Seorang perempuan terlihat duduk tenang di salah satu tempat duduk food court sebuah mall, sangat berkonsentrasi dengan layar laptopnya. Entah apa yang sedang dikerjakannya. Sesekali ia terlihat menikmati orange squash yang hanya tinggal tersisa setengah gelas.
"Hai... sudah lama?" Seorang laki-laki menyapa akrab perempuan itu.
Perempuan itu melihat arlojinya, "Setengah jam yang lalu. Apa kamu datang kesini sendirian? Dimana putramu?"
"Oh... dia sedang ke toilet dulu bersama pengasuhnya."
Perempuan itu tidak menanggapi, tangannya mematikan layar laptopnya dan menyimpan rekan kerjanya itu ke dalam tas khusus yang memang selalu ia siapkan.
"Ada hal penting yang ingin kamu bicarakan?"
"Yah... masih seperti yang sudah-sudah, aku datang menemuimu dengan harapan."
Perempuan itu mendesah pelan lalu menikmati sedikit orange squashnya lagi.
Suasana menjadi hening.
"Sara, apa kamu benar-benar tidak bisa memberiku kesempatan? Kita bisa memulainya lagi dari awal, kan?"
"Sayangnya, menurutku tidak ada apapun yang bisa dimulai lagi. Semua cerita kita sudah berlalu." Jawab Sara dingin.
"Sara, Angga begitu menginginkanmu menjadi ibunya. Setelah kematian Nafa, aku belum pernah melihat Angga begitu semangat menceritakan seorang perempuan seperti ia menceritakan tentang kamu."
"Lalu sebenarnya, apa yang kamu cari? Seseorang sebagai pengganti Nafa?"
"Yah... aku ingin Angga bahagia seperti anak-anak lainnya. Memiliki keluarga yang lengkap. Ayah, Ibu... yah seperti itulah."
Sara tersenyum kecil, "Aku tahu putramu memiliki arti sangat penting bagimu, tapi sayangnya kamu tidak bisa memaksa siapapun untuk mengorbankan keinginannya hanya untuk kebahagiaan putramu."
"Tapi aku melihat kamu sangat menyayanginya."
"Jangan berlebihan, aku hanya seorang guru les bahasa inggris khusus anak-anak di institusi itu dan aku menyayangi putramu sama seperti aku menyayangi anak-anak lainnya."
"Tapi Angga berbeda, ia melihatmu sebagai seseorang yang sangat ia inginkan untuk menjadi ibunya."
"Yoga, berhenti menekanku dengan anakmu. Harus kukatakan, aku tidak akan bisa mengabulkan harapan kalian berdua."
Mereka berdua terdiam.
"Aku jelas masih sangat ingat bagaimana dulu cerita kita berakhir. Orang tuamu memilhkan Nafa untukmu karena menganggapnya lebih setara untukmu dibandingkan aku. Saat itu aku menyadari, keinginan terbesarku untuk menjadi istrimu hanyalah mimpi. Mimpi yang kian hari kian menjauh, yang semakin hari menjadi semakin sulit kugapai. Aku hanya bisa berharap kalian tidak akan menikah. Nafa, aku tahu dia sahabatku yang baik hati, jadi kupikir ia akan meninggalkanmu demi aku. Atau jika tidak, kamu yang akan bersikeras menolaknya, sayangnya dua-duanya itu sama sekali tidak ada yang terjadi. Nafa memilih menjadi anak yang baik untuk orang tuanya, menuruti perjodohan itu dan membiarkan aku terluka. Pilihannya tidak salah, aku memang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan orang tuanya, kan? Lalu kamu, aku sama sekali tidak mengerti kenapa kamu tidak sedikitpun berjuang untukku, padahal kamu laki-laki."
Yoga terdiam, membiarkan cerita itu mengalir begitu saja dari mulut Sara. Ada rasa bersalah yang sedang coba ditepisnya saat ia mendengar Sara menceritakan kisah lama itu. Rasa bersalah yang tidak terperi lagi sebesar apa, tapi Yoga hanya mampu menunduk dan terdiam, sama sekali tidak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya.
"Pernikahan kalian berlangsung, aku berpura-pura bahagia untuk Nafa. Tapi meskipun begitu, ia jelas tahu aku sangat terluka. Nafa mengatakan padaku jika aku tidak perlu datang ke pernikahannya karena takut aku terluka. Aku memutuskan sebaliknya, Nafa selalu ada saat aku butuh dia, saat aku menangis dan saat aku meminta bantuannya. Ia sahabat yang baik, jadi tidak ada salahnya jika aku datang ke pernikahan kalian, aku harus ada disaat-saat bahagianya. Aku melihat kamu begitu canggung menerimaku sebagai tamumu, tapi orang tuamu terlihat puas karena akhirnya kamu tidak berjodoh denganku."
Yoga masih terdiam dan menunduk, sementara mata Sara mulai berkaca-kaca.
"Aku sudah memberimu semuanya, perasaanku nyaris tidak bersisa sama sekali untukmu, jadi jangan pernah memintanya kembali. Bahkan sekalipun kamu menggunakan Angga untuk memintaku kembali, aku tidak akan melakukannya. Aku hanya ingin menjadi guru les Angga, tidak lebih dari itu."
Sara menarik nafas panjang.
"Maaf jika aku harus mengingatkanmu semuanya tentang itu, tapi aku bosan terus mendengarmu membujukku. Jika kamu tidak keberatan, aku hanya ingin kita berteman. Jadi, aku harap kamu bisa melupakan permintaanmu dan harapanmu yang terlampau berlebihan untukku."
"Maaf..." Yoga menggumam pelan.
Sara tersenyum kecil, "Tidak ada yang harus meminta maaf, karena kenyataan sudah terlanjur terjadi. Mungkin aku yang seharusnya meminta maaf karena tidak bisa mengabulkan harapan putra kecilmu. Terkadang seorang anak juga harus belajar jika tidak semua keinginannya bisa terpenuhi. Aku yakin, itu akan menjadikannya seseorang yang lebih kuat. Lagipula, sebentar lagi aku akan menikah."
Yoga memandang Sara, tatapannya benar-benar sulit diterjemahkan apa artinya. Tidak berdaya, rasa bersalahnya pada Sara memaksa ia untuk berhenti membujuk Sara.
"Tapi... kamu menolak permintaan Angga bukan karena kamu dendam padaku, kan?"
Sara tersenyum lagi, kali ini senyumnya terasa penuh arti, "Apa kamu pikir aku berubah? Dalam beberapa hal mungkin aku berubah, tapi tidak dalam beberapa hal lainnya. Aku masih seperti dulu, Sara yang sangat mencintai dan menyukai anak-anak. Rasanya, akan sangat tidak bermoral bagiku jika melampiaskan dendamku kepada mereka yang tidak tahu apa-apa. Ini sama sekali tidak ada hubungannya, aku menyukai Angga, tapi aku tidak ingin menjadi ibunya karena aku sama sekali tidak menginginkanmu menjadi suamiku. Bukan karena kemarahan masa lalu, tapi saat ini aku sama sekali tidak mencintaimu. Aku akan menikah, dan mungkin tidak lama lagi aku akan menjadi ibu juga. Ibu dari anakku sendiri."
Angga terdiam, ia hanya mampu menelan ludah mendengar jawaban Sara.
"Miss Sara..." Seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun berlari dan berteriak menghampirinya.
"Hello Angga.... where are you from?" Kali ini raut wajah Sara benar-benar ceria, seperti melupakan begitu saja obrolannya dengan Yoga barusan.
"From toilet. Miss, can you having a dinner with me and Daddy tonight?" Kali ini Angga menggenggam tangan Sara. Mata bocah kecil itu menatap Sara dengan tatapan penuh harap.
Sara melirik Yoga, laki-laki itu tidak bereaksi. Ia tahu, ia tidak boleh banyak berharap.
Sara terdiam sesaat, "I'm so sorry, I have an importance appointment tonight." Jawab Sara dengan senyum, sedikit khawatir jawabannya akan melukai hati salah satu murid lesnya itu.
Wajah Angga berubah sedih, ia mendekati Yoga dan seperti berharap laki-laki itu akan membujuk Sara untuk mengabulkan permintaannya.
"Hei pangeran kecil, kamu tidak boleh sedih. Bukankah kita bisa makan malam lain kali?" Yoga mencoba menghibur Angga layaknya seorang ayah.
Angga kembali menatap Sara, kali ini ia duduk di pangkuan Yoga, menikmati pelukan kasih sayang seorang ayah.
Sara mendesah, bukan hiburan seperti itu yang ia harap keluar dari mulut Yoga.
"How about tomorrow night, can you going out with us?" Mata Angga kembali bersinar-sinar, ada harapan yang terbersit dimata kecilnya.
Sara terdiam sejenak, terlihat berpikir. Memberikan penolakan terhadap anak kecil, itu jelas bukan hal yang mudah baginya.
"Sorry Angga, can I go to the toilet for a while?"
Sara tidak menunggu Angga memberikan jawaban, ia pergi begitu saja.
Sara, jelas ia hanya beralasan pergi ke toilet. Perempuan itu bergerak cepat ke salah satu sudut ruangan yang tidak bisa terlihat oleh Angga dan Yoga. Ia mengambil ponselnya, menghubungi seseorang yang memang sejak tadi menunggunya di tempat lain mall itu.
Seorang lelaki yang Sara kenal menghampiri meja tempat Yoga dan dirinya disana beberapa saat lalu. Sara menyimpan ponselnya dan segera kembali ke mejanya.
"Hai Ardi, apa kamu sudah lama disini?" Sara berpura-pura terkejut.
"Tidak juga. Baru beberapa menit yang lalu." Jawab laki-laki berkacamata yang baru saja disapanya itu.
"Oh iya, Ardi.. kenalkan, ini Yoga. Dan Yoga, ini Ardi... calon suamiku."
Yoga dan Ardi berjabat tangan. Angga ikut menatap Ardi dengan pandangan sedikit tidak suka.
"Maaf jika ini tidak menyenangkan, tapi apa bisa kita buru-buru pulang? Ibuku menunggu." Ucap laki-laki bernama Ardi.
"Oh yah, aku baru saja akan pulang." Sara bernafas lega, seolah bebannya sudah benar-benar berakhir.
"Miss, apa kamu mau pulang sekarang?" Wajah Angga nampak sedih. Ardi melirik ke arah Sara, perempuan itu mengangkat bahu.
"Angga, come here..." Sara berjongkok ditempatnya berdiri, Angga berjalan menghampiri Sara.
"Angga bisa pulang sama ayah, kan?" Sara mengusap pelan kepala anak didiknya itu.
"Ya, tapi Angga pengin kita pulang bareng." Bocah kecil itu menunduk sedih.
"Terus, Om Ardi gimana?"
"Om Ardi kan udah gede, bisa pulang sendiri."
Sara mendesah pelan.
"Sayang, seandainya Angga yang ditinggal sendirian dan disuruh pulang sendiri, Angga sedih gak?"
Bocah kecil itu mengangguk pelan.
"Nah, Miss gak mau bikin Om Ardi sedih. Om Ardi kan mau jemput Miss kesini."
"Yaudah, tapi besok-besok gak usah minta jemput lagi kalau lagi sama Angga sama Daddy." Ujar bocah laki-laki itu polos.
Sara tidak menjawab, bibirnya hanya tersenyum kecil.
"Oke, Miss pulang duluan ya."
Angga mengangguk, wajahnya sudah terlihat sedikit lebih bahagia.
"Yoga, aku pulang dulu." Ucap Sara datar, mencoba sebisa mungkin menutupi kekesalan dihatinya.
Tidak ada jawaban.
Sara berlalu bersama Ardi, Angga menggenggam erat tangan ayahnya.
*************
"Apa menurutmu ini ide bagus? Menjadikanku bagian dari kebohonganmu. Tidak masalah dengan Yoga, tapi Angga. Rasanya hatiku sangat bersalah karena ini." Ucap Ardi sambil menyalakan mesin mobilnya.
"Pada akhirnya Angga akan tetap merasakan penolakan ini. Aku tidak bisa menerima ayahnya."
"Masih sakit hati?"
"Entahlah, aku hanya tidak ingin sakit hati. Keluarga Yoga tidak pernah menginginkanku."
"Itu dulu, sebelum kamu seperti sekarang."
"Tidak akan ada yang berubah dari mereka."
"Tapi jika kamu tidak mencintai Yoga, kenapa kamu masih mau datang menemuinya jika kamu tahu ini yang akan dilakukannya?"
"Aku hanya ingin memberinya kepastian. Bukan mematahkan harapan Angga, setidaknya ia juga tahu apa jawabanku atas permintaannya sebelum aku benar-benar berhenti dari tempat kerjaku besok."
"Kamu sudah membuat keputusan itu?" Ardi menatap Sara dengan pandangan terkejut.
Sara mengangguk, "Aku tidak bisa bertahan dalam keadaan seperti ini terus menerus. Menyakiti Angga dan menolak keinginannya tanpa alasan jelas. Sementara aku, aku sama sekali tidak punya alasan untuk kembali menerima Yoga."
"Aku berdoa, semoga itu yang terbaik."
"Ya, semoga saja."
*******************
"Daddy, Miss Sara pergi...." Ucap Angga sedih.
Yoga mengerutkan keningnya, tidak paham apa yang sedang disampaikan buah hati tercintanya itu.
"Miss. Sara sudah tidak jadi guru les lagi." kali ini suara Angga menjadi sedikit purau.
Yoga menelan ludah, sama sekali tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Yoga beranjak dari tempat duduknya, memeluk buah hati satu-satunya yang mulai menitikkan air mata.
"Angga, mungkin Miss. Sara hanya sedang ingin berlibur."
"Apa Miss. Sara akan kembali?" Angga mulai terisak.
"Kita lihat saja nanti." Yoga berusaha tidak memberikan harapan kepada putranya.
0 respons:
Post a Comment