Monday, October 6, 2014

SEBAIT KATA UNTUK BUNDA

| |

Ketika kolong langit perlahan memadam, berubah menjadi gelap dan mengantarkan sang bulan pada singgasananya, kau ada disisiku. Membuaiku dengan nyanyian dan dongeng kasih sayang sarat makna. Mengantarkan jiwaku ke alam mimpi dengan doa terbaikmu. Kau pandangi mataku yang terpejam, wajahku yang terlelap nyenyak seolah tanpa dosa, kau belai lembut rambutku, kau kecup keningku seraya menghaturkan harapmu untuk masa depanku. Senandung doa indah dari bibirmu yang mulai memucat terus bergetar. Betapa sungguh kau harapkan aku menjadi yang terbaik. Tak hanya bagimu, tapi bagi semua yang ada di sekelilingku.
Aku menggeliat dalam tidurku, kau juga terhenyak dari doamu. Aku menangis pelan, tapi sesaat kemudian meronta kelaparan. Tak ada kemarahan, kau tersenyum menatap diriku. Membuatku seketika terdiam dalam buaianmu. Ragamu membalut tubuhku dengan pelukan hangat. Nyanyian kecilmu mengantarkan aku kembali terlelap. Tak ada keluhan, seulas senyum penuh kesabaran tak beranjak dari wajahmu, tetap bertahan dan senantiasa menghiasi wajahmu. Kau mungkin lelah, tapi kau mengalah. Menggadaikan rasa lelahmu dan menukarnya dengan kesabaran menghadapi aku yang malah makin mempermainkanmu dengan tangis dan isakku. Kau juga tak marah, kau membalut tubuhku dengan selimut pelukmu, seolah memastikan dingin tak bisa menerjangku.
Embun masih membasahi rumput dan ilalang halaman depan, kabut masih nampak tebal menghiasi fajar. Aku kembali menggeliat dengan tangisku. Kau terbangun lagi, lingkaran hitam itu masih jelas bergelayut di mata indahmu, tapi sekali lagi… kau tak peduli. Kau kembali menenangkan tubuhku yang bergetar karena tangis, memberikan tetesan kesejukan yang melenyapkan dahagaku seketika. Kini aku diam, menggeliat pelan menampakan kelucuan. Aku hanya ingin menghiburmu, mengobati lelahmu setelah terjaga semalaman mendampingi tubuh kecilku. Sekedar hiburan kecil yang bisa aku lakukan untukmu, aku tahu itu tak akan cukup. Kau tersenyum lagi, membuatku bahagia karena aksiku mampu melukiskan senyum indah di wajahmu. Aku menyadari, ternyata bukan aku yang menghiburmu, tapi kau yang sedang mencandaiku.
Waktu beranjak, detik berlalu mengantarkan hari berganti tahun. Musim semi berlalu, guguran daun juga sudah tak terlihat lagi. Sengatan panas beralih dengan guyuran hujan yang membasahi bumi, semuanya berlalu. Berjalan sebagaimana Tuhan telah menentukan. Lalu aku? Aku bukan lagi mahluk kecil yang meronta tiap purnama. Aku bukan lagi pemilik wajah suci tanpa dosa yang setiap saat bisa menggeliat manja di pelukanmu. Semua berubah. Aku sudah melangkah dengan kakiku, menatap masa depan dengan dua bola mataku. Meski masih remang-remang, tapi aku tidak patah arang. Kuukir cita-cita dalam prasasti yang kutancapkan kuat di sudut hatiku. Bukankah itu yang kau inginkan? Aku ingin membuatmu bahagia seperti kau yang selalu membuatku terdiam dari tangisanku beberapa tahun silam. Aku ingin memahat kebahagiaan di setiap rongga batinmu, aku ingin menggoreskan kepuasan di wajahmu, menorehkan kebanggaan dan melukis senyum terindah di bibirmu. Betapa aku ingin membuat harapmu berevolusi menjadi nyata. Aku ingin membayar lelahmu yang telah tergadaikan untukku. Sekali lagi, itu masih tetap tak cukup. Cintamu terlalu tinggi, tak terbalaskan dan tak akan pernah terbalaskan. Jika dunia ini kiamat, hanya cintamu yang tak akan ikut hancur meski langit luruh menerjang bumi. Kau memang teramat berharga.
Aku mengukir mimpiku, berusaha dengan segala daya untuk mewujudkannya. Semata aku hanya ingin membuatmu bahagia. Aku berusaha, dan kau juga tak henti berdoa. Bersimpuh di hadapanNya, berharap Ia memberiku kemudahan dalam menggapai mimpi dan cita. Restumu mengantarkanku meraih mimpi. Doamu membuat mataNya beralih padaku. Rangkaian doa panjang dari bibir keringmu membuat Ia melimpahi hidupku dengan segala rahmat. Kau tersenyum melihat kegigihanku menggapai mimpi. Selangit doa dan samudera motivasi mengantarku, mengiringi tiap derap langkah kakiku. Semua itu darimu, dan begitu setia mendampingiku. Tak lekang oleh waktu, langit doa darimu tak pernah berubah gelap dan mendung, juga samudera motivasi itu, tak sedikitpun berkurang isinya meski kemarau dahsyat melandanya.
Matahari tersenyum ke arahku, ia seperti sudah tak mengirimiku sinar panasnya. Angin sejuk terus membelai wajahku. Kunikmati lembut dan sejuknya. Perlahan aku membuka mata, ruangan mewah dengan barang berharga itu kini milikku dan aku ada bersama mereka sebagai seorang yang mulia. Aku tersenyum bangga dengan segala yang ada di hadapku, kepuasan terukir jelas di raut wajahku. Sesaat otakku kembali membayangkan raut wajahmu, tak akan pernah kulupa betapa doamu setia mendampingiku. Bersamanya aku mendapatkan segalanya, semuanya karena doamu.
Malam berlalu cepat, beberapa purnama kulewati dengan segala kesibukanku. Pekerjaan menumpuk tak terkira diatas meja. Satu persatu, kujamahi pekerjaan itu dengan otakku, hatiku, sekaligus cintaku. Aku menghempaskan diri di kursi dudukku, menghela nafas panjang. Kelelahan terpampang nyata di raut wajahku. Dan sepertimu dulu, aku tak peduli semua kelelahan itu. Aku ingin menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan yang belum kutuntaskan. Aku mendengarkan getar suaramu, desah kerinduan mendalam dari setiap helaan nafasmu di antara tumpukan kertas tak beraturan itu. Kau memintaku pulang, kau bilang kau merindukanku. Aku tersenyum, kurangkai serentetan kata indah untuk menghiburmu, sekedar pengobat kerinduanmu. Kurangkai semua kata itu dengan hati berdebar, berharap kau tak terluka. Aku sibuk, aku tak bisa pulang. Maaf…
Desahan kecewa mungkin sedang berusaha kau sembunyikan. Aku mungkin terlalu dangkal memaknai kerinduan yang kau rasakan. Aku mungkin terlalu tak memahami kelebat rasa yang tiap kali membuatmu teringat akan diriku. Aku mungkin terlalu kerdil untuk merasakan betapa agungnya kasihmu. Sungguh…apa aku keterlaluan karena telah melewatkan permintaanmu? Aku mencoba menghalau rasa bersalah itu dengan segenap kekuatanku, kembali memusatkan otakku pada setumpuk kertas di hadapanku. Dan seketika, aku melupakan rasa rindumu.
Aku terdiam, bibirku kelu dan seluruh tubuhku membeku. Di hadapanku terbujur jenazah kaku terbalut kafan. Hujan air mata membasahi wajahku, menciptakan genangan duka yang tak tergambarkan. Kenapa kau pergi? Kau bilang kau tak akan meninggalkanku, lalu kenapa sekarang seperti ini? Tubuhku lunglai, tatapan mataku tak lagi penuh mimpi, nadiku seperti mati, sel tubuhku seolah berhenti bergerak. Aku kehilangan sosok berharga yang selalu mengantarku dengan doanya. Aku kehilangan segalanya.
Jika tanganku mampu memutar waktu, membalikan keadaan seperti dulu, aku hanya ingin kau tetap bersamaku. Selamanya di sampingku bersama segenap nyanyian syahdu doa-doamu. Aku memang bodoh karena telah mengabaikanmu, aku memang teramat tak tahu diri karena bisa seketika melupakan cinta yang sudah kau berikan seumur hidupmu. Aku menyesal!! Aku ingin berteriak agar seluruh dunia tahu betapa dalam penyesalan ini. aku ingin dunia mendengar tangisku dan aku ingin Tuhan mengembalikanmu ke sisiku. Tapi itu tak mungkin.
Bunda…sejuta maaf tak akan pernah cukup menghapus kesalahanku yang lebih besar dari alam raya. Bunda…maafkan aku, maafkan aku yang tak sempat ada di sisa-sisa nafasmu. Maafkan aku yang selalu mengabaikan cintamu. Maafkan aku yang terlalu tak tahu diri dengan semua yang kau berikan. Maafkan segala ketololanku… Bunda…maafkan aku yang berlumur salah ini. Maafkan aku, Bunda….
Pusara dengan tanah yang masih merah. Dan seperti patung, aku masih duduk di samping gundukan tanah yang dihiasi wewangian kenanga. Bayangmu berkelabat, sekali lagi kulihat kau tersenyum, apa itu artinya kau sudah memaafkanku? Air mataku deras mengalir, betapa besar cintamu hingga bisa memaafkan kekurang ajaranku yang telah mengabaikanmu. Bunda…sekali lagi, maafkan aku.
Pusara dengan tanah merah itu membuatku sadar, selama ini ternyata tak hanya otakku, hatiku dan cintaku yang menjamahi tiap pekerjaan itu. Satu hal yang lebih dahsyat dari semua yang kumiliki adalah doa dan cintamu.
Walau cintaku tak sebesar milikmu, percayalah… aku mencintaimu, bunda…

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba