di setiap sel-sel tubuhku. Aku seperti
terbang saja rasanya…
“Ayu.” Ujarku sedikit gagap.
Dia tersenyum lagi.
Dosen
mata kuliah itu belum datang juga, aku mengobrol beberapa hal dengan
Vicky. Ia bertanya darimana asalku dan dalam rangka apa aku datang ke
kotanya. Aku menjawab sekenanya saja, pesonanya benar-benar membuat isi
otakku lenyap, menguap. Vicky menepuk pundak kawan laki-laki di
sebelahnya, ia kemudian bertukar tempat duduk dengan laki-laki itu.
Entah siapa, sebenarnya aku sudah berkenalan dengannya tapi kini aku
memang benar-benar lupa. Apa ada yang tahu? Hehehe.
Kelas
berikutnya lagi, kali ini aku memtuskan untuk menunggu Vita dari luar.
Sebenarnya aku masih ingin melihat Vicky, tapi otakku sudah terlalu
malas mendengarkan ucapan dosen yang tak bisa kupahami dengan jelas.
Bagaimana paham, seumur hidupku baru sekali ini aku mengenal mata
kuliah itu. Entahlah, aku juga sudah lupa nama mata kuliah yang memang
tidak penting untuk diingat itu.
Aku menginap di kost Vita.
Sekamar bertiga, ada juga Ani, kawan dekat Vita yang sebenarnya lebih
dulu ku kenal. Yah… aku mengenalnya dari Amin, mantan cowokku yang
sudah memutuskanku begitu saja karena mantan kekasihnya. Malang sekali
bukan nasibku? Kejadian itu memang belum lama, mungkin hanya seminggu
lalu. kesal sekali sebenarnya, tapi tak apalah. Bukankah sudah ada
Vicky? Rasanya laki-laki itu benar-benar membuatku melupakan Amin
seketika. Meskipun belum lupa seppenuhnya, karena nama dia masih
sedikit tersimpan di hatiku. Yah, mungkin tinggal huruf A-nya saja.
Hohoho.
Dari Vita, aku mendapatkan nomor ponsel Vicky dan seketika
aku dan Vicky sudah asyik ber-sms-an. Can you describe my feels? So
excellent! Aku bahkan berteriak setiap ia membalas smsku.
Tiga
hari sudah aku berada di Wonosobo, cukup sudah aku mengistirahatan
otakku. Sedikit kesegaran sudah kudapatkan di kota dingin ini. Kesegaran
karena udaranya dan tentu saja karena Vicky.
Aku berpamitan pada
dua sahabatku dan tentu saja pada Vicky walaupun cuma sekedar lewat
sms. Dan hal yang paling tidak aku kira adalah, Vicky menungguku
kembali kekotanya dan berjanji akan mentraktirku makanan khas Wonosobo.
Amazing!!
“Vicky orangnya cuek loh sama cewek. Kayaknya dia gak
pernah kaya gitu” ucapan Vita makin membuatku melayang. Jika saja
jumlah langit tidak tujuh, mungkin aku sudah sampai di puncaknya saat
ini. Cuek? Aku rasa tidak. Kami mengobrol dengan lancar semalam,
bercanda ringan dan saling tertawa walau sekedar lewat sebuah pesan.
Hah, Vicky benar-benar membuatku mabuk.
Ckckckckckckck…..
Aku
kembali ke kotaku, Amin sama sekali tak menemuiku di Wonosobo. Jujur
saja, aku hanya ingin mendengarkan kata maafnya setelah ia
mencampakanku begitu saja. Tapi jangankan minta maaf, ia malah sama
sekali tak tahu kehadiranku di kotanya. Hah, sepertinya dunia ini memang
butuh satu tempat yang bisa digunakan untuk merangsang daya
sensitivitas laki-laki yang tak berperasaan.
Beberapa minggu kemudian…
Entah
darimana Amin tahu kalau aku sempat melancong ke kotanya (
melancong?), ia kemudian mendatangiku di kampus, meminta maaf padaku,
mengajakku kembali lagi menjadi kekasihnya. Aku seperti tersihir dan
begitu saja menuruti permintaannya. Tapi, itu tidak berarti aku
melupakan Vicky. Aku bahkan selalu membayangkan jika Vicky yang berada
di dekatku, bukan Amin. Munafikkah aku? Tapi bukankah rasa memang tak
bisa didustai?
Saat itu aku sedang makan siang bersama Amin,
menikmati semangkuk bakso sambil mengobrol. Ponselku bergetar dan Amin
langsung menyambarnya
From: Vicky
Katanya lagi di Wonosobo, mau aku beliin tempe kemul? Keluar bareng yuk!
Amin
menatapku marah, aku hanya menanggapinya dengan diam. Ia membalas sms
Vicky, entah apa. Aku sendiri bahkan tak bisa tahu karena ia langsung
saja menghapus sent itemsnya.
Menyebalkan!!
Kejadian itu
entah sudah beberapa bulan yang lalu, aku sudah hampir lupa. Kini aku
sudah tak lagi bersama Amin, aku sudah melupakan semua tentangnya. Tak
penting lagi kuingat, ia terlalu tak bermartabat ( emosi seorang
mantan, hahaha ).
Kini aku melewati hidupku seorang diri, aku juga
kehilangan nomor kontak Vicky karena saat Amin marah, nomor itu
langsung di hapusnya. Aku benar-benar kesal saat itu. untung saja aku
segera menghubungi Vita dan menyuruhnya menyampaikan maafku untuk
Vicky, semoga dia sudah memaafkan.
Aku sedang asyik dengan
jejaring sosialku, mengarungi dunia virtual dengan ribuan teman yang
mungkin sama sekali tak ku kenal. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok
yang berkomentar di salah satu status facebooku.
Abdillah Vicky!!!
Aku
mengecek profilnya dan ku pastikan dialah Vicky yang selama ini
kukenal. Kami kembali mengobrol, dan aku juga tak lupa meminta nomor
ponselnya. Kali ini langsung, tanpa perantara.
Akhirnya aku mengucapkan maafku langsung pada Vicky, belum ada jawaban dan ia memang berubah dingin sekarang. Entahlah…
Aku hanya berharap semuanya berjalan di jalur yang ku inginkan, semoga saja.
‘’aku yakin kegagalanku pergi kesana memiliki alasan. Wait you, Vicky.”
0 respons:
Post a Comment