Monday, October 6, 2014

Embun dari Hati Assyifa (Part. 6)

| |

Beberapa hari kemudian Angga sudah kembali dari Singapura tanpa memberitahuku, aku melihatnya di kampus hari ini. ia masih mendiamkanku dan bersikap sangat dingin padaku. Aku mendekatinya, ia hanya melirik sesaat ke arahku. Aku tersenyum. Beberapa saat kemudian Dosen pengajar masuk ke ruanganku. Seluruh isi kelas diam.

“Kenapa gak bilang sama gw?” tanyaku sambil tetap memandang papan tulis. Angga menoleh ke arahku.

“Gak bilang tentang apa?” Jawab Angga, aku tak tahu seperti apa wajahnya, karena aku memang sedang tidak memandangnya. Entah dia pura-pura tidak tahu, atau memang benar-benar tidak tahu.

“Dhea sakit apa?” tanyaku tanpa ekspresi.

“Darimana lu tau?” suara Angga terdengar penasaran.

“Dari pembantunya di rumah. Gw ke rumah Dhea begitu gw tau dari temen lu kalau lu ama Diaz sama-sama ada di Singapura.” Kali ini aku berpaling menatap Angga.

Angga diam saja, entah karena merasa bersalah karena aku sudah tau rahasianya atau karena sebal karena aku lebih cepat mengetahui rahasianya daripada yang dia kira.

Tak ada suara lagi, kami asyik mendengarkan penjelasan Dosen.

Jam kuliah sudah usai, aku dan Angga berjalan berdampingan. Masih tak ada suara darinya, aku juga diam. Aku berharap dia akan menceritakan padaku apa yang terjadi tanpa harus aku meminta untuk yang kedua kalinya.

“Mau diam nyampe kapan?” tanyaku akhirnya, lama-lama aku merasa sebal juga dengan diamnya.

Angga memandangku tajam, “Lu beneran masih mau tau? Gw kira lu sibuk ngedeketin Assyifa.” Sinis, aku merasa Angga juga mulai marah padaku.

“Apa hubungannya ama Assyifa?” aku tidak terima Angga mulai membawa nama Syifa dalam masalah ini. ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan gadis berkerudung itu.

“Udahlah, Dit lu gak usah sok peduli ama Dhea. Lu udah dapet perhatian dari Syifa, dia bisa gantiin Dhea kan? Gw malah denger, lu udah sering jalan bareng ama dia. Cepet juga ya?” ucapan Angga masih terdengar sinis, aku sendiri malah terkejut dengan kesinisannya. Angga tidak pernah semarah ini padaku sebelumnya.

“Ngga, lu gak usah ngalihin pembicaraan deh. Jadi gini cara lu? Ngebohongin gw dan nyembunyiin sesuatu dari gw?” aku membentak.

“Nyembunyiin?!!! Bukan gw yang nyembunyiin, tapi lu yang gak pernah peduli ama semuanya!!!” Angga balik membentakku, suaranya bahkan lebih keras dari suaraku barusan.

“Gimana gw mau peduli kalau gw gak tau apa-apa?” aku tak mau kalah. Angga benar-benar membuatku frustasi, aku rasa masalah ini akan lebih cepat selesai kalau Angga mau langsung berterus terang padaku tentang apa ynag sebenarnya terjadi.

Angga diam.

“Dhea sakit leukemia.”

Aku terkejut mendengar jawaban Angga, tapi aku masih diam dan berharap apa yang kudengar hanyalah lelucon. Aku pernah beberapa kali mendengar cerita tentang penyakit itu. leukemia, kanker darah yang belum juga ditemukan obatnya.
Salah satu kanker ganas yang bisa berkembang dengan cepat ke seluruh tubuh dan akan membunuh si empunya penyakit dalam waktu singkat. Untuk bisa tetap bertahan dari penyakit itu, seseorang harus menjalani kemoterapi secara rutin. Dan efek kemoterapi itu akan membuat….Ah, aku tak sanggup membayangkan wajah Dhea yang tanpa rambut dan makin kurus.

“Kenapa lu baru ngomong ama gw sekarang?” kali ini suaraku benar-benar lemah.

“Dhea gak ingin lu tau tentang ini. dia gak pengin jadi beban buat lu dan itu alasan sebenarnya kenapa Dhea mutusin lu kemarin. Gw juga tau itu karena gw gak sengaja dengar percakapan Diaz dan Dhea waktu gw ke rumahnya.” Akhirnya
Angga menceritakan semua hal yang ingin ku tahu. Terjawab sudah segala hal itu, hal yang membuat sikap Angga berubah drastis secara tiba-tiba dan sekaligus alasan kepergiannya ke Singapura yang mendadak itu.

Kali ini aku benar-benar terduduk lemas, sedikitpun tak ada ucapan yang keluar dari mulutku untuk menanggapi cerita Angga.

**************************

Aku menunggu pintu rumah Dhea terbuka, dan tak lama kemudian Mama Dhea membuka pintu.

“Adit, nyari Dhea ya?” Tante Indah menyapaku ramah, ia memang sudah sangat mengenalku.

“Iya…” jawabku pelan dan lemah.

“Ya udah, kalau gitu masuk dulu yuk.” Ajak Tante Indah, senyumnya yang indah masih menghiasi bibirnya.

“Adit duduk disini aja, Tante.” Jawabku sambil menunjuk kursi teras dari rotan di sampingku.

“Kalau gitu Tante panggil Dhea dulu ya. Kamu mau minum apa?” Tante Dhea menawariku.

“Apa aja Tante.” Jawabku masih tak bergairah, tak ada air apapun yang ingin kuminum saat ini. aku hanya ingin segera menatap wajah Dhea dan tau kondisinya sekarang.

Tante Indah meninggalkanku yang duduk sendiri di teras rumahnya. Aku masih melamun, aku merasa bersalah dengan Dhea tapi sisi hatiku yang lain juga sedikit merasa marah karena Dhea malah menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya bisa ia bagi padaku. Entah sejak kapan Dhea memendam kesedihan itu sendiri tanpa siapapun yang tau baik aku maupun Angga. Aku selalu merasa kagum dengan Dhea yang nampak ceria dan selalu bisa menyembunyikan masalahnya. Tapi sekarang aku sadar, kemampuan Dhea yang sangat baik untuk menyembunyikan segala hal ternyata justru malah menyakiti hatiku.

Dhea keluar dari dalam rumahnya, ia mengenakan sweter berwarna hijau toska pemberianku dan syal coklat hadiah ulang tahun dari Diaz. Aku tahu, karena Dhea pernah menunjukan itu padaku dulu.

“Adit, ada apa?” Dhea berdiri di sisi kursi tempatku duduk. Wajahnya nampak sedikit pucat.

Aku berdiri, kugenggam tangan Dhea dan langsung mendekap tubuhnya dalam pelukanku. Aku membelai lembut kepalanya sambil menghirup wangi aroma rambutnya. Dhea diam saja.

“Kamu kenapa, Dit? Kok tiba-tiba meluk aku gini sih?” Dhea berbisik lirih dalam dekapanku.

Aku menghirup nafas dalam-dalam, membiarkan semerbak wangi rambut Dhea memenuhi rongga hidungku dan kemudian naik ke otakku. Aku benar-benar menikmati saat ini. aku pernah seperti ini, tapi tidak seperti sekarang. Hatiku benar-benmar pedih. Aku tak sanggup membayangkan akan kehilangan Dhea.

Beberapa saat kubiarkan diriku tenggelam dalam suasana ini, Dhea juga terlihat menikmati pelukanku. Apa ia juga sepertiku yang merindukan suasana ini?

Perlahan aku melepaskan pelukanku, memegang dua lengan tangannya. Aku menatapnya lembut sambil menahan air mata yang bisa kapan saja keluar dari mataku.

“Kenapa kamu sembunyiin semuanya dari aku? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu sakit?  Kenapa kamu malah menjauh dari aku?” pertanyaanku memberondong. Aku melihat ekspresi wajah Dhea yang sedikit terkejut dengan ucapanku.

“Darimana kamu tahu?” tanya Dhea dengan bibir bergetar.
Aku memeluk Dhea lagi, kali ini air mataku benar-benar keluar. Aku benar-benar menangis. Aku sungguh takut kehilangan Dhea.

Dhea berusaha melepaskan pelukanku, tapi aku malah makin erat mendekapnya.

“Kamu kesini karena kamu kasihan sama aku?” tanya Dhea setelah beberapa saat melepaskan pelukanku.

“Gak, karena aku peduli sama kamu.”

Dhea tersenyum sinis, tapi tatapan matanya malah membuatku makin merasa pedih.

“Peduli? Kamu udah gak cinta sama aku. Kamu cinta sama Assyifa kan?”

“Dhe, tolong gak usah bawa-bawa Syifa untuk masalah ini, dia gak ada hubungannya. Aku dekat ama dia karena aku ngerasa kehilangan perhatian dari kamu, aku kehilangan itu dari kamu.”

Dhea menatapku, air matanya menetes. Aku baru saja hendak menghapusnya, tapi Dhea menampik tanganku.

“Aku gak apa-apa, kamu gak perlu peduli sama keadaanku. Aku baik-baik aja!!” Nada suara Dhea meninggi, ia benar-benar sedang mencoba menutupi pedih dihatinya.

“Dhe, aku tahu kamu akan selalu baik-baik aja walaupun tanpa aku sekalipun. Tapi kali ini aku mohon sma kamu, izinin aku untuk tetap disamping kamu. Izinin aku nemenin kamu. Kamu bisa certain segala hal sama aku, kamu juga bisa nangis di pundakku kalau kamu mau.” Suaraku tercekat, air mataku bahkan membuatku sedikit sulit bernafas. Dadaku juga benar-benar sesak sekali rasanya.

Dhea duduk di kursi yang tadi menjadi tempat dudukku, aku menarik satu kursi lainnya dan duduk tepat di hadapannya. Aku menggenggam tangan Dhea erat dan menatap matanya yang hujan oleh air mata. Dhea menunduk dan terisak lagi.

“Please…izinin aku disamping kamu saat ini, sebagai apapun yang kamu mau. Aku gak peduli apapun itu, aku hanya pengin ada di samping kamu. Ini bukan rasa kasihan, tapi aku peduli sama kamu.” Kali ini aku benar-benar memohon pada Dhea. Aku memandangnya, berharap ia mengabulkan permintaanku.

Dhea mengangkat wajahnya, air mata bening itu masih menetes dari pipinya. Tanganku meraih wajahnya dan perlahan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Kali ini Dhea tak menampik tanganku. Aku tersenyum kecil, berharap bisa menghibur Dhea dan ia tak menangis lagi.

“Aku gak pengin jadi beban buat kamu.” Suara Dhea purau, ia juga sedang berusaha agar air matanya tak terlihat lagi oleh mataku. Matanya berkaca-kaca.

“Kamu gak akan pernah jadi beban buat aku.”

“Aku takut kamu gak siap kalau tiba-tiba suatu saat nanti kamu harus kehilangan aku. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku sekarang.”

“Aku gak akan pernah kehilangan kamu, kamu pasti sembuh.”

“Peluangnya kecil.”

“Bukan berarti gak ada kan?” aku menyemangati Dhea.

“Aku gak yakin, Dit.”

“Kenapa? Aku yakin kamu sembuh, kenapa kamu gak yakin?”

Diam, tak ada suara diantara kita beberapa saat.

“Kamu gak segan dekat sama aku, aku akan lebih buruk dari ini nantinya,”

“Aku gak peduli.” Aku menatap tajam mata Dhea.

Dhea melepaskan genggaman tanganku, ia menyandarkan tubuhnya di kursi itu.

“Lalu, gimana Syifa kalau kamu masih dengan aku?”

Aku tersenyum, “Kamu lebih butuh aku saat ini dan aku juga ingin di dekat kamu. Syifa pasti mampu tanpa aku, dia gadis yang kuat.”

“Dia juga cewek yang baik kan, Dit?” kali ini Dhea tersenyum, meski memaksakan, senyumnya terlihat indah.

Aku mengangguk.

“Kamu juga cewek yang baik, Dhe.”

“Kalau suatu saat nanti aku gak ada, kamu sama dia aja ya.” Dhea menggigit bibir bawahnya, ia menatapku dengan tatapan sayunya.

Aku menggeleng, “Siapa yang bilang kamu bakal gak ada? Kamu akan tetap ada. Kamu gak akan pergi kemanapun.”
Dhea menarik nafas panjang, “Aku juga masih berharaap begitu dan bisa lebih lama dengan kamu.”

“Pasti bisa, asal ada niat untuk sembuh dari kamu sendiri, kamu pasti akan sembuh. Gak ada yang gak mungkin.

Dhea tersenyum, aku masih melihat sedikit semangat di mata Dhea, sedikit semangat yang bisa berubah menjadi harapan besar. Aku tau Dhea akan bisa melewati masa-masa sulit ini meski tidak mudah, dia gadis yang tegar.

**********************

Angga mendatangiku di rumah malam ini, aku memang tak berniat kemanapun sejak pulang dari rumah Dhea tadi. Bahkan aku juga kehilangan minat untuk menjemput Syifa dari kantor Ayahku. Hal yang biasanya membuatku semangat saat ini juga tidak lagi menarik bagiku.


“Gimana Dhea tadi? Kamu ke rumahnya kan?” Angga berharap aku menceritakan padanya apa yang terjadi di rumah Dhea tadi siang.

Aku meenceritakan semua yang terjadi pada Angga, ia diam saja mendengar ceritaku.

“Lu ama Syifa gimana sih sebenernya. Udah jadian?”

Aku mengangkat bahu, “Syifa bilang dia juga suka sama aku saat aku bilang suka sama dia. Tapi entahlah….”

“Entahlah? Entahlah gimana maksud lu?”

“Waktu gw tanya ama dia, dia gak nyebut kita pacaran. Dia bilang ini hanya sekedar proses pengenalan aja.”

“Terus kelanjutannya gimana ntar? Lu tetap mau ngedekketin Syifa?”

“Gw suka ama Syifa, tapi gw tau sekarang Dhea jauh lebih butuh gw.”

“Lu cuma kasihan ama Dhea?”

“Gak…gw peduli beneran ama dia. Udahlah, jangan bahas itu dulu, pusing gw!” ucapku jengkel.

“Ya lagian lu, harusnya lu gak perlu selingkuh.”

Aku bangun dari tidurku.

“Sejak kapan kata selingkuh udah ganti arti? Selingkuh itu, lu pacaran ama orang alain sementara lu masih punya pacar. Nah kalau gw apa? Gw udah putus ama Dhea dan status gw ama Syifa juga belum bisa sepenuhnya dibilang pacaran. Ngerti lu?”

Angga manyun, “Terserah lu deh.”

“Ya iyalah terserah gw, masa iya terserah lu? Mulut juga mulut gw.”

*************************

“Sekarang lu udah lega kan Adit tahu keadaan lu yang sebenernya?” tanya Diaz pada adiknya.

Dhea mengangguk bahagia, ia sudah tidak lagi menangis.

“Gw bilang juga apa, lu butuh Adit. Makanya gak usah sok kuat.” Kata Diaz yang amsih asyik dengan permainan PSnya.

“Ya…awalnya gw takut kalau gw bakal jadi beban buat dia.”

“Gak usah berlebihan. Gak ada yang ngerasa terbebani ama keadaan lu sekarang. Yang penting lu konsen dan focus ama kesembuhan lu.“.

“Adit tau dari lu ya, Kak?’

“Angga. Dia cuma kasih tau sakit lu apa, karena sebelumnya dia datang kesini dan ketemu ama Mbok Nah, Mbok Nah yang bilang kamu lagi sakit, jadi Angga Cuma menjelaskan biar semuanya lebih jelas aja.”

“Oh…” Dhea bergumam, “Lu kuliah gak, Kak?”

Diaz menatap jam dinding yang tergantung diatas TV, hanya sebentar, ia kemudian kembali asyik dengan pertandingan bola di PSnya, “Iya ntar jam 2 siang. Kenapa?”

“Gw ikut ya…” Ucapan Dhea terdengar memelas.

“Mau ngapain? Kalau lu kangen ama Adit, mendingan lu suruh dia datang kesini aja deh.” Kali ini Diaz sudah mem-pause gamenya dan menatap Dhea.

“Siapa yang kangen, gw cuma bosen diam terus di rumah. gak ada kegiatan sama sekali.”

“Ya kan Dokter emang nyuruh lu istirahat. Emang ada ya orang sakit malah disuruh banyakin kegiatan? Dokter yang belum lulus aja gak bakal ada yang bilang gitu.”

“Iya tahu….” Dhea manyun sebal, “Ikut ya, Kak…kan kuliah cuma gitu-gitu doing. Gw gak bakal kecapean kok. Cuma duduk doing kan?” Dhea kembali memohon.

“Tapi ntar kalau ketahuan Dosen gimana?” Diaz masih beralasan.

“Udah deh gak usah ngeles, lu nitip absen aja gak ketahuan. Lagian kalau gw ikut lu kan yang untung juga lu.”
Diaz mencibir, “Untung apaan? Untung tu temen gw, jadi tanpa lu ikut gw kuliah, gw juga masih untung kalo Untung deket gw.”

Dhea balas mencibir, lama-lama ia sebal juga dengan kelakuan Abangnya yang tengil dan selalu tidak pernah kehabisan akal.

“Ya kan lu belum punya cewek, kalau gw ikut lu, gw gak jelak-jelak amat kan dianggap cewek lu?” Dhea nyengir sambil berdiri di tepat di hadapan cermin kamar kakaknya.

Diaz memicingkan matanya, merasa ilfiil juga saat tiba-tiba melihat adiknya yang kegenitan.

“Gimana, boleh kan?” Dhea masih belum berhenti membujuk kakaknya.

“Lu izin dulu deh ama nyokap.”

“Oke…!!” Jawab Dhea girang, ia berlalu keluar dari kamar Diaz, tapi langkahnya terhenti, Diaz memanggilnya lagi.

“Apaan?” Teriak Dhea dari anak tangga.

“Lu ntar di base camp aja, ada Angga kok disana.” Kata Diaz sambil melongokan kepalanya kebawah.

“Oke…oke…” Dhea merasa tak masalah dengan keputusan kakaknya.

**********************

Dhea benar-benar bahagia saat Mamanya mengizinkan ia ikut kuliah ke kampus Diaz. Mama hanya berpesan agar dia tidak terlalu kecapean, Dhea langsung megiyakannya.

Diaz mengantarkan Dhea ke Base Campnya, benar saja…disana ada Angga dan beberapa teman Diaz lainnya. Angga yang sedang asyik makan soto berhenti menikmati makanannya itu, ia tersenyum kea rah Dhea.

“Baik-baik lu disini!!” Pesan Diaz pada adiknya sebelum ia meninggalkan Dhea untuk kuliah. “Angga, gw titip Dhea.” Kali ini Diaz menatap Angga, Angga hanya menunjukan jempolnya sebagai tanda setuju.

“Lu pikir gw barang pake dititipin?” Dhea manyun memandang kakaknya.

“Lu belajar bahasa gak sih? Manusia itu kata benda dan benda adalah barang. Udah deh, gw mau kuliah.” Diaz berlari kecil meninggalkan Adiknya yang masih manyun.

“Mau soto, Dhe?” Angga menawari Dhea.

Dhea mendekati Angga, dan duduk di sampingnya, “Gak usah sok nawarin lu, lu aja kurang kan?”

Angga nyengir.

“Ngga, gw kenalin ama seseorang dong.” Dhea berkata dengan ekspresi genitnya, ia juga mencolek pinggang Angga.

“Sama siapa?” Angga malah bingung.

“Assyifa. Dia anak kampus ini kan?”

Permintaan Dhea tadi kontan saja membuat Angga tersedak, Angga menatap Dhea dan adik sahabatnya itu juga sedang menatapnya penuh harap.

Bersambung…

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba