Selama satu pekan ini begitu
banyak tayangan berita yang repot mempublikasikan dan menginformasikan
tentang nasib Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam koalisi bersama
pemerintah. Tidak hanya tayangan berita, beberapa acara diskusi publik
yang mulai tertarik masuk kedalam ranah politik juga ikut mengalami
peningkatan rating setelah mengangkat topik diskusi yang berkaitan
dengan PKS dalam tayangannya. Meskipun bukan sebagai pendukung dan
penentang PKS, saiia juga tertarik untuk mempertanyakan ada skenario dan
drama apa dibalik isu akan terdepaknya PKS dari koalisi? Lalu mengapa
hingga saat ini berita pendepakan PKS dari koalisi masih saja seperti
menjadi isu tanpa realisasi?
Penghapusan nama PKS dari koalisi mulai rame diperbincangkan saat topik kenaikan harga BBM yang ditengarai sebagai trending topik pengalih perhatian dari kasus korupsi wisma atlit oleh Nazzarudin CS muncul menjadi buah bibir dan konsumsi publik. Sikap para menteri dan anggota dewan dari PKS yang menolak kebijakan kenaikan harga BBM dianggap sebagai sebab paling mendasar akan dicopotnya jabatan menteri dari partai ini.
Bukan hal yang aneh lagi, kejadian pencopotan menteri dan penghapusan partai dari koalisi karena berbeda pendapat dengan pemerintah ini bukan untuk yang pertama kalinya. Pada masa pemerintahan Megawati, kita juga mungkin sudah pernah mendengar ada partai yang “dibebaskan” dari koalisi karena menentang kebijakan pemerintah yang saat itu akan melepaskan diri dari lembaga internasional penyuplai dana Indonesia, IMF.
Secara rasional ini memang bukan sebuah kesalahan pemerintah. Ya, karena dalam aturannya pemerintah memang berhak menghapus nama partai dan menterinya dari koalisi apabila menteri dan partai-partai yang bersangkutan tidak sepaham, sejalan, dan setuju dengan keputusan pemerintah. Pemerintah kita kan menganut teori “Kontrak koalisi”. Tapi kemudian pertanyaan yang muncul adalah “Masih relevankah aturan dan kontrak kolaisi itu dianut oleh Negara yang mengaku menggunakan paham demokrasi sebagai ideologinya?”
Dalam paham demokrasi yang sesungguhnya, setiap organisasi dan individu diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengutarakan pendapat dan keinginan. Bebas disini, bisa didefinisikan sebagai “tidak ada organisasi atau individu yang akan mendapatkan sanksi apabila ia mengeluarkan pendapatnya selama masih merunut pada UU yang berlaku dan tidak merugikan pihak manapun”.
Lalu, jika PKS mendapatkan sanksi pencoretan dari koalisi, apa itu berarti keinginan PKS menolak kebijakan kenaikan harga BBM itu merugikan pihak tertentu? Menganut demokrasi, tapi menghukum yang berbeda pendapat. Sebuah kontradiksi yang termat “unik” jika dipikir-pikir….
Secara politis, mungkin jawabannya adalah iya. Sebagai partai pro pemerintah, PKS dianggap akan merugikan pemerintah yang sangat menginginkan menaikkan harga BBM. Bukan tanpa alasan, PKS menolak kenaikan harga BBM karena memiliki alasaan logis yang jika dihitung-hitung memang masuk akal. Sejak zaman pemerintahan Soeharto, pemerintah Indonesia memang sudah selalu memberikan subsidi untuk kebutuhan BBM dalam Negeri. Saat itu mensubsidi BBM untuk Indonesia bukan hal yang sulit mengingat harga minyak dunia yang masih relative rendah jika dibandingkan dengan saat ini. Seiring dengan naiknya harga minyak dunia, pemerintah dituntut untuk menaikan subsidi BBM dalam Negeri. Anggaran APBN yang semula cukup untuk mensubsidi, juga ikut membengkak. Saat pemerintah memtuskan mengambil tambahan subsidi tersebut dengan menaikan harga, muncul reaksi yang begitu besar dari berbagai kalangan yang terinterpretasikan dalam banyaknya aksi demo. Seperti halnya PKS, aksi demo itu juga bertujuan menolak kenaikan harga BBM. Mengapa masyarakat menolak? Sependapat dengan PKS, karena kekurangan dana subsidi sebesar 55 Milyar sebenarnya bisa diambil dari sektor pajak yang mengalami peningkatan tahun ini.
Mengambil tambahan dana 55 Milyar dari sektor pajak sebenarnya sangat mudah dilakukan, tapi mengapa pemerintah enggan melakukan hal ini dan lebih memilih membebankan semuanya pada masyarakat? Ada banyak alasan yang menurut saya akan menguntungkan, entah bagi pemerintah atau bagi rakyat sendiri.
Perkembangan kepemilikan kendaraan bermotor berjalan sangat pesat, akan tetapi kita semua tentunya tahu jika pemilik kendaraan bermotor yang harganya relatif mahal tidaklah mungkin orang-orang miskin yang mendominasi warga Negara Indonesia. Kepemilikan kendaraan bermotor yang didominasi masyarakat mampu tentu saja akan menguntungkan masyarakat mampu, betapa tidak, semakin bagus suatu kendaraan maka akan semakin banyak membutuhkan bahan bakar untuk bisa mengoperasikannya. Mengapa begitu, karena dalam sebuah kendaraan yang lebih bagus, bahan bakar diperlukan lebih banyak untuk menjaga agar semua elemennya bisa bekerja. Semakin banyak BBM yang dikonsumsi masyrakat mampu, maka akan semakin banyak pula subsidi yang salah sasaran. Cukup logis untuk dicerna, maksud pemerintah menaikan BBm sepertinya ingin mencoba mengurangi subsidi yang mengalir salah ke orang-orang kaya.
Pada faktanya, harga BBM di Indonesia memang cenderung lebih murah jika dibandingkan dengan harga BBM di bebrapa Negara di Asia yang jika dirupiahkan akan mencapai angka Rp. 10.000- Rp. 15.000/ liter. Semakin murah harga BBM dalam negeri, maka pemerintah diharuskan mengucurkan dana lebih banyak untuk mensubsidi.
Lalu, dengan alibi pemerintah mengurangi subsidi “salah sasaran”, apa yang akan diterima masyarakat miskin? Jika subsidi orang mampu dicabut, bukankah wajar jika kemudian masyarakat miskin yang meminta subsidi?
Dalam sebuah Koran harian, pemerintah mengatakan subsidi yang akan diperoleh oleh masyarakat miskin sebagai kompensasi kenaikan BBM adalah:
Darimana dana yang diperoleh pemerintah sehingga bisa memberikan kompensasi seperti itu kepada rakyat miskin?
Dana pemberian kompensasi itu diberikan dari jumlah akumulatif keuntungan yang akan didapatkan pemerintah seandainya kemarin BBM benar-benar mengalami kenaikan. Jika BBM naik, pasti itu akan terjadi serentak di seluruh wilayah Indonesia. Dan mungkin, dalam beberapa hari saja setelah kenaikan BBM itu terjadi, pemerintah sudah bisa mengambil dana 55Milyar yang dibutuhkan untuk subsidi. Jika harga BBM setelah naik tidak turun lagi, maka pemerintah akan dengan mudahnya memberikan kompensasi diatas kepada rakyat miskin.
Jika memang seperti itu segi positifnya, mengapa PKS menolak kebijakan tersebut dan menjadi kontra pemerintah?
Menurut saya, PKS tidak berbeda dengan masyarakat awam pada umumnya yang memandang “miring” masalah ini. Logikanya, jika dana pajak saja masih mungkin tersisa banyak setelah diambil 55 Milyar untuk subsidi BBM, mengapa sampai saat ini masih banyak fasilitas umum yang belum juga diperbaiki? Berita tentang sekolah rusak, jalanan berlubang atau jembatan yang menyengsarakan untuk dilewati selalu ada saja setiap harinya. Bukankah semua itu bisa diperbaiki jika dana dari sector pajak saja masih surplus?
Reaksi penolakan keras yang bahkan berujung rusuh saat penolakan BBM adalah bukti ketidakpercayaan masyarakat terhadap BBM. Benarkah nantinya dana subsidi BBM yang didapatkan melalui pembengkakan harga beli BBM akan benar-benar bisa direalisasikan untuk memberikan kompensasi pada masyarakat miskin? Hmmm,,, saya rasa banyak masyarakat yang sudah tidak percaya dan akan mempertanyakan hal itu terus-menerus.
Membaca masalah ini, saya mulai melihat ada ketidakpercayaan PKS terhadap pemerintah dengan keputusan pemerintah menaikan harga BBM. Ketidakpercayaan logis apabila melihat maraknya kasus korupsi dari partai dominan yang berkuasa saat ini.
“Saya malah miris melihat para penguasa sibuk berpikir tentang koalisi dan mengabaikan urusan rakyatnya.” Ucap salah seorang menteri dari kubu PKS saat diwawancarai TV-One.
Hingga berita penghapusan nama PKS dari koalisi, partai ini masih terlihat tenang dan adem ayem saja. Satu hal yang unik dari munculnya berita penghapusan PKS dari koalisi adalah semakin eksisnya partai Golkar yang notabene adalah saingan alot Demokrat di pemilu 2014 nanti. Sebenarnya Golkar bisa saja dikoalisi jika jumlah anggotanya lebih banyak yang menolak keputusan menaikkan harga BBM, tapi sekali lagi, seperti sebuah skenariop yang tertata apik, Aburizal Bakri juga mengatur agar partainya tetap dianggap baik oleh masyarakat tanpa menghilangkan kesempatan untuk meraih kekuasaan tertinggi. Bagaimana ia mengaturnya? Dengan menyuruh sedikit dari anggotanya untuk pura-pura tidak setuju dengan kenaikan BBM.
Apa rencana Golkar? Mengapa malah partai berlambang beringin kuning ini yang rajin menggemborkan isu penghapusan PKS dari koalisi?
Sangat mudah ditebak, sebagai saingan kuat Democrat di ajang pemilu 2014 nanti, Golkar sudah sewajarnya ingin mendapatkan suara terbanyak untuk memenangkan Aburizal bakrie sebagai presiden. Jika PKS benar-benar “dibebaskan” dari koalisi, kesempatan yang tidak akan dilewatkan Golkar adalah “mengganti kekosongan menteri yang semula berasal dari PKS”.
Kenapa tidak dari partai koalisi lain?
Karena Golkar adalah pemilik kursi terbanyak kedua setelah Demokrat. Jadi, partai inilah yang berhak mengambil kesempatan pertama untuk menambah menterinya jika PKS benar-benar dikoalisi.
Taktik yang bagus bagi Golkar, meskipun sebenarnya kurang rapi menurut saya. Dengan semakin seringnya Golkar “berkicau” tentang keluarnya PKS dari koalisi, maka sebenarnya Golkar sedang menunjukan taringnya sebagai musuh dalam selimut bagi Demokrat. Berkoalisi tapi berencana mengambil posisi tertinggi. Sebuah penghancuran yang dilakukan dari dalam tubuh pemerintah sendiri.
Meskipun sedang dijadikan tumbal permainan dari politik tumbal yang tengah dilancarkan Golkar, PKS memilih diam. Entahlah, diam ini memang benar-benar karena mereka tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu.
Sikap SBY diharapkan bisa tegas untuk memutuskan masalah ini, akan tetapi sepertinya masyarakat terlalu berlebihan jika menginginkan SBY bersikap tegas. Bagaimana tidak, dulu saat masih berdampingan dengan Jusuf Kalla, SBY bahkan hanya dikenal sebagai rem atas pengambilan kebijakan yang dilakukan JK. Ironis bukan, sebenarnya presiden kita ini sanggup gak sih jadi presiden kalau keputusan saja masih Wapresnya yang memutuskan?
Ketidakjelasan sikap SBY hingga saat ini memunculkan opini baru, dalam hariannya Tempo menulis “SBY masih butuh PKS”. Apa yang masih diinginkan SBY dari PKS? Memandang dari rangkaian polemik diatas, saya mulai menduga SBY membutuhkan PKS untuk memperbaiki citranya dimata masyarakat. Jika PKS benar-benar dilepas dari koalisi karena membela rakyat yang tidak menginginkan harga BBM mengalami kenaikan, akan seperti apa masyarakat memandang dirinya dan partai superiornya ini? Ah, pemilu sudah dekat, masa iya sih mau menghancurkan nama partai sendiri?? Bukankah selama ini yang sudah2 selalu terjadi "Siapa yg dilepas dari koalisi, dialah yang akan dibela masyarakat".
Disinilah mulai terlihat kegalaun pemerintah. Menetapkan aturan yang beda pendapat harus dihapus dari koalisi, kali ini malah takut memutuskan hubungan koalisi karena beda pendapat. Aneh sekali…
Lalu mengapa PKS masih bersikap tenang saat dijadikan bagian dari permainan politik tumbal yang gencar diusung Golkar untuk meraih kekuasaan?
Hal yang dilewatkan Golkar dalam politik adalah “Lebih baik menjadi korban karena akan menarik simpati masyarakat”. Jika Golkar berpikir lagi, yang paling diuntungkan dengan kondisi ini justru malah PKS. Mengapa PKS? Karena jika PKS jadi dbebaskan dari koalisi, maka PKS akan mendapatkan simpati masyarakat dan malah nantinya bisa saja PKS yang mendapat suara terbanyak dalam pemilu 2014. Atau jika tidak dikoalisi? Tentu saja, itu berarti posisi PKS aman!!!
Lalu apa mungkin PKS yang sebenarnya menciptakan konspirasi semacam ini dan menciptakan permainan dengan "Politik tumbal"?
Entahlah, sampai disini saya belum bisa menebak ada atau tidaknya drama dibalik rentetan fakta diatas. Tapi jika memang ini konspirasi dari PKS, diluar dugaan saiia, ternyata PKS cukup cerdas memainkan peran dan membuat saiia menuduh Golkar yang memiliki “udang”. Jika benar PKS yang bermain-main disini, ini berarti PKS masih menyadari jika "DALAM DUNIA POLITIK INDONESIA, MENJADI TUMBAL AKAN LEBIH MENYENANGKAN KARENA AKAN MENDAPAT LEBIH BANYAK PEMBELAAN".
Jika benar Golkar yang memiliki skenario dibalik ini, mungkin ia akan mengatakan “Maaf, dalam politik tidak ada kawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan sejati.”
Jadi, benarkah Indonesia masih menganut paham demokrasi? Rasanya untuk hal ini perlu diatur ulang.
Nb: Ini hanya analisis saiia, setuju atau tidak terserah, hehehhee. Inilah yg saiia suka dari politik, penuh misteri. hahahhaa
Penghapusan nama PKS dari koalisi mulai rame diperbincangkan saat topik kenaikan harga BBM yang ditengarai sebagai trending topik pengalih perhatian dari kasus korupsi wisma atlit oleh Nazzarudin CS muncul menjadi buah bibir dan konsumsi publik. Sikap para menteri dan anggota dewan dari PKS yang menolak kebijakan kenaikan harga BBM dianggap sebagai sebab paling mendasar akan dicopotnya jabatan menteri dari partai ini.
Bukan hal yang aneh lagi, kejadian pencopotan menteri dan penghapusan partai dari koalisi karena berbeda pendapat dengan pemerintah ini bukan untuk yang pertama kalinya. Pada masa pemerintahan Megawati, kita juga mungkin sudah pernah mendengar ada partai yang “dibebaskan” dari koalisi karena menentang kebijakan pemerintah yang saat itu akan melepaskan diri dari lembaga internasional penyuplai dana Indonesia, IMF.
Secara rasional ini memang bukan sebuah kesalahan pemerintah. Ya, karena dalam aturannya pemerintah memang berhak menghapus nama partai dan menterinya dari koalisi apabila menteri dan partai-partai yang bersangkutan tidak sepaham, sejalan, dan setuju dengan keputusan pemerintah. Pemerintah kita kan menganut teori “Kontrak koalisi”. Tapi kemudian pertanyaan yang muncul adalah “Masih relevankah aturan dan kontrak kolaisi itu dianut oleh Negara yang mengaku menggunakan paham demokrasi sebagai ideologinya?”
Dalam paham demokrasi yang sesungguhnya, setiap organisasi dan individu diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengutarakan pendapat dan keinginan. Bebas disini, bisa didefinisikan sebagai “tidak ada organisasi atau individu yang akan mendapatkan sanksi apabila ia mengeluarkan pendapatnya selama masih merunut pada UU yang berlaku dan tidak merugikan pihak manapun”.
Lalu, jika PKS mendapatkan sanksi pencoretan dari koalisi, apa itu berarti keinginan PKS menolak kebijakan kenaikan harga BBM itu merugikan pihak tertentu? Menganut demokrasi, tapi menghukum yang berbeda pendapat. Sebuah kontradiksi yang termat “unik” jika dipikir-pikir….
Secara politis, mungkin jawabannya adalah iya. Sebagai partai pro pemerintah, PKS dianggap akan merugikan pemerintah yang sangat menginginkan menaikkan harga BBM. Bukan tanpa alasan, PKS menolak kenaikan harga BBM karena memiliki alasaan logis yang jika dihitung-hitung memang masuk akal. Sejak zaman pemerintahan Soeharto, pemerintah Indonesia memang sudah selalu memberikan subsidi untuk kebutuhan BBM dalam Negeri. Saat itu mensubsidi BBM untuk Indonesia bukan hal yang sulit mengingat harga minyak dunia yang masih relative rendah jika dibandingkan dengan saat ini. Seiring dengan naiknya harga minyak dunia, pemerintah dituntut untuk menaikan subsidi BBM dalam Negeri. Anggaran APBN yang semula cukup untuk mensubsidi, juga ikut membengkak. Saat pemerintah memtuskan mengambil tambahan subsidi tersebut dengan menaikan harga, muncul reaksi yang begitu besar dari berbagai kalangan yang terinterpretasikan dalam banyaknya aksi demo. Seperti halnya PKS, aksi demo itu juga bertujuan menolak kenaikan harga BBM. Mengapa masyarakat menolak? Sependapat dengan PKS, karena kekurangan dana subsidi sebesar 55 Milyar sebenarnya bisa diambil dari sektor pajak yang mengalami peningkatan tahun ini.
Mengambil tambahan dana 55 Milyar dari sektor pajak sebenarnya sangat mudah dilakukan, tapi mengapa pemerintah enggan melakukan hal ini dan lebih memilih membebankan semuanya pada masyarakat? Ada banyak alasan yang menurut saya akan menguntungkan, entah bagi pemerintah atau bagi rakyat sendiri.
Perkembangan kepemilikan kendaraan bermotor berjalan sangat pesat, akan tetapi kita semua tentunya tahu jika pemilik kendaraan bermotor yang harganya relatif mahal tidaklah mungkin orang-orang miskin yang mendominasi warga Negara Indonesia. Kepemilikan kendaraan bermotor yang didominasi masyarakat mampu tentu saja akan menguntungkan masyarakat mampu, betapa tidak, semakin bagus suatu kendaraan maka akan semakin banyak membutuhkan bahan bakar untuk bisa mengoperasikannya. Mengapa begitu, karena dalam sebuah kendaraan yang lebih bagus, bahan bakar diperlukan lebih banyak untuk menjaga agar semua elemennya bisa bekerja. Semakin banyak BBM yang dikonsumsi masyrakat mampu, maka akan semakin banyak pula subsidi yang salah sasaran. Cukup logis untuk dicerna, maksud pemerintah menaikan BBm sepertinya ingin mencoba mengurangi subsidi yang mengalir salah ke orang-orang kaya.
Pada faktanya, harga BBM di Indonesia memang cenderung lebih murah jika dibandingkan dengan harga BBM di bebrapa Negara di Asia yang jika dirupiahkan akan mencapai angka Rp. 10.000- Rp. 15.000/ liter. Semakin murah harga BBM dalam negeri, maka pemerintah diharuskan mengucurkan dana lebih banyak untuk mensubsidi.
Lalu, dengan alibi pemerintah mengurangi subsidi “salah sasaran”, apa yang akan diterima masyarakat miskin? Jika subsidi orang mampu dicabut, bukankah wajar jika kemudian masyarakat miskin yang meminta subsidi?
Dalam sebuah Koran harian, pemerintah mengatakan subsidi yang akan diperoleh oleh masyarakat miskin sebagai kompensasi kenaikan BBM adalah:
- Penambahan jatah raskin yang semula 12 kali dalam setahun menjadi 14 kali dalam setahun.
- Pemberian BLT dengan jumlah Rp. 150.000 yang akan didapatkan masyarakat miskin sebanyak 4 kali dalam 3 bulan.
- Perbaikan fasilitas umum seperti jalan rusak, sekolah rusak, jembatan rusak, dan segala fasilitas yang berpredikat rusak.
Darimana dana yang diperoleh pemerintah sehingga bisa memberikan kompensasi seperti itu kepada rakyat miskin?
Dana pemberian kompensasi itu diberikan dari jumlah akumulatif keuntungan yang akan didapatkan pemerintah seandainya kemarin BBM benar-benar mengalami kenaikan. Jika BBM naik, pasti itu akan terjadi serentak di seluruh wilayah Indonesia. Dan mungkin, dalam beberapa hari saja setelah kenaikan BBM itu terjadi, pemerintah sudah bisa mengambil dana 55Milyar yang dibutuhkan untuk subsidi. Jika harga BBM setelah naik tidak turun lagi, maka pemerintah akan dengan mudahnya memberikan kompensasi diatas kepada rakyat miskin.
Jika memang seperti itu segi positifnya, mengapa PKS menolak kebijakan tersebut dan menjadi kontra pemerintah?
Menurut saya, PKS tidak berbeda dengan masyarakat awam pada umumnya yang memandang “miring” masalah ini. Logikanya, jika dana pajak saja masih mungkin tersisa banyak setelah diambil 55 Milyar untuk subsidi BBM, mengapa sampai saat ini masih banyak fasilitas umum yang belum juga diperbaiki? Berita tentang sekolah rusak, jalanan berlubang atau jembatan yang menyengsarakan untuk dilewati selalu ada saja setiap harinya. Bukankah semua itu bisa diperbaiki jika dana dari sector pajak saja masih surplus?
Reaksi penolakan keras yang bahkan berujung rusuh saat penolakan BBM adalah bukti ketidakpercayaan masyarakat terhadap BBM. Benarkah nantinya dana subsidi BBM yang didapatkan melalui pembengkakan harga beli BBM akan benar-benar bisa direalisasikan untuk memberikan kompensasi pada masyarakat miskin? Hmmm,,, saya rasa banyak masyarakat yang sudah tidak percaya dan akan mempertanyakan hal itu terus-menerus.
Membaca masalah ini, saya mulai melihat ada ketidakpercayaan PKS terhadap pemerintah dengan keputusan pemerintah menaikan harga BBM. Ketidakpercayaan logis apabila melihat maraknya kasus korupsi dari partai dominan yang berkuasa saat ini.
“Saya malah miris melihat para penguasa sibuk berpikir tentang koalisi dan mengabaikan urusan rakyatnya.” Ucap salah seorang menteri dari kubu PKS saat diwawancarai TV-One.
Hingga berita penghapusan nama PKS dari koalisi, partai ini masih terlihat tenang dan adem ayem saja. Satu hal yang unik dari munculnya berita penghapusan PKS dari koalisi adalah semakin eksisnya partai Golkar yang notabene adalah saingan alot Demokrat di pemilu 2014 nanti. Sebenarnya Golkar bisa saja dikoalisi jika jumlah anggotanya lebih banyak yang menolak keputusan menaikkan harga BBM, tapi sekali lagi, seperti sebuah skenariop yang tertata apik, Aburizal Bakri juga mengatur agar partainya tetap dianggap baik oleh masyarakat tanpa menghilangkan kesempatan untuk meraih kekuasaan tertinggi. Bagaimana ia mengaturnya? Dengan menyuruh sedikit dari anggotanya untuk pura-pura tidak setuju dengan kenaikan BBM.
Apa rencana Golkar? Mengapa malah partai berlambang beringin kuning ini yang rajin menggemborkan isu penghapusan PKS dari koalisi?
Sangat mudah ditebak, sebagai saingan kuat Democrat di ajang pemilu 2014 nanti, Golkar sudah sewajarnya ingin mendapatkan suara terbanyak untuk memenangkan Aburizal bakrie sebagai presiden. Jika PKS benar-benar “dibebaskan” dari koalisi, kesempatan yang tidak akan dilewatkan Golkar adalah “mengganti kekosongan menteri yang semula berasal dari PKS”.
Kenapa tidak dari partai koalisi lain?
Karena Golkar adalah pemilik kursi terbanyak kedua setelah Demokrat. Jadi, partai inilah yang berhak mengambil kesempatan pertama untuk menambah menterinya jika PKS benar-benar dikoalisi.
Taktik yang bagus bagi Golkar, meskipun sebenarnya kurang rapi menurut saya. Dengan semakin seringnya Golkar “berkicau” tentang keluarnya PKS dari koalisi, maka sebenarnya Golkar sedang menunjukan taringnya sebagai musuh dalam selimut bagi Demokrat. Berkoalisi tapi berencana mengambil posisi tertinggi. Sebuah penghancuran yang dilakukan dari dalam tubuh pemerintah sendiri.
Meskipun sedang dijadikan tumbal permainan dari politik tumbal yang tengah dilancarkan Golkar, PKS memilih diam. Entahlah, diam ini memang benar-benar karena mereka tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu.
Sikap SBY diharapkan bisa tegas untuk memutuskan masalah ini, akan tetapi sepertinya masyarakat terlalu berlebihan jika menginginkan SBY bersikap tegas. Bagaimana tidak, dulu saat masih berdampingan dengan Jusuf Kalla, SBY bahkan hanya dikenal sebagai rem atas pengambilan kebijakan yang dilakukan JK. Ironis bukan, sebenarnya presiden kita ini sanggup gak sih jadi presiden kalau keputusan saja masih Wapresnya yang memutuskan?
Ketidakjelasan sikap SBY hingga saat ini memunculkan opini baru, dalam hariannya Tempo menulis “SBY masih butuh PKS”. Apa yang masih diinginkan SBY dari PKS? Memandang dari rangkaian polemik diatas, saya mulai menduga SBY membutuhkan PKS untuk memperbaiki citranya dimata masyarakat. Jika PKS benar-benar dilepas dari koalisi karena membela rakyat yang tidak menginginkan harga BBM mengalami kenaikan, akan seperti apa masyarakat memandang dirinya dan partai superiornya ini? Ah, pemilu sudah dekat, masa iya sih mau menghancurkan nama partai sendiri?? Bukankah selama ini yang sudah2 selalu terjadi "Siapa yg dilepas dari koalisi, dialah yang akan dibela masyarakat".
Disinilah mulai terlihat kegalaun pemerintah. Menetapkan aturan yang beda pendapat harus dihapus dari koalisi, kali ini malah takut memutuskan hubungan koalisi karena beda pendapat. Aneh sekali…
Lalu mengapa PKS masih bersikap tenang saat dijadikan bagian dari permainan politik tumbal yang gencar diusung Golkar untuk meraih kekuasaan?
Hal yang dilewatkan Golkar dalam politik adalah “Lebih baik menjadi korban karena akan menarik simpati masyarakat”. Jika Golkar berpikir lagi, yang paling diuntungkan dengan kondisi ini justru malah PKS. Mengapa PKS? Karena jika PKS jadi dbebaskan dari koalisi, maka PKS akan mendapatkan simpati masyarakat dan malah nantinya bisa saja PKS yang mendapat suara terbanyak dalam pemilu 2014. Atau jika tidak dikoalisi? Tentu saja, itu berarti posisi PKS aman!!!
Lalu apa mungkin PKS yang sebenarnya menciptakan konspirasi semacam ini dan menciptakan permainan dengan "Politik tumbal"?
Entahlah, sampai disini saya belum bisa menebak ada atau tidaknya drama dibalik rentetan fakta diatas. Tapi jika memang ini konspirasi dari PKS, diluar dugaan saiia, ternyata PKS cukup cerdas memainkan peran dan membuat saiia menuduh Golkar yang memiliki “udang”. Jika benar PKS yang bermain-main disini, ini berarti PKS masih menyadari jika "DALAM DUNIA POLITIK INDONESIA, MENJADI TUMBAL AKAN LEBIH MENYENANGKAN KARENA AKAN MENDAPAT LEBIH BANYAK PEMBELAAN".
Jika benar Golkar yang memiliki skenario dibalik ini, mungkin ia akan mengatakan “Maaf, dalam politik tidak ada kawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan sejati.”
Jadi, benarkah Indonesia masih menganut paham demokrasi? Rasanya untuk hal ini perlu diatur ulang.
Nb: Ini hanya analisis saiia, setuju atau tidak terserah, hehehhee. Inilah yg saiia suka dari politik, penuh misteri. hahahhaa
0 respons:
Post a Comment