Ketika kolong langit perlahan memadam, berubah menjadi gelap dan
mengantarkan sang bulan pada singgasananya, kau ada disisiku. Membuaiku
dengan nyanyian dan dongeng kasih sayang sarat makna. Mengantarkan
jiwaku ke alam mimpi dengan doa terbaikmu. Kau pandangi mataku yang
terpejam, wajahku yang terlelap nyenyak seolah tanpa dosa, kau belai
lembut rambutku, kau kecup keningku seraya menghaturkan harapmu untuk
masa depanku. Senandung doa indah dari bibirmu yang mulai memucat terus
bergetar. Betapa sungguh kau harapkan aku menjadi yang terbaik. Tak
hanya bagimu, tapi bagi semua yang ada di sekelilingku.
Aku
menggeliat dalam tidurku, kau juga terhenyak dari doamu. Aku menangis
pelan, tapi sesaat kemudian meronta kelaparan. Tak ada kemarahan, kau
tersenyum menatap diriku. Membuatku seketika terdiam dalam buaianmu.
Ragamu membalut tubuhku dengan pelukan hangat. Nyanyian kecilmu
mengantarkan aku kembali terlelap. Tak ada keluhan, seulas senyum penuh
kesabaran tak beranjak dari wajahmu, tetap bertahan dan senantiasa
menghiasi wajahmu. Kau mungkin lelah, tapi kau mengalah. Menggadaikan
rasa lelahmu dan menukarnya dengan kesabaran menghadapi aku yang malah
makin mempermainkanmu dengan tangis dan isakku. Kau juga tak marah, kau
membalut tubuhku dengan selimut pelukmu, seolah memastikan dingin tak
bisa menerjangku.
Embun masih membasahi rumput dan ilalang halaman
depan, kabut masih nampak tebal menghiasi fajar. Aku kembali
menggeliat dengan tangisku. Kau terbangun lagi, lingkaran hitam itu
masih jelas bergelayut di mata indahmu, tapi sekali lagi… kau tak
peduli. Kau kembali menenangkan tubuhku yang bergetar karena tangis,
memberikan tetesan kesejukan yang melenyapkan dahagaku seketika. Kini
aku diam, menggeliat pelan menampakan kelucuan. Aku hanya ingin
menghiburmu, mengobati lelahmu setelah terjaga semalaman mendampingi
tubuh kecilku. Sekedar hiburan kecil yang bisa aku lakukan untukmu, aku
tahu itu tak akan cukup. Kau tersenyum lagi, membuatku bahagia karena
aksiku mampu melukiskan senyum indah di wajahmu. Aku menyadari,
ternyata bukan aku yang menghiburmu, tapi kau yang sedang mencandaiku.
Waktu
beranjak, detik berlalu mengantarkan hari berganti tahun. Musim semi
berlalu, guguran daun juga sudah tak terlihat lagi. Sengatan panas
beralih dengan guyuran hujan yang membasahi bumi, semuanya berlalu.
Berjalan sebagaimana Tuhan telah menentukan. Lalu aku? Aku bukan lagi
mahluk kecil yang meronta tiap purnama. Aku bukan lagi pemilik wajah
suci tanpa dosa yang setiap saat bisa menggeliat manja di pelukanmu.
Semua berubah. Aku sudah melangkah dengan kakiku, menatap masa depan
dengan dua bola mataku. Meski masih remang-remang, tapi aku tidak patah
arang. Kuukir cita-cita dalam prasasti yang kutancapkan kuat di sudut
hatiku. Bukankah itu yang kau inginkan? Aku ingin membuatmu bahagia
seperti kau yang selalu membuatku terdiam dari tangisanku beberapa tahun
silam. Aku ingin memahat kebahagiaan di setiap rongga batinmu, aku
ingin menggoreskan kepuasan di wajahmu, menorehkan kebanggaan dan
melukis senyum terindah di bibirmu. Betapa aku ingin membuat harapmu
berevolusi menjadi nyata. Aku ingin membayar lelahmu yang telah
tergadaikan untukku. Sekali lagi, itu masih tetap tak cukup. Cintamu
terlalu tinggi, tak terbalaskan dan tak akan pernah terbalaskan. Jika
dunia ini kiamat, hanya cintamu yang tak akan ikut hancur meski langit
luruh menerjang bumi. Kau memang teramat berharga.
Aku mengukir
mimpiku, berusaha dengan segala daya untuk mewujudkannya. Semata aku
hanya ingin membuatmu bahagia. Aku berusaha, dan kau juga tak henti
berdoa. Bersimpuh di hadapanNya, berharap Ia memberiku kemudahan dalam
menggapai mimpi dan cita. Restumu mengantarkanku meraih mimpi. Doamu
membuat mataNya beralih padaku. Rangkaian doa panjang dari bibir
keringmu membuat Ia melimpahi hidupku dengan segala rahmat. Kau
tersenyum melihat kegigihanku menggapai mimpi. Selangit doa dan samudera
motivasi mengantarku, mengiringi tiap derap langkah kakiku. Semua itu
darimu, dan begitu setia mendampingiku. Tak lekang oleh waktu, langit
doa darimu tak pernah berubah gelap dan mendung, juga samudera motivasi
itu, tak sedikitpun berkurang isinya meski kemarau dahsyat melandanya.
Matahari
tersenyum ke arahku, ia seperti sudah tak mengirimiku sinar panasnya.
Angin sejuk terus membelai wajahku. Kunikmati lembut dan sejuknya.
Perlahan aku membuka mata, ruangan mewah dengan barang berharga itu
kini milikku dan aku ada bersama mereka sebagai seorang yang mulia. Aku
tersenyum bangga dengan segala yang ada di hadapku, kepuasan terukir
jelas di raut wajahku. Sesaat otakku kembali membayangkan raut wajahmu,
tak akan pernah kulupa betapa doamu setia mendampingiku. Bersamanya
aku mendapatkan segalanya, semuanya karena doamu.
Malam berlalu
cepat, beberapa purnama kulewati dengan segala kesibukanku. Pekerjaan
menumpuk tak terkira diatas meja. Satu persatu, kujamahi pekerjaan itu
dengan otakku, hatiku, sekaligus cintaku. Aku menghempaskan diri di
kursi dudukku, menghela nafas panjang. Kelelahan terpampang nyata di
raut wajahku. Dan sepertimu dulu, aku tak peduli semua kelelahan itu.
Aku ingin menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan yang belum kutuntaskan. Aku
mendengarkan getar suaramu, desah kerinduan mendalam dari setiap
helaan nafasmu di antara tumpukan kertas tak beraturan itu. Kau
memintaku pulang, kau bilang kau merindukanku. Aku tersenyum, kurangkai
serentetan kata indah untuk menghiburmu, sekedar pengobat kerinduanmu.
Kurangkai semua kata itu dengan hati berdebar, berharap kau tak
terluka. Aku sibuk, aku tak bisa pulang. Maaf…
Desahan kecewa
mungkin sedang berusaha kau sembunyikan. Aku mungkin terlalu dangkal
memaknai kerinduan yang kau rasakan. Aku mungkin terlalu tak memahami
kelebat rasa yang tiap kali membuatmu teringat akan diriku. Aku mungkin
terlalu kerdil untuk merasakan betapa agungnya kasihmu. Sungguh…apa
aku keterlaluan karena telah melewatkan permintaanmu? Aku mencoba
menghalau rasa bersalah itu dengan segenap kekuatanku, kembali
memusatkan otakku pada setumpuk kertas di hadapanku. Dan seketika, aku
melupakan rasa rindumu.
Aku terdiam, bibirku kelu dan seluruh
tubuhku membeku. Di hadapanku terbujur jenazah kaku terbalut kafan.
Hujan air mata membasahi wajahku, menciptakan genangan duka yang tak
tergambarkan. Kenapa kau pergi? Kau bilang kau tak akan meninggalkanku,
lalu kenapa sekarang seperti ini? Tubuhku lunglai, tatapan mataku tak
lagi penuh mimpi, nadiku seperti mati, sel tubuhku seolah berhenti
bergerak. Aku kehilangan sosok berharga yang selalu mengantarku dengan
doanya. Aku kehilangan segalanya.
Jika tanganku mampu memutar
waktu, membalikan keadaan seperti dulu, aku hanya ingin kau tetap
bersamaku. Selamanya di sampingku bersama segenap nyanyian syahdu
doa-doamu. Aku memang bodoh karena telah mengabaikanmu, aku memang
teramat tak tahu diri karena bisa seketika melupakan cinta yang sudah
kau berikan seumur hidupmu. Aku menyesal!! Aku ingin berteriak agar
seluruh dunia tahu betapa dalam penyesalan ini. aku ingin dunia
mendengar tangisku dan aku ingin Tuhan mengembalikanmu ke sisiku. Tapi
itu tak mungkin.
Bunda…sejuta maaf tak akan pernah cukup
menghapus kesalahanku yang lebih besar dari alam raya. Bunda…maafkan
aku, maafkan aku yang tak sempat ada di sisa-sisa nafasmu. Maafkan aku
yang selalu mengabaikan cintamu. Maafkan aku yang terlalu tak tahu diri
dengan semua yang kau berikan. Maafkan segala ketololanku…
Bunda…maafkan aku yang berlumur salah ini. Maafkan aku, Bunda….
Pusara
dengan tanah yang masih merah. Dan seperti patung, aku masih duduk di
samping gundukan tanah yang dihiasi wewangian kenanga. Bayangmu
berkelabat, sekali lagi kulihat kau tersenyum, apa itu artinya kau
sudah memaafkanku? Air mataku deras mengalir, betapa besar cintamu
hingga bisa memaafkan kekurang ajaranku yang telah mengabaikanmu.
Bunda…sekali lagi, maafkan aku.
Pusara dengan tanah merah itu
membuatku sadar, selama ini ternyata tak hanya otakku, hatiku dan
cintaku yang menjamahi tiap pekerjaan itu. Satu hal yang lebih dahsyat
dari semua yang kumiliki adalah doa dan cintamu.
Walau cintaku tak sebesar milikmu, percayalah… aku mencintaimu, bunda…
Monday, October 6, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 respons:
Post a Comment