Aku diam, langkah kakiku berhenti di bibir pintu, kembali menatap
pemandangan yang membosankan di ruang tamuku, padahal aku baru saja
pulang ke rumah. Mereka hanya sejenak melirik ke arahku, tapi ternyata
kehadiranku benar-benar sudah tak ada artinya lagi. Ayah dan Ibuku
bahkan tak bisa berhenti bertengkar di hadapanku.
“Kok lu balik lagi, Dit?” tanya Angga, saat melihat aku kembali lagi ke rumahnya.
“Capek
gw di rumah, bokap ama nyokap berantem mulu.” Jawabku cuek sambil
langsung merebahkan tubuhku di kasur Angga, tempat tidurku semalam.
Tidak, bukan hanya semalam, karena aku jauh lebih sering tidur disini
daripada di tempat tidurku sendiri di rumah. Beberapa bulan terakhir ini
keluargaku mulai terasa membosankan. Nyokap bokap yang selalu berantem
dan jarang di rumah, sedangkan aku hanya satu-satunya anak mereka yang
merasa kesepian.
“Hem….capek juga gw denger cerita lu.”
Gumam Angga sambil menyalakan notebooknya dan aku hanya bisa tersenyum
miris saat matanya melirikku.
“Hari ini lu ada kuliah kan,
Dit?” kali ini wajah Angga sama sekali tidak memandangku. Ia sudah
mulai asyik berselancar di dunia maya sambil bermain game yang entah
apa.
“Males gw.” Jawabku tak bergairah.
Angga
tak merespon ucapanku lagi barusan, jawaban itu mungkin sudah mulai
terbiasa ia dengar. Sejak ketidaknyamanan yang kerap kali terasa di
rumahku, aku benar-benar menjadi pemalas yang enggan melakukan segala
hal.
*********************
Malam ini,
seperti biasanya aku keluar bersama Angga. Menikmati salah satu diskotik
malam, tapi karena pikiranku yang kacau, akhirnya kuputuskan untuk
keluar saja dari diskotik itu. Angga bilang disana aku akan melupakan
semua masalahku, tapi ternyata tempat itu malah hanya membuatku makin
galau. Hingar bingan musiknya serta orang-orang yang….ah, sudahlah. Aku
mengendarai motorku dengan santai sambil sesekali bernafas panjang
menikmati udara malam.
Aku masih berjalan santai saat
tiba-tiba sebuah mobil menyalipku, mobil Ayahku. Hah,,,jadi waktu
selarut ini dia juga masih ada diluar rumah? Tunggu…aku juga melihat
wajah perempuan dari spion kirinya. Perempuan berjilbab yang tak mungkin
Ibuku. Aku menjejjeri mobil Ayahku, memaksa mobilnya minggir ke tepi
jalanan. Mobil Mercedes Benz silver itu menurut dan segera meminggir,
aku juga turun dari motorku. Tanpa peduli apapun, aku membuka salah satu
sisi pintunya dan menarik si perempuan itu keluar dari mobil. Ayah
sempat membentakku, tapi aku tak peduli. Aku menatap wajah gadis di
hadapanku. Gadis yang cukup cantik dengan balutan jilbab biru yang
hampir menutupi separo tubuhnya.
“Copot jilbab lu kalo
hidup lu cuma jadi simpanan Om-om!!!” aku menggertak gadis yang kini
berdiri di hadapanku. Pipinya memerah, matanya juga.
“Adit!! Apa-apaan kamu?!!”
Aku
tersenyum sinis “Apa-apaan, Pah? Papah yang apa-apaan!!!” Aku memandang
mata Ayahku dengan kemarahan yang sudah benar-benar di puncaknya.
Sejenak, lalu mataku kembali menatap tajam gadis berjilbab biru itu.
“Oh, jadi dia yang udah bikin Mama sama Papah berantem??”
“Ini
tidak seperti yang kamu kira, Adit!” kali ini suara bentakan Ayahku
sudah tak sekeras sebelumnya, tapi kemarahan dan emosiku masih sama
sekali belum padam. Jangankan padam, aku malah merasakan emosiku yang
makin memuncak.
“Maaf Mas…ini tidak seperti yang Mas
kira….” Kalimatgadis itu menggantung, tapi aku merasa apa yang aku lihat
sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Apa
lagi yang dilakukan mereka malam-malam gini? Laki-laki dan perempuan?
Aku sendiri berharap isi otakku juga salah, tapi rasanya tidak.
“Pergi
lu!!!” aku mengusir gadis itu. rasanya akan sangat tidak gentle bagiku
jika aku terus memarahi dan mendelik kepada seorang perempuan.
Gadis
itu pergi bersama taksi yang kebetulan lewat dan aku sendiri juga
langsung pergi meninggalkan Ayahku yang masih terkejut dengan apa yang
baru saja kulakukan.
********************
“Apa lu bilang? Cewek berjilbab?” Angga tertawa setelah mendengar ceritaku.
“Iya…parah kan?” aku masih kesal mengingat peristiwa semalam.
Tawa
Angga malah makin keras “Cewek berjilbab bukan garansi, Dit.” Angga
malah meledekku. “Tapi harusnya lu tanya dulu ama bokap lu,
jangan-jangan dia malah mau dijodohin ama lu. Tu cewek mau buat lu
kali?” Gelak tawa Angga makinkeras lagi, aku malah jadi bertambah kesal.
“Apaan sih lu?!! Buat lu aja tuh cewek!!” Aku meninggalkan Angga yang masih belum berhenti tertawa, Angga mengejarku.
“Santai Sob… lu jangan kayak cewek lagi haid gitu donk!!!” Angga masih saja tak berhenti mencandaiku.
“Ke perpus yuk!! Tugas Bu Diana harus kelar besok!” ucapku datar, aku hanya ingin mengalihkan perhatian Angga dari tertawanya.
Angga nyengir seperti tahu maksudku, tapi ia juga mengiyakan ajakanku.
*******************
“Gak!!!
Gw yakin cewek itu yang gw lihat ama bokap gw semalem!!” aku mencoba
meyakinkan Angga. Tadi aku sempat melihat wajah gadis itu di
perpustakaan kampus, ternyata dia adalah mahasiswi kampus ini.
“Lu
yakin? Assyifa? Sob…semua orang tahu dia kayak apa. Gak mungkin….”
Angga masih tak percaya padaku, padahal rasanya tadi pagi dia masih
mengatakan “Hari gini, jilbab bukan garansi.” Huh,, mahluk satu ini
benar-benar tak bisa kupahami jalan pikirannya.
“Jilbab bukan garansi.” Aku mendelik kesal.
Angga mendengus kesal, “Itu mungkin berlaku buat cewek lain, tapi gak buat Assyifa!!” tanpa kuduga, Angga malah membentakku.
Aku tersenyum sinis menanggapi teriakannya barusan “Lu suka ama tu cewek? Segitunya banget. Santai aja kali…”
“Gw emang gak kenal dia, tapi gw cukup tahu siapa dia. Dan lu tahu apa? Dia emang bikin gw kagum.”
Kali ini aku tertawa, “Kagum? Dimana? Di tempat tidur?” aku makin sinis.
“Jaga
mulut lu!! Gw akan buktiin ke lu kalo Assyifa gak serendah apa yang lu
pikir.” Angga akhirnya berlalu meninggalkanku sendirian.
Huh,,,apa
saat ini aku benar-benar sendiri? Semalam aku baru saja bertengkar
daengan Ayahku, dan siang ini aku juga ditinggal sahabatku. Tapi aku
masih tak mengerti apa yang membuat Angga begitu ngotot membuktikan
Assyifa tidak seperti yang kupikirkan. Semoga dia berhasil meyakinkanku
yang sudah terlanjur tak percaya dengan gadis itu.
********************
Angga duduk disisi tempat tidurku, aku sendiri masih asyik di depan layar notebook sambil menyelesaikan salah satu tugas kuliah.
“Assyifa kerja jadi cleaning service buat biayain sekolah adiknya. Mereka anak yatim.” Ucap Angga tiba-tiba.
“Hubungannya ama gw?” tanyaku acuh tanpa memandang Angga sedikitpun.
“Dia kerja di perusahaan bokap lu!!!” entah kenapa tiba-tiba nada suara Angga meninggi.
Aku menghentikan jariku yang sejak tadi asyik bercinta dengan tombol keyboard. Aku memutar kursi dudukku menghadap Angga.
“Hebat juga dia, jadi itu caranya ngedeketin bokap gue?”
“Gw heran sama lu, bisa gak sih berhenti mikir jelek ama Assyifa?”
“Kalo
lu bisa buktiin ke gw, gw bakal berhenti. Puas lu?” kubiarkan Angga
duduk sendiri di kamarku, sedangkan aku yang merasa lapar berlalu ke
dapur.
“Lu ikut gw malam ini dan gw buktiin ke lu!!!” aku
tak peduli ajakan Angga, aku masih asyik melanjutkan gigitan di roti
tawar yang baru saja kuolesi selai itu. Tanpa menjawab ajakan Angga aku
berlalu meninggalkan dia ke kamar.
*******************
“Lu
ngapain sih ngajak gw ke kantor bokap gw?” tanyaku malas, aku tak tahu
apa yang Angga lakukan. Angga menarik tanganku dan terus memaksaku
keluar dari kemar menuruti keinginannya untuk menyaksikan bukti tentang
Assyifa.
“Lu lihat sendiri ntar!” jawab Angga sambil menyalakan rokoknya.
Aku
menurut saja, berjalan menyusuri semua ruangan kantor yang sudah mulai
sepi. Hanya beberapa orang yang masih terlihat berlalu lalang. Angga
mengajakku ke ruangan pantry dan disana aku melihat Assyifa, gadis yang
beberapa hari lalu benar-benar membuatku naik darah.
“Ini
yang lu bilang bukti? Lu cuma suruh gw malam-malam gini ke kantor bokap
gw buat ngeliat dia?” sinis dan skeptis. Kali ini aku bahkan menganggap
Angga sudah mulai tak waras, atau ia hanya sedang tidak sadar?
Aku
benar-benar marah kali ini, Angga sudah keterlaluan. Dia bahkan
mengajakku keluar di malam selarut ini hanya untuk melihat sesuatu yang
sangat tidak penting. Assyifa…dia sungguh merepotkan.
Aku
sedang memakai helmku saat tiba-tiba aku melihat Assyifa bersama seorang
laki-laki yang masih memakai seragam cleaning service. Aku masih
berpikir sinis dan hampir saja tidak peduli. Tapi sisi hatiku yang lain
memaksa aku mendekat kearah mereka dan mendengarkan apa yang sedang
mereka bicarakan. Aku baru saja akan medekat kea rah mereka, tapi
langkah kakiku terhenti saat kulihat ternyata mereka juga berjalan kea
rah tempat parkir. Si laki-laki itu memarkirkan motornya tak jauh dari
motorku, Assyifa sama sekali tak mengenali aku. Samar-samar aku
mendengar obrolan mereka.
“Kamu bener mau pulang sendiri?” tanya si laki-laki berwajah putih dan sedikit berjenggot itu.
“Iya Mas…” jawab Assyifa, suaranya terdengar lembut saat ini.
Si
laki-laki yang tak ku kenal itu tersenyum, “Trauma ya gara-gara kemarin
ketahuan anaknya si Bos? Aku belum punya anak kok.” Sepertinya
laki-laki itu sedang meledek.
Assyifa tersenyum dan entah
ada apa, senyumnya terlihat manis malam ini. aku mulai ada yang salah
dengan mataku. Gadis yang kemarin terlihat sangat menyebalkan, kali ini
benar-benar terlihat cantik dan anggun.
“Iya Mas, nanti
jadi fitnah. Kemarin anaknya Pak Yoga marah banget, Mas. Padahal, aku
kan cuma mau diantar ke ruamah karena udah malam.”
Apa?
Daun
telingaku seketika melebar mendengar kalimat terakhirnya. Jadi itu yang
ingin angga buktikan? Itu yang ingin Angga ceritakan padaku? Jadi
kemarin itu…
“Ya udah, kalo gitu kamu hati-hati kalo mau
pulang sendiri.” Kalimat itu adalah ucapan terakhir si laki-laki yang
tak lama kemudian berlalu dengan motor maticnya.
Aku
terpaku, duduk di jok motorku. Sementara Assyifa juga berlalu
meninggalkan tempat parkir dan berdiri menunggu taksi di pinggir jalan.
Entah saraf apa yang menyuruhku saat itu, tapi kemudian aku dan motorku
menghampiri Assyifa.
Assyifa kelihatan terkejut melihatku yang
berhenti tiba-tiba di hadapannya. Dari jarak sedekat itu, Assyifa juga
baru bisa mengenaliku setelah aku membukan helm yang kukenakan.
“Ikut gw!!” aku menyuruhnya naik di belakangku.
“Ada
apa, Mas?” suaranya bergetar, ia malah seperti sedang ketakutan.
Mungkin dia sedang berpikir kalau aku hendak menculiknya karena masih
marah atas peristiwa beberapa malam yang lalu itu.
“Lu mau
pulang kan? Gw anter!” aku melunakan sedikit nada bicaraku agar dia
tidak ketakutan, tapi wajahnya masih terlihat ragu dan khawatir.
“Udah, gak usah takut!! Gw anter lu nyampe rumah!!”
Dengan
langkah yang sedikit ragu Assyifa akhirnya duduk juga di belakangku.
Aku menyerahkan helm yang tadi digunakan Angga kepadanya. Perjalananku
bersama Assyifa hanya dipenuhi kebisuan. Tak ada suara, hanya desiran
angin dan dinginnya malam yang mengiringi perjalanan kami. aku sendiri
bingung harus mulai darimana untuk menciptakan obrolan yang mengasyikan
dengan gadis yang belum sepenuhnya ku kenal itu.
Bersambung…..
Monday, October 6, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 respons:
Post a Comment