Beberapa hari kemudian Angga sudah kembali dari Singapura tanpa
memberitahuku, aku melihatnya di kampus hari ini. ia masih mendiamkanku
dan bersikap sangat dingin padaku. Aku mendekatinya, ia hanya melirik
sesaat ke arahku. Aku tersenyum. Beberapa saat kemudian Dosen pengajar
masuk ke ruanganku. Seluruh isi kelas diam.
“Kenapa gak bilang sama gw?” tanyaku sambil tetap memandang papan tulis. Angga menoleh ke arahku.
“Gak
bilang tentang apa?” Jawab Angga, aku tak tahu seperti apa wajahnya,
karena aku memang sedang tidak memandangnya. Entah dia pura-pura tidak
tahu, atau memang benar-benar tidak tahu.
“Dhea sakit apa?” tanyaku tanpa ekspresi.
“Darimana lu tau?” suara Angga terdengar penasaran.
“Dari
pembantunya di rumah. Gw ke rumah Dhea begitu gw tau dari temen lu
kalau lu ama Diaz sama-sama ada di Singapura.” Kali ini aku berpaling
menatap Angga.
Angga diam saja, entah karena merasa
bersalah karena aku sudah tau rahasianya atau karena sebal karena aku
lebih cepat mengetahui rahasianya daripada yang dia kira.
Tak ada suara lagi, kami asyik mendengarkan penjelasan Dosen.
Jam
kuliah sudah usai, aku dan Angga berjalan berdampingan. Masih tak ada
suara darinya, aku juga diam. Aku berharap dia akan menceritakan padaku
apa yang terjadi tanpa harus aku meminta untuk yang kedua kalinya.
“Mau diam nyampe kapan?” tanyaku akhirnya, lama-lama aku merasa sebal juga dengan diamnya.
Angga
memandangku tajam, “Lu beneran masih mau tau? Gw kira lu sibuk
ngedeketin Assyifa.” Sinis, aku merasa Angga juga mulai marah padaku.
“Apa
hubungannya ama Assyifa?” aku tidak terima Angga mulai membawa nama
Syifa dalam masalah ini. ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan
gadis berkerudung itu.
“Udahlah, Dit lu gak usah sok
peduli ama Dhea. Lu udah dapet perhatian dari Syifa, dia bisa gantiin
Dhea kan? Gw malah denger, lu udah sering jalan bareng ama dia. Cepet
juga ya?” ucapan Angga masih terdengar sinis, aku sendiri malah terkejut
dengan kesinisannya. Angga tidak pernah semarah ini padaku sebelumnya.
“Ngga, lu gak usah ngalihin pembicaraan deh. Jadi gini cara lu? Ngebohongin gw dan nyembunyiin sesuatu dari gw?” aku membentak.
“Nyembunyiin?!!!
Bukan gw yang nyembunyiin, tapi lu yang gak pernah peduli ama
semuanya!!!” Angga balik membentakku, suaranya bahkan lebih keras dari
suaraku barusan.
“Gimana gw mau peduli kalau gw gak tau
apa-apa?” aku tak mau kalah. Angga benar-benar membuatku frustasi, aku
rasa masalah ini akan lebih cepat selesai kalau Angga mau langsung
berterus terang padaku tentang apa ynag sebenarnya terjadi.
Angga diam.
“Dhea sakit leukemia.”
Aku
terkejut mendengar jawaban Angga, tapi aku masih diam dan berharap apa
yang kudengar hanyalah lelucon. Aku pernah beberapa kali mendengar
cerita tentang penyakit itu. leukemia, kanker darah yang belum juga
ditemukan obatnya.
Salah satu kanker ganas yang bisa berkembang
dengan cepat ke seluruh tubuh dan akan membunuh si empunya penyakit
dalam waktu singkat. Untuk bisa tetap bertahan dari penyakit itu,
seseorang harus menjalani kemoterapi secara rutin. Dan efek kemoterapi
itu akan membuat….Ah, aku tak sanggup membayangkan wajah Dhea yang tanpa
rambut dan makin kurus.
“Kenapa lu baru ngomong ama gw sekarang?” kali ini suaraku benar-benar lemah.
“Dhea
gak ingin lu tau tentang ini. dia gak pengin jadi beban buat lu dan itu
alasan sebenarnya kenapa Dhea mutusin lu kemarin. Gw juga tau itu
karena gw gak sengaja dengar percakapan Diaz dan Dhea waktu gw ke
rumahnya.” Akhirnya
Angga menceritakan semua hal yang ingin ku
tahu. Terjawab sudah segala hal itu, hal yang membuat sikap Angga
berubah drastis secara tiba-tiba dan sekaligus alasan kepergiannya ke
Singapura yang mendadak itu.
Kali ini aku benar-benar terduduk lemas, sedikitpun tak ada ucapan yang keluar dari mulutku untuk menanggapi cerita Angga.
**************************
Aku menunggu pintu rumah Dhea terbuka, dan tak lama kemudian Mama Dhea membuka pintu.
“Adit, nyari Dhea ya?” Tante Indah menyapaku ramah, ia memang sudah sangat mengenalku.
“Iya…” jawabku pelan dan lemah.
“Ya udah, kalau gitu masuk dulu yuk.” Ajak Tante Indah, senyumnya yang indah masih menghiasi bibirnya.
“Adit duduk disini aja, Tante.” Jawabku sambil menunjuk kursi teras dari rotan di sampingku.
“Kalau gitu Tante panggil Dhea dulu ya. Kamu mau minum apa?” Tante Dhea menawariku.
“Apa
aja Tante.” Jawabku masih tak bergairah, tak ada air apapun yang ingin
kuminum saat ini. aku hanya ingin segera menatap wajah Dhea dan tau
kondisinya sekarang.
Tante Indah meninggalkanku yang duduk
sendiri di teras rumahnya. Aku masih melamun, aku merasa bersalah
dengan Dhea tapi sisi hatiku yang lain juga sedikit merasa marah karena
Dhea malah menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya bisa ia bagi padaku.
Entah sejak kapan Dhea memendam kesedihan itu sendiri tanpa siapapun
yang tau baik aku maupun Angga. Aku selalu merasa kagum dengan Dhea yang
nampak ceria dan selalu bisa menyembunyikan masalahnya. Tapi sekarang
aku sadar, kemampuan Dhea yang sangat baik untuk menyembunyikan segala
hal ternyata justru malah menyakiti hatiku.
Dhea keluar
dari dalam rumahnya, ia mengenakan sweter berwarna hijau toska
pemberianku dan syal coklat hadiah ulang tahun dari Diaz. Aku tahu,
karena Dhea pernah menunjukan itu padaku dulu.
“Adit, ada apa?” Dhea berdiri di sisi kursi tempatku duduk. Wajahnya nampak sedikit pucat.
Aku
berdiri, kugenggam tangan Dhea dan langsung mendekap tubuhnya dalam
pelukanku. Aku membelai lembut kepalanya sambil menghirup wangi aroma
rambutnya. Dhea diam saja.
“Kamu kenapa, Dit? Kok tiba-tiba meluk aku gini sih?” Dhea berbisik lirih dalam dekapanku.
Aku
menghirup nafas dalam-dalam, membiarkan semerbak wangi rambut Dhea
memenuhi rongga hidungku dan kemudian naik ke otakku. Aku benar-benar
menikmati saat ini. aku pernah seperti ini, tapi tidak seperti sekarang.
Hatiku benar-benmar pedih. Aku tak sanggup membayangkan akan kehilangan
Dhea.
Beberapa saat kubiarkan diriku tenggelam dalam
suasana ini, Dhea juga terlihat menikmati pelukanku. Apa ia juga
sepertiku yang merindukan suasana ini?
Perlahan aku
melepaskan pelukanku, memegang dua lengan tangannya. Aku menatapnya
lembut sambil menahan air mata yang bisa kapan saja keluar dari mataku.
“Kenapa
kamu sembunyiin semuanya dari aku? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu
sakit? Kenapa kamu malah menjauh dari aku?” pertanyaanku memberondong.
Aku melihat ekspresi wajah Dhea yang sedikit terkejut dengan ucapanku.
“Darimana kamu tahu?” tanya Dhea dengan bibir bergetar.
Aku memeluk Dhea lagi, kali ini air mataku benar-benar keluar. Aku benar-benar menangis. Aku sungguh takut kehilangan Dhea.
Dhea berusaha melepaskan pelukanku, tapi aku malah makin erat mendekapnya.
“Kamu kesini karena kamu kasihan sama aku?” tanya Dhea setelah beberapa saat melepaskan pelukanku.
“Gak, karena aku peduli sama kamu.”
Dhea tersenyum sinis, tapi tatapan matanya malah membuatku makin merasa pedih.
“Peduli? Kamu udah gak cinta sama aku. Kamu cinta sama Assyifa kan?”
“Dhe,
tolong gak usah bawa-bawa Syifa untuk masalah ini, dia gak ada
hubungannya. Aku dekat ama dia karena aku ngerasa kehilangan perhatian
dari kamu, aku kehilangan itu dari kamu.”
Dhea menatapku, air matanya menetes. Aku baru saja hendak menghapusnya, tapi Dhea menampik tanganku.
“Aku
gak apa-apa, kamu gak perlu peduli sama keadaanku. Aku baik-baik aja!!”
Nada suara Dhea meninggi, ia benar-benar sedang mencoba menutupi pedih
dihatinya.
“Dhe, aku tahu kamu akan selalu baik-baik aja
walaupun tanpa aku sekalipun. Tapi kali ini aku mohon sma kamu, izinin
aku untuk tetap disamping kamu. Izinin aku nemenin kamu. Kamu bisa
certain segala hal sama aku, kamu juga bisa nangis di pundakku kalau
kamu mau.” Suaraku tercekat, air mataku bahkan membuatku sedikit sulit
bernafas. Dadaku juga benar-benar sesak sekali rasanya.
Dhea
duduk di kursi yang tadi menjadi tempat dudukku, aku menarik satu kursi
lainnya dan duduk tepat di hadapannya. Aku menggenggam tangan Dhea erat
dan menatap matanya yang hujan oleh air mata. Dhea menunduk dan terisak
lagi.
“Please…izinin aku disamping kamu saat ini, sebagai
apapun yang kamu mau. Aku gak peduli apapun itu, aku hanya pengin ada
di samping kamu. Ini bukan rasa kasihan, tapi aku peduli sama kamu.”
Kali ini aku benar-benar memohon pada Dhea. Aku memandangnya, berharap
ia mengabulkan permintaanku.
Dhea mengangkat wajahnya, air
mata bening itu masih menetes dari pipinya. Tanganku meraih wajahnya
dan perlahan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Kali ini Dhea
tak menampik tanganku. Aku tersenyum kecil, berharap bisa menghibur Dhea
dan ia tak menangis lagi.
“Aku gak pengin jadi beban buat
kamu.” Suara Dhea purau, ia juga sedang berusaha agar air matanya tak
terlihat lagi oleh mataku. Matanya berkaca-kaca.
“Kamu gak akan pernah jadi beban buat aku.”
“Aku
takut kamu gak siap kalau tiba-tiba suatu saat nanti kamu harus
kehilangan aku. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku sekarang.”
“Aku gak akan pernah kehilangan kamu, kamu pasti sembuh.”
“Peluangnya kecil.”
“Bukan berarti gak ada kan?” aku menyemangati Dhea.
“Aku gak yakin, Dit.”
“Kenapa? Aku yakin kamu sembuh, kenapa kamu gak yakin?”
Diam, tak ada suara diantara kita beberapa saat.
“Kamu gak segan dekat sama aku, aku akan lebih buruk dari ini nantinya,”
“Aku gak peduli.” Aku menatap tajam mata Dhea.
Dhea melepaskan genggaman tanganku, ia menyandarkan tubuhnya di kursi itu.
“Lalu, gimana Syifa kalau kamu masih dengan aku?”
Aku
tersenyum, “Kamu lebih butuh aku saat ini dan aku juga ingin di dekat
kamu. Syifa pasti mampu tanpa aku, dia gadis yang kuat.”
“Dia juga cewek yang baik kan, Dit?” kali ini Dhea tersenyum, meski memaksakan, senyumnya terlihat indah.
Aku mengangguk.
“Kamu juga cewek yang baik, Dhe.”
“Kalau suatu saat nanti aku gak ada, kamu sama dia aja ya.” Dhea menggigit bibir bawahnya, ia menatapku dengan tatapan sayunya.
Aku menggeleng, “Siapa yang bilang kamu bakal gak ada? Kamu akan tetap ada. Kamu gak akan pergi kemanapun.”
Dhea menarik nafas panjang, “Aku juga masih berharaap begitu dan bisa lebih lama dengan kamu.”
“Pasti bisa, asal ada niat untuk sembuh dari kamu sendiri, kamu pasti akan sembuh. Gak ada yang gak mungkin.
Dhea
tersenyum, aku masih melihat sedikit semangat di mata Dhea, sedikit
semangat yang bisa berubah menjadi harapan besar. Aku tau Dhea akan bisa
melewati masa-masa sulit ini meski tidak mudah, dia gadis yang tegar.
**********************
Angga
mendatangiku di rumah malam ini, aku memang tak berniat kemanapun sejak
pulang dari rumah Dhea tadi. Bahkan aku juga kehilangan minat untuk
menjemput Syifa dari kantor Ayahku. Hal yang biasanya membuatku semangat
saat ini juga tidak lagi menarik bagiku.
“Gimana Dhea tadi? Kamu ke rumahnya kan?” Angga berharap aku menceritakan padanya apa yang terjadi di rumah Dhea tadi siang.
Aku meenceritakan semua yang terjadi pada Angga, ia diam saja mendengar ceritaku.
“Lu ama Syifa gimana sih sebenernya. Udah jadian?”
Aku mengangkat bahu, “Syifa bilang dia juga suka sama aku saat aku bilang suka sama dia. Tapi entahlah….”
“Entahlah? Entahlah gimana maksud lu?”
“Waktu gw tanya ama dia, dia gak nyebut kita pacaran. Dia bilang ini hanya sekedar proses pengenalan aja.”
“Terus kelanjutannya gimana ntar? Lu tetap mau ngedekketin Syifa?”
“Gw suka ama Syifa, tapi gw tau sekarang Dhea jauh lebih butuh gw.”
“Lu cuma kasihan ama Dhea?”
“Gak…gw peduli beneran ama dia. Udahlah, jangan bahas itu dulu, pusing gw!” ucapku jengkel.
“Ya lagian lu, harusnya lu gak perlu selingkuh.”
Aku bangun dari tidurku.
“Sejak
kapan kata selingkuh udah ganti arti? Selingkuh itu, lu pacaran ama
orang alain sementara lu masih punya pacar. Nah kalau gw apa? Gw udah
putus ama Dhea dan status gw ama Syifa juga belum bisa sepenuhnya
dibilang pacaran. Ngerti lu?”
Angga manyun, “Terserah lu deh.”
“Ya iyalah terserah gw, masa iya terserah lu? Mulut juga mulut gw.”
*************************
“Sekarang lu udah lega kan Adit tahu keadaan lu yang sebenernya?” tanya Diaz pada adiknya.
Dhea mengangguk bahagia, ia sudah tidak lagi menangis.
“Gw bilang juga apa, lu butuh Adit. Makanya gak usah sok kuat.” Kata Diaz yang amsih asyik dengan permainan PSnya.
“Ya…awalnya gw takut kalau gw bakal jadi beban buat dia.”
“Gak
usah berlebihan. Gak ada yang ngerasa terbebani ama keadaan lu
sekarang. Yang penting lu konsen dan focus ama kesembuhan lu.“.
“Adit tau dari lu ya, Kak?’
“Angga.
Dia cuma kasih tau sakit lu apa, karena sebelumnya dia datang kesini
dan ketemu ama Mbok Nah, Mbok Nah yang bilang kamu lagi sakit, jadi
Angga Cuma menjelaskan biar semuanya lebih jelas aja.”
“Oh…” Dhea bergumam, “Lu kuliah gak, Kak?”
Diaz
menatap jam dinding yang tergantung diatas TV, hanya sebentar, ia
kemudian kembali asyik dengan pertandingan bola di PSnya, “Iya ntar jam 2
siang. Kenapa?”
“Gw ikut ya…” Ucapan Dhea terdengar memelas.
“Mau
ngapain? Kalau lu kangen ama Adit, mendingan lu suruh dia datang kesini
aja deh.” Kali ini Diaz sudah mem-pause gamenya dan menatap Dhea.
“Siapa yang kangen, gw cuma bosen diam terus di rumah. gak ada kegiatan sama sekali.”
“Ya
kan Dokter emang nyuruh lu istirahat. Emang ada ya orang sakit malah
disuruh banyakin kegiatan? Dokter yang belum lulus aja gak bakal ada
yang bilang gitu.”
“Iya tahu….” Dhea manyun sebal, “Ikut
ya, Kak…kan kuliah cuma gitu-gitu doing. Gw gak bakal kecapean kok. Cuma
duduk doing kan?” Dhea kembali memohon.
“Tapi ntar kalau ketahuan Dosen gimana?” Diaz masih beralasan.
“Udah deh gak usah ngeles, lu nitip absen aja gak ketahuan. Lagian kalau gw ikut lu kan yang untung juga lu.”
Diaz mencibir, “Untung apaan? Untung tu temen gw, jadi tanpa lu ikut gw kuliah, gw juga masih untung kalo Untung deket gw.”
Dhea balas mencibir, lama-lama ia sebal juga dengan kelakuan Abangnya yang tengil dan selalu tidak pernah kehabisan akal.
“Ya
kan lu belum punya cewek, kalau gw ikut lu, gw gak jelak-jelak amat kan
dianggap cewek lu?” Dhea nyengir sambil berdiri di tepat di hadapan
cermin kamar kakaknya.
Diaz memicingkan matanya, merasa ilfiil juga saat tiba-tiba melihat adiknya yang kegenitan.
“Gimana, boleh kan?” Dhea masih belum berhenti membujuk kakaknya.
“Lu izin dulu deh ama nyokap.”
“Oke…!!” Jawab Dhea girang, ia berlalu keluar dari kamar Diaz, tapi langkahnya terhenti, Diaz memanggilnya lagi.
“Apaan?” Teriak Dhea dari anak tangga.
“Lu ntar di base camp aja, ada Angga kok disana.” Kata Diaz sambil melongokan kepalanya kebawah.
“Oke…oke…” Dhea merasa tak masalah dengan keputusan kakaknya.
**********************
Dhea
benar-benar bahagia saat Mamanya mengizinkan ia ikut kuliah ke kampus
Diaz. Mama hanya berpesan agar dia tidak terlalu kecapean, Dhea langsung
megiyakannya.
Diaz mengantarkan Dhea ke Base Campnya,
benar saja…disana ada Angga dan beberapa teman Diaz lainnya. Angga yang
sedang asyik makan soto berhenti menikmati makanannya itu, ia tersenyum
kea rah Dhea.
“Baik-baik lu disini!!” Pesan Diaz pada
adiknya sebelum ia meninggalkan Dhea untuk kuliah. “Angga, gw titip
Dhea.” Kali ini Diaz menatap Angga, Angga hanya menunjukan jempolnya
sebagai tanda setuju.
“Lu pikir gw barang pake dititipin?” Dhea manyun memandang kakaknya.
“Lu
belajar bahasa gak sih? Manusia itu kata benda dan benda adalah barang.
Udah deh, gw mau kuliah.” Diaz berlari kecil meninggalkan Adiknya yang
masih manyun.
“Mau soto, Dhe?” Angga menawari Dhea.
Dhea mendekati Angga, dan duduk di sampingnya, “Gak usah sok nawarin lu, lu aja kurang kan?”
Angga nyengir.
“Ngga, gw kenalin ama seseorang dong.” Dhea berkata dengan ekspresi genitnya, ia juga mencolek pinggang Angga.
“Sama siapa?” Angga malah bingung.
“Assyifa. Dia anak kampus ini kan?”
Permintaan
Dhea tadi kontan saja membuat Angga tersedak, Angga menatap Dhea dan
adik sahabatnya itu juga sedang menatapnya penuh harap.
Bersambung…
Monday, October 6, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 respons:
Post a Comment