Wajahnya putih bersih,
matanya makin terlihat tajam dengan goresan alisnya yang tegas. Gayanya
sederhana saja, ia terlihat pintar dengan kacamata minus setengah yang
menghiasi wajahnya. Pakaiannya khas mahasiswa sekarang ini. Celana
jeans, kaos simpel dan terkadang dibalut jaket yang membuatnya terlihat
sedikit lebih keren. Tak jauh berbeda dengan yang lainnya, ia juga
seseorang yang teramat sederhana. Sedikitpun ia tak peduli
penampilannya, cenderung cuek dan asal-asalan tapi tetap tak
melenyapkan daya tariknya sebagai seorang laki-laki. Ia serius, tapi
bukan pendiam. Dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun ia selalu
terlihat sangat menikmati waktunya. Wajahnya selalu ceria dan penuh
semangat, seperti tak pernah ada kesedihan yang terpancar disana.
Dialah Arga Prima Dirgantara dan seperti kawan-kawan lainnya aku juga memanggilnya Arga. Kami bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP. Dia sahabatku yang teramat baik, menyenangkan dan tak tergantikan. Aku tak pernah tahu kenapa aku bisa sangat dekat dengannya setelah permusuhan kami yang tak terlupakan saat tahun pertama di Sekolah Menengah Pertama. Yah, laki-laki itu dulu selalu kujuluki culun karena kacamata yang melekat di wajahnya. Sayangnya aku harus diam dan tak lagi mengejeknya karena tak berselang lama kemudian sebuah kacamata juga menghiasi wajahku. Bahkan seperti sebuah karma, minus mataku jauh lebih besar darinya. Saat itu aku merasa sebal sekali tiap kali melihatnya tersenyum, aku selalu melihatnya sebagai senyum kemenangan atas permusuhan kami, ia memang menyebalkan saat itu.
Tapi entah karena apa permusuhan kami tiba-tiba tamat, seperti sebuah drama asia yang kehabisan episodenya. Pertempuran yang teramat singkat, kami berhenti bertempur saat semester genap tahun pertama. Guru menempatkan kami di kelas yang sama saat itu, dan aku dengan segenap perasaan malasku harus selalu melihatnya setiap hari. Arga selalu menciptakan kegaduhan dan tingkahnya menyebalkan. Aku benar-benar alergi padanya dan tak ingin mendekatinya, sedikitpun. Sekali lagi aku tegaskan, sedikitpun!!
Hatiku masih diliputi ketidaksukaan padanya, tapi keberuntungan seperti enggan berpihak padaku. Guru biologi yang sangat tahu permusuhan kami malah menempatkan kami berdua pada kelompok yang sama. Ia berhasil, disinilah kami mulai bisa berbaikan. Ia memang usil, tapi ia berbeda. Tak pernah sekalipun ia tak ada ketika kelompok kami berkumpul, ia selalu ada. Bahkan tak hanya ada dan duduk diam, ia selalu berkomentar, memberikan masukan dan menyarankan apa yang sebaiknya perlu dilakukan dan tidak. Mau tidak mau aku harus mengakui keunggulannya disini, ternyata ia cukup cerdas. Pikiranku yang selalu menganggapnya laki-laki nakal yang bodoh seketika hilang begitu saja. Ia bahkan teramat pintar, hanya saja ia sedang mencoba terlihat wajar dengan segala kenakalannya.
Permusuhan itu kini hanya sebuah kenangan, tak ada lagi. Kami hampir selalu menghabiskan waktu bersama walaupun hanya sekedar jalan-jalan ke toko buku atau makan di kantin pojok kampus. Kami bagai saudara kembar yang tak terpisahkan. Arga, aku mencintainya sebagai seorang sahabat, tak lebih dari itu dan tak akan pernah menjadi lebih dari itu, Selamanya akan tetap begitu dan selalu akan seperti itu. Kami tak pernah peduli berapa banyak orang yang mebicarakan kami di belakang, mengatakan kami pacaran. Huh, mereka memang sok tahu sekali, seenaknya saja berkomentar. Arga memiliki seorang kekasih, Niken namanya. Ia tak ada di kota ini, di kota yang sama dengan kami. Setelah lulus dari SMA yang sama dengan kami, ia memilih melancong ke luar kota, melanjutkan studinya di sebuah Universitas Tekhnologi terkemuka di kota Bandung, meninggalkan Arga untuk menggapai mimpinya. Arga tak peduli, ia membiarkan Niken pergi dengan pilihannya. Baginya cinta dan cita-cita bukan dua hal yang selalu bisa disandingkan bersama dan Arga tak ingin memaksa Niken untuk tetap menemani cintanya daripada mengejar cita-citanya. Ia memang kekasihnya, tapi memaksa bukan haknya. Itulah Arga, aku suka pemikirannya, realistis dan tidak membelenggu. Ia menjalani hidupnya dengan santai, tapi bukan tanpa tujuan. Ia memang membuatku kagum, tapi tak sedkitpun membuatku jatuh cinta.
Lalu bagaimana dengan aku? Aku gadis yang…biasa saja. Aku juga menjalani hariku dengan santai, tapi aku tak pernah sedikitpun mengabaikan mimpiku. Mimpi terbesar yang sudah menancap kuat di otakku, entah sejak kapan aku bahkan sudah lupa kapan aku mulai bermimpi tentang ini. Aku ingin menjadi penulis, penulis yang memiliki jutaan karya. Aku ingin jadi penulis, penulis hebat yang tak pernah sekarat idenya. Agatha Christie, Achmad Munif, Kahlil Gibran, Nizami Ganjavi, merekalah inspirasiku. Merekalah yang selalu membuat mimpiku makin kuat menancap di hatiku tiap detiknya. Cita-citaku itu seperti sudah menyatu dengan aliran darahku, ada di setiap hembusan nafasku dan menghiasi tiap mimpi malamku. Aku begitu ingin menjadi seperti mereka, meskipun terkadang tak memahami tulisan mereka. Aku bahkan merasa jika menjadi penulis bukan lagi sekedar cita-cita, tapi obsesiku. Sungguh, cita-cita yang teramat jauh dari studi yang kuambil saat ini, sosiologi. Sedikit hubungannya, aku suka menulis tentang manusia dan menghadirkan mereka dalam cerita fiksiku.
Bukan hidup jika aku tak menemui hambatan. Obsesi penulis yang sudah mengalir dalam darahku ditentang keras kedua orang tuaku. Tak memberikan jaminan hidup, itu yang selalu mereka katakana. Jaminan hidup seperti apa? Jika hidup saja sudah dijamin, rasanya tidak petlu ada pekerjaan lagi di dunia ini. Seandainya itu benar-benar terjadi, betapa bahagianya manusia di planet bumi ini. Tak perlu bekerja, hanya tinggal duduk dan tertidur, uang akan menghampiri mereka layaknya anggota DPR yang selalu mengantuk di ruangan berACnya. Tapi apakah itu lalu disebut jaminan hidup? Bukan! Uang itu juga tidak akan menghampiri mereka lagi jika dengan senang hati mereka mengundurkan diri dari gedung parlemen itu. Lalu seperti apa yang mereka sebut jaminan hidup? Uang pensiunan seorang pegawai Negeri? Mungkin…tapi menjadi seorang pegawai Negeri sama sekali tak terlintas di otakku, tidak sama sekali!! Aku bahkan enggan memikirkannya.
Tapi bagiku protes mereka bukan apa-apa. Cibiran-cibiran mereka terhadap seluruh karyaku bukan alasan tepat yang akan membuarku berhenti. Dukungan memang akan membuatku berani, tapi tak akan ada cibiran yang membuat langkahku mati. Otakku akan terus menciptakan kata dan merajutnya dalam jutaan cerita. Aku mungkin akan selalu mendengar protes mereka, tapi disaat yang sama aku akan mendengar teriakan dukungan dari orang-orang di sekelilingku, juga dari Arga, kawan terbaikku. Satu cibiran melawan dukungan yang kekuatannya tak terhingga, maka mungkin hanya keajaiban yang membuat cibiran itu menang. Tapi aku yakin jika keajaiban hanya akan menghampiri sesuatu yang memiliki nilai positif.
“Lihat ini,,,” ucap Arga sambil meletakan sebuah majalah remaja di hadapanku. Aku tak langsung menanggapinya, tanganku masih asyik menyuapkan makanan ke mulutku dan mulutku masih tak mau diganggu menikmati makan siang kali ini. Kuliah tadi benar-benar membuatku lapar.
Aku membiarkan majalah itu tergeletak di meja beberapa saat, sedikit tak tertarik sebenaranya. Entah berapa kali aku sudah mengirimkan naskahku ke majalah itu, tak satupun yang dimuat disana. Tapi itu tak membuatku berhenti berkarya. Aku memang keras kepala, penolakan yang tak pernah kupedulikan. Aku terus menulis dan kembali berkarya dan kemarin entah yang keberapa kalinya aku kembali mengirimkan naskahku ke majalah yang ada di hadapanku itu, berharap majalah tersebut mau memberikan kesempatan untuk karyaku tampil di salah satu halamannya. Skeptis, aku membuka majalah itu pelan-pelan, sementara Arga tak peduli dan masih menikmati soto panas di hadapannya. Halaman demi halaman kulalui dan seketika mataku melotot bahagia melihat naskahku ada disana. Sebuah cerita pendek berjudul “From Dieng With Love” terpampang disana. Itu karyaku, itu tulisanku. Ini benar-benar kenyataan yang membuat kebahagiaanku meluap tak terkendalikan. Aku benar-benar bahagia, sangat bahagia. Rasa kecewa karena kegagalan yang beberapa kali menghampiriku seakan sirna sudah. Ini benar-benar seperti sebuah obat ajaib yang menghentikan laju penyakit tak tersembuhkan, luar biasa. Aku menatap Arga dengan mata berbinar, ia hanya seketika berpaling dari makanannya dan mengacungkan jempolnya ke arahku. Ia tersenyum, aku tahu ia pasti bangga denganku seperti aku yang bangga dengan kemenanganku saat ini. Ini pertama kalinya majalah tersebut mau memuat naskahku. Ini kemenangan yang akhirnya ku dapat setelah melalui sekian kegagalan. Naskahku juga sebelumnya pernah dimuat, tapi bukan di majalah ini. Rasanya tak seperti ini, mungkin karena ini yang pertama. Hah, aku bahkan berdebar, tapi aku suka debar ini.
“Kalau gitu, ada yang bayarin makan gue donk sekarang?” Arga menuntutku menepati janjinya. Pasti, tenang saja.
Beberapa minggu terakhir ini aku jarang menghabiskan waktuku dengan Arga, ia sedang sibuk mempersiapkan ujiannya. Arga memutuskan untuk mengikuti ujian bertaraf Internasional yang akan mengantarkannya masuk ke University of New South Wales, Australia. Sejak dulu Universitas itu selalu memenuhi rongga otaknya dan aku tahu saat ini dia tidak akan melewatkan kesempatan secemerlang ini. Aku harap dia akan berhasil, semoga saja.
Aku sendiri masih sibuk dengan tulisanku, sibuk dengan karya-karyaku dan juga sibuk mengabaikan protes orang tuaku. Aku tak peduli penolakan mereka, tapi aku tak pernah membantah ucapan mereka. Bagiku bantahan paling dahsyat yang akan membuat mereka diam adalah membuktikan jika ambisiku tidak salah dan aku bisa menjadi salah satu orang besar dalam naungan ambisiku. Aku percaya hanya itu yang bisa membuat mereka diam dan berhenti dengan segala protesnya. Sesekali aku menyempatkan menulis kritikan di buletin kampus, hanya sesekali jika aku merasakan semangatku sedang membaik dan ketertarikanku sedang membengkak. Bagaimanapun aku lebih tertarik dengan cerita-cerita fiksi yang bisa kutentukan endingnya seenak hatiku. Itulah aku, aku yang mencintai kebebasan, aku yang tak ingin terkekang sekalipun terpenjara dalam penolakan kedua orang tuaku terhadap obsesiku. Ketertarikanku terhadap fiksi sekuat penolakan orang tuaku terhadap obsesi yang kuinginkan. Tidak, lebih besar dari mereka. Aku yakin mereka akan luluh dengan melihat prestasiku di dunia yang menjadi obsesiku tapi aku, selamanya minatku tak akan hilang pada dunia fiksi, apapun yang mereka lakukan itu tak akan membuat ketertarikanku meleleh seperti lilin yang terbakar api. Bahkan jika aku adalah selembar kertas, maka aku akan menjadi satu-satunya kertas yang tak akan terbakar oleh api protes dari mereka.
Aku masih rutin menulis ceritaku dan mengirimkannya ke berbagai media, entah itu elektronik ataupun media masaa. Aku tak terbatasi seperti dunia ini yang tak ada ujungnya. Media-media yang bertebaran itu akan kumanfaatkan untuk karyaku, aku ingin orang tahu jika aku bukan gadis yang tak bisa melakukan apapun. Aku ingin membuktikan pada mereka jika aku bisa menciptakan hal besar yang membuat semua orang terpana layaknya Justin Bieber yang membuat mata dunia mengagumi olah tubuh dan suara emasnya.
Kami masih duduk berdua, aku dan Arga menikmati suasana sore ini di halaman kampus. Hujan deras yang sejak tadi membasahi bumi kini mulai turun rintik-rintik. Wangi tanah yang sempat ku kunikmati aromanya kini lenyap, berganti dengan lembabnya udara. Beberapa mahasiswa masih terlihat meramaikan kampus, melangkah berlalu di hadapan kami begitu saja. Beberapa dari mereka ada yang sempat tersenyum, menyapa kami dan kemudian berlalu lagi meninggalkan kami berdua. Mahasiswa-mahasiswa itu bahkan masih berpikir kami pacaran hiingga mungkin tak ingin mengganggu kebersamaan kami sekarang. Pikiran konyol, yah walaupun sedikit masuk akal jika melihat kebersamaan kami. Tapi sekali lagi aku tegaskan, kami tidak pacaran!
“Gimana tes kemarin? Sukses kan?” jujur saja aku penasaran mendengar jawabannya. Aku tak meragukan kecerdasan otaknya, tapi aku juga ingin tahu bagaimana laki-laki berkaca mata itu menghadapi soal-soal ujian yang aku pikir pasti sangat sulit.
“Sedikit hambatan, tapi terlewati semuanya.” Santai sekali tanggapannya, wajahnya bahkan tak menyiratkan sedikitpun ketakutan dan kekhawatiran. Ia malah cengar-cengir tak jelas, mementahkan pikiranku akan sulitnya soal-soal itu. Cuek dan santai, itu yang selalu kulihat darinya. Ia menganggap segala hal adalah mudah, tak ada yang tak mungkin. Meskipun begitu ia bukan sosok sombong yang suka meremahkan. Cuek dan santai, itulah gaya dan ciri khasnya yang tak pernah memudar. Ciri khas yang membuatku merasa nyaman berdiri di sampingnya sebagai seorang sahabat. Ia memang benar-benar istimewa.
Ponselku bergetar, sebuah nomor luar kota yang sama sekali tak kukenal. Aku menatap Arga meminta pendapatnya, ia melirik sekilas ke arah layar ponselku dan kemudian dengan tatapan matanya ia menyuruhku menjawab telefon tersebut. Aku menekan tombol reply dan mengaktifkan loudspeaker ponselku. Suara laki-laki dewasa, Arga juga ikut menyimak pembicaraanku.
“Apa saya berbicara dengan Ayunda Astiya?” pertanyaannya terdengar tegas di telingaku, vibra suaranya unik. Tapi aku yakin bukan seorang penyanyi seperti Marcell yang sedang menelefonku.
“Ya…” jawabku menggantung, aku seperti kehilangan otakku. Suaranya yang asing membuatku ragu untuk banyak bicara dengannya. Jadi kurasa, lebih baik kujawab seperlunya saja dan tak perlu terlalu banyak mengumbar kata. Bukan saatnya…
“Saya dari rumah produksi yang khusus menayangkan FTV remaja. Saya ingin mengajak anda bergabung dengan tim kami sebagai seorang penulis skrip.”
Jantungku seketika seperti melonjak kegirangan, aku tak percaya. Seluruh tubuhku bahkan gemetar karena perasaan senang yang tak terperikan. Tuhan seperti sedang membuka jalanku untuk membuktikan jika obsesiku tak pernah salah. Aku menatap Arga, ia tersenyum lebar. Tangannya menunjuk ponselku, mengingatkan jika pangilan tersebut masih aktif dan laki-laki asing disana pasti juga sedang menunggu jawabanku.
“Bagaimana?” tanya si laki-laki asing itu lagi beberapa saat setelah aku terdiam menikmati debar kegirangan di seluruh aliran darahku. Pertanyaannya mebangunkanku dari rasa tak percaya, aku kembali berkonsentrasi pada pembicaraan ini, pembicaraan yang akan menentukan masa depanku dan tanpa pikir panjang aku segera mengiyakan tawarannya. Laki-laki asing itu menyampaikan rasa terima kasihnya untuk kesediaanku bergabung dalam timnya. Sebelum menutup telefonnya ia meyuruhku menemuinya di kantor rumah produksinya di Jakarta untuk tanda tangan kontrak. Aku masih tak percaya kenyataan ini, si laki-laki asing itu mengatakan jika ia mengenalku dari sebuah majalah remaja yang selalu memuat karyaku. Ia juga mendapatkan nomor ponselku dari majalah tersebut dan segera menghubungiku setelah mengunjungi blogku dan membaca hampir seluruh cerita yang terpampang disana. Aku tersenyum kegirangan, Arga menarik tanganku. Gerimis tak lagi kami pedulikan dan beberapa saat kemudian kami sudah duduk di kantin dan dari tatapannya aku paham Arga menuntutku mentraktirnya. Entah traktiran keberapa yang ia tuntut dariku, tapi tak masalah, seperti yang sudah-sudah kali ini aku juga menyanggupinya.
Sedan biru itu membawaku dan Arga menembus ramainya jalanan, lampu merah lalu lintas membuat si mobil beberapa kali terhenti, memperlama perjalanan kami. Aku sudah tak sabar menemui laki-laki yang baru kuketahui bernama Arfan itu. laki-laki asing yang mengajakku begabung dengan tim rumah produksinya. Laki-laki yang sejak dulu kutunggu permintaannya. Arga juga terlihat ceria, wajahnya berseri-seri. Senyum bahagia terpancar jelas dari bibirnya. Ia juga bahagia, bahagia sepertiku yang berhasil meraih mimpinya, menggapai cita-citanya, memuaskan dahaga obsesinya. Arga, laki-laki itu kini masih duduk di sampingku, berada dalam satu mobil yang sama denganku tapi beberapa bulan lagi setelah selesai mengurus visa dan passportnya ia akan menghilang dari pandanganku, menggapai cita-citanya, merengkuh mimpinya dan memeluk obsesinya di Negeri kanguru sana. Aku tak pernah mengira akan seperti ini akhirnya, kami dengan mimpi kami masing-masing, kami yang akhirnya benar-benar akan dipisahkan oleh jarak dan waktu. Setelah ini semuanya akan menjadi baru, aku tanpa dia dan dia tanpa aku. Tapi meskipun begitu doa kami akan selalu bersama, dukungan kami akan menancap di hati masing-masing bagai prasasti yang tak akan pernah punah sepanjang waktu, selamanya.
Di rumah sebelum aku pergi tadi, aku melihat air mata menggenang di sudut mata mereka. Ibuku mencoba menahan kepergianku dan Ayah memaksaku untuk tetap menyelesaikan kuliahku. Sekali lagi, aku, sosok yang keras kepala ini tetap bertahan pada keinginanku. Cita-cita di depan mata, ia sudah menungguku untuk kemudian memeluku dalam naungannya. Aku tak akan melepaskannya walau apapun rintangannya. Perjuanganku selama ini untuk meraih obsesiku tak akan pernah menjadi sia-sia. Ia ingin memelukku seperti aku ingin menggapainya. Kesempatan yang tak boleh kusia-siakan dan aku juga tak ingin menyia-nyiakannya. Ini mungkin akan jadi kesempatan pertama dan sekligus terakhir yang menghampiriku. Aku benar-benar beruntung dan rasanya sangat kurang ajar jika aku malah menghalau keberuntungan itu dari hidupku, keberuntungan yang mungkin diharapkan oleh jutaan manusia di luar sana. Keputusanku tak berubah, aku tetap pergi menjemput mimpiku. Saat ini, di samping Arga air mataku menetes, tak banyak. Aku tak ingin terlihat cengeng di hadapan mantan musuhku itu. sekeras apapun penolakan mereka terhadap obsesiku ternyata sama sekali tak membunuh cinta mereka untukku. Aku yang teramat berharga bagi mereka, aku yang teramat mereka sayangi. Begitu juga aku, aku mencintai mereka, sangat mencintai mereka, Ayah Ibuku… sampai jumpa lagi nanti. Aku akan pulang dengan membawa sejuta kebanggan yang akan kupersembahkan untuk kalian. Mungkin itu juga tak akan pernah cukup untuk menebus semua yang telah kalian lakukan untukku tapi tunggulah aku Ayah Ibuku…
Aku hampir sebulan bergelut dengan pekerjaanku, menulis skrip yang kemudian akan diolah menjadi skenario oleh Mbak Dian. Aku bahagia berada disini. Jika selama ini dunia adalah panggung sandiwara dan aku salah satu pelakonnya maka kali ini aku yang menciptakan ceritanya. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Tak hanya itu, aku bahkan seringkali berwisata keliling Indonesia. Bali, Lombok, Nias, bahkan hingga Jogjakarta dan Wonosobo sudah kujelajahi. Rasanya lain kali aku harus menciptakan setting cerita di luar negeri agar aku juga bisa merasakan nikmatnya jadi seorang turis di Negara tetangga.
Layar notebooku masih menampilkan narasi yang sedang kubuat, aku menyandarkan tubuhku sesaat. Mengambil nafas panjang dan kemudian mengeluarkannya pelan-pelan, mencoba menikmati lelah ini. Ponselku berdering, sebuah e-mail dari Arga. Huh, hampir sebulan ini kami tak bertatap muka. Rasa rindu itu terbersit, menyelinap diam-diam di relung hati yang sebenarnya tak pernah terkunci. Sahabatku, aku merindukanmu.
To : ayundaastiya
From : argadirgantara
Subject : selamat untuk kita kawan…
Aku masih ingat betul bagaimana dulu kita berusaha keras menggapai semua mimpi kita, membuktikan pada dunia bahwa apa yang kita inginkan tak pernah salah dan sekarang kita sampai di titik itu. Tapi semua belum berakhir, kawan. Perjalanan panjang masih membentang di hadapan kita. Tak ada yang aku inginkan lebih dari doa dari seorang sahabat, darimu. Doakan aku, seperti aku yang akan mendoakanmu sepanjang aku bisa. Aku tak akan pernah melupakan semua yang sudah kita lalui bersama. Tangis itu, tawa itu bahkan senyuman itu masih tersimpan rapi di otakku. Bahkan jika suatu saat kepalaku membentur benda yang teramat keras maka aku yakin hanya kenangan tentang kita yang tetap bertahan, sahabat. Kita memang jauh, raga kita terpisahkan waktu dan jarak. Ada batas-batas yang memisahkan kita saat ini, tapi percayalah mimpi tak akan terkekang oleh batas. Tak ada yang bisa memenjarakan cita-cita kita, obsesi kita. Inilah kita, kita yang akan mengendalikan dunia kita sendiri, bukan orang lain. Bukan dia dan bukan juga mereka. Hidup ini milik kita, kawan. Selamat untukmu, selamat juga untukku. Selamat untuk kita yang akhirnya bisa berdiri bangga di puncak cita-cita, puncak mimpi. Kita sudah buktikan bahwa kita adalah pemenang, pemenang yang tak pernah patah arang. Kita bukan pecundang.
Kawan…hari ini aku berangkat, menggapai cita-citaku di negeri kanguru sana. Aku akan menatap cintaku, menatap mimpiku dengan lebih jelas. Doakan aku, kawan. Kita tak akan pernah terlupakan.
See u
Arga
Aku tersenyum membaca e-mailnya, kau benar kawan, kita adalah pemenang, kita tak terkalahkan. Sejenak kualihkan pandanganku menatap langit biru diatas sana, langit yang selama ini menjadi atap hidupku. Langit yang selama ini menjadi saksi kerasnya usahaku, menjadi saksi betapa keras kepalaku saat mempertahankan apa yang kuinginkan, dan kini sang waktu membuktikan jika semuanya kupertahankan dengan nyaris sempurna. Aku menatap langit, berharap melihat Arga dan pesawatnya di atas sana.
Seperti biasanya aku melewati sarapan pagi ini dengan kawan-kawan di lokasi shooting. Aku sungguh menikmati pagi ini. Di ruangan yang cukup luas ini kami duduk di lantai, tikar sederhana menjadi alas kami menikmati sarapan pagi ini. Hampir sebulan kebersamaan kami, kebersamaan yang menciptakan hangatnya kekeluargaan. Sungguh suasana kerja yang menggembirakan, sekali lagi aku katakan, pilihanku tak pernah salah.
Aku menatap layar TV di hadapanku, beberapa orang kru masih asyik menikmati sarapannya. Beberapa diantaranya asyik bercanda. Tanganku meraih remote, mengganti channel TV, mencari acara yang menarik. Akhirnya kuhentikan gerak tanganku di acara berita yang tak sengaja kutemukan. Aku cermati acara itu dengan nafas tersengal, bibirku bergetar, mataku mulai tak sanggup membendung air mata. Piring di tanganku jatuh seketika, membentur lantai dan hancur berkeping-keping seperti hatiku saat ini.
“Sebuah pesawat menuju Australia terjatuh di hutan belantara Sumatera. Pesawat ini terjatuh setelah dua jam terbang dari Bandara Soekarno Hatta. Kini pesawat berjenis Boing 767 itu masih belum dipindah dari lokasi kejadian. Beberapa orang sempat mendengar ledakan keras sebanyak dua kali sebelum pesawat ini terjatuh, kini polisi dan tim SAR masih bersiaga di lokasi dan memagarinya dengan garis polisi. 120 penumpang serta 28 awak peawat dan pilotnya dipastikan tewas.”
“Arga….” Aku menjerit histeris, beberapa pasang mata menoleh ke arahku, menatapku penuh tanda tanya, meminta penjelasan dariku tentang apa yang terjadi. Gelap, aku tak bisa lagi melihat kawan-kawanku.
Gundukan tanah merah basah itu menggunung di hadapanku. Semerbak wangi melati memenuhi tiap rongga penciumanku, beberapa karangan bunga yang masih nampak bagus juga terlihat disisi makam kawan terbaikku. Aku menatap nanar gundukan tanah di depanku, air mataku berlinang lagi. Aku tak percaya kenyataan ini, kenapa harus Arga? Aku tahu betapa inginnya dia menghirup udara Australia, aku tahu bagaimana ia sangat menginginkan itu. ia nyaris saja merangkul mimpinya, tapi kematian merenggut semua dari pelukannya. Seketika otakku berputar mengingat kembali masa-masa dengannya, masa yang tak terlupakan. Aku ingat betul bagaimana dulu kami bercanda, kabur di pelajaran terakhir atau berpura-pura sakit saat pelajaran matematika. Aku tak akan pernah melupakan Arga, bagaimana ia mendukungku dalam setiap langkahku. Ia yang dulu selalu meminjamkan laptopnya padaku, membiarkan aku mengabaikan kehadirannya dan asyik merangkai kata. Ia sama sekali tak pernah menggangguku, betapa laki-laki itu sangat mengerti aku dan memahami apa yang aku inginkan. Aku hanya bisa berharap Arga menikmati tidur terakhirnya, tidur panjangnya. Aku harap dia juga merasa lega karena sudah bisa meraih mimpi sebelum umur merenggut nyawanya. Kenangan bersamamu tak akan pernah lekang oleh waktu kawan, tak ada yang bisa menggantikanmu. Tak ada orang lain sehebat dirimu, tak ada yang bisa memahamiku seperti kau memahamiku. Tak ada harga yang pantas untung seorang kawan sepertimu, Arga.
Aku meninggalkan makamnya, melangkahkan kakiku kembali ke jalan raya. Rasa kehilangan itu tak akan mudah hilang, selamanya akan tetap membekas di hatiku. Kehilangan seorang Arga yang teramat berharga bukan hal mudah bagiku, ini memang membuatku limbung, aku seperti kehilangan support terbesarku saat ini. Aku mendongak menatap langit yang tampak mendung, gemuruhnya terdengar menakutkan di telingaku. Kulihat bayangan wajah Arga tersenyum di langit, senyum paling indah yang pernah menghiasi bibirnya. Dia menatapku, hujan air mata kembali membasahi wajahku. Perlahan bayangannya memudar ditelan gumpalan awan. Aku menangis sesenggukan, aku masih berharap ia ada dan bersamaku menggapai cita-cita.
Dialah Arga Prima Dirgantara dan seperti kawan-kawan lainnya aku juga memanggilnya Arga. Kami bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP. Dia sahabatku yang teramat baik, menyenangkan dan tak tergantikan. Aku tak pernah tahu kenapa aku bisa sangat dekat dengannya setelah permusuhan kami yang tak terlupakan saat tahun pertama di Sekolah Menengah Pertama. Yah, laki-laki itu dulu selalu kujuluki culun karena kacamata yang melekat di wajahnya. Sayangnya aku harus diam dan tak lagi mengejeknya karena tak berselang lama kemudian sebuah kacamata juga menghiasi wajahku. Bahkan seperti sebuah karma, minus mataku jauh lebih besar darinya. Saat itu aku merasa sebal sekali tiap kali melihatnya tersenyum, aku selalu melihatnya sebagai senyum kemenangan atas permusuhan kami, ia memang menyebalkan saat itu.
Tapi entah karena apa permusuhan kami tiba-tiba tamat, seperti sebuah drama asia yang kehabisan episodenya. Pertempuran yang teramat singkat, kami berhenti bertempur saat semester genap tahun pertama. Guru menempatkan kami di kelas yang sama saat itu, dan aku dengan segenap perasaan malasku harus selalu melihatnya setiap hari. Arga selalu menciptakan kegaduhan dan tingkahnya menyebalkan. Aku benar-benar alergi padanya dan tak ingin mendekatinya, sedikitpun. Sekali lagi aku tegaskan, sedikitpun!!
Hatiku masih diliputi ketidaksukaan padanya, tapi keberuntungan seperti enggan berpihak padaku. Guru biologi yang sangat tahu permusuhan kami malah menempatkan kami berdua pada kelompok yang sama. Ia berhasil, disinilah kami mulai bisa berbaikan. Ia memang usil, tapi ia berbeda. Tak pernah sekalipun ia tak ada ketika kelompok kami berkumpul, ia selalu ada. Bahkan tak hanya ada dan duduk diam, ia selalu berkomentar, memberikan masukan dan menyarankan apa yang sebaiknya perlu dilakukan dan tidak. Mau tidak mau aku harus mengakui keunggulannya disini, ternyata ia cukup cerdas. Pikiranku yang selalu menganggapnya laki-laki nakal yang bodoh seketika hilang begitu saja. Ia bahkan teramat pintar, hanya saja ia sedang mencoba terlihat wajar dengan segala kenakalannya.
Permusuhan itu kini hanya sebuah kenangan, tak ada lagi. Kami hampir selalu menghabiskan waktu bersama walaupun hanya sekedar jalan-jalan ke toko buku atau makan di kantin pojok kampus. Kami bagai saudara kembar yang tak terpisahkan. Arga, aku mencintainya sebagai seorang sahabat, tak lebih dari itu dan tak akan pernah menjadi lebih dari itu, Selamanya akan tetap begitu dan selalu akan seperti itu. Kami tak pernah peduli berapa banyak orang yang mebicarakan kami di belakang, mengatakan kami pacaran. Huh, mereka memang sok tahu sekali, seenaknya saja berkomentar. Arga memiliki seorang kekasih, Niken namanya. Ia tak ada di kota ini, di kota yang sama dengan kami. Setelah lulus dari SMA yang sama dengan kami, ia memilih melancong ke luar kota, melanjutkan studinya di sebuah Universitas Tekhnologi terkemuka di kota Bandung, meninggalkan Arga untuk menggapai mimpinya. Arga tak peduli, ia membiarkan Niken pergi dengan pilihannya. Baginya cinta dan cita-cita bukan dua hal yang selalu bisa disandingkan bersama dan Arga tak ingin memaksa Niken untuk tetap menemani cintanya daripada mengejar cita-citanya. Ia memang kekasihnya, tapi memaksa bukan haknya. Itulah Arga, aku suka pemikirannya, realistis dan tidak membelenggu. Ia menjalani hidupnya dengan santai, tapi bukan tanpa tujuan. Ia memang membuatku kagum, tapi tak sedkitpun membuatku jatuh cinta.
Lalu bagaimana dengan aku? Aku gadis yang…biasa saja. Aku juga menjalani hariku dengan santai, tapi aku tak pernah sedikitpun mengabaikan mimpiku. Mimpi terbesar yang sudah menancap kuat di otakku, entah sejak kapan aku bahkan sudah lupa kapan aku mulai bermimpi tentang ini. Aku ingin menjadi penulis, penulis yang memiliki jutaan karya. Aku ingin jadi penulis, penulis hebat yang tak pernah sekarat idenya. Agatha Christie, Achmad Munif, Kahlil Gibran, Nizami Ganjavi, merekalah inspirasiku. Merekalah yang selalu membuat mimpiku makin kuat menancap di hatiku tiap detiknya. Cita-citaku itu seperti sudah menyatu dengan aliran darahku, ada di setiap hembusan nafasku dan menghiasi tiap mimpi malamku. Aku begitu ingin menjadi seperti mereka, meskipun terkadang tak memahami tulisan mereka. Aku bahkan merasa jika menjadi penulis bukan lagi sekedar cita-cita, tapi obsesiku. Sungguh, cita-cita yang teramat jauh dari studi yang kuambil saat ini, sosiologi. Sedikit hubungannya, aku suka menulis tentang manusia dan menghadirkan mereka dalam cerita fiksiku.
Bukan hidup jika aku tak menemui hambatan. Obsesi penulis yang sudah mengalir dalam darahku ditentang keras kedua orang tuaku. Tak memberikan jaminan hidup, itu yang selalu mereka katakana. Jaminan hidup seperti apa? Jika hidup saja sudah dijamin, rasanya tidak petlu ada pekerjaan lagi di dunia ini. Seandainya itu benar-benar terjadi, betapa bahagianya manusia di planet bumi ini. Tak perlu bekerja, hanya tinggal duduk dan tertidur, uang akan menghampiri mereka layaknya anggota DPR yang selalu mengantuk di ruangan berACnya. Tapi apakah itu lalu disebut jaminan hidup? Bukan! Uang itu juga tidak akan menghampiri mereka lagi jika dengan senang hati mereka mengundurkan diri dari gedung parlemen itu. Lalu seperti apa yang mereka sebut jaminan hidup? Uang pensiunan seorang pegawai Negeri? Mungkin…tapi menjadi seorang pegawai Negeri sama sekali tak terlintas di otakku, tidak sama sekali!! Aku bahkan enggan memikirkannya.
Tapi bagiku protes mereka bukan apa-apa. Cibiran-cibiran mereka terhadap seluruh karyaku bukan alasan tepat yang akan membuarku berhenti. Dukungan memang akan membuatku berani, tapi tak akan ada cibiran yang membuat langkahku mati. Otakku akan terus menciptakan kata dan merajutnya dalam jutaan cerita. Aku mungkin akan selalu mendengar protes mereka, tapi disaat yang sama aku akan mendengar teriakan dukungan dari orang-orang di sekelilingku, juga dari Arga, kawan terbaikku. Satu cibiran melawan dukungan yang kekuatannya tak terhingga, maka mungkin hanya keajaiban yang membuat cibiran itu menang. Tapi aku yakin jika keajaiban hanya akan menghampiri sesuatu yang memiliki nilai positif.
“Lihat ini,,,” ucap Arga sambil meletakan sebuah majalah remaja di hadapanku. Aku tak langsung menanggapinya, tanganku masih asyik menyuapkan makanan ke mulutku dan mulutku masih tak mau diganggu menikmati makan siang kali ini. Kuliah tadi benar-benar membuatku lapar.
Aku membiarkan majalah itu tergeletak di meja beberapa saat, sedikit tak tertarik sebenaranya. Entah berapa kali aku sudah mengirimkan naskahku ke majalah itu, tak satupun yang dimuat disana. Tapi itu tak membuatku berhenti berkarya. Aku memang keras kepala, penolakan yang tak pernah kupedulikan. Aku terus menulis dan kembali berkarya dan kemarin entah yang keberapa kalinya aku kembali mengirimkan naskahku ke majalah yang ada di hadapanku itu, berharap majalah tersebut mau memberikan kesempatan untuk karyaku tampil di salah satu halamannya. Skeptis, aku membuka majalah itu pelan-pelan, sementara Arga tak peduli dan masih menikmati soto panas di hadapannya. Halaman demi halaman kulalui dan seketika mataku melotot bahagia melihat naskahku ada disana. Sebuah cerita pendek berjudul “From Dieng With Love” terpampang disana. Itu karyaku, itu tulisanku. Ini benar-benar kenyataan yang membuat kebahagiaanku meluap tak terkendalikan. Aku benar-benar bahagia, sangat bahagia. Rasa kecewa karena kegagalan yang beberapa kali menghampiriku seakan sirna sudah. Ini benar-benar seperti sebuah obat ajaib yang menghentikan laju penyakit tak tersembuhkan, luar biasa. Aku menatap Arga dengan mata berbinar, ia hanya seketika berpaling dari makanannya dan mengacungkan jempolnya ke arahku. Ia tersenyum, aku tahu ia pasti bangga denganku seperti aku yang bangga dengan kemenanganku saat ini. Ini pertama kalinya majalah tersebut mau memuat naskahku. Ini kemenangan yang akhirnya ku dapat setelah melalui sekian kegagalan. Naskahku juga sebelumnya pernah dimuat, tapi bukan di majalah ini. Rasanya tak seperti ini, mungkin karena ini yang pertama. Hah, aku bahkan berdebar, tapi aku suka debar ini.
“Kalau gitu, ada yang bayarin makan gue donk sekarang?” Arga menuntutku menepati janjinya. Pasti, tenang saja.
Beberapa minggu terakhir ini aku jarang menghabiskan waktuku dengan Arga, ia sedang sibuk mempersiapkan ujiannya. Arga memutuskan untuk mengikuti ujian bertaraf Internasional yang akan mengantarkannya masuk ke University of New South Wales, Australia. Sejak dulu Universitas itu selalu memenuhi rongga otaknya dan aku tahu saat ini dia tidak akan melewatkan kesempatan secemerlang ini. Aku harap dia akan berhasil, semoga saja.
Aku sendiri masih sibuk dengan tulisanku, sibuk dengan karya-karyaku dan juga sibuk mengabaikan protes orang tuaku. Aku tak peduli penolakan mereka, tapi aku tak pernah membantah ucapan mereka. Bagiku bantahan paling dahsyat yang akan membuat mereka diam adalah membuktikan jika ambisiku tidak salah dan aku bisa menjadi salah satu orang besar dalam naungan ambisiku. Aku percaya hanya itu yang bisa membuat mereka diam dan berhenti dengan segala protesnya. Sesekali aku menyempatkan menulis kritikan di buletin kampus, hanya sesekali jika aku merasakan semangatku sedang membaik dan ketertarikanku sedang membengkak. Bagaimanapun aku lebih tertarik dengan cerita-cerita fiksi yang bisa kutentukan endingnya seenak hatiku. Itulah aku, aku yang mencintai kebebasan, aku yang tak ingin terkekang sekalipun terpenjara dalam penolakan kedua orang tuaku terhadap obsesiku. Ketertarikanku terhadap fiksi sekuat penolakan orang tuaku terhadap obsesi yang kuinginkan. Tidak, lebih besar dari mereka. Aku yakin mereka akan luluh dengan melihat prestasiku di dunia yang menjadi obsesiku tapi aku, selamanya minatku tak akan hilang pada dunia fiksi, apapun yang mereka lakukan itu tak akan membuat ketertarikanku meleleh seperti lilin yang terbakar api. Bahkan jika aku adalah selembar kertas, maka aku akan menjadi satu-satunya kertas yang tak akan terbakar oleh api protes dari mereka.
Aku masih rutin menulis ceritaku dan mengirimkannya ke berbagai media, entah itu elektronik ataupun media masaa. Aku tak terbatasi seperti dunia ini yang tak ada ujungnya. Media-media yang bertebaran itu akan kumanfaatkan untuk karyaku, aku ingin orang tahu jika aku bukan gadis yang tak bisa melakukan apapun. Aku ingin membuktikan pada mereka jika aku bisa menciptakan hal besar yang membuat semua orang terpana layaknya Justin Bieber yang membuat mata dunia mengagumi olah tubuh dan suara emasnya.
Kami masih duduk berdua, aku dan Arga menikmati suasana sore ini di halaman kampus. Hujan deras yang sejak tadi membasahi bumi kini mulai turun rintik-rintik. Wangi tanah yang sempat ku kunikmati aromanya kini lenyap, berganti dengan lembabnya udara. Beberapa mahasiswa masih terlihat meramaikan kampus, melangkah berlalu di hadapan kami begitu saja. Beberapa dari mereka ada yang sempat tersenyum, menyapa kami dan kemudian berlalu lagi meninggalkan kami berdua. Mahasiswa-mahasiswa itu bahkan masih berpikir kami pacaran hiingga mungkin tak ingin mengganggu kebersamaan kami sekarang. Pikiran konyol, yah walaupun sedikit masuk akal jika melihat kebersamaan kami. Tapi sekali lagi aku tegaskan, kami tidak pacaran!
“Gimana tes kemarin? Sukses kan?” jujur saja aku penasaran mendengar jawabannya. Aku tak meragukan kecerdasan otaknya, tapi aku juga ingin tahu bagaimana laki-laki berkaca mata itu menghadapi soal-soal ujian yang aku pikir pasti sangat sulit.
“Sedikit hambatan, tapi terlewati semuanya.” Santai sekali tanggapannya, wajahnya bahkan tak menyiratkan sedikitpun ketakutan dan kekhawatiran. Ia malah cengar-cengir tak jelas, mementahkan pikiranku akan sulitnya soal-soal itu. Cuek dan santai, itu yang selalu kulihat darinya. Ia menganggap segala hal adalah mudah, tak ada yang tak mungkin. Meskipun begitu ia bukan sosok sombong yang suka meremahkan. Cuek dan santai, itulah gaya dan ciri khasnya yang tak pernah memudar. Ciri khas yang membuatku merasa nyaman berdiri di sampingnya sebagai seorang sahabat. Ia memang benar-benar istimewa.
Ponselku bergetar, sebuah nomor luar kota yang sama sekali tak kukenal. Aku menatap Arga meminta pendapatnya, ia melirik sekilas ke arah layar ponselku dan kemudian dengan tatapan matanya ia menyuruhku menjawab telefon tersebut. Aku menekan tombol reply dan mengaktifkan loudspeaker ponselku. Suara laki-laki dewasa, Arga juga ikut menyimak pembicaraanku.
“Apa saya berbicara dengan Ayunda Astiya?” pertanyaannya terdengar tegas di telingaku, vibra suaranya unik. Tapi aku yakin bukan seorang penyanyi seperti Marcell yang sedang menelefonku.
“Ya…” jawabku menggantung, aku seperti kehilangan otakku. Suaranya yang asing membuatku ragu untuk banyak bicara dengannya. Jadi kurasa, lebih baik kujawab seperlunya saja dan tak perlu terlalu banyak mengumbar kata. Bukan saatnya…
“Saya dari rumah produksi yang khusus menayangkan FTV remaja. Saya ingin mengajak anda bergabung dengan tim kami sebagai seorang penulis skrip.”
Jantungku seketika seperti melonjak kegirangan, aku tak percaya. Seluruh tubuhku bahkan gemetar karena perasaan senang yang tak terperikan. Tuhan seperti sedang membuka jalanku untuk membuktikan jika obsesiku tak pernah salah. Aku menatap Arga, ia tersenyum lebar. Tangannya menunjuk ponselku, mengingatkan jika pangilan tersebut masih aktif dan laki-laki asing disana pasti juga sedang menunggu jawabanku.
“Bagaimana?” tanya si laki-laki asing itu lagi beberapa saat setelah aku terdiam menikmati debar kegirangan di seluruh aliran darahku. Pertanyaannya mebangunkanku dari rasa tak percaya, aku kembali berkonsentrasi pada pembicaraan ini, pembicaraan yang akan menentukan masa depanku dan tanpa pikir panjang aku segera mengiyakan tawarannya. Laki-laki asing itu menyampaikan rasa terima kasihnya untuk kesediaanku bergabung dalam timnya. Sebelum menutup telefonnya ia meyuruhku menemuinya di kantor rumah produksinya di Jakarta untuk tanda tangan kontrak. Aku masih tak percaya kenyataan ini, si laki-laki asing itu mengatakan jika ia mengenalku dari sebuah majalah remaja yang selalu memuat karyaku. Ia juga mendapatkan nomor ponselku dari majalah tersebut dan segera menghubungiku setelah mengunjungi blogku dan membaca hampir seluruh cerita yang terpampang disana. Aku tersenyum kegirangan, Arga menarik tanganku. Gerimis tak lagi kami pedulikan dan beberapa saat kemudian kami sudah duduk di kantin dan dari tatapannya aku paham Arga menuntutku mentraktirnya. Entah traktiran keberapa yang ia tuntut dariku, tapi tak masalah, seperti yang sudah-sudah kali ini aku juga menyanggupinya.
Sedan biru itu membawaku dan Arga menembus ramainya jalanan, lampu merah lalu lintas membuat si mobil beberapa kali terhenti, memperlama perjalanan kami. Aku sudah tak sabar menemui laki-laki yang baru kuketahui bernama Arfan itu. laki-laki asing yang mengajakku begabung dengan tim rumah produksinya. Laki-laki yang sejak dulu kutunggu permintaannya. Arga juga terlihat ceria, wajahnya berseri-seri. Senyum bahagia terpancar jelas dari bibirnya. Ia juga bahagia, bahagia sepertiku yang berhasil meraih mimpinya, menggapai cita-citanya, memuaskan dahaga obsesinya. Arga, laki-laki itu kini masih duduk di sampingku, berada dalam satu mobil yang sama denganku tapi beberapa bulan lagi setelah selesai mengurus visa dan passportnya ia akan menghilang dari pandanganku, menggapai cita-citanya, merengkuh mimpinya dan memeluk obsesinya di Negeri kanguru sana. Aku tak pernah mengira akan seperti ini akhirnya, kami dengan mimpi kami masing-masing, kami yang akhirnya benar-benar akan dipisahkan oleh jarak dan waktu. Setelah ini semuanya akan menjadi baru, aku tanpa dia dan dia tanpa aku. Tapi meskipun begitu doa kami akan selalu bersama, dukungan kami akan menancap di hati masing-masing bagai prasasti yang tak akan pernah punah sepanjang waktu, selamanya.
Di rumah sebelum aku pergi tadi, aku melihat air mata menggenang di sudut mata mereka. Ibuku mencoba menahan kepergianku dan Ayah memaksaku untuk tetap menyelesaikan kuliahku. Sekali lagi, aku, sosok yang keras kepala ini tetap bertahan pada keinginanku. Cita-cita di depan mata, ia sudah menungguku untuk kemudian memeluku dalam naungannya. Aku tak akan melepaskannya walau apapun rintangannya. Perjuanganku selama ini untuk meraih obsesiku tak akan pernah menjadi sia-sia. Ia ingin memelukku seperti aku ingin menggapainya. Kesempatan yang tak boleh kusia-siakan dan aku juga tak ingin menyia-nyiakannya. Ini mungkin akan jadi kesempatan pertama dan sekligus terakhir yang menghampiriku. Aku benar-benar beruntung dan rasanya sangat kurang ajar jika aku malah menghalau keberuntungan itu dari hidupku, keberuntungan yang mungkin diharapkan oleh jutaan manusia di luar sana. Keputusanku tak berubah, aku tetap pergi menjemput mimpiku. Saat ini, di samping Arga air mataku menetes, tak banyak. Aku tak ingin terlihat cengeng di hadapan mantan musuhku itu. sekeras apapun penolakan mereka terhadap obsesiku ternyata sama sekali tak membunuh cinta mereka untukku. Aku yang teramat berharga bagi mereka, aku yang teramat mereka sayangi. Begitu juga aku, aku mencintai mereka, sangat mencintai mereka, Ayah Ibuku… sampai jumpa lagi nanti. Aku akan pulang dengan membawa sejuta kebanggan yang akan kupersembahkan untuk kalian. Mungkin itu juga tak akan pernah cukup untuk menebus semua yang telah kalian lakukan untukku tapi tunggulah aku Ayah Ibuku…
Aku hampir sebulan bergelut dengan pekerjaanku, menulis skrip yang kemudian akan diolah menjadi skenario oleh Mbak Dian. Aku bahagia berada disini. Jika selama ini dunia adalah panggung sandiwara dan aku salah satu pelakonnya maka kali ini aku yang menciptakan ceritanya. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Tak hanya itu, aku bahkan seringkali berwisata keliling Indonesia. Bali, Lombok, Nias, bahkan hingga Jogjakarta dan Wonosobo sudah kujelajahi. Rasanya lain kali aku harus menciptakan setting cerita di luar negeri agar aku juga bisa merasakan nikmatnya jadi seorang turis di Negara tetangga.
Layar notebooku masih menampilkan narasi yang sedang kubuat, aku menyandarkan tubuhku sesaat. Mengambil nafas panjang dan kemudian mengeluarkannya pelan-pelan, mencoba menikmati lelah ini. Ponselku berdering, sebuah e-mail dari Arga. Huh, hampir sebulan ini kami tak bertatap muka. Rasa rindu itu terbersit, menyelinap diam-diam di relung hati yang sebenarnya tak pernah terkunci. Sahabatku, aku merindukanmu.
To : ayundaastiya
From : argadirgantara
Subject : selamat untuk kita kawan…
Aku masih ingat betul bagaimana dulu kita berusaha keras menggapai semua mimpi kita, membuktikan pada dunia bahwa apa yang kita inginkan tak pernah salah dan sekarang kita sampai di titik itu. Tapi semua belum berakhir, kawan. Perjalanan panjang masih membentang di hadapan kita. Tak ada yang aku inginkan lebih dari doa dari seorang sahabat, darimu. Doakan aku, seperti aku yang akan mendoakanmu sepanjang aku bisa. Aku tak akan pernah melupakan semua yang sudah kita lalui bersama. Tangis itu, tawa itu bahkan senyuman itu masih tersimpan rapi di otakku. Bahkan jika suatu saat kepalaku membentur benda yang teramat keras maka aku yakin hanya kenangan tentang kita yang tetap bertahan, sahabat. Kita memang jauh, raga kita terpisahkan waktu dan jarak. Ada batas-batas yang memisahkan kita saat ini, tapi percayalah mimpi tak akan terkekang oleh batas. Tak ada yang bisa memenjarakan cita-cita kita, obsesi kita. Inilah kita, kita yang akan mengendalikan dunia kita sendiri, bukan orang lain. Bukan dia dan bukan juga mereka. Hidup ini milik kita, kawan. Selamat untukmu, selamat juga untukku. Selamat untuk kita yang akhirnya bisa berdiri bangga di puncak cita-cita, puncak mimpi. Kita sudah buktikan bahwa kita adalah pemenang, pemenang yang tak pernah patah arang. Kita bukan pecundang.
Kawan…hari ini aku berangkat, menggapai cita-citaku di negeri kanguru sana. Aku akan menatap cintaku, menatap mimpiku dengan lebih jelas. Doakan aku, kawan. Kita tak akan pernah terlupakan.
See u
Arga
Aku tersenyum membaca e-mailnya, kau benar kawan, kita adalah pemenang, kita tak terkalahkan. Sejenak kualihkan pandanganku menatap langit biru diatas sana, langit yang selama ini menjadi atap hidupku. Langit yang selama ini menjadi saksi kerasnya usahaku, menjadi saksi betapa keras kepalaku saat mempertahankan apa yang kuinginkan, dan kini sang waktu membuktikan jika semuanya kupertahankan dengan nyaris sempurna. Aku menatap langit, berharap melihat Arga dan pesawatnya di atas sana.
Seperti biasanya aku melewati sarapan pagi ini dengan kawan-kawan di lokasi shooting. Aku sungguh menikmati pagi ini. Di ruangan yang cukup luas ini kami duduk di lantai, tikar sederhana menjadi alas kami menikmati sarapan pagi ini. Hampir sebulan kebersamaan kami, kebersamaan yang menciptakan hangatnya kekeluargaan. Sungguh suasana kerja yang menggembirakan, sekali lagi aku katakan, pilihanku tak pernah salah.
Aku menatap layar TV di hadapanku, beberapa orang kru masih asyik menikmati sarapannya. Beberapa diantaranya asyik bercanda. Tanganku meraih remote, mengganti channel TV, mencari acara yang menarik. Akhirnya kuhentikan gerak tanganku di acara berita yang tak sengaja kutemukan. Aku cermati acara itu dengan nafas tersengal, bibirku bergetar, mataku mulai tak sanggup membendung air mata. Piring di tanganku jatuh seketika, membentur lantai dan hancur berkeping-keping seperti hatiku saat ini.
“Sebuah pesawat menuju Australia terjatuh di hutan belantara Sumatera. Pesawat ini terjatuh setelah dua jam terbang dari Bandara Soekarno Hatta. Kini pesawat berjenis Boing 767 itu masih belum dipindah dari lokasi kejadian. Beberapa orang sempat mendengar ledakan keras sebanyak dua kali sebelum pesawat ini terjatuh, kini polisi dan tim SAR masih bersiaga di lokasi dan memagarinya dengan garis polisi. 120 penumpang serta 28 awak peawat dan pilotnya dipastikan tewas.”
“Arga….” Aku menjerit histeris, beberapa pasang mata menoleh ke arahku, menatapku penuh tanda tanya, meminta penjelasan dariku tentang apa yang terjadi. Gelap, aku tak bisa lagi melihat kawan-kawanku.
Gundukan tanah merah basah itu menggunung di hadapanku. Semerbak wangi melati memenuhi tiap rongga penciumanku, beberapa karangan bunga yang masih nampak bagus juga terlihat disisi makam kawan terbaikku. Aku menatap nanar gundukan tanah di depanku, air mataku berlinang lagi. Aku tak percaya kenyataan ini, kenapa harus Arga? Aku tahu betapa inginnya dia menghirup udara Australia, aku tahu bagaimana ia sangat menginginkan itu. ia nyaris saja merangkul mimpinya, tapi kematian merenggut semua dari pelukannya. Seketika otakku berputar mengingat kembali masa-masa dengannya, masa yang tak terlupakan. Aku ingat betul bagaimana dulu kami bercanda, kabur di pelajaran terakhir atau berpura-pura sakit saat pelajaran matematika. Aku tak akan pernah melupakan Arga, bagaimana ia mendukungku dalam setiap langkahku. Ia yang dulu selalu meminjamkan laptopnya padaku, membiarkan aku mengabaikan kehadirannya dan asyik merangkai kata. Ia sama sekali tak pernah menggangguku, betapa laki-laki itu sangat mengerti aku dan memahami apa yang aku inginkan. Aku hanya bisa berharap Arga menikmati tidur terakhirnya, tidur panjangnya. Aku harap dia juga merasa lega karena sudah bisa meraih mimpi sebelum umur merenggut nyawanya. Kenangan bersamamu tak akan pernah lekang oleh waktu kawan, tak ada yang bisa menggantikanmu. Tak ada orang lain sehebat dirimu, tak ada yang bisa memahamiku seperti kau memahamiku. Tak ada harga yang pantas untung seorang kawan sepertimu, Arga.
Aku meninggalkan makamnya, melangkahkan kakiku kembali ke jalan raya. Rasa kehilangan itu tak akan mudah hilang, selamanya akan tetap membekas di hatiku. Kehilangan seorang Arga yang teramat berharga bukan hal mudah bagiku, ini memang membuatku limbung, aku seperti kehilangan support terbesarku saat ini. Aku mendongak menatap langit yang tampak mendung, gemuruhnya terdengar menakutkan di telingaku. Kulihat bayangan wajah Arga tersenyum di langit, senyum paling indah yang pernah menghiasi bibirnya. Dia menatapku, hujan air mata kembali membasahi wajahku. Perlahan bayangannya memudar ditelan gumpalan awan. Aku menangis sesenggukan, aku masih berharap ia ada dan bersamaku menggapai cita-cita.
0 respons:
Post a Comment