Panas matahari yang menyengat bagai sebuah pelukan hangat.
Sesuap nasi tanpa lauk terasa amat nikmat.
Inilah aku dan hidupku…
Untuk Bapak dan Ibu Yang Terhormat….
Tubuhku kurus penuh debu dan borok bernanah. Mereka memandangku jijik walau ada juga yang sedikit menatapku melas. Kulitku hitam legam, mengkilat diterjang panasnya Si Raja Siang. Maafkan jika aku yang terlalu hina di hadapanmu ini berani mengirimimu sepucuk surat. Tapi bukankah seluruh manusia di bumi ini memiliki kedudukan setara? Kau dan aku. Aku yang penuh borok bernanah sama saja denganmu yang berpenampilan rapi dan menawan. Aku yang hanya makan nasi basi seorang diri ternyata setara denganmu yang senantiasa makan enak ditemani para kuracaci. Aku masih bahagia, setidaknya di mata Tuhan kita adalah setara. Mungkin, hanya Dia yang bisa memandang begitu.
Tulisan ini hanyalah cerita pendek, sangat pendek. Izinkanlah aku bercerita padamu tentang gempita yang bersorak di hatiku, di otaku dan tentu saja di hidupku. Gempita yang mengikat, membelenggu dan membuat hati ini tersayat. Sekali lagi, maaf. Aku hanya ingin bercerita. Izinkanlah…
Tubuhku kurus kecil, layaknya tulang yang hanya dibalut sehelai kulit kumal karena debu. Bersama beberapa kawan, aku selalu tertidur di gerbong kereta bekas pinggir jalanan. Berselimut kardus dan tangan yang ditekuk. Jika kau tak percaya, lihatlah tubuhku, tubuh kawan-kawanku. Bukankah sudah ku katakan tubuhku penuh debu? Ini benar-benar debu, bukan pasir pantai.
Aku bekerja, menjadi pengamen di jalanan yang usianya selalu bertambah tua. Mengais sedikit rezeki yang bisa kunikmati. Tak banyak, hanya cukup untuk mengenyangkan cacing-cacing di perutku yang kian hari bertambah gemuk. Hanya cacing-cacing itu yang bertamabah gemuk, aku tidak!
Kemarin lusa aku datang mengunjungi pasar, bukan untuk inspeksi mendadak yang katanya sering kau lakukan. Aku hanya ingin berwisata. Wisata yang menghasilkan uang, bukan untuk menghamburkan milik orang yang mereka hasilkan penuh kelelahan. Aku tak sepertimu, aku teramat miskin. Jangankan uang untuk kuhamburkan, untuk makan saja, aku harus menyita pikiran. Aku tetap berjalan, meskipun mentari menyerangku garang. Aku tak peduli. Kususuri tiap lorong pasar, berharap menemukan sekeping dolar. Mimpi!! Aku hanya melihat sayuran yang nyaris membusuk, tapi tanganku tetap memungutnya. Mengumpulkannya di kantong plastik merah yang tak sengaja ku temukan di tong sampah. Apa kau pikir itu untuk pakan ternak? Bukan!! Ini akan kujual untuk membeli segenggam beras yang mungkin bisa kutanak, meski ku tak tahu dimana nanti akan memasak. Konyol bukan? Mungkin inilah kelucuan anak kecil macam aku.
Segenggam beras yang kuharap malah membuat nyaliku tiarap. Angka fantastis yang sungguh terlihat mistis. Rp. 8.000, semahal itukah harga untuk sekedar merasa kenyang? Aku menelan ludah, merasa kalah. Mataku beralih menatap lantai, buliran putih memaksa tubuhku melandai. Aku jongkok, kupunguti buliran beras yang jatuh dari kantong yang sudah tak rapat. Entah karena digigit tikus atau sengaja robek karena kuku kawanmu yang terlalu tajam. Aku tak mau memikirkan, otakku sudah nyaris penuh dengan jutaan beban.
Aku melangkah pulang, walau hanya segenggam, aku bangga karena ini bukan hasil berhutang. Senyumku terkembang, berharap kawanku tak bernasib malang. Ia sedang merintih kelaparan saat kutinggal mencari sesuap makan. Ku seberangi jalan padat, menghampiri rumah malaikat yang selalu mengulurkan tangan. Disana, kulihat wajah itu dengan segurat senyuman. Tulus dan indah. Tangan keriputnya meraih bungkusan yang kubawa, menukarnya dengan uang recehan. Aku melompat kegirangan, senang bukan main. Ku genggam uang itu erat, lalu berlari ke warung terdekat. Sebungkus nasi cukup untuk aku dan kawanku yang mungkin kini sudah mengerang kelaparan. Aku berlari, menghampiri gerbong kereta usang yang sudah lama diabaikan. Keras, hentakan kakiku menyiratkan semangat yang amat sangat. Ku hampiri kawanku yang malah nampak asyik terlelap. Ku ceritakan hariku padanya, tapi ia diam tak seperti biasa. Matanya tetap terpejam.
Ku hampiri tubuhnya, ku goncangkan badan kecilnya yang dingin. Ia sama sekali tak bergerak, tidak sedikitpun. Perutnya tak lagi kembang kempis!! Tubuhku bergetar, wajahku pias. Ternyata nyawanya sudah lepas. Kawanku, ia mati karena lapar yang selalu berusaha diabaikan. Aku menangis, meronta dan berteriak. Tak ada yang mendengar, apalagi mendekat. Dunia ini terasa begitu sunyi. Apakah aku benar-benar sudah terpinggirkan dari duniaku sendiri?
Kutatap wajah damai kawanku, ia terlelap nyenyak seolah tanpa beban mendalam. Pahitnya hidup sudah tak bersarang di hatinya. Gerbong kereta kusam menjadi tempat kematiannya. Apakah ia harus tetap disini? Sementara aku tak dapat berbuat banyak. Tak ada uang lagi di kantongku. Huh,,,bahkan mayatpun masih harus membayar tempat tidurnya.
Bapak dan Ibu yang Terhormat…
Kau tahu, betapa hatiku perih karena kehilangan kawan sejawat? Hati ini tersayat, bukan hanya satu goresan luka. Tapi entah berapa, aku sendiripun bahkan sudah tak sanggup menghitungnya. Perih dan pedih tak terkira, apa kau bisa memahami perasaan hatiku? Pernahkah kau berpikir jika anakmu yang mati karena kelaparan? Pasti tidak, kalian sudah selalu kenyang dengan apa yang kalian makan. Memikirkan orang kelaparan akan menjadi konyol bagimu, bukan? Tapi kali ini dengarlah aku, aku butuh kalian. Aku tak ingin kain kafan dari sutra untuk kawanku, aku hanya ingin ia menghadap Tuhan dengan layak. Lalu biarkanlah jiwa kecilnya tenang tertidur tanpa harus melihat kawannya yang pontang-panting mencari segenggam uang untuk membayar tempat peristirahatannya dari surga sana. Kau pasti bisa membantuku kan?
Ini hanya cerita pendekku. Kuharap kau tidak hanya menangis, karena ini bukan sekedar tontonan yang membuatmu miris. Ini kenyataan, hati yang tersayat ini adalah luka nyata yang dipahat indah dalam dinding derita.
Semoga ibamu tak ikut tergerus komersialisasi rasa.
Sesuap nasi tanpa lauk terasa amat nikmat.
Inilah aku dan hidupku…
Untuk Bapak dan Ibu Yang Terhormat….
Tubuhku kurus penuh debu dan borok bernanah. Mereka memandangku jijik walau ada juga yang sedikit menatapku melas. Kulitku hitam legam, mengkilat diterjang panasnya Si Raja Siang. Maafkan jika aku yang terlalu hina di hadapanmu ini berani mengirimimu sepucuk surat. Tapi bukankah seluruh manusia di bumi ini memiliki kedudukan setara? Kau dan aku. Aku yang penuh borok bernanah sama saja denganmu yang berpenampilan rapi dan menawan. Aku yang hanya makan nasi basi seorang diri ternyata setara denganmu yang senantiasa makan enak ditemani para kuracaci. Aku masih bahagia, setidaknya di mata Tuhan kita adalah setara. Mungkin, hanya Dia yang bisa memandang begitu.
Tulisan ini hanyalah cerita pendek, sangat pendek. Izinkanlah aku bercerita padamu tentang gempita yang bersorak di hatiku, di otaku dan tentu saja di hidupku. Gempita yang mengikat, membelenggu dan membuat hati ini tersayat. Sekali lagi, maaf. Aku hanya ingin bercerita. Izinkanlah…
Tubuhku kurus kecil, layaknya tulang yang hanya dibalut sehelai kulit kumal karena debu. Bersama beberapa kawan, aku selalu tertidur di gerbong kereta bekas pinggir jalanan. Berselimut kardus dan tangan yang ditekuk. Jika kau tak percaya, lihatlah tubuhku, tubuh kawan-kawanku. Bukankah sudah ku katakan tubuhku penuh debu? Ini benar-benar debu, bukan pasir pantai.
Aku bekerja, menjadi pengamen di jalanan yang usianya selalu bertambah tua. Mengais sedikit rezeki yang bisa kunikmati. Tak banyak, hanya cukup untuk mengenyangkan cacing-cacing di perutku yang kian hari bertambah gemuk. Hanya cacing-cacing itu yang bertamabah gemuk, aku tidak!
Kemarin lusa aku datang mengunjungi pasar, bukan untuk inspeksi mendadak yang katanya sering kau lakukan. Aku hanya ingin berwisata. Wisata yang menghasilkan uang, bukan untuk menghamburkan milik orang yang mereka hasilkan penuh kelelahan. Aku tak sepertimu, aku teramat miskin. Jangankan uang untuk kuhamburkan, untuk makan saja, aku harus menyita pikiran. Aku tetap berjalan, meskipun mentari menyerangku garang. Aku tak peduli. Kususuri tiap lorong pasar, berharap menemukan sekeping dolar. Mimpi!! Aku hanya melihat sayuran yang nyaris membusuk, tapi tanganku tetap memungutnya. Mengumpulkannya di kantong plastik merah yang tak sengaja ku temukan di tong sampah. Apa kau pikir itu untuk pakan ternak? Bukan!! Ini akan kujual untuk membeli segenggam beras yang mungkin bisa kutanak, meski ku tak tahu dimana nanti akan memasak. Konyol bukan? Mungkin inilah kelucuan anak kecil macam aku.
Segenggam beras yang kuharap malah membuat nyaliku tiarap. Angka fantastis yang sungguh terlihat mistis. Rp. 8.000, semahal itukah harga untuk sekedar merasa kenyang? Aku menelan ludah, merasa kalah. Mataku beralih menatap lantai, buliran putih memaksa tubuhku melandai. Aku jongkok, kupunguti buliran beras yang jatuh dari kantong yang sudah tak rapat. Entah karena digigit tikus atau sengaja robek karena kuku kawanmu yang terlalu tajam. Aku tak mau memikirkan, otakku sudah nyaris penuh dengan jutaan beban.
Aku melangkah pulang, walau hanya segenggam, aku bangga karena ini bukan hasil berhutang. Senyumku terkembang, berharap kawanku tak bernasib malang. Ia sedang merintih kelaparan saat kutinggal mencari sesuap makan. Ku seberangi jalan padat, menghampiri rumah malaikat yang selalu mengulurkan tangan. Disana, kulihat wajah itu dengan segurat senyuman. Tulus dan indah. Tangan keriputnya meraih bungkusan yang kubawa, menukarnya dengan uang recehan. Aku melompat kegirangan, senang bukan main. Ku genggam uang itu erat, lalu berlari ke warung terdekat. Sebungkus nasi cukup untuk aku dan kawanku yang mungkin kini sudah mengerang kelaparan. Aku berlari, menghampiri gerbong kereta usang yang sudah lama diabaikan. Keras, hentakan kakiku menyiratkan semangat yang amat sangat. Ku hampiri kawanku yang malah nampak asyik terlelap. Ku ceritakan hariku padanya, tapi ia diam tak seperti biasa. Matanya tetap terpejam.
Ku hampiri tubuhnya, ku goncangkan badan kecilnya yang dingin. Ia sama sekali tak bergerak, tidak sedikitpun. Perutnya tak lagi kembang kempis!! Tubuhku bergetar, wajahku pias. Ternyata nyawanya sudah lepas. Kawanku, ia mati karena lapar yang selalu berusaha diabaikan. Aku menangis, meronta dan berteriak. Tak ada yang mendengar, apalagi mendekat. Dunia ini terasa begitu sunyi. Apakah aku benar-benar sudah terpinggirkan dari duniaku sendiri?
Kutatap wajah damai kawanku, ia terlelap nyenyak seolah tanpa beban mendalam. Pahitnya hidup sudah tak bersarang di hatinya. Gerbong kereta kusam menjadi tempat kematiannya. Apakah ia harus tetap disini? Sementara aku tak dapat berbuat banyak. Tak ada uang lagi di kantongku. Huh,,,bahkan mayatpun masih harus membayar tempat tidurnya.
Bapak dan Ibu yang Terhormat…
Kau tahu, betapa hatiku perih karena kehilangan kawan sejawat? Hati ini tersayat, bukan hanya satu goresan luka. Tapi entah berapa, aku sendiripun bahkan sudah tak sanggup menghitungnya. Perih dan pedih tak terkira, apa kau bisa memahami perasaan hatiku? Pernahkah kau berpikir jika anakmu yang mati karena kelaparan? Pasti tidak, kalian sudah selalu kenyang dengan apa yang kalian makan. Memikirkan orang kelaparan akan menjadi konyol bagimu, bukan? Tapi kali ini dengarlah aku, aku butuh kalian. Aku tak ingin kain kafan dari sutra untuk kawanku, aku hanya ingin ia menghadap Tuhan dengan layak. Lalu biarkanlah jiwa kecilnya tenang tertidur tanpa harus melihat kawannya yang pontang-panting mencari segenggam uang untuk membayar tempat peristirahatannya dari surga sana. Kau pasti bisa membantuku kan?
Ini hanya cerita pendekku. Kuharap kau tidak hanya menangis, karena ini bukan sekedar tontonan yang membuatmu miris. Ini kenyataan, hati yang tersayat ini adalah luka nyata yang dipahat indah dalam dinding derita.
Semoga ibamu tak ikut tergerus komersialisasi rasa.
0 respons:
Post a Comment