Hingga sore ini aku masih asyik menikmati suasana kota bersama Dhea.
Entah sudah berapa panjang jalanan yang kami lalui, entah sudah seberat
apa udara yang kami nikmati sejak tadi. Beberapa saat kami duduk ditaman
sambil menikmati eskrim, sesaat kemudian kami menikmati air mancur yang
memancar deras. Banyak hal yang aku lakukan bersama Dhea hari ini. Dua
jam tadi aku bahkan menemani Dhea berbelanja, hal yang paling
membosankan bagiku sebenarnya.
“Thanks ya udah nemenin aku jalan-jalan hari ini.” ujar Dhea sebelum turun dari mobilku.
Aku mengangguk.
Dhea diam, ia bukannya turun tapi malah kembali menyenderkan punggungnya di jok mobilku.
“Siapa Assyifa? Temen deket kamu?” tanya Dhea datar, aku malah sama sekali tak bisa menangkap cemburu di ucapannya barusan.
“Bukan,
aku baru kenal dia kemarin kok.” Jawabku santai. Aku tidak sedang
berbohong dan kenyataannya memang begitu. Jadi reasanya aku memang tidak
perlu merepotkan diriku denan meyakinkan Dhea.
“Kamu suka
dia?” Dhea memandang lurus ke depan, matanya sama sekali tak menoleh ke
arahku. Aku mulai merasa sulit mengartikan sikapnya.
“Kamu cemburu?” aku malah balas tanya.
Pertanyaanku tak mendapat jawaban, ia hanya tersenyum kecil.
“Dit….”
Dhea memanggilku, tapi matanya sama sekali tak memandangku. Aku menoleh
menatap wajahnya, tapi dia masih saja mengacuhkan pandanganku.
“Ya, kenapa?”
“Aku gak sanggup lagi pacaran jarak jauh.”
Aku
sedikit terkejut mendengar ucapannya. Ini terdengar aneh di telingaku,
dulu sebelum kepergian Dhea ke Bandung, justru dia yang ngotot
meyakinkanku bahwa kita pasti bisa melalui hubungan long distance
Jakarta-Bandung. Lalu malam ini, kenapa justru itu yang dia ucapkan?
“Lalu?”
aku mencoba bersikap sesantai mungkin walaupun sebenarnya hatiku mulai
bergejolak dan otakku juga dipenuhi pertanyaan. Entahlah, mungkin kota
dingin itu memang sudah banyak merubah Dhea.
“Aku udah
punya pacar baru di Bandung, dan aku pengin kita putus.” Ucap Dhea
dengan suara yang agak tertahan. Aku menghempaskan punggungku di jok
mobil, sementara Dhea masih juga belum mengalihkan pandangan matanya ke
arahku.
Sesuatu yang kutakutkan dulu akhirnya terjadi juga saat ini.
“Kalau
itu yang kamu mau, aku bisa apa?” entah kenapa hal yang dulu kutakutkan
itu malah bisa aku hadapi dengan santainya. Aku sendiri tak mengerti,
kenapa jawaban macam itu yang malah keluar dari mulutku.
“Oke, jadi mulai sekarang kita hanya berteman.”
Aku
belum sempat menjawab pernyataan sepihak Dhea, tapi tanpa peduli dengan
apa yang akan kuucapkan, Dhea sudah turun dari mobilku. Ia berlalu
meninggalkanku, memasuki rumahnya.
Dan aku….masih belum paham dengan apa yang baru saja terjadi.
Dulu
aku teramat takut kehilangan Dhea tapi entah kenapa hari ini saat
ketakutanku menjadi kenyataan, aku malah bisa menghadapinya dengan
sangat santai. Meskipun begitu, aku benar-benar tidak tahu mengapa aku
bisa bersikap seperti itu.
Entahlah…mungkin cinta ini sudah mulai mengendap.
********************
“Oh,,,jadi Kak Syifa belum pulang ya?” tanyaku pada bocah laki-laki di hadapanku itu. Bocah itu mengangguk.
Setelah
mengantarkan Dhea tadi, entah kenapa aku langsung saja berpikir untuk
ke rumah Syifa. Tapi sayangnya Syifa belum pulang dari kerjanya dan aku
hanya bisa bertemu dengan adiknya. Aku bahkan sampai lupa, kalau Syifa
memang bekerja sejak sore hingga malam nantii.
“Ya udah kalau gitu gw pulang dulu.” ucapku sambil mengacak-acak rambutnya.
Aku
mengendarai mobil ke kantor Ayahku, entah mengapa aku ingin sekali
bertemu Syifa. Apa yang baru saja terjadi antara aku dan Dhea
benar-benar tidak membuatku berubah. Aku masih biasa-biasa saja dan
suasana hatiku juga sama sekali tidak berubah.
Aku
langsung berlari ke pantry, disana aku melihat Dhea yang sedang
menyiapkan segelas kopi. Mungkin untuk karyawan Ayahku yang sedang
lembur.
Dhea terkejut melihatku yang tiba-tiba sudah
berdiri di sampingnya. Aku hanya tersenyum menikmati wajah cantik yang
sedang sedikit kaget itu.
“Mas Adit bikin kaget aja.” Kata Syifa sambil mengaduk kopi buatannya.
Aku mendengus kesal “Syifa, lu bisa gak kalau gak panggil gw Mas? Kita seumuran.”
“Terus, apa aku harus manggil Mbak?” Syifa mulai mengajaku bergurau, aku tertawa kecil.
“Panggil gw Adit. Oke?”
Syifa mengangguk, “Aku ke depan dulu ya, Dit. Nganterin kopi ini.”
“Yah…” jawabku sedikit sebal. Gadis itu benar-benar membuatku gemas, dia seperti sedang mencoba mengacuhkanku.
Syifa sudah keluar dari ruangan pantry, entah darimana datangnya energy di kakiku, dua kakiku melangkah mengejarnya.
“Syifa…gw ikut.” Dan ucapan itu juga benar-benar keluar dengan sendirinya dari mulutku.
********************
“Lu putus ama Dhea?” tanya Angga, ia sepertinya benar-benar kaget mendengar ceritaku barusan.
“Iya…gitu deh.” Jawabku santai sambil menyalakan DVD film yang baru saja kubeli.
Angga menatapku heran, “Lu gak ada sedih-sedihnya ya? Lu pacaran hampir dua tahun ama dia, Man!!”
“Ya…gw juga gak tahu kenapa, gw aja heran kenapa gw gak sedih.” Jawabku, aku nyengir dengan wajah seperti tanpa dosa.
“Gak
tahulah…gw bingung aja ama kalian berdua, kemarin Dhea nanya-nanya kaya
masih cemburu gitu, kenapa sekarang dia mutusin lu ya? Lu juga aneh,
selalu bilang cinta ama Dhea, diputusin gak ada sedih-sedihnya.”
“Kalau bingung gak usah dipikirin, gw aja yang ngelakuin santai-santai aja.” Kataku cuek dan mulai asyik menonton DVDku.
“Terus rencana lu sekarang mau apa? Ngegebet Assyifa?”
“Mungkin, bukan rencana yang jelek kan?”
“Terserah lu deh, lagian kalaupun gw bilang rencana lu jelek, apa lu juga bakal mundur?” Angga balik bertanya padaku.
“Iya
juga sih, gak ngaruh buat gw. Gw bakal mundur kalo lu suka ama dia.”
Walaupun aku masih berkonsentrasi dengan film yang sedang kutonton, aku
serius dengan apa yang baru saja kukatakan. Aku ingat bagaimana Angga
marah saat aku masih berpikir buruk tentang Syifa ketika itu, aku juga
masih ingat saat Angga menatapku serius dan berkata kalau dia mengagumi
sosok Assyifa.
“Santai aja, gw cuma kagum kok.”
“Oke, bagus deh kalau gitu. Ntar gw pinjam motor ya?”
“Lu mau kemana, bukannya lu mau nginep? Kenapa gak pake mobil lu aja?” Angga malah terlihat bingung.
“Gw mau jemput Assyifa ntar.”
********************
Aku
menunggu Syifa di halaman parkir depan kantor sambil memainkan salah
satu game terbaru di ponselku. Tidak terlalu lama, beberapa saat
kemudian Syifa datang dan langsung menghampiriku.
“Motornya beda lagi, Dit?” komentar Syifa sambil mengenakan helm yang kuberikan.
“Motor temen kok.” Aku tersenyum.
“Oh…” Syifa menggumam.
“Fa, kita jangan langsung pulang ya?” tanyaku setelah beberapa saat keluar dari halaman parker kantor Ayahku.
“Ini udah malem, kita mau kemana, Dit?” Pertanyaan Syifa malah terdengar seperti orang ketakutan.
“Emang lu belum tau?”
“Tau apaan, Dit?” Syifa malah bingung.
“Calon nyokap mertua lu kan masuk Rumah Sakit.” Aku menjawab asal.
“Ibu mertua? Apaan sih, Dit? Aku gak ngerti deh.” Jawab Syifa polos.
“Ya udah, makanya kita ke Rumah Sakit sekarang, biar lu ngerti.”
“Tapi, Dit….” Syifa hampir menolak ajakan Adit.
Aku
tidak peduli apa jawaban Syifa, aku langsung mengarahkan motor Angga
menuju Rumah Sakit tempat Ibuku dirawat. Syifa diam, ia tidak bisa
berbuat banyak selain menuruti ajakanku. Aku sendiri tidak tahu apa yang
membuatku bisa bersikap segila ini.
“Dit, kita mau jenguk orang di Rumah Sakit kan?”
“He’em…calon mertua perempuan lu lebih tepatnya.”
“Iya deh terserah kamu, siapapun dia. Tapi masa kita mau jenguk orang di Rumah Sakit gak bawa apa-apa sih?”
“Emang mau bawa apaan?” kali ini aku yang tidak paham apa maksud Syifa.
“Beli buah dulu yuk.”
“Gak usah, udah banyak yang jenguk bawa buah. Tuh kalau lu mau jual juga bisa.” Jawab Adit asal lagi.
Syifa mendengus kesal, pasrah menghadapi Adit yang makin tidak jelas dengan ucapannya.
Aku
sengaja memperlambat laju motor Angga agar bisa lebih lama berdekatan
dengan Syifa. Entah kenapa aku bahagia bersamanya malam ini. satu hal
yang aku sesalkan adalah, mengapa malam indah ini harus bersama dengan
motor Angga, bukan motor kesayanganku.
Sesampainya di
Rumah sakit, aku langsung mengajak Syifa ke ruangan dimana Ibuku
dirawat. Ayahku ada disana juga, ia memang terlihat sedikit terkejut
dengan kehadiran Syifa.
“Hallo Mah,,,Pah…” aku menyalami
tangan Ayah dan Ibuku, Syifa juga melakukan hal yang sama. Aku menahan
tawa melihat wajah Syifa yang tampak begitu bingung.
“Apa kabar, Pak Yoga?” Syifa menyapa Ayahku.
“Baik Syifa…” jawab Ayahku ramah.
“Siapa dia, Dit?” tanya Mama. Dari wajahnya yang tampak sumringah, aku tahu Ibuku menyukai Syifa.
“Kenalin
Mah, ini calon istri Adit, Syifa.” Jawabku langsung, aku tak ingin
Ayahku yang menjawab pertanyaan itu lebih dulu. Kalau sampai Ayahku yang
menjawab, mungkin jawabannya akan terdengar “Syifa itu karyawan Papa.”
Aku
melirik lagi, memandang wajah Syifa yang makin pias membuatku dua kali
lebih sulit menahan tawa. Sedangkan Ayah dan Ibuku memandangku dengan
tatapan tak percaya.
********************
Angga
masih menunggu kedatangan Adit di rumahnya, ia memang berniat pergi
dengan motornya itu. Hampir dua jam Angga menunggu Adit tapi sahabatnya
itu belum datang juga. Beberapa kali Angga mencoba menghubunginya lewat
ponsel, ponselnya tidak aktif. Akhirnya Angga memutuskan keluar dengan
mobil milik Adit.
Angga memencet tombol bel di rumah besar
berdinding hijau cerah itu, tak lama kemudian seorang wanita paruh baya
membukakan pintu untuknya.
“Oh, Den Angga. Nyari Den Diaz ya?” tanya wanita yang memang sudah akrab dengan Angga.
“Iya, Bi. Diaznya ada?”
“Ada, Den. Dikamar atas sama Non Dhea juga. Masuk aja, Den.”
“Makasih, Bi.” Ucap Angga, kakinya melangkah memasuki rumah itu.
Diaz,
kakak Dhea itu juga sudah menjadi teman akrab bagi Angga. Mereka kuliah
di kampus yang sama, walaupun berbeda jurusan, mereka memang sangat
akrab karena sama-sama aktif di salah satu Organisasi Kegiatan Mahasiswa
Kampus.
Kamar Diaz tertutup, ia hampir saja membuka pintu yang
sudah pasti tidak terkunci itu. Diaz memang tidak pernah mengunci
kamarnya, bahkan saat tidur sekalipun.
“Jadi lu mutusin
Adit karena itu?” suara Diaz terdengar dari luar kamar, aku berhenti.
Tanganku yang baru saja akan membuka engsel pintu juga urung.
Tidak ada jawaban, tapi samar-samar Angga mendengar suara isakan Dhea.
“Kenapa lu gak cerita yang sebenernya aja?!” nada bicara Diaz meninggi.
Angga
makin penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Angga yang
datang menemui Diaz untuk membahas desain kaos untuk tim basketnya
akhirnya memilih menunda urusannya.
“Gw gak bisa.” Dhea masih terisak.
“Lu
gak bisa cerita yang sebenernya tapi lu malah bohong kalo lu udah punya
pacar lagi, gitu? Gw gak tahu jalan pikiran lu, Dhe.”
“Gw cuma gak mau Adit tahu apa yang sebenernya dan gw gak mau jadi beban buat dia.”
Angga
makin tak mengerti, yang sebenarnya? Ada apa? Angga masih menguping, ia
hanya ingin benar-benar tahu apa yang sedang kakak-beradik itu
bicarakan.
“Lu ngejauh dari Adit dan sekarang lu mutusin dia, padahal sebenernya lu butuh Adit disaat-saat kaya gini.”
Dhea terisak lagi.
Angga makin penasaran.
“Dhe,
lu mau nyembunyiin kaya apapun suatu saat Adit juga bakal tetep tahu
semuanya. Adit bakal tetep tau tentang penyakit lu, tentang leukemia lu
ini.” suara Diaz terdengar melemah sementara isak Dhea makin terdengar
jelas.
Angga menelan ludah, tubuhnya seperti kehilangan penyangga.
Ucapan Diaz benar-benar membuatnya shock. Dhea, kekasih sahabatnya
sekaligus salah satu sahabat baiknya sejak SMA mengidap penyakit yang
sulit diobati. Dan Dhea, Dhea menanggung beban itu sendiri. Ia tak
pernah bercerita tentang apapun padanya, pada Adit juga. Dhea
benar-benar menanggung semuanya sendiri.
“Jadi Adit sama
sekali gak tahu tentang sakit lu? Oke. Gw yang akan kasih tahu dia kalau
besok lusa lu mau ke Singapura buat berobat.” Kalimat Diaz terdengar
tegas.
“Kak, jangan kasih tahu Adit…please…” Isak tangis Dhea makin jelas.
Angga
benar-benar seperti kehilangan kesadaran dengan apa yang baru saja ia
dengar. Ia bahkan tak sadar jika pembantu keluarga sahabatnya itu sudah
berdiri di hadapannya sambil membawa nampan berisi makanan ringan dan
segelas moccacino panas kesukaan Angga.
“Lho Den Angga, kenapa gak masuk aja? Kok malah berdiri di depan pintu?”
Angga
diam, beberapa saat kemudian Diaz membuka pintu kamarnya. Angga menatap
wajah Dhea. Matanya sembab, wajahnya pucat. Ia lalu menatap Diaz
beberapa saat dan kemudian kembali menatap wajah Dhea.
“Angga, lu denger semuanya? Lu denger semuanya?” suara Dhea purau. Matanya menangis lagi.
Angga mengangguk lemah.
“Tolong,
lu jangan bilang Adit tentang ini. Gw mohon, Ngga… lu jangan bilang
Adit.” Dhea menggenggam tangan Angga. Tangisnya makin kencang dan air
matanya turun makin deras. Angga menarik nafas panjang, ia melepaskan
tangannya dari genggaman Dhea dan seketika tubuh Dhea berada dalam
pelukannya.
“Kenapa lu nyimpen ini semua sendiri, Dhe?”
Angga berkata lirih, suaranya terdengar samar karena Dhea masih saja
terisak. sementara Angga masih mencoba sabar dan kuat dengan kenyataan
pahit yang menimpa sahabat dekatnya itu.
Tak ada suara, semua hanyut dengan perasaannya masing-masing.
Bersambung…
Monday, October 6, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 respons:
Post a Comment