Bagiku laki-laki
yang duduk membelakangiku itu adalah pelukis terhebat di dunia. Pelukis
yang selalu menempelkan keajaiban di setiap kanvasnya. Keajaiban yang
dihasilkan dari goresan tangannya. Dan kali ini, meski terhalang
tubuhnya aku masih bisa melihat keajaiban itu di kanvasnya. Seekor
serigala yang seolah memiliki ruh menempel indah diatas di kanvasnya.
Bibirnya meneteskan darah segar dan potongan tubuh manusia berserakan
diantara kaki-kakinya. Gambar yang terlihat nyata, gradasi warna yang
juga nyaris sempurna. Aku terdiam, mematung menikmati lukisannya.
Karyanya memang selalu membuatku terhipnotis dengan sejuta kekaguman.
Entah sudah berapa serigala yang ia gambar, dalam seminggu ini aku
merasa sudah tiga kali menatap gambar itu. Gambar serigala yang nampak
garang dan rakus. Matanya terbelalak lebar, puas menikmati tetes darah
dan segumpal daging segar mangsanya.
Aku berdehem, tapi laki-laki itu tak sedikitpun mengindahkanku. Ia mengabaikanku dan lebih memilih setia menatap kanvasnya. Aku mengalah, kubiarkan ia hanyut dengan pesona lukisannya. Perlahan aku melangkahkan kakiku dan kini aku berdiri tepat di sampingnya. Menikmati lukisan itu lebih dekat membuat aku semakin yakin jika lukisan itu benar-benar bernyawa. Laki-laki di sampingku menatap lukisan itu dengan pandangan yang….Ah, aku sendiripun tak bisa mendefinisikan arti pandangannya. Sedangkan aku? Aku masih terperangkap dengan sejuta kekagumanku, aku menikmati tiap detail goresannya yang membuat serigala itu seolah hidup. Meskipun begitu, jujur saja aku sedikit sebal menatap lukisan itu. wajah penuh nafsu serigala yang menggambarkan keserakahannya terlihat amat menyebalkan untuk pandanganku.
Laki-laki dengan rambut sebahu di sampingku masih juga tak mempedulikanku. Mungkin dimatanya aku bagai lalat yang tak sengaja terbang menghampirinya, atau mungkin bagai aroma parfum milik manusia yang kebetulan berlalu di hadapannya. Kehadiranku sama sekali tak membuatnya bergeming. Aku benar-benar diacuhkan.
Aku bergumam, bibirku bergetar menyanjung lukisannya. Tapi rasanya harapanku untuk mendapat reaksinya terlalu berlebihan. Ia benar-benar dingin, mungkin jauh lebih beku dari gunungan es di dua kutub bumi. Aku tak pernah diacuhkan seperti ini sebelumnya, bahkan oleh siapapun. Tapi laki-laki itu, laki-laki yang mengatakan cinta padaku…justru dialah yang sama sekali tak menganggap kehadiranku. Aku tak patah arang, bibirku terus melontarkan segudang pujian. Berharap ada sedikit reaksi darinya. Lelahku berbalas.
“Kau bilang ini serigala?” ia malah bertanya aneh padaku, keningku berkerut mendengar pertanyaannya. Moncongnya khas milik serigala, ditumbuhi bulu-bulu kasar di seluruh tubuhnya seolah merefleksikan kegarangannya. Itu jelas serigala. Aku mungkin tak pandai melukis, tapi otakku masih bisa menterjemahkan gambar itu. Itu serigala!! Mataku tak mungkin salah. Tapi kenapa ia malah bertanya padaku tentang lukisannya? Laki-laki itu benar-benar aneh dan mungkin keanehan itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.
Aku mengangguk.
Ia berjalan, duduk di sofa yang tak jauh dari lukisannya. Aku mengikutinya. Sedikit bahagia, kurasa ia mulai member sedikit makna akan kehadiranku. Ternyata tidak, sekali lagi harapanku bagai pesawat yang jatuh dari angkasa, ditarik jutaan gravitasi yang kemudian membuatnya hancur berkeping-keping. Ia sudah menjauhi lukisan itu, tapi matanya masih menatap kanvasnya. Menjamahi lukisan itu dengan seluruh penglihatannya.
“Apa kau tak bisa melihat lukisan itu sebagai sosok yang lain?” laki-laki bertubuh tinggi itu bertanya lagi. Ia bertanya padaku, tapi matanya enggan mengalihkan pandangannya ke arahku. Dari jarak yang sama dengannya kuperhatikan lagi lukisan itu, mataku kembali mencermati tiap detail goresannya. Tak berbeda, lukisan itu tetaplah seekor serigala liar ganas yang serakah dan penuh nafsu.
“Sosok apa?” aku menyerah, otakku lelah mencari sosok lain dalam lukisannya. Aku hanya melihat serigala, hanya seekor serigala dengan sisa-sisa potongan tubuh mangsanya.
“Sosok pemimpin negara misalnya?” kali ini laki-laki itu memandangku. Sesaat aku mengacuhkan wajahnya yang kini menghadap diriku. Kuamati lukisan itu lagi dan aku menertawakannya. Datar, wajahnya sama sekali tak memberikan reaksi atas tawaku. Aku tak mengejek lukisannya, bukankah sudah ku katakan aku benar-benar mengaguminya? Tapi laki-laki itu seperti sedang mengajaku bercanda, mengatakan lukisan itu adalah sosok pemimpin Negara? Aku mungkin pernah merasa bodoh karena mengira gambar gajah adalah kambing. Mereka memiliki kemiripan, berkaki empat. Tapi serigala dengan pemimpin Negara? Bukankah itu dua sosok yang jauh berbeda? Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan laki-laki tercintaku ini? Entahlah…
“Aku lelah.” Ia mendengus kesal, wajahnya memang menyiratkan kelalahan dan kegalauan. Aku tersenyum, berharap seulas senyum bisa sedikit memberinya hiburan. Tanganku meraih tas, mengeluarkan sekotak makanan yang sengaja kusiapkan untuknya. Kulihat ia melahap makanan itu dengan nikmat. Aku membiarkannya menikmati makan siangnya. Langkah kakiku berjalan menyusuri ruang sempit yang dipenuhi ceceran cat pewarna, kanvas bekas dan kuas-kuas dengan cat kering di setiap uujungnya. Aku membereskan semua barang-barang itu, menempatkannya di wadah khusus yang terpisah. Tapi seketika pandanganku tertuju pada sebuah potret, wajah yang sudah terlalu familiar di mataku, potret wajah yang mungkin akan dijadikan model lukisannya. Akan? Yah, karena aku belum melihat gambarnya di satu kanvaspun.
“Apa ini?” tanyaku seraya menunjukan gambar itu ke arahnya. Laki-laki itu menghentikan sejenak santap siangnya.
“Kamu lupa?” ia malah bertanya dengan kening berkerut. Kini kuhadapkan potret itu di hadapanku.
“Yah, aku tahu siapa dia. Tapi untuk apa ini ada di sini?”
Ia mendengus kesal, sepertinya aku benar-benar sudah melupakan hal penting darinya. Laki-laki itu menghampiriku, meraih potret wajah yang kupegang dan kembali lagi duduk di hadapan kanvasnya. Ia menyuruhku mendekat dengan pandangan matanya, aku menurut. Laki-laki itu menjejerkan potret itu dengan lukisannya, seperti sedang membandingkan.
“Apa ini mirip?” tanyanya lemah. Datar, nyaris tanpa intonasi dan ekspresi.
“Apa maksudmu?” tanyaku tak paham. “Mereka sungguh bebeda.”
“Aku mendapatkan pekerjaan untuk melukis wajahnya. Seseorang akan menghadiahkan lukisan ini untuknya tepat di hari ia berulang tahun. Tapi aku tak mengerti, jariku seperti bergerak sendiri. Aku tak bisa mengendalikan. Hasilnya….” Ia menunjuk lukisan serigala di hadapannya. Aku melongo, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia lalu mengambil tiga kanvas lainnya, menyodorkannya di hadapanku. Semuanya serigala!!
“Aku sudah mencoba beberapa kali, tapi tetap saja seperti ini.” Air mukanya berubah kesal, tapi nada ucapannya sama sekali tak menyiratkan kemarahan.
Aku mengamati satu persatu lukisan itu, serigala yang nyaris serupa. Aku menggeleng tak percaya. Apa yang terjadi? Kutatap wajah laki-lakiku penuh pertanyaan, tapi ia hanya membautku makin tak mengerti dengan kerutan yang tergambar di keningnya. Ia juga tak paham.
“Besok pesanan itu diambil dan aku masih melukis seperti ini.” Ada kepasrahan nyata yang kulihat di wajahnya.
Aku benar-benar shock.
*******
“Apa?!!! Jadi selama ini kamu melukis wajah Tuan kami sebagai seekor serigala?” laki-laki berjas rapi itu marah, wajahnya seketika memerah saat melihat hasil karya kekasihku. Ia benar-benar marah.
Lelakiku diam, merasa bersalah sekaligus tak berdaya. Tapi bibirnnya sama sekali tak menggetarkan maaf. Lidahnya sudah dibuat kelu, bibirnya juga seketika membeku. Ia ketakutan, hingga aku bisa melihat jelas getar di sekujur tubuhnya.
“Imbisil!! Pelukis macam apa kau?!!” laki-laki berjas itu membentak lagi, tapi kemarahannya hanya dibalas aksi diam dari si laki-laki gondrong di hadapannya.
Laki-laki berjas itu marah, marah yang teramat dahsyat. Segala ucapan buruknya keluar begitu ringan, melayang dan berdengung hingga ke telingaku yang mematung cukup jauh dari mereka. Dengan kemarahan yang masih bergelayut di hatinya, laki-laki itu meninggalkan ruangan. Umpatannya masih terdengar samar, tapi menghilang kemudian bersamaan dengan deru mesin mobilnya. Mobil mewah pastinya, mesinnya terdengar sangat halus.
Kekasihku menghempaskan tubuhnya, aku duduk di sisinya. Wajahnya terlihat benar-benar lelah. Aku juga merasakan kecemasannya. Tanganku mengambil lukisan dan potret wajah itu. lukisannya tak jadi diambil. Kuamati wajah di potret itu, manusia. Tapi semakin lama aku memandangnya, wajahnya seperti berganti rupa. Kulihat sekelebat bayangan serigala. Serigala yang nyaris sama dengan lukisan milik kekasihku. Serigala dengan taring mencuat jelas. Aku bergidik ngeri. Mataku beralih membaca tulisan di bawah porter itu. SUSILO BAMBANG YUDH… Aku tak meneruskan bacaanku, sisa-sisa hurufnya seperti menghilang karena kertas yang memudar.
Aku berdehem, tapi laki-laki itu tak sedikitpun mengindahkanku. Ia mengabaikanku dan lebih memilih setia menatap kanvasnya. Aku mengalah, kubiarkan ia hanyut dengan pesona lukisannya. Perlahan aku melangkahkan kakiku dan kini aku berdiri tepat di sampingnya. Menikmati lukisan itu lebih dekat membuat aku semakin yakin jika lukisan itu benar-benar bernyawa. Laki-laki di sampingku menatap lukisan itu dengan pandangan yang….Ah, aku sendiripun tak bisa mendefinisikan arti pandangannya. Sedangkan aku? Aku masih terperangkap dengan sejuta kekagumanku, aku menikmati tiap detail goresannya yang membuat serigala itu seolah hidup. Meskipun begitu, jujur saja aku sedikit sebal menatap lukisan itu. wajah penuh nafsu serigala yang menggambarkan keserakahannya terlihat amat menyebalkan untuk pandanganku.
Laki-laki dengan rambut sebahu di sampingku masih juga tak mempedulikanku. Mungkin dimatanya aku bagai lalat yang tak sengaja terbang menghampirinya, atau mungkin bagai aroma parfum milik manusia yang kebetulan berlalu di hadapannya. Kehadiranku sama sekali tak membuatnya bergeming. Aku benar-benar diacuhkan.
Aku bergumam, bibirku bergetar menyanjung lukisannya. Tapi rasanya harapanku untuk mendapat reaksinya terlalu berlebihan. Ia benar-benar dingin, mungkin jauh lebih beku dari gunungan es di dua kutub bumi. Aku tak pernah diacuhkan seperti ini sebelumnya, bahkan oleh siapapun. Tapi laki-laki itu, laki-laki yang mengatakan cinta padaku…justru dialah yang sama sekali tak menganggap kehadiranku. Aku tak patah arang, bibirku terus melontarkan segudang pujian. Berharap ada sedikit reaksi darinya. Lelahku berbalas.
“Kau bilang ini serigala?” ia malah bertanya aneh padaku, keningku berkerut mendengar pertanyaannya. Moncongnya khas milik serigala, ditumbuhi bulu-bulu kasar di seluruh tubuhnya seolah merefleksikan kegarangannya. Itu jelas serigala. Aku mungkin tak pandai melukis, tapi otakku masih bisa menterjemahkan gambar itu. Itu serigala!! Mataku tak mungkin salah. Tapi kenapa ia malah bertanya padaku tentang lukisannya? Laki-laki itu benar-benar aneh dan mungkin keanehan itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.
Aku mengangguk.
Ia berjalan, duduk di sofa yang tak jauh dari lukisannya. Aku mengikutinya. Sedikit bahagia, kurasa ia mulai member sedikit makna akan kehadiranku. Ternyata tidak, sekali lagi harapanku bagai pesawat yang jatuh dari angkasa, ditarik jutaan gravitasi yang kemudian membuatnya hancur berkeping-keping. Ia sudah menjauhi lukisan itu, tapi matanya masih menatap kanvasnya. Menjamahi lukisan itu dengan seluruh penglihatannya.
“Apa kau tak bisa melihat lukisan itu sebagai sosok yang lain?” laki-laki bertubuh tinggi itu bertanya lagi. Ia bertanya padaku, tapi matanya enggan mengalihkan pandangannya ke arahku. Dari jarak yang sama dengannya kuperhatikan lagi lukisan itu, mataku kembali mencermati tiap detail goresannya. Tak berbeda, lukisan itu tetaplah seekor serigala liar ganas yang serakah dan penuh nafsu.
“Sosok apa?” aku menyerah, otakku lelah mencari sosok lain dalam lukisannya. Aku hanya melihat serigala, hanya seekor serigala dengan sisa-sisa potongan tubuh mangsanya.
“Sosok pemimpin negara misalnya?” kali ini laki-laki itu memandangku. Sesaat aku mengacuhkan wajahnya yang kini menghadap diriku. Kuamati lukisan itu lagi dan aku menertawakannya. Datar, wajahnya sama sekali tak memberikan reaksi atas tawaku. Aku tak mengejek lukisannya, bukankah sudah ku katakan aku benar-benar mengaguminya? Tapi laki-laki itu seperti sedang mengajaku bercanda, mengatakan lukisan itu adalah sosok pemimpin Negara? Aku mungkin pernah merasa bodoh karena mengira gambar gajah adalah kambing. Mereka memiliki kemiripan, berkaki empat. Tapi serigala dengan pemimpin Negara? Bukankah itu dua sosok yang jauh berbeda? Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan laki-laki tercintaku ini? Entahlah…
“Aku lelah.” Ia mendengus kesal, wajahnya memang menyiratkan kelalahan dan kegalauan. Aku tersenyum, berharap seulas senyum bisa sedikit memberinya hiburan. Tanganku meraih tas, mengeluarkan sekotak makanan yang sengaja kusiapkan untuknya. Kulihat ia melahap makanan itu dengan nikmat. Aku membiarkannya menikmati makan siangnya. Langkah kakiku berjalan menyusuri ruang sempit yang dipenuhi ceceran cat pewarna, kanvas bekas dan kuas-kuas dengan cat kering di setiap uujungnya. Aku membereskan semua barang-barang itu, menempatkannya di wadah khusus yang terpisah. Tapi seketika pandanganku tertuju pada sebuah potret, wajah yang sudah terlalu familiar di mataku, potret wajah yang mungkin akan dijadikan model lukisannya. Akan? Yah, karena aku belum melihat gambarnya di satu kanvaspun.
“Apa ini?” tanyaku seraya menunjukan gambar itu ke arahnya. Laki-laki itu menghentikan sejenak santap siangnya.
“Kamu lupa?” ia malah bertanya dengan kening berkerut. Kini kuhadapkan potret itu di hadapanku.
“Yah, aku tahu siapa dia. Tapi untuk apa ini ada di sini?”
Ia mendengus kesal, sepertinya aku benar-benar sudah melupakan hal penting darinya. Laki-laki itu menghampiriku, meraih potret wajah yang kupegang dan kembali lagi duduk di hadapan kanvasnya. Ia menyuruhku mendekat dengan pandangan matanya, aku menurut. Laki-laki itu menjejerkan potret itu dengan lukisannya, seperti sedang membandingkan.
“Apa ini mirip?” tanyanya lemah. Datar, nyaris tanpa intonasi dan ekspresi.
“Apa maksudmu?” tanyaku tak paham. “Mereka sungguh bebeda.”
“Aku mendapatkan pekerjaan untuk melukis wajahnya. Seseorang akan menghadiahkan lukisan ini untuknya tepat di hari ia berulang tahun. Tapi aku tak mengerti, jariku seperti bergerak sendiri. Aku tak bisa mengendalikan. Hasilnya….” Ia menunjuk lukisan serigala di hadapannya. Aku melongo, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia lalu mengambil tiga kanvas lainnya, menyodorkannya di hadapanku. Semuanya serigala!!
“Aku sudah mencoba beberapa kali, tapi tetap saja seperti ini.” Air mukanya berubah kesal, tapi nada ucapannya sama sekali tak menyiratkan kemarahan.
Aku mengamati satu persatu lukisan itu, serigala yang nyaris serupa. Aku menggeleng tak percaya. Apa yang terjadi? Kutatap wajah laki-lakiku penuh pertanyaan, tapi ia hanya membautku makin tak mengerti dengan kerutan yang tergambar di keningnya. Ia juga tak paham.
“Besok pesanan itu diambil dan aku masih melukis seperti ini.” Ada kepasrahan nyata yang kulihat di wajahnya.
Aku benar-benar shock.
*******
“Apa?!!! Jadi selama ini kamu melukis wajah Tuan kami sebagai seekor serigala?” laki-laki berjas rapi itu marah, wajahnya seketika memerah saat melihat hasil karya kekasihku. Ia benar-benar marah.
Lelakiku diam, merasa bersalah sekaligus tak berdaya. Tapi bibirnnya sama sekali tak menggetarkan maaf. Lidahnya sudah dibuat kelu, bibirnya juga seketika membeku. Ia ketakutan, hingga aku bisa melihat jelas getar di sekujur tubuhnya.
“Imbisil!! Pelukis macam apa kau?!!” laki-laki berjas itu membentak lagi, tapi kemarahannya hanya dibalas aksi diam dari si laki-laki gondrong di hadapannya.
Laki-laki berjas itu marah, marah yang teramat dahsyat. Segala ucapan buruknya keluar begitu ringan, melayang dan berdengung hingga ke telingaku yang mematung cukup jauh dari mereka. Dengan kemarahan yang masih bergelayut di hatinya, laki-laki itu meninggalkan ruangan. Umpatannya masih terdengar samar, tapi menghilang kemudian bersamaan dengan deru mesin mobilnya. Mobil mewah pastinya, mesinnya terdengar sangat halus.
Kekasihku menghempaskan tubuhnya, aku duduk di sisinya. Wajahnya terlihat benar-benar lelah. Aku juga merasakan kecemasannya. Tanganku mengambil lukisan dan potret wajah itu. lukisannya tak jadi diambil. Kuamati wajah di potret itu, manusia. Tapi semakin lama aku memandangnya, wajahnya seperti berganti rupa. Kulihat sekelebat bayangan serigala. Serigala yang nyaris sama dengan lukisan milik kekasihku. Serigala dengan taring mencuat jelas. Aku bergidik ngeri. Mataku beralih membaca tulisan di bawah porter itu. SUSILO BAMBANG YUDH… Aku tak meneruskan bacaanku, sisa-sisa hurufnya seperti menghilang karena kertas yang memudar.
0 respons:
Post a Comment