Monday, October 6, 2014

Embun dari Hati Assyifa (Part. 7)

| |

“Oh, jadi dia anak Manajemen….” Gumam Dhea saat tau Angga mengajaknya ke kampus manajemen untuk menemui Syifa.

“Lagian lu mau ngapain sih pake acara pengin kenal ama Syifa segala?” tanya Angga yang masih belum mengerti isi pikiran Dhea.

“Syifa tuh calon istri Adit, gw cuma pengin tau dia doank. Ya, untung-untung kalau bisa kenal. Gw kan bisa nitipin Adit secara langsung ke dia sebelum gw pergi.” Dhea tersenyum kecil.

“Yang bilang lu bakal pergi siapa sih?” Angga malah balas mendelik, kesal juga dia mendengar nada bicara Dhea yang putus asa itu.

Dhea mengangkat bahunya.

“Mana Syifa, lu bohong ya ama gw?” tanya Dhea yang mulai jengkel karena sejak tadi belum juga melihat Syifa.

“Tanya ama gw, emang gw bodyguardnya? Lu nyuruh gw kenalin ama Syifa ya gw ajak lu kesini. Orang gw cuma taunya ini doang tentang dia.” Angga santai saja menanggapi kejengkelan Dhea.

“Gak ada kemungkinan tempat lain dimana Syifa ada?”

“Gw gak tau.” Angga berbohong. Ia tau jika ada kemungkinan Syifa sedang berada di base camp teater, salah satu unit kegiatan Mahasiswa yang diikuti Syifa. Tapi Angga tak ingin kesana. Angga berpikir alasan Dhea untuk bertemu dengan Syifa juga tidak masuk akal. Angga tau benar Syifa masih mencintai Adit dan menyerahkan seseorang yang dicintai karena keadaan bukanlah hal mudah dan menyenangkan. Angga tak ingin melihat Syifa sedih, dalam hati Angga terus berharap agar Dhea tak bertemu Syifa hari ini. kalaupun itu memang tetap akan terjadi, maka bukan di depan matanya.

Angga membuka ponselnya yang bergetar, sebuah sms.

From: Adit
Lu lagi dimana sekarang, gw di kampus abis dari perpus nih. Lu di base camp kagak? Kalo iya gw susulin lu.

Angga berbinar, merasa Tuhan sudah menolong posisinya yang tidak aman dengan menhadirkan Adit di kampus saat ini.

Ya, gw d-kampus. Lu ke base camp aja. Gw kesitu bentaran.

“Dhe, Adit di kampus. Nungguin gw di base camp, kesana yuk!” ajak Angga sambil memasukan ponselnya ke saku celana.

“Adit? Lu bohongin gw? Adit kan gak ada kuliah hari ini.”

“Abis pinjem buku ke perpustakaan.”

Dhea mengangguk.

“Mau kesana gak? kalau gak, gw tinggal nih!!” Angga beranjak dari duduknya, menuruni beberapa anak tangga. Sedangkan Dhea yang ditinggal langsung mengejar Angga di belakangnya.

“Kok lu ada disini, Dhe?” tanyaku terkejut saat melihat Dhea datang bersama Angga.

Dhea hanya tersenyum, membuatku semakin penasaram. Aku memandang Angga, berharap mendapat jawaban yang memuaskan darinya. Sama saja, Angga malah menggunakan bahas isyarat yang lebih sulit kupahami. Ia hanya mengankat bahu tanpa mengatakan sepatah katapun. Aku sebenarnya masih penasaran, tapi aku tak peduli. Angga dan
Dhea sepertinya hendak merahasiakan sesuatu dariku untuk yang kedua kalinya.

Aku menyusul Angga masuk ke base camp, sementara Dhea masih asyik berdiri di taman kecil depan base camp. Aku mengamati Dhea dari balik jendela tanpa ia sadari. beberapa saat lamanya aku mengamati, dan nampaknya ia masih belum sadar juga bahwa ada dua mata yang sedang mengawasinya, mataku. Angga mengibaskan tangannya di hadapan wajahku, membuyarkan semua hal yang sedang kupikirkan, segala hal yang pernah kulewatkan bersama gadis di taman itu seketika seperti terlepas begitu saja dari otakku.

“Kenapa? Gak berani ngedeket sama Dhea? Takut ketahuan Syifa?” Angga meledekku.

Aku mendengus sebal, “Kenapa harus takut? Syifa gak disini kan?”

Angga terbahak, “Jadi, maksud lu kalau Syifa disini lu baru ngerasa takut, gitu?”

“Ya gak, lagian kenapa gw harus takut? Syifa juga udah tau semuanya tentang gw ama Dhea.”

“Dan apa dia juga tau kalau lu masih cinta ama Dhea?” Angga ternyata masih saja belum puas meledekku.

“Sok tau lu!!” jawabku sengit.

“Emang gw tau.” Angga mulai asyik memainkan mouse komputer di hadapannya.

“Darimana lu tau kalau gw masih cinta ama Dhea? Gw sendiri aja gak tau sekarang perasaan gw ama Dhea gimana.”

“Maksud lu?” kali ini malah Angga yang nampak bingung dengan jawabanku.

“Ya…dulu gw emang cinta ama dia. Tapi sejak dia mulai nyuekin gw sejak beberapa bulan yang lalu, gw juga mulai ngerasa datar aja ama dia. Udah gitu ditambahin dia mutusin gw.”

“Jadi kenapa lu malah mutusin buat tetep ada disamping Dhea sekarang?”

“Kayak lu mungkin, kita sahabat dari dulu dan mungkin untuk saat ini, itu alasannya kenapa gw masih care ama dia. Kayak lu juga, gw takut kehilangan sahabat gw.” Aku kembali menatap Dhea melalui jendela kaca yang nampak sedikit kotor itu.

“Jadi lu udah gak cinta ama Dhea?” pertanyaan Angga seolah ingin menegaskan jawabanku.

“Gw gak ngerti harus ngomong apa tentang perasaan gw sekarang ini. yang jelas, emang udah beda. Udah gak kaya dulu lagi.”

“Yah…gw paham alasan lu.” Angga memaklumiku, “Lu gak niat nemenin Dhea diluar?”

“Harus?”

“Ya…gak juga sih, terserah lu aja.”
Kami terdiam beberapa saat, Angga asyik dengan komputer base campnya dan aku juga masih asyik menikmati wajah Dhea dari balik jendela.

“Kenapa gak masuk, Dhe?” tanyaku sekedar basa-basi. Akhirnya aku memang memutuskan melakukan apa saran Angga. Keluar, menemui Dhea dan menemaninya. Yah, sekarang aku tak tau seberapa lama lagi aku bisa bersamanya, jadi rasanya bukan hal yang salah jika aku ingin memanfaatkan waktu yang masih ada untuk bisa bersamanya.

“Aku tadi dari kampus Ekonomi.” Dhea mulai bercerita.

“Ngapain?” tanyaku penasaran.

“Pengin ketemu Syifa aja sih sebenernya.” Dhea tersenyum.

“Oh… terus ketemu gak?” entah kenapa aku malah sama sekali tidak terkejut mendengar jawaban Dhea yang baru saja ia lontarkan.

“Gak… apa hari ini dia gak ada kelas?”

Aku terdiam, berpikir sebentar, “Ada sih, tapi ntar sore kok. Mau aku temenin ketemu Syifa? Sekalian aja biar aku kenalin.” Aku menawarkan. Rona wajah Dhea seperti terkejut, mungkin ia tidak mengira aku akan mengatakan seperti apa yang baru saja kukatakan itu.

“Boleh…kenapa gak?” aku melihat Dhea sedang mencoba bersikap sebiasa mungkin. Aku tahu itu sulit. Aku tahu jelas masih ada cinta untukku dimatanya, bahkan dihatinya. Seandainya ia tidak perlu menjauh dariku saat itu, seandainya ia tidak perlu berpura-pura tak memiliki perasaan padaku dan mengatakan putus dan seandainya aku tidak perlu bertemu dengan Syifa….mungkin sekarang perasaanku padanya tidak sedatar ini. Syifa datang disaat aku merasa hampa dengan kecuekan Dhea, Syifa datang mengisi kekosonganku yang sudah kehilangan harapan atas cinta Dhea.

“Oke…besok Syifa libur kerja. Gimana kalau kita makan siang bertiga?” aku memberi ide.

“Oke…” Dhea tersenyum, kali ini aku benar-benar tak tahu apa yang sedang ia sembunyikan dibalik senyumnya.

**************************

Sudah dua malam ini aku tidak menjemput Syifa pulang dari tempat kerjanya, dua hari itu aku memang masih bimbang dengan perasaanku. Antara Syifa dan Dhea, mereka semua cantik dengan kebaikannya masing-masing. Aku hanya sedikit menyesalkan sikap Dhea yang kuanggap salah. Apapun alasannya, aku hanya berharap kejujuran dalam sebuah hubungan, keterbukaan. Aku bukan lagi anak kecil yang bisa kapan saja diajak main petak umpet. Dhea berkata ia tidak ingin membebaniku dengan kejujurannya tentang penyakit leukemia yang dideritanya. Lalu kalau begitu, apa gunanya aku? Aku ingin menjadi jiwa yang bisa diajak berbagi penderitaaannya, aku ingin menjadi hati yang bisa diajak saling bertukar rasa dengannya, aku tidak ingin hanya menjadi seonggok daging berjalan yang ada di sampingnya tapi sama sekali tidak tahu apa-apa sedikitpun tentangnya. Bukan, bukan itu yang aku inginkan. Aku merasa dibohongi, aku merasa tak dianggap oleh Dhea, tapi sisi hatiku yang lain juga mengerti alasan Dhea.

“Maaf ya, kemarin-kemarin aku gak jemput kamu.” Kataku sambil menyerahkan helm milikku yang biasa ia kenakan.
Syifa tersenyum anggun, “Gak apa-apa kok, santai aja. Lagian aku masih bisa pulang sendiri kok.” Jawabnya lembut, benar-benar tidak ada sedikitpun kemarahan yang tersirat dari ucapannya.

“Udah makan malam?” tanyaku sambil melihat jam tangan.

“Tadi si udah, tapi udah lapar lagi nih…” Aku senang, Syifa yang awalnya kukenal begitu tertutup mulai bisa bersikap terbuka padaku.

“Kita makan dulu ya, aku juga belum makan.”

Syifa mengangguk.

Aku dan Syifa berjalanan menyusuri jalanan yang masih nampak ramai walaupun cuaca malam ini memang sedikit lebih gelap karena mendung. Berbeda dengan pertama kali aku mengantarkan Syifa pulang, kali ini banyak hal yang bisa aku perbincangkan dengannya sepanjang perjalanan. Syifa ternyata jauh lebih cerewet dari yang aku kira. Tapi aku suka, ia tidak hanya menceritakan segala hal yang menyenangkan, tapi juga beberapa hal menyedihkan yang dia alami. Beberapa saat aku bisa terdiam ketika ia menceritakan kematian Ayah dan Ibunya karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu, tapi kemudian aku akan tertawa saat dia bercerita tentang ketololannya saat awal-awal bekerja di kantor Ayahku dulu.

Aku menghentikan motorku tepat di sebuah rumah makan yang memang searah dengan rumah Syifa. Aku memesan tiga paket makanan menu utama untuk dibungkus. Malam ini aku ingin berkenalan dengan Arfan, adik laki-laki Syifa yang saat ini masih duduk di SMP. jadi aku putuskan untuk makan di rumahnya. Syifa mengiyakan keinginanku. Seandainya malam ini aku menjemput Syifa dengan mobilku, mungkin aku bisa mengajak adiknya untuk keluar dan makan malam. Tapi itu tidak mungkin ku lakukan sekarang.

 Di rumah Syifa aku berkenalan dengan Arfan, adik laki-laki Syifa itu ternyata memiliki banyak persamaan denganku. Kami sama-sama suka sepak bola dan membaca komik. Aku bahkan berjanji padanya untuk memberikan beberapa koleksi komik milikku, aku juga mengajaknya main ke rumahku untuk bisa melihat pertandingan tim sepak bola favorit kami, AC Milan. Aku senang, saat bisa merasa dekat dengan Arfan. Adik dan sekaligus satu-satunya keluarga Syifa.

“Fa, besok kita makan siang bareng ya.” Kali ini hanya ada aku dan Syifa, kami duduk bersama di teras rumahnya, sementara Arfan sedang mengerjakan PR di kamarnya.

“Boleh…” jawab Syifa.

“Tapi gak cuma kita berdua, gak apa-apa?” aku mulai merasa hatiku berdegup kencang. Aku bingung bagaiamana harus mengatakan tentang Dhea, tapi aku memang sudah berniat menceritakan semuanya pada Syifa. Apapun yang terjadi.. Dhea bisa saja kehilangan aku karena ketertutupannya, tapi aku tak ingin kegilangan Syifa karena hal yang sama. Meskipun hasilnya aku akan tetap kehilangan Syifa setelah aku jujr, tapi aku harap perasaanku akan jauh lebih baik kalau aku bisa mengatakan semuanya pada Syifa langsung dari mulutku.

“Ada siapa? Angga?” Syifa menebak-nebak.

“Bukan…Dhea.” Perasaanku semakin tak karuan saat menyebut nama Dhea, bukan karena aku masih mencintainya, tapi karena aku takut akan seperti apa reaksi Syifa setelah mendengar nama itu.

Tanpa kuduga, Syifa malah tersenyum padaku, “Ya gak apa-apa lah, aku juga pengin kenalan kok sama Dhea. Oh ya, jadi kamu udah tau Dhea sakit apa?” kali ini aku benar-benar tak mengerti, Syifa yang semula kupikir akan marah malah justru makin membuatku terpesona dengan kedewasaannya.

Aku mengangguk, “Udah…” dan entah bagaimana, ceritaku tentang Dhea meluncur dengan sendirinya. Aku tak takut lagi menyebut nama Dhea, dan Syifa juga masih tak sedikitpun menyiratkan kemarahan atau kejengkelan di wajahnya.

“Kasihan ya, Dhea.” Ucap Syifa prihatin setelah aku menceritakan semua tentang Dhea.

Aku mengangguk.

“Kamu yang sabar ya, berdoa aja biar Tuhan ngasih kekuatan buat Dhea dan Dhea juga diberi kesembuhan buat penyakitnya. Tapi aku kagum loh sama Dhea, dia tegar.” Syifa memang benar-benar berbeda, dan aku sama sekali tak menyesal sudah mencintainya.

“Yah, dia emang cewek yang kuat.”

“Kamu temenin Dhea, aku rasa dia butuh kamu.”

“Kamu gak ngerasa jealous atau cemburu gitu?” aku mulai khawatir. Kali ini aku benar-benar tidak bisa membedakan apa Syifa dewasa, atau ia memang tidak mencintaiku.

“Kenapa juga harus jealous atau cemburu?” tanggapan Syifa yang cuek malah makin membuatku tak tenang.

“Tapi….kita?” aku mulai kehabisan kata-kata.

Syifa tersenyum, “Apa? Pacaran?” pertanyaan syifa masih terdengar cuek dan membuatku benar-benar kesal.

Aku mengangguk.

“Justru karena kita pacaran dan aku tahu kalau kamu cinta sama aku, aku gak jealous. Aku ngerti kok, Dhea mungkin pernah jadi cewek kamu, tapi dulu dan sekarang, dia sahabat kamu kan? Aku gak mau misahin sahabat dan dengar keadaan Dhea dari kamu, aku tahu Dhea jauh lebih butuh kamu sekarang, jadi apa salahnya? Aku percaya sama kamu, seenggaknya setelah kamu certain jujur semuanya tentang kamu dan Dhea, aku yakin kamu juga bisa aku percaya untuk menjaga hati aku. Gak ada yang perlu aku khawatirin dan Dhea, gak ada yang perlu aku cemburuin dari dia.” Syifa berkata lembut tanpa menghilangkan senyum manis dari wajah ayunya yang berkerudung itu. seketika, rasa kesalku berbalik menjadi cinta yang luar biasa. Ia berbeda, dan aku makin yakin jika aku sangat mencintainya.

********************

Seperti rencana semalam, aku menjemput Syifa di rumahnya siang ini. setelah itu, kami baru akan menjemput Dhea ke rumahnya.

“Kamu cantik banget, Fa. Pasti karena yang mau jemput juga cakep ya?” aku meledek Syifa.

“Ihh, PD banget. Bukannya aku emang cantik tiap hari ya?” Kali ini Syifa malah kePD’an. Aku tersenyum kecil.

“Pantes aja aku suka.” Gumamku lirih sambil membuka pintu mobil untuknya.

“Apaan?” Aku tahu Syifa hanya berpura-pura tidak mendengar ucapanku barusan.

“Ada deh….” Kataku sebelum menutup pintu mobil.

Jalanan kota terasa panas siang ini. tapi aku dan Syifa seperti tak merasakan hal itu. Kami terus saja asyik bercanda sepanjang perjalanan. Aku juga menceritakan lagi semuanya tentang Dhea. Kini aku merasa senang, Syifa sudah tahu segalanya tentang aku dan Dhea, dan dia sama sekali tidak berubah. Tidak ada lagi yang Syifa tidak tahu tentang aku dan Dhea, ia sudah tahu semuanya. Aku mengatakan apa yang membuatku tidak nyaman dengan Dhea, aku juga mengatakan jika aku tak ingin Syifa melakukan hal yang sama.

Kami sampai di rumah Dhea, aku memencet tombol bel di samping pintu. Syifa berdiri di sampingku. Lama, tak ada yang datang membukakan pintu. Aku menatap Syifa, kali ini ia yang memencet tombol bel. Syifa tersenyum merasa menang saat terdengar suara kunci pintu dibuka dari dalam. Pembantu Dhea yang membukakan pintu, tapi wajahnya nampak panik.

“Den Adit, gak ada orang di rumah, Den.” Ucap si Bibi dengan wajah paniknya.

Aku menatap Syifa bingung, Syifa juga, “Lo, Bi, emang pada kemana?” tanyaku, tanganku memegang pundak si Bibi agar ia merasa sedikit lebih tenang.

“Non Dhea…Non Dhea…” Bibi tak melanjutkan kata-katanya, sepertinya ia malah bingung karena paniknya.

“Dhea kenapa, Bi?” aku sedikit meninggikan nada bicaraku, kali ini aku malah ikut , panik. Aku khawatir sesuatu yang buruk menimpa Dhea. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya.

“Tenang, Dit…” Syifa berkata lembut, aku tahu ia sedang mencoba menenangkanku. Aku menarik nafas panjang, berusaha mengontrol dan kembali mengendalikan emosiku. Aku tak ingin merepotkan Syifa dengan menyuruhnya menghadapi suasana panik seperti saat ini.

“Dhea kenapa, Bi?” kali ini Syifa yang bertanya. Sekali lagi, suara lembutnya membuat aku jauh lebih tenang.

“Non Dhea…Non Dhea…masuk rumah sakit lagi. Tadi dia kejang-kejang, mimisan juga…”

Syifa menatapku, “Kita ke rumah sakit sekarang.”

Aku mengangguk, kami berjalan cepat menuju mobil.

Kepanikan benar-benar menjalar di seluruh tubuhku saat ini, aku benar-benar takut. Kemarin Dhea masih nampak baik-baik saja meskipun wajahnya memang terlihat sedikit pucat. Aku menyalakan mesin mobilku, tapi tiba-tiba aku teringat Angga, ia pasti belum mendengar kabar ini. aku menelepon Angga dan benar saja, ia belum tahu keadaan Dhea saat ini. aku menyuruhnya ke Rumah Sakit dan aku akan menyusul bersama Syifa.

Sesampainya di rumah sakit aku dan Syifa segera menuju Ruang Gawat Darurat, disana sudah ada Diaz, Tante Indah dan Om Bayu yang terlihat sangat cemas. Angga belum sampai ternyata. Aku menghampiri Diaz yang terduduk lemas, sementara Om Bayu sibuk menenangkan Tante Indah yang terus menangis. Diaz memandangi Syifa beberapa saat, ia kemudian menatapku.

“Ada apa sama Dhea, Yaz?” tanyaku setelah duduk di sampingnya.

“Gw gak tahu…” jawab Diaz lemah.

Aku terdiam memandangi syifa, dia mencoba tersenyum dan menyuruhku untuk tetap tenang dan tak lupa berdoa. Aku bersyukur ada Syifa di sampingku, dia yang mampu membuatku merasa tenang.

Angga datang tergopoh-gopoh. Ia langsung menghampiriku, tapi seketika ia menjadi begitu diam saat melihat kami yang semuanya sedang cemas. Angga bahkan tak berani bertanya apapun pada kami. tidak padaku, Syifa atau bahkan Diaz. Ia hanya terduduk lemas di sampingku tanpa suara. Sedangkan Tante Indah saat ini malah sudah menangis di pelukan Syifa.

Dokter keluar dari ruangan dan kami semua langsung memberondongnya dengan pertanyaan seputar keadaan Dhea.

“Apa yang tim dokter khawatirkan benar-benar terjadi, kemoterapi yang sudah beberapa kali kita lakukan dulu akhirnya mulai mendapatkan reaksi dari tubuh Dhea  Obat yang selama ini kita suntikan saat kemoterapi kedalam tubuh Dhea mulai ditolak. Kanker Dhea benar-benar sudah makin parah. Sel kanker itu sudah menjalar hampir di seluruh tubuhnya.”
Penjelasan Dokter membuat Tante Indah semakin terisak, sedangkan aku memandang tajam kearah Diaz.

“Berapa kali Dhea sudah melakukan kemoterapi??!!” tanyaku sedikit membentak.

Syifa menenangkanku, tapi aku sudah benar-benar marah. Aku merasa sangat dibohongi. Kemarin aku berpikir kepergian Dhea ke Singapura adalah pengobatan dan sekaligus kemoterapi pertamanya. Tapi aku salah, bahkan saat aku merasa Dhea sudah jujur padaku, dia juga belum menceritakan semuanya. Aku benar-benar kecewa.

Diaz tak menjawab pertanyaanku, ia malah ikut menyusul Mama dan Papanya memasuki ruangan serba putih itu. Aku dan Syifa berjalan paling belakang dan aku benar-benar terkejut saat melihat Dhea terbaring lemah dengan segala alat-alat kedokteran yang aku tidak tahu apa saja itu. wajah Dhea benar-benar pucat, bahkan kepalanya juga sudah tanpa rambut.

“Di Singapura kemarin itu kemoterapi keenamnya Dhea.” Pelan, Diaz membisiki itu di telingaku.

Bersambung…..

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba