Friday, October 3, 2014

LOVE IS SOMETHING HARD FOR UNDERSTAND (Part. 3)

| |

"Bagaimana? Kamu suka?" Tanya Indra yang masih melihatku mengunyah rica-rica buatannya.

Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya, "Tolong ambilkan air, ini benar-benar pedas." Aku mengipas-ngipas mulut dengan tanganku.

Indra segera mengambilkan air untukku dari dalam lemari esnya. Kulihat jelas ia sedang menahan senyum saat matanya menatapku menghabiskan segelas air dingin yang baru saja berpindah dari tangannya.

"Ini pedas, tapi enak." Aku malah menyendoknya lagi.

"Terus, bagaimana dengan sotonya?" tanyaku sambil mengunyah rica-rica di dalam mulutku.

"Itu mudah, aku sudah mempersiapkan bahan untuk sambalnya kemarin. Paling hanya tinggal merebus bihun, menggoreng ayam dan menyiapkan kuahnya."

"Oh..." aku menggumam sambil tetap menikmati rica-rica buatannya.

Indra menatapku, tangannya dilipat di depan dadanya dan ia menyadarkan badannya di kitchen set dapurnya, "Aku tidak mengira, Azvin memilih perempuan hobi makan sepertimu. Pantas saja kamu kelihatan gemuk."

Aku terbatuk, "Apa aku kelihatan gemuk?"

Indra tertawa, "Kali ini kamu menanyakan badanmu, sedangkan tadi baru saja kamu menikmati makanan seolah-olah sama sekali tidak ada masalah dengan berat badanmu. Kamu ini aneh."

Aku duduk kembali di kursi ruang makannya, menyangga dagu dengan kedua tanganku.

Indra duduk menyebelahiku, "Tidak, aku hanya bercanda. Mau membantuku membuat cheese cake?"

Aku mengangguk senang, melupakan ucapannya tentang kegemukan dalam sekejap. "Bukannya dari tadi aku juga membantumu?"

"Yeah, lumayan membantu membersihkan piringku dan memasukan isinya ke perutmu. Mau kusewa menjadi pembersih piringku?"

Aku mengerucutkan bibirku, Indra tertawa lagi melihat tingkah konyolku.

"Kapan kamu akan menemui Azvin, ia pasti sangat ingin bertemu denganmu." kataku sambil membantunya menyiapkan bahan-bahan strawberry cheese cake yang akan kami buat.

"Apa dia pernah menceritakan aku kepadamu?" Indra menaruh beberapa butir telur di samping mixer yang baru saja ia ambil.

"Sebenarnya tidak, tapi aku yakin dia pasti masih mengenangmu." Aku tersenyum.

"Mungkin iya, mungkin juga tidak." Indra membalas senyumku. "Mungkin aku tidak terlalu penting untuk diceritakan."

"Pasti tidak seperti itu. Oh iya,kamu masak sebanyak ini, berapa hari kamu menghabiskannya?"

"Apa kamu berniat membantuku menghabiskannya?"

"Apa itu perlu? Jika iya, aku tidak keberatan." Aku tertawa.

"Malam ini beberapa temanku kemari, salah satu dari mereka baru saja menyelesaikan pendidikannya di Cambridge. Yah, semacam reuni sederhana. Kamu mau ikut?" Indra memberiku tawaran menarik.

"Apa tidak apa-apa, aku kan tidak mengenal mereka." Aku sedikit ragu untuk mengiyakan ajakan Indra.

"Kamu bahkan juga tidak mengenalku diawal pertemuan kita, tapi kamu langsung memaksaku menandatangani perjanjian. Mungkin kamu bisa memaksa teman-temanku untuk memberikan jatah makanannya padamu nanti?"

Aku mencubit keras lengan Indra, ia mengerang kesakitan. "Apa aku benar-benar terlihat rakus?"

Indra terkekeh mendengar pertanyaanku, ia mengusap lengan bekas cubitanku tadi. "Tidak, kamu hanya terlihat bahagia saat makan."

Aku terdiam, sedikit tidak menduga ucapan yang barusan dikeluarkan Indra. Ucapan yang tidak pernah dikatakan Azvin, bagaiamana Indra bisa tau hal semacam itu? Aku bahkan baru mengenalnya kemarin.

Suara lagu westlife dari ponselku membuatku terbangun dari lamunanku. Aku menatap layar handphone dan menatap Indra bergantian. Indra menatapku dengan alis terangkat, seolah bertanya "Siapa?"

"Azvin." Tanganku menunjukan layar handphone ke arahnya.

"Jawab saja, tapi jangan katakan kamu sedang bersamaku."

"Itu tidak bagus, kamu mengajariku berbohong. Benar-benar pengaruh buruk." Ucapku sambil meninggalkan dapur.

"Hai manajer, ada yang bisa saya bantu?" Aku mengawali obrolan di telepon dengan sedikit gurauan.

"Bisakah kamu memberi tahu saya apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" Azvin membalas gurauanku.

"Aku sedang membuat cheese cake. Aku harap itu makanan pertama yang akan kamu coba setelah nanti kamu turun dari pesawat."

"Kamu serius?" Tanya Azvin terdengar tidak yakin.

"Yah, kamu harus lihat hasilnya nanti. Aku belajar dari...." aku menggantung kalimatku dan menggaruk kepala bagian belakangku yang tidak gatal, "Dari resep, seseorang menuliskan resepnya." sambungku sedikit gugup.

"Seseorang? Apa aku tau siapa?" Azvin penasaran.

"Kamu tidak akan tau, aku juga tidak mengenalnya."

"Lalu bagaimana bisa?" Azvin keheranan.

"Yah, bukankah sudah sangat biasa seseorang menuliskan resep di internet atau di majalah?"

"Oh... aku kira itu orang yang kukenal. Kamu sudah makan?"

"Sudah. Kamu sedang apa sekarang?"

"Aku baru sampai di hotel, aku ingin beristirahat sebentar."

"Kalau begitu, istirahatlah. Jangan lupa makan." Aku mengingatkan.

"Ya, terima kasih. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa." Aku langsung menutup teleponnya. Aku yakin Azvin pasti sedang bertanya-tanya mengapa aku lupa dengan kebiasaanku. Memberikan kecupan di akhir obrolan kami di telepon.

"Apa itu bukan jenis dari berbohong?" Tanya Indra sambil mencampurkan bahan-bahan untuk membuat cheese cake di mixer bowl.

"Aku rasa tidak, kamu memang menuliskan resep untukku, kan? Dan lagi, aku hanya mengatakan wajar seseorang menulis resep di majalah dan internet. Aku tidak menyebutkan kalau aku mengambil resep dari sana."

Indra tersenyum kecil, "Apa kamu selalu menjadi putri yang berkelit seperti ini? Di bagian itu mungkin kamu tidak berbohong. Tapi mengatakan tidak mengenalku? Apa kamu memakan makanan milik seseorang yang tidak kamu kenal?"

"Seharusnya kamu berterima kasih kepadaku karena menolongmu menyukseskan rencanamu untuk memberikan kejutan." Ucapku sambil memperhatikan adonan yang sedang dikocoknya.

"Terima kasih banyak, Nona." Indra mengoleskan sedikit adonan ke pipiku.

Aku tidak bereaksi atas apa yang baru saja Indra lakukan. Tanganku meraih keran air dan membersihkan wajahku yang sedikit kotor, kemudian kuambil tisu untuk mengeringkannya.

"Jangan berharap hari ini kita akan melakukan hal konyol ala drama-drama televisi." Ucapku sambil melemparkan bekas tisu ke tong sampah.

"Tenang, aku tidak akan menggunakan hal-hal semacam itu untuk membuatmu terpesona." Indra memasukan adonan ke dalam cetakan bulat.

"Apa kamu sedang berusaha membuatku terpesona?"

Indra tertawa, "Jangan GR, tidak baik mencuri pacar sahabat."

"Everything is fair in war and love."
"Kamu bahkan pandai mengutip kata-kata dari film. Apa kamu ingin aku mengambilmu dari Azvin?" Indra membasuh tangannya dengan air.

Aku terdiam, tidak menduga ucapan itu akan keluar dari mulut Indra. Jelas aku tau ia hanya sedang bergurau, tapi entah kenapa aku merasa ada yang berbeda denngan hatiku.

"Apa sudah selesai? Mana mango smothiesnya?" Aku menuntut janjinya sekaligus mencoba menutupi keterkejutanku barusan.

"Itu hanya minuman, aku ingin membuat kuah sotonya dulu." Ucap Indra ringan tanpa tau apa efek ucapannya tadi dihatiku.

Indra begitu terampil di dapur, alih-alih membantunya aku malah hanya melihatnya melakukan segala aktivitas itu. Ada sedikit kekaguman yang sempat muncul dihatiku, melihat laki-laki seperti dia bisa memasak entah kenapa itu terasa luar biasa. Diam-diam hatiku membandingkan ia dengan Azvin. Kekasihku itu jelas bukan pakar masak, ia bahkan nyaris tidak akan punya waktu untuk melakukan hal-hal semacam itu.

"Kamu tidak bekerja di hari Jum'at?" Aku membuka lemari es, menggapai sebuah apel merah yang terlihat segar.

"Aku hanya bekerja dari senin hingga kamis. Jum'at dan sabtu sesekali untuk lembur."

"Menyenangkan sekali itu. Azvin bekerja hampir setiap hari kerja dan lembur di akhir pekan. Ia bahkan pernah mengajakku ke Lombok tapi melupakanku karena pekerjaan disana, seolah-olah ia lupa kalau aku juga datang bersamanya."

"Apa kamu berpikir kalau aku juga seorang manajer?"

Aku menelan apel yang sudah sempat kukunyah didalam mulutku, "Bukankah kamu memang seorang manajer?"

Indra tersenyum kecil, tidak memberikan jawaban apapun untuk pertanyaanku.

Aku melompat ke belakang saat mendengar suara minyak meletup-letup karena daging ayam yang baru saja dimasukan Indra ke dalam wajan.

Aku mengobrol banyak hal dengan Indra, bergaurau dan meledeknya beberapa kali. Kami menghabiskan waktu hampir setengah hari di dapurnya. Jam menunjukan pukul lima sore saat semua makanan siap.

"Aku mau mandi dulu, silahkan nonton TV atau apapun yang ingin kamu lakukan. Anggap saja rumah sendiri." Indra meninggalkanku sendirian, aku mematung di dapurnya beberapa saat. Dapur sudah rapi, Indra ternyata orang yang sangat memperhatikan setiap detail hal-hal yang dikerjakannya. Ia bahkan tidak menyisakan kekacauan apapun di dapurnya setelah apa yang dilakukan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika itu dapurku dan aku baru saja memasak. Kurasa, dapurku akan lebih menakutkan dari Hiroshima dan Nagasaki setelah terkena serangan bom.

Aku berjalan pelan menyusuri bagian-bagian apartemen Indra. Dapurnya memang menggunakan konsep yang simpel, walaupun jelas aku tau semua peralatan yang ada disana tidak murah. Aku berjalan ke ruang televisi, ada satu set drum di sudutnya dan beberapa foto yang dipajang rapi di dindingnya. Indra saat masih berseragam SMA bersama seorang laki-laki yang kurasa itu Azvin karena wajahnya memang mirip Azvin. Lalu Indra bersama dua orang yang kupikir itu adalah ayah dan ibunya. Aku menjelajah setiap potret-potretnya, mataku kemudian menatap sedikit lebih lama pada rangkaian potret yang diletakan dalam bingkai indah. Disusun rapi di satu meja yang terlihat lebih istimewa dari meja lain, Indra dan seorang perempuan. Mereka sama-sama tersenyum, sama-sama terlihat bahagia. Itu pasti Gatha, mantan kekasihnya yang baru meninggalkannya dua bulan lalu.

Tanpa sadar aku menguap, mataku benar-benar terasa berat. Kubaringkan badanku di sofa empuk yang menghadap TV, lalu meraih remote dan menyalakannya. Beberapa kali aku mengganti channel, mencari acara yang layak kutonton. Beberapa tahun terakhir ini banyak sekali acara-acara komedi yang tidak mendidik, jangankan merasa terhibur saat melihatnya, aku malah lebih suka mengganti ke channel lain.

Indra menggunakan saluran TV berlangganan, aku beralih ke channel-channel internasional dan menonton sebuah fashion show yang disiarkan ulang. Fashion show yang unik, kadang aku tidak habis pikir dengan para desainer internasional, menciptakan pakaian-pakaian yang pasti tidak akan bisa kukenakan dimanapun. Rok yang mengembang, topi dengan bulu-bulu yang mencuat berlebihan atau pakaian dengan aksen-aksen yang aneh. Bahkan rasanya aku masih harus berpikir dulu jika seseorang mau membayarku untuk memakainya. Beberapa saat lamanya aku menikmati acara pagelaran busana itu, hingga akhirnya aku benar-benar mengantuk dan tertidur begitu saja.

*************************

Aku menggeliat, berusaha menangkap nyawaku yang belum terkumpul. Setengah terbuka mataku melihat jam dinding di ruangan itu sudah menunjukan pukul 07.15. Aku memandang berkeliling, tapi sama sekali tidak melihat sosok Indra. Aku mengubah letak bantal untuk menyandarkan bahuku, melipat selimut yang tentu saja diberikan Indra saat aku tertidur tadi. Dengan langkah yang agak sempoyongan aku berjalan menuju kamar mandi utama yang letaknya ada diantara ruang televisi dan dapur. Kubasuh mukaku dan berkumur beberapa kali. Hatiku bertanya-tanya kemana perginya Indra, aku berjalan menuju dapur dan melihat makanan masih utuh. Teman-temannya pasti belum datang, lalu kemana Indra?

Aku berjalan kembali ke ruang televisi dengan segelas air putih ditanganku. Kembali kunyalakan televisi untuk mengusir rasa bosan karena ditinggal sendirian. Beberapa saat lamanya aku menikmati acara televisi, kudengar seseorang membuka pintu. Aku berjalan melihatnya, Indra datang dengan menenteng plastik berlabel salah satu nama departement store ternama.

"Kamu sudah lama bangun?" Indra mengacuhkanku dan kemudian meletakan sweater yang baru saja dipakainya begitu saja.

"Kamu darimana?" Tanyaku tanpa menatap Indra, konsentrasiku malah memaksaku menatap kantong plastik yang baru saja diletakkan Indra di sofa.

"Pakai baju itu, kamu harus mandi sebelum menemui teman-temanku. Aku membeli beberapa, cobalah semua. Aku tidak tau pasti ukuranmu, hanya sedikit menebak-nebak." Ucap Indra yang sedang berdiri di samping meja makan.

Apartemen Indra memang hanya terdiri dari beberapa ruangan. Satu kamar tidur, ruang televisi, ruang makan dan dapur tanpa pembatas apapun. Sederhana memang, tapi selera Indra membuatnya jadi luar biasa.

Aku membuka kantong plastik yang memang dari tadi mencuri perhatianku. Sebenarnya aku sudah berencana marah padanya saat melihat ia pulang dengan kantong plastik itu. Kupikir ia tuan rumah yang tidak sopan, meninggalkan tamunya hanya untuk berbelanja.

"Kamu membelikanku semua ini?" Aku nyaris tidak percaya. Celana jeans, t-shirt, cardigan, semuanya ada disana. Benar-benar seperti apa yang kupakai hari ini. Indra bahkan tidak hanya membeli satu disetiap itemnya.

"Kamu berlebihan." Aku menatap Indra yang kali ini sudah berdiri di belakang sofa tempatku duduk.

Indra menyerahkan handuk putih kepadaku, "Tidak masalah, aku hanya tidak ingin kamu malu dengan pakaianmu. Mandilah, kamu terlihat seperti pengemis."

"Kamu selalu berlaku baik, tapi kemudian mengejekku habis-habisan. Kamu harus memeriksakan diri ke psikiater, aku rasa kamu berkeperibadian ganda," Aku mengambil pakaian yang ingin kupakai, dan berlalu meninggalkannya ke kamar mandi.

"Mandilah di kamar mandi kamarku, aku hanya menyediakan sabun pembersih dan hand wash dikamar mandi itu."

Aku menurut, kuputar badanku dan berjalan menuju kamar Indra. Kamar satu-satunya di ruangan apartemen ini, jadi aku tidak perlu meyakinkan dengan bertanya padanya apa itu kamarnya, lagipula Indra sudah asyik dengan acara kartun klasiknya. Benar-benar laki-laki yang aneh.

Kamar Indra, jauh berbeda dengan kamarku yang berwarna cerah. Ia memilih warna abu-abu untuk wallpaper kamarnya, sprei dan bed cover dengan warna senada. Sebuah lampu dinding unik menempel di salah satu sudutnnya. Kamar yang sekaligus merangkap ruang kerjanya, ada laptop dan kamera DSLR diatas mejanya. Rasa ingin tau seperti mendorongku menghampiri mejanya, melihat gambar-gambar di memori kameranya. Tapi aku berbalik lagi, dia bukan Azvin. Aku tidak perlu banyak tau tentangnya.

Indra masih asyik nonton kartun saat aku selesai mandi, aku duduk di samping Indra. Ia menatapku sekilas, lalu asyik lagi dengan kartunnya.

"Terima kasih." Tanganku memperbaiki handuk yang kini kugunakan untuk menutupi kepalaku.

"Sama-sama." Jawab Indra tanpa memandangku.

"Mana teman-temanmu, kenapa mereka belum datang?"

Indra melihat arloji di tangannya, "Mungkin sebentar lagi."

Kami berdiam diri beberapa saat, Indra sangat menikmati hiburannya dan aku yang awalnya terpaksa menontonnya juga mulai bisa menikmatinya. Kami masih saling diam ketika seseorang diluar membunyikan bel.

"Itu pasti mereka." Indra berbicara sendiri sambil beranjak dari duduknya.

Beberapa orang teman Indra masuk, dua perempuan dan dua laki-laki. Indra mengenalkannya padaku, Nathan dan pacarnya Feny lalu Ricky dan Celia. Indra bercanda bersama mereka, sedangkan aku hanya diam saja, benar-benar kaku.

"Zy, tolong lepas handuk di kepalamu. Aku terus berpikir buruk tentang Indra karena itu." Ricky meledekku diikuti tawa yang lainnya. Bola mataku naik, yah... aku bahkan sama sekali tidak mengingat itu masih ada di kepalaku.

"Jangan berpikir begitu, dia kekasih sahabatku." Ucap Indra kepada sahabatnya yang baru saja mendapatkan gelar magisternya di Cambridge itu.

Aku meninggalkan mereka untuk menaruh handuk yang tadi kupakai, lalu kembali lagi. Kekakuan mulai mencair, mereka orang-orang yang cukup menyenangkan. Kami mengobrol beberapa lama, Ricky begitu bersemangat menceritakan tentang Negara yang baru saja ditinggalkannya dan bagaimana ia jungkir balik menghadapi sidang akhir thesisnya. Pada akhirnya Feny membuka tas dan mengeluarkan DVD film komedi yang baru saja dibelinya beberapa hari lalu. Saking sibuk dengan pekerjaannya, ia belum sempat menonton. Feny memberi saran untuk menonton film ,kami semua langsung setuju. Kami membuat suasana benar-benar seperti di bioskop. Indra menyiapkan beberapa minuman kaleng dari lemari esnya dan Celia mengeluarkan sncak yang sengaja dibelinya sebelum kemari. Lampu dimatikan dan memaksimalkan sound televisi. Nathan duduk di karpet dan Feny berbaring di pangkuannya. Celia duduk bersebelahan dengan Ricky dan aku duduk disamping Indra.

"Aku lupa kapan terakhir menonton film bersama Azvin." Bisikku pelan di telingan Indra.

Indra menatapku dalam kegelapan, "Kalau begitu, nikmatilah malam ini dengan teman-teman barumu."

Aku kembali menyandarkan tubuhku di sofa seperti semula. Sejenak aku mengingat Azvin dan memikirkan apa yang sedang ia lakukan disana. Kulirik layar ponselku, Azvin tidak menelepon dan tidak ada sms apapun darinya. Aku menyimpan lagi ponselku, lalu mulai mencoba menikmati filmnya. Aku menguap lagi, merasa heran juga dengan diriku sendiri. Penyakit akhir pekan. Padahal aku belum lama bangun dari tidur, kenapa sudah menguap lagi?

Tanpa kusadari Indra mengulurkan tangannya di belakang kepalaku, perlahan ia membawa kepalaku bersender di bahunya. Aku sedikit kaget, tapi tidak menolak. Keanehan muncul lagi dihatiku, tapi aku menampiknya. Perlahan rasa kantukku menghilang karena film komedi yang kami tonton. Kami tertawa terbahak-bahak beberapa kali bahkan hingga film itu selesai.

Jam menunjukan pukul sepuluh malam. Indra mengajak mereka makan. Tanpa menunggu instruksi apapun, aku beranjak ke dapur lebih dulu untuk mempersiapkan semuanya.

"Zy, ini kamu yang masak?" Tanya Feny saat melihatku menyajikan makanan dan merapikan piring di meja makan.

Aku tersenyum kecil, "Bukan aku, Indra yang memasak. Aku bahkan hanya melihat saja."

Feny mengambil sendok dan mencicipi sedikit rica-rica yang sudah kusajikan.

"Enak, Indra masih sama seperti dulu." Ucap Feny, ia melangkah mendekat ke sisiku.

"Mana pacarmu?" Feny menarik kursi dan duduk di sebelahku.

"Di Singapura, sedang ada urusan." jawabku singkat tanpa memandangnya.

"Kamu suka Indra?"

Aku tersenyum kecil, "Terlalu awal untuk itu, aku baru mengenalnya kemarin dan aku sudah punya enam tahun hubungan."

"Jangan naif. Enam tahun pacaran tidak akan memastikan kalau hubunganmu dan dia akan baik-baik saja. Indra itu mempesona." Feny mendekatkan bibirnya ke telingaku saat membisikan kata-kata terakhirnya.

Sesaat aku menatap dia dengan aneh, tapi kemudian tersenyum kecil. "Tapi pasti Nathan jauh lebih mempesona."

"Yah, dia membuatku merasa sempurna." Feny tampak bahagia dengan ucapannya barusan.

"Hai, makanan siap. Ricky, kamu rindu makanan Indonesia? Indra menyiapkan ini untukmu."

Ricky berjalan menuju meja makan diikuti Nathan dan Indra, sementara Celia asyik berbaring di sofa dengan i-padnya.

"Waw, ini luar biasa." Ricky memandang takjub makanan diatas meja. Ia lalu berjalan menghampiri Indra yang berdiri di sampingku. "Seandainya kamu ini Celia, kucium saat ini." Bisik Ricky pelan, tapi semuanya masih mendengar dan tertawa kecil. Sedangkan Celia yang sedang asyik dengan gadgetnya sama sekali tidak menyadari apa yang sedang kami tertawakan.

"Ini bukan makan-makan terakhir, kan?" Tanya Nathan sambil memindahkan potongan strawberry cheese cake ke piring kecilnya.

"Maksudmu?" Indra tidak paham apa maksud pertanyaan Nathan, begitu juga aku dan mungkin yang lainnya.

"Yah, aku harap akan ada pesta semacam ini untuk meresmikan hubungan kalian." Nathan menatapku dan Indra bergiliran.

Celia berjalan mendekat ke arah kami, masih tetap dengan i-pad di tangannya.

"Aku lapar." Celia tersenyum girang saat melihat makanan yang tersaji di meja.

"Ayo makan." Indra terlihat berusaha mencairkan suasana antara aku dan dia yang sempat menjadi sedikit aneh karena gurauan Nathan.

Kami berenam makan bersama, suasana yang benar-benar menyenangkan meskipun ledekan Feby, Nathan, Celia dan Ricky kadang membuat aku dan Indra diam selama beberapa saat. Tapi itu sama sekali tidak mengurangi keramaian dan keasyikan yang ada. Aku benar-benar menikmati suasana ini. Suasana yang sangat jarang aku lakukan, terakhir makan-makan seperti ini bersama teman-teman kerjaku dan Azvin kemarin malam. Itu juga tidak semenyenagkan ini. Entah apa, entah kenapa bersama Indra dan kawan-kawannya aku seperti menemukan duniaku yang pernah hilang. Aku menatap Indra dan teman-temannya satu persatu. Feby sangat terlihat bahagia dengan Nathan, pasangan yang lebih terlihat seperti sahabat lama. Feby benar-benar apa adanya di hadapan Nathan, begitu juga Celia yang tetap terlihat sangat dicintai Ricky meskipun kelemotannya sulit kupahami. Bagaimana bisa perempuan seperti Celia berpacaran dengan Ricky yang cerdas itu? Tapi itulah cinta, dan mereka benar-benar serasi dan saling melengkapi.

Jam menunjukan puku 11.30 malam saat Indra dan teman-temannya masih asyik bercerita, entah cerita apa yang ada diantara mereka. Semuanya terlihat sangat menikmati malam ini. Celia sudah tertidur pulas di kamar Indra, sedangkan aku masih mengobrol dengan Feby.

Feby melepaskan ikatan rambutnya yang asal-asalan, bersiap untuk tidur. Aku sedikit heran, kupikir mereka akan menghabiskan satu malam ini dengan penuh pesta, ternyata tidak sama sekali. Bahkan aku mengagumi Ricky, beberapa tahun ia tinggal di Negeri orang tapi ia sama sekali tidak terpengaruh kehidupan malam disana.

"Kamu belum mengantuk?" Feby baru saja keluar dari kamar mandi.

Kepalaku menggeleng.

"Kenapa? Ada masalah?" Feby seolah tau apa yang sedang kupikirkan.

Aku tersenyum kecil, "Tidak ada."

"Kamu gak akan butuh waktu lama untuk jatuh cinta dengan Indra. Atau, sekarang kamu sudah merasakan keanehan itu?" Feby menebak-nebak. Ia membaringkan tubuhnya dan menarik selimut menutupi badan hingga dadanya.
Celia membuka matanya sedikit dan menggeliat pelan.

"Apa kami mengganggumu?" Tanyaku merasa tak enak.

"Tidak, aku hanya haus." Ujar Celia bangun dari tidurnya, baru saja ia hendak meninggalkan tempat tidur, Ricky membuka pintu.

Aku memandang Celia dan Ricky dengan pandangan heran. Apa mungkin sekuat itu ikatan batin antara mereka? Entahlah, mungkin aku sedang terlalu berlebihan.

Aku menyingkir dari sisi Celia saat dan mempersilahkan Ricky duduk di sampingnya.

"Mau kuambilkan minum?" Aku memberikan tawaran.

"Tidak perlu, aku yang akan mengambilkannya." Ricky tersenyum dan mengalihkan pandangan pada kekasihnya, "Apa kamu haus?"

Celia mengangguk, tangannya sibuk merapikan rambut.

Aku beranjak meninggalkan kamar, kulihat Feby sudah memejamkan mata. Aku begitu iri melihat ia bisa dengan mudah tertidur.

Ruang televisi gelap, tapi aku masih bisa melihat Nathan dan Indra disana dari cahaya televisi yang sedang memutar entah film apa.

"Apa Feby sudah tidur?" Tanya Nathan begitu aku duduk menyebelahi Indra.

"Ya, dia benar-benar membuatku iri karena bisa tidur semudah itu."

Nathan tertawa kecil. "Dia itu bisa tidur di segala tempat, bahkan tempat paling buruk sekalipun."

Aku dan Indra tertawa mendengar lelucon kecil Nathan, ia bangkit dari duduknya dan ikut memasuki kamar Indra.

Aku memandang Indra dalam kegelapan, ia juga memandangku.

"Mau kunyalakan lampunya?" Indra khawatir aku merasa tidak nyaman.

Aku menggeleng, "Tidak usah."

"Kamu mau kuantar pulang?"

"Apa kamu menginginkan aku pulang?" Entah bagaimana pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.

Krek...

Aku dan Indra menoleh bersamaan, seseorang menutup pintu kamar Indra pelan. Kami saling berpandangan lagi dan tertawa bersamaan.

"Mereka aneh, kan? Aku yakin, mereka pasti benar-benar mengira ada sesuatu diantara kita. Abaikan saja." Indra mengambil minuman kaleng di hadapannya.

"Kamu mau pulang?" Indra mengulangi pertanyaan yang belum sempat kujawab tadi.

Aku menggeleng.

"Tidurlah di kamar, kuantar pulang besok pagi." Pandangan Indra tetap tertuju pada layar televisi.

"Apa aku harus memasuki kamar yang berisi dua orang pasangan seperti orang bodoh?"

Indra melirik pintu kamarnya, dan kembali memandangku.

"Kalu begitu, tidurlah disini." Indra bangun dari duduknya dan meletakan bantal untuk alas kepalaku.

"Tidak bisakah kamu tetap duduk disini?" Aku sedikit memohon. Aku benar-benar tidak mengerti suasana hatiku hari ini. Otakku nyaris sama sekali tidak bisa mengendalikan kata-kata yang keluar dari mulutku. Sepertinya, seluruh organ tubuhku sudah enggan bekerja sama.

Indra memandangku dengan tatapan tak mengerti, tapi akhirnya ia duduk lagi. Aku meletakan bantal diatas paha Indra dan merebahkan kepalaku disana.

Suasana hening untuk sesaat, dialog film hanya menjadi suara yang bisa terdengar diantara kami.

"Aku tidak mengerti ada apa dengan hari ini...." kalimatku menggantung. 

Indra masih diam, menunggu aku menyelesaikan ucapanku.

"Aku bahagia, sangat bahagia."

Indra masih tidak menyahut. Matanya memandang lurus ke arah televisi.

"Apa kamu selalu seperti ini? Apa ini yang dulu membuat Gatha jatuh cinta padamu?"

Indra menunduk menatapku.

"Apa yang sedang kamu bicarakan sebenarnya?" Nada suara Indra terdengar datar.

Aku menghela nafas.

"Kamu membuatku merasa berbeda, aku merasa tidak lagi kesepian, aku merasa apa yang hilang dari dalam diriku kembali, aku begitu lepas dan terbuka padamu, aku senang bisa kekanak-kanakan, kamu memanjakanku hari ini. Sesuatu yang lama tidak aku dapat dari Azvin."

"Mungkin ini bukan tentang cinta seperti yang kamu pikir. Mungkin ini hanya kebetulan. Yah, kehadiranku datang kebetulan saat kamu sedang membutuhkan seorang teman karena kesepianmu. Jangan terburu-buru tentang cinta."

Aku menatapnya dalam-dalam, "Apa kamu sama sekali tidak merasakan  bahagiaku?"

Indra tidak langsung memberikan jawaban, ia terdiam beberapa saat.

"Aku menikmati hari ini. Keceriaanmu membuat ruangan ini kembali terasa hidup setelah kepergian Gatha. Aku senang bercanda denganmu, aku senang bisa sedikit mengejekmu dan melihat reaksimu, kamu terlihat lucu." Ia tersenyum penuh makna sambil menatapku, aku membalasnya dengan senyuman kecil.

"Jujur dari awal pertemuan kita, aku sudah bahagia. Kamu benar-benar apa adanya. Aku sengaja menggunakan segala yang bermerek hari itu. Aku ingin tau, seberapa besar kamu akan menghargaiku dari apa yang kukenakan. Sebagian orang seperti itu, dan aku hanya ingin tau seperti apa pacar sahabatku. Kamu membuatku sedikit terkejut, kamu bahkan berani membentakku di hadapan umum. Tapi aku menikmatinya. Entah, aku juga tidak paham dengan hatiku. Seandainya kita lebih awal bertemu, mungkin ceritanya akan berbeda. Aku mencoba melupakanmu, tapi ekspresi kesalmu sulit kulupakan. Aku tersenyum-senyum sendiri meskipun senyuman itu hilang seketika saat aku mengingat kamu milik Azvin."

"Apa kamu jatuh cinta padaku sejak pertama kali?" 

Indra mendesah, "Aku masih belum yakin itu cinta tapi aku ingin tau lebih banyak tentangmu."

"Apa kamu benar-benar kesepian?"

"Entahlah, mungkin diantara kesepian dan bosan. Aku sendiri tidak paham, apa yang membuatku bertahan sejauh ini dengan Azvin."

"Kamu tidak mencintai Azvin?"

"Entahlah, dulu aku pasti akan menjawab kalau aku sangat mencintai Azvin jika ada pertanyaan semacam itu. Bukan hanya kamu, untuk saat ini aku hanya akan diam penuh keraguan saat ada seseorang menanyakan itu padaku."

"Apa yang membuatmu seperti itu, apa Azvin pernah melukaimu?"

Aku menarik nafas panjang dan ceritaku mengalir begitu saja.

"Waktu itu kami baru saja merayakan anniversary kedua, semuanya masih baik-baik saja saat itu. Azvin bekerja di bagian administrasi, ia memiliki begitu banyak teman laki-laki dan perempuan. Aku tau, mudah saja baginya mendapatkan teman. Ia selalu menjadi pusat perhatian, aku jelas sangat paham pesonanya karena pesona itulah salah satu yang membuat aku jatuh cinta. Azvin semakin dekat dengan perempuan bernama Maya. Awalnya mungkin semuanya memang salahku. Saat Azvin masih dalam masa percobaan, dia mengalami beberapa kesulitan dalam pekerjaannya. Aku tau Maya, karena aku pernah bekerja disana untuk dua minggu dan kemudian keluar karena merasa tidak nyaman. Aku menyuruhnya untuk meminta tolong kepada Maya, dia menurut. Tidak kusangka, itu malah menciptakan kedekatan yang melukaiku."

Indra diam tanpa komentar, menunggu aku melanjutkan kisahku.

"Aku dekat dengan beberapa teman Azvin yang lain, mereka sudah seringkali menangkap ada keanehan antara Azvin dan Maya. Beberapa bicara padaku, yang lainnya diam karena takut melukaiku. Tapi aku tidak semudah itu goyah, aku berpikir untuk tidak perlu percaya ucapan mereka. Tapi semakin lama gosip itu semakin santer, semakin banyak yang kudengar dan semakin banyak yang membicarakannya dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan di hadapanku. Aku masih diam, tapi Azvin tidak pernah memberiku penjelasan apapun tentang itu."

Aku diam sesaat, mencoba untuk tidak menangis karena mengenang semuanya.

"Pada akhirnya aku tau, Azvin berhubungan dengan Maya lewat sms bahkan itu juga dilakukannya sembunyi-sembunyi saat ia sedang denganku. Aku marah saat itu, aku sudah tidak sanggup lagi diam. Azvin meminta maaf untuk itu, dan pertama kalinya aku memaafkan dia untuk kesalahan besar. Aku memberikan kesempatan kedua untuknya."

Mataku mendongak menatap Indra, ia memainkan jari-jarinya di rambutku.

"Pagi harinya aku mencoba mengsmsi Maya dengan ponsel Azvin, tidak ada reaksi sama sekali. Padahal, aku sama sekali tidak mengajaknya bertengkar. Justru aku menyuruhnya main ketempatku. Ia tetap saja tidak membalas, bahkan juga sama sekali tidak memberikan jawaban saat aku meneleponnya."

"Apa dalam sms itu kamu langsung mengatakan kalau itu kamu yang mengsms-i?" Indra mengusap rambutku pelan.

"Awalnya tidak, aku mengaku sebagai Azvin tapi ia juga tidak memberikan reaksi apapun. Aku benar-benar kesal sebenarnya, tapi aku masih diam. Beberapa hari kemudian dia baru berkata kepadaku kalau dia memberikan tanda untuk sms-nya ke Maya. Jadi jika bukan dia yang sms, Maya tidak akan membalas. Aku merasa bodoh, yah... mau sengotot apapun aku mengaku sebagai Azvin, itu tidak akan berguna tanpa tanda yang jadi bukti autentik itu. Tanda yang hingga saat ini hanya Azvin dan Maya yang tau. Aku bahkan sama sekali tidak berminat untuk bertanya seperti apa tanda itu."

Indra menggenggam tanganku dan tersenyum kecil, senyum dan genggaman yang seolah sedang menguatkanku.

"Kami berbaikan, aku mencoba melupakan luka pertama yang dia buat itu. Kuakui saat itu aku berubah menjadi posesif dan protektif, tapi itu semata-mata hanya karena aku tidak ingin sakit hati yang kedua kalinya. Seorang teman menasihatiku untuk tidak perlu melakukan itu karena itu malah akan membuat Azvin semakin menjadi-jadi nantinya. Bersamaan dengan itu hubungan kami memburuk, Azvin terus menerus menuntut kebebasan dariku. Kebebasan yang pada akhirnya kuberikan juga. Kedua kalinya, aku mungkin memberikan sesuatu yang tidak seharusnya kuberikan. Malam itu bersama seorang teman aku berjalan-jalan menyusuri jalanan karena ingin membeli makan. Hingga perjalanan kami terhenti begitu saja saat temanku melihat Azvin dan Maya ada disana. Tidak hanya berdua, ada seorang perempuan lagi. Perempuan yang juga teman dekat Maya. Temanku memutar balik mobilnya, berharap aku tidak melihat apa yang terjadi, tapi aku sudah melihatnya. Hanya saja, aku menghargai usaha temanku dan aku pura-pura bertanya kenapa harus putar balik."

"Kamu bahkan masih memikirkan orang lain saat hatimu kacau, aku perlu belajar banyak darimu." Tangan Indra masih mengusap-usap kepalaku. "Apa kamu meminta penjelasan pada Azvin?"

Aku tersenyum kecil, "Sama seperti sebelumnya aku tidak melakukannya. Aku masih berpura-pura semua baik-baik saja. Aku masih mencoba tertawa dan berpura-pura bahagia saat bersamanya. Hingga suatu hari ia mengajakku berbicara dan meminta kami memutuskan hubungan. Aku bertanya kenapa, dan dia menjawab rasa cintanya padaku sudah berkurang. Aku berpura-pura bodoh dan bertanya mengapa, padahal jawaban itu jelas sudah sangat terang benderang. Ia tidak menjawab kenapa. Tapi entah karena masih cinta atau sekedar gengsiku sebagai perempuan yang tidak mau kehilangan laki-laki karena dikalahkan perempuan lain, aku mempertahankannya. Sesuatu yang terlambat aku sadari, seharusnya menyerahkan pengkhianat ke tangan pengkhianat lain akan lebih baik daripada mempertahankan seorang pengkhianat."

Aku terdiam lagi...

"Sikap Azvin semakin menjadi-jadi, ia menjadikanku sasaran kemarahannya. Emosinya tidak lagi stabil, tangannya mulai ringan dan aku semakin menjadi bulan-bulanan. Bodohnya aku, aku masih terus bertahan. Aku mengorbankan segalanya, tapi emosionalnya tetap tidak terkontrol. Parahnya, ia bahkan memukuliku hanya untuk menutupi kesalahannya. Ia mulai bersikap over protektif padaku, mencemburui setiap laki-laki yang dekat denganku. Aku tau jelas itu pasti karena dirinya sendiri. Yah, dia berpikir semua laki-laki akan seperti dirinya. Atau aku yang akan seperti dirinya. Malas dengan cemburu yang tidak jelas, akhirnya aku berhenti kerja tapi entah apa yang dikatakan Maya, Azvin mengatakan aku hanya menjadi beban untuknya. Aku masih diam saat itu, aku sama sekali tidak menyadari, aku sedang mengumpulkan bom dalam diriku sendiri dengan diamku. Bom yang akan meledak kapan saja."

Aku bangun dan beranjak duduk, Indra menggeser sedikit posisi duduknya dan mempersilahkan aku meminjam bahunya untuk bersandar. Aku menyandarkan kepalaku disana, seperti semalam saat kami menonton film bersama dengan yang lainnya.

"Aku ingat benar bagaimana bom meledak malam itu. Teman dekat Maya yang bernama Susan, yang kulihat bersama temanku waktu itu meneleponku ingin menjenguk Azvin saat sakit. Aku mempersilahkannya, aku mencoba profesional tentang hatiku. Aku mencoba untuk dekat dengannya meskipun sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin kuajukan padanya. Ia sahabat Maya, orang yang jelas paling dekat dengan Maya dan tau segalanya tentang dia. Bahkan kebohongan-kebohongan Azvin dan Maya aku rasa dia juga tau. Tapi kenapa ia tetap menyembunyikannya dariku, aku benar-benar tidak habis pikir. Aku mengatakan ke Azvin agar memintanya untuk tidak menyebut nama Maya dihadapanku walaupun hanya sekali, aku akan benar-benar marah. Azvin mengatakannya dan kupikir Susan menyetujui itu karena akhirnya ia benar-benar datang. Aku menyambutnya dengan sedikit senyuman yang kuakui sebenarnya itu sama sekali tidak mencairkan sedikitpun kebekuan yang ada diantara kami. Susan datang bersama teman lelakinya yang Azvin kenal, mereka bertiga mengobrol tentang segala hal yang aku tidak tau. Aku diam saja, mereka makin mengabaikanku. Aku benar-benar dianggap tidak ada. Aku masih diam hingga telepon Susan berbunyi, ia keluar dan menjauh dariku untuk menjawab teleponnya. Dan kemarahanku meledak seketika saat ia kembali setelah menerima telepon dari Maya. Susan meminta izinku, Maya ingin datang menjenguk Azvin yang sakit. Aku benar-benar tidak habis pikir. Aku mencoba mengerti kenapa ia menutupi kesalahan Azvin dan Maya dariku. Tapi aku juga sama-sama perempuan seperti dia dan Maya, seharusnya ia memahami perasaanku juga. Aku benar-benar marah, kukatakan semua isi hatiku. Aku bahkan sempat menghujatnya sebagai perempuan yang tidak punya empati sedikitpun kepadaku. Susan ketakutan dalam pelukan laki-lakinya, sementara Azvin menenangkanku. Akhirnya, mereka pergi setelah laki-lakinya mengucapkan maaf kepadaku dan Azvin dan berkata kalau maksud Maya baik. Aku benar-benar tidak bisa memahami penjelasannya. Aku tidak tau definisi baik menurut laki-laki itu."

"Semalaman aku benar-benar marah, bahkan sempat kukatakan pada Azvin aku menyesal mempertahankannya dan ingin kami berpisah. Kami sama-sama menangis, Azvin menangis meminta maaf dan aku menangis karena tumpukan luka yang ia berikan kepadaku sekaligus itu. Malam itu aku meninggalkannya sendirian, aku menangis hampir semalaman di rumah temanku. Paginya saat aku kembali ketempat Azvin, pintunya terkunci. Lampunya gelap, aku mulai khawatir kemana Azvin pergi. Ia bukan orang yang bisa mengontrol emosinya. Aku berniat mencarinya tapi aku berpapasan dengannya di pintu gerbang. Mulutnya berbau aneh, aku tidak tau itu bau apa. Setelah kutanya, ia mengakui kalau ia minum-minuman bersama temannya selama semalaman. Aku melihatnya iba, aku takut ia hancur. Bagaimanapun, ia tidak boleh hancur karena masalahku dengannya. Aku merasa benar-benar bersalah saat itu."

"Itu bukan salahmu, kesabaranmu sudah luar biasa. Tidak semua orang sekuat kamu saat menghadapi kenyataan buruk. Azvin mungkin salah satu yang tidak kuat. Kamu tidak seharusnya merasa bersalah.

"Hubunganku membaik, Azvin masih ringan tangan meskipun tidak separah sebelumnya. Hari itu tanpa sengaja aku melihat facebook Maya dan aku tau satu minggu lagi Maya berulang tahun. Sejak hari itu aku memohon kepada Azvin untuk jangan datang ke ulang tahunnya dan Azvin mengiyakannya. Dua hari setelah ulang tahun Maya, aku kembali membuka facebook. Tidak ada niat untuk mencari tau tentang ada atau tidaknya Azvin dihari ulang tahun Maya, hanya sekedar membuka seperti biasanya. Yang kulihat sungguh diluar dugaan, foto-foto Maya dan Azvin bertebaran memenuhi halaman berandaku. Jelas aku tau dari foto itu, Azvin ada di hari ulang tahun Maya. Ternyata, perasaanku bukan hal penting lagi untuknya."

Indra memegang pipiku dengan kedua tangannya, wajahnya menhadapku. Mataku mulai berkaca-kaca mengingat semuanya. Air mataku menetes, aku benar-benar sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi.

"Cukup untuk ini, lupakan dan aku tidak mau mendengar lagi, oke?"

Aku mengangguk pelan, Indra menghapus air mataku yang menetes di pipi. Kemudian memelukku di dadanya. Aku membenamkan wajahku disana dan mulai terisak.

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba