Jam menunjukan pukul lima sore...
Aku meraih tasku, beberapa amplop berisi pekerjaan yang mesti aku selesaikan. Tidak ada pilihan lain, aku mesti membawanya pulang. Malam ini aku tidak bisa menghabiskan waktuku di kantor, ada janji dengan seseorang yang harus kutepati.
Ponselku melantukan refrain lagu seasons in the sun milik westlife, lagu yang sedang kusukai akhir-akhir ini. Yah, pada dasarnya aku memang mencintai westlife sejak kelas empat SD. Aku mengenal dan hampil hafal seluruh lagu mereka.
Sebuah pesan.
Aku di basement, be quick. I'm so hungry.
I have a nice spot for our dinner.
I have a nice spot for our dinner.
Aku tersenyum membaca pesannya, ia laki-laki yang sudah hampir enam tahun ini menghabiskan waktu denganku, Azvin.
Wait for while. I will be there soon :)
Kupercepat langkahku menuju lift. Beruntung, aku tak perlu menunggu lama untuk segera bisa menuju basement.
Azvin tersenyum kecil saat menatapku yang tampak sekali terburu-buru.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.
"Menyenangkan, hampir sama sekali tidak ada kesulitan menghubungi perusahaan itu." aku mengencangkan seat belt.
"Lega mendengarnya. Aku sedikit mendengar rumor akan ada beberapa kendala menjalin kerja sama dengan perusahaan itu."
"Sejauh ini bisa kuatasi, mungkin keberuntunganku sedikit membantu dalam hal ini." Aku tersenyum kecil.
"Oh, I know.. you are someone that called lucky girl." dia tertawa kecil.
Aku dan Azvin, kita bekerja di perusahaan yang sama. Hanya saja jabatannya sebagai manajer membuat ia tidak terlalu banyak berinteraksi denganku. Selain itu, aku memang memutuskan untuk tidak terlalu intens dengannya disaat bekerja. Aku seseorang yang sangat mudah berubah mood, jadi ketakutanku adalah saat aku tidak bisa menghandle pekerjaanku dengan baik hanya karena sedang ada masalah dengannya.
Mobil melewati jalanan yang sibuk, kemacetan membuatku menyerah dengan keadaan, karena terlalu lelah dengan pekerjaan di kantor akhir-akhir ini tanpa sadar aku tertidur. Hampir dua jam aku teridur di mobil, hingga kemudian sentuhan tangan lembut membelai rambutku, sesaat aku menggeliat sebelum akhirnya benar-benar membuka mata.
"Kita sudah sampai?" tanyaku sambil merapikan rambutku yang sedikit acak-acakan.
Azvin mengangguk, "Istirahatlah, kamu terlihat lelah." Ucapnya pelan.
Aku memandang sekeliling dan benar-benar merasa bingung.
"Bukannya tadi kamu mau ngajak aku makan malam?"
"Mungkin lain kali lebih baik, hari ini kamu terlihat benar-benar lelah. Aku bahkan harus mengeraskan sedikit mp3 playerku karena dengkuranmu." Azvin sedikit bercanda, seolah ingin ingin menghilangkan ketidaknyamananku karena mambuat acara dinner malam ini gagal. Azvin sangat sibuk, aku tau jelas itu. Ia bahkan akan sangat sulit mengatur waktu sekalipun itu untuk makan malam bersamaku. Dan aku mengacaukannya karena ketiduran. Sungguh, benar-benar keterlaluan aku ini.
"Kalau begitu, kamu turun dulu. Akan kumasakkan sesuatu untukmu." Aku melepaskan seat belt.
Azvin tertawa kecil, "Masak apa? Mie instan? Sejak kapan kamu bisa memasak?" Ia meledekku. Tangannya kembali meraih kepalaku, membawaku kedalam pelukannya. "Sudahlah, tak usah merasa bersalah, ini tidak seberapa dibanding apa yang pernah aku lakukan kepadamu. Kita bisa makan malam lain kali, kan?" Mata kami saling menatap untuk beberapa saat, aku tersenyum kecil dan mengangguk, kemudian ia mengecup keningku.
"Mungkin kamu bisa delivery order kalau benar-benar lapar nanti malam. Tolong jangan makan mie instan!" Ia sedikit mengingatkanku sebelum aku turun dari mobilnya.
Aku mengangguk, dan bergegas turun. Hari ini benar-benar melelahkan, aku ingin segera mandi dan tertidur, itu saja.
"Kamu hati-hati ya. Kalau besok sibuk, aku berangkat sendiri saja." Aku sedikit membungkukan badanku agar setara dengan jendela mobil yang terbuka.
"Oke." Ucapnya sambil menyalakan mesin mobil.
"Kamu benar-benar tidak ingin makan delivery order bersamaku malam ini?" Aku masih sedikit tidak enak hati.
"Mungkin lain kali, aku juga lelah. Kalau kamu mengizinkan aku menginap, mungkin aku bisa makan disini bersamamu." Mata nakalnya meledekku, tapi aku tau itu bukan sungguhan.
"Lupakan." Aku mendengus kesal.
"Oke, sampai besok. Banyak yang harus kuselesaikan sebelum lusa aku berangkat ke Singapura untuk urusan bisnis."
"Oke Mr, busy... take care."
"Good night, sleep well and work hard tomorrow. See you." Ucapnya sebelum akhirnya ia benar-benar membawa mobilnya pergi dari halaman rumahku.
Dan malam ini kelelahan benar-benar membuatku terlelap hingga aku melupakan segalanya. Aku tertidur begitu saja dikamarku.
Paginya, keadaan benar-benar kacau. Aku bangun kesiangan, jalanan macet seperti biasanya. Kepanikan melandaku, beberapa kali aku menatap arloji yang kukenakan dan kemudian menyuruh supirku untuk lebih cepat. Aku benar-benar panik, apalagi hari ini ada pertemuan penting dengan seseorang yang akan kuajak kerja sama dengan perusahaanku. Aku sudah sangat sulit meminta waktunya, ia benar-benar sibuk. Jadi, jika hari ini aku terlambat, tamatlah riwayatku.
Sekitar satu jam kemudian mobil memasuki halaman kantor, aku bernafas lega meskipun harus sedikit berlari. Kantorku ada di lantai dua puluh lima, dan aku harus menunggu lift untuk sampai kesana.
"Zicha, kamu ini kenapa? Ini hari penting! kenapa kamu kesiangan?" Aku baru saja memasuki ruanganku saat omelan itu terdengar. Mbak Mia, ia ketua di divisiku.
"Entahlah mbak, semalam aku benar-benar lelah." Aku membuka laci, mencari proposal bisnis yang hari ini akan kuajukan ke klienku.
Mbak Mia tersenyum kecil, tanpa peduli aku yang sedang terburu-buru, dia malah menghampiriku.
"Kenapa lelah? Kemarin kan kamu nggak lembur. Kencan sama Bapak Manajer,ya?" ia malah meledekku. Tentu saja aku tak menghiraukan ledekannya, aku sedang terburu-buru untuk sesuatu yang penting. Aku merapikan diriku di depan cermin besar yang memang kusediakan di ruanganku, setelah yakin dengan penampilanku, aku mengambil map biru berisi proposal.
"Oke Mbak Mia, mungkin ledekannya bisa dilanjutkan nanti. Aku pergi dulu ya." Aku bergegas meninggalkan ruanganku, meninggalkan Mbak Mia yang masih duduk di pinggiran meja kerjaku.
Tidak lama kemudian aku sampai di tempat yang kujanjikan untuk menemuinya. Aku melihat-lihat di sekelilingku. Ponselku ketinggalan, entah dimana. Kepanikan kembali menghampiriku, bagaimana aku bisa menemukan orang yang ingin kutemui jika aku tidak membawa ponselku? Kami belum pernah bertemu sebelumnya dan aku sama sekali tidak tau ia seperti apa. Aku kembali menatap sekelilingku, pandanganku kemudian melihat ke arah seorang pria yang duduk sendirian di salah satu meja kafe itu. Tampilannya rapi, jas bermerek, dengan wajah yang cukup tampan. Aku menghampirinya, ia terlihat asyik membaca majalah.
"Maaf, apa Anda Bapak Indra?" tanyaku sedikit ragu, aku takut salah orang.
"Dia menutup majalahnya dan meletakan diatas meja, lalu memandangku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan.
"Zicha?" tanyanya datar.
Aku mengangguk.
Laki-laki bernama Indra itu melihat arlojinya.
"Kamu telat setengah jam." Ia tersenyum kecil, "Silahkan duduk, mungkin kita bisa langsung bicara ke intinya saja, waktu untuk basa-basi sudah terbuang untuk menunggumu."
"Satu lagi, aku sudah menghabiskan tiga gelas kopi selama setengah jam, karena kamu yang terlambat, tolong jangan keberatan untuk membayarnya."
Aku menatapnya tak percaya, lelucon macam apa ini? Semua yang dikenakannya jelas barang-barang bermerek. Lalu hanya untuk sekedar membayar tiga gelas kopi di tempat seperti ini, dia minta aku yang melakukannya? Benar-benar tidak masuk akal.
"Baiklah, akan kubayar semuanya. Tapi harga tiga gelas kopi yang kamu minum itu setara dengan persetujuan kamu tentang kerja sama ini. Jadi tidak ada penolakan!" Sedikit rasa sebalku akhirnya membuat kekakuan dantara kami sedikit menghilang.
"Hai, kamu membayar kopiku itu karena kesalahanmu. Kenapa kamu juga menghukumku yang sudah menunggumu dengan tidak boleh menolak perjanjian ini? Aneh sekali kamu ini!"
Aku tidak menghiraukan kata-katanya, segera saja kujelaskan secara singkat apa isi proposal yang kubawa tadi. Ia mendengarkan sambil membaca proposalku, sesekali ia mengangguk atau menggeleng dan terkadang mengajukan beberapa pertanyaan. Setelah sempat bertanya jawab tentang proposal itu, laki-laki di hadapanku sepakat untuk menandatangani proposalnya. Aku tersenyum senang, ia menyetujuinya.
"Aku harap kerja sama kita menjadi kerja sama yang akan selalu menyenangkan." Ia menyerahkan kembali proposal itu kepadaku.
"Yah, semoga saja. Terima kasih sudah mau bertemu dan menungguku hari ini." Aku meminum kopiku, merapikan kertas-kertas di meja.
"Sekali lagi terima kasih, aku harus segera kembali ke kantor. Banyak yang harus kukerjakan." Aku berpamitan.
"Tunggu, kamu lupa membayar kopiku?" tanyanya santai.
Aku sudah beberapa langkah meninggalkannya, saat aku menengok ke arahnya ia sedang tersenyum meledekku. Mau tidak mau aku kembali menghampirinya.
"Berapa yang harus kubayar?" tanyaku sebal.
Dia tertawa kecil, "Oke, sepertinya kamu keberatan membayar kopiku. Kalau begitu lupakanlah masalah kopi. Tapi tentu saja, lupakan aku pernah menandatangani proposalmu. Setuju?"
Aku tersenyum kecil, senyum terpaksa yang jelas sekali kubuat-buat. "Siapa bilang aku keberatan, berapa yang harus kubayar?" Kali ini pertanyaanku lebih terdengar seperti rayuan.
Dia tertawa kecil, "Apa kamu melihat aku butuh uangmu? Kuantarkan kamu kembali ke kantormu." Ia menggenggam tanganku begitu saja dan menarikku keluar dari kafe.
"Jangan konyol!", aku menghempaskan tanganku dari genggamannya. "Kamu pikir aku perempuan apa hingga kamu bisa perlakukan aku seperti ini? Kamu pikir aku hanya seharga tiga gelas kopimu? Baiklah, lupakan perjanjian itu!" Kali ini aku benar-benar marah hingga melemparkan proposal yang tadi ditandatanganinya.
Ia memungut proposal itu, aku masih berdiri dengan penuh rasa kesal, menunggu reaksinya.
"Tidak akan ada yang dibatalkan." tangannya menyerahkan proposal yang baru saja dipungutnya. "Aku tidak akan melakukan hal bodoh untuk seorang perempuan milik manajer perusahaan terkemuka." Ia tersenyum kecil membuat keherananku semakin bertambah.
"Bagaimana kamu bisa tau tentang itu?"
Indra tidak menjawab pertanyaanku, ia melihat arlojinya.
"Mau makan siang denganku?" kali ini aku benar-benar tidak bisa membedakan apakah dia sedang menawarkan atau memaksa.
"Aku masih kenyang karena kopi tadi. Baiklah, kalau kamu tidak mau menjelaskan. Mungkin aku bisa bertanya pada Azvin nanti." Aku membalikan badanku, ingin bergegas meninggalkannya meskipun masih merasa penasaran.
"Kami teman dekat saat dulu di SMA." Ucapannya menghentikan langkah kakiku yang sedang beranjak meninggalkannya.
"Kenapa Azvin tidak mengatakan padaku kalau hari ini aku akan menemui temannya?" Aku masih merasa tidak mengerti.
"Sedikit kejutan sebenarnya, itulah kenapa aku meminta kepada ketua divisimu untuk tidak langsung mempertemukan aku dengan manajermu dan memilih bertemu public realationnya."
Aku memutar balik langkahku, kembali mendekat kepadanya.
"Kamu tidak ingin bertemu dia?"
Dia tertawa "Kamu mengira ada masalah diantara kita? Tidak, aku sangat ingin bertemu dengannya. Kita dekat di SMA dan hampir lebih dari lima tahun kita tidak bertemu. Aku hanya ingin memberinya kejutan, bahwa ternyata ia bekerja sama dengan teman lamanya. Jadi dari awal, aku memang tidak ada niat untuk menolak perjanjian kerja sama ini dan lagipula, perusahaan kalian juga cukup bonafit."
"Lalu bagaimana kamu tau kalau aku ini pacarnya?" Keherananku masih belum lenyap sepenuhnya.
"Berapa lama kalian pacaran?" Indra balik bertanya.
"Hampir enam tahun lebih."
"Lima tahun yang lalu sebelum aku dan Azvin benar-benar kehilangan kontak, ia sempat bercerita padaku kalau ia sudah mendapatkan seorang perempuan yang ia pikir akan menemaninya hingga nanti, namanya Zicha. Lima tahun lalu aku dan Azvin belum jadi siapa-siapa. Kita masih sama-sama menyusuri jalanan untuk meraih mimpi masing-masing. Aku di Surabaya dan dia di Jakarta, seiring berjalannya waktu kita makin sibuk dengan urusan masing-masing, untuk waktu yang sangat lama aku tidak menghubunginya. Hingga kemarin, aku sempat melihat profil perusahaanmu dan mencari tau siapa manajernya. Azvin, aku pasti tidak akan lupa, aku berencana bekerja sama dengannya tapi diluar dugaan kabar ajakan kerja sama itu justru datang dari perusahaanmu duluan. Tadinya aku ingin memberinya kejutan saat aku mengajaknya bekerja sama, tapi karena cerita awalnya berubah, aku terpaksa mengedit seluruh bagian skenarionya."
Aku tersenyum kecil, mulai memahami apa yang sedang terjadi.
"Azvin mengobrol dengan asistenku, dia jelas tidak mendengar suaraku. Aku memilih untuk tidak bertemu dengannya dan memilih bertemu dengan public relationnya, saat itulah ketua divisimu menyebut namamu. Jelas aku sudah tau pasti, Azvin bukan orang yang bisa mudah beradaptasi dengan mantan pacarnya, jadi pasti kalian masih pacaran."
Aku mengangguk paham, ternyata Indra tidak semenyebalkan yang kupikir.
"Tapi bagaimana Azvin bisa tidak tau kalau kamu adalah salah satu orang dibalik perusahaan itu?"
"Tidak semua perusahaan mencantumkan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Dan perusahaanku salah satu yang merahasiakannya."
"Kalau begitu, kamu sangat mengenal Azvin, ya?"
"Iya. Tapi pasti tidak sebaik kamu yang pasti akan paham setiap detail isi hatinya."
Aku mengangkat bahu "Mungkin."
Tanpa aku sadari, obrolan panjang antara aku dan Indra sudah membawa kita ke tempat parkir, tepat di samping mobil Indra.
"Sekarang, kamu tidak punya alasan untuk menolak aku mengantarmu." Indra membukakan pintu mobilnya untukku.
Aku tersenyum kecil, "Hari ini harus kuakui, kamu cerdas. Ceritamu mungkin sedikit mengacaukan isi otakku hingga tanpa sadar aku mengikuti langkah kakimu kemari dan pada akhirnya mengikuti keinginanmu."
"Itu salah satu kemampuanku." ia tersenyum lagi, lalu menutup pintu mobil yang tadi ia buka untukku.
"Oke Zicha, jadi tolong rahasiakan tentang ini. Rahasiakan pertemuan kita ini hingga aku sendiri nanti yang akan membukanya." Indra memandangku, matanya sedikit terlihat berharap.
"Akan kurahasiakan ini."
"Mungkin tidak hanya ini, tapi juga nanti."
"Hei, berapa lama itu?" aku tertawa kecil.
"Lihat saja nanti." Indra mengedipkan mata ke arahku.
"Kita sudah sampai?" tanyaku sambil merapikan rambutku yang sedikit acak-acakan.
Azvin mengangguk, "Istirahatlah, kamu terlihat lelah." Ucapnya pelan.
Aku memandang sekeliling dan benar-benar merasa bingung.
"Bukannya tadi kamu mau ngajak aku makan malam?"
"Mungkin lain kali lebih baik, hari ini kamu terlihat benar-benar lelah. Aku bahkan harus mengeraskan sedikit mp3 playerku karena dengkuranmu." Azvin sedikit bercanda, seolah ingin ingin menghilangkan ketidaknyamananku karena mambuat acara dinner malam ini gagal. Azvin sangat sibuk, aku tau jelas itu. Ia bahkan akan sangat sulit mengatur waktu sekalipun itu untuk makan malam bersamaku. Dan aku mengacaukannya karena ketiduran. Sungguh, benar-benar keterlaluan aku ini.
"Kalau begitu, kamu turun dulu. Akan kumasakkan sesuatu untukmu." Aku melepaskan seat belt.
Azvin tertawa kecil, "Masak apa? Mie instan? Sejak kapan kamu bisa memasak?" Ia meledekku. Tangannya kembali meraih kepalaku, membawaku kedalam pelukannya. "Sudahlah, tak usah merasa bersalah, ini tidak seberapa dibanding apa yang pernah aku lakukan kepadamu. Kita bisa makan malam lain kali, kan?" Mata kami saling menatap untuk beberapa saat, aku tersenyum kecil dan mengangguk, kemudian ia mengecup keningku.
"Mungkin kamu bisa delivery order kalau benar-benar lapar nanti malam. Tolong jangan makan mie instan!" Ia sedikit mengingatkanku sebelum aku turun dari mobilnya.
Aku mengangguk, dan bergegas turun. Hari ini benar-benar melelahkan, aku ingin segera mandi dan tertidur, itu saja.
"Kamu hati-hati ya. Kalau besok sibuk, aku berangkat sendiri saja." Aku sedikit membungkukan badanku agar setara dengan jendela mobil yang terbuka.
"Oke." Ucapnya sambil menyalakan mesin mobil.
"Kamu benar-benar tidak ingin makan delivery order bersamaku malam ini?" Aku masih sedikit tidak enak hati.
"Mungkin lain kali, aku juga lelah. Kalau kamu mengizinkan aku menginap, mungkin aku bisa makan disini bersamamu." Mata nakalnya meledekku, tapi aku tau itu bukan sungguhan.
"Lupakan." Aku mendengus kesal.
"Oke, sampai besok. Banyak yang harus kuselesaikan sebelum lusa aku berangkat ke Singapura untuk urusan bisnis."
"Oke Mr, busy... take care."
"Good night, sleep well and work hard tomorrow. See you." Ucapnya sebelum akhirnya ia benar-benar membawa mobilnya pergi dari halaman rumahku.
Dan malam ini kelelahan benar-benar membuatku terlelap hingga aku melupakan segalanya. Aku tertidur begitu saja dikamarku.
Paginya, keadaan benar-benar kacau. Aku bangun kesiangan, jalanan macet seperti biasanya. Kepanikan melandaku, beberapa kali aku menatap arloji yang kukenakan dan kemudian menyuruh supirku untuk lebih cepat. Aku benar-benar panik, apalagi hari ini ada pertemuan penting dengan seseorang yang akan kuajak kerja sama dengan perusahaanku. Aku sudah sangat sulit meminta waktunya, ia benar-benar sibuk. Jadi, jika hari ini aku terlambat, tamatlah riwayatku.
Sekitar satu jam kemudian mobil memasuki halaman kantor, aku bernafas lega meskipun harus sedikit berlari. Kantorku ada di lantai dua puluh lima, dan aku harus menunggu lift untuk sampai kesana.
"Zicha, kamu ini kenapa? Ini hari penting! kenapa kamu kesiangan?" Aku baru saja memasuki ruanganku saat omelan itu terdengar. Mbak Mia, ia ketua di divisiku.
"Entahlah mbak, semalam aku benar-benar lelah." Aku membuka laci, mencari proposal bisnis yang hari ini akan kuajukan ke klienku.
Mbak Mia tersenyum kecil, tanpa peduli aku yang sedang terburu-buru, dia malah menghampiriku.
"Kenapa lelah? Kemarin kan kamu nggak lembur. Kencan sama Bapak Manajer,ya?" ia malah meledekku. Tentu saja aku tak menghiraukan ledekannya, aku sedang terburu-buru untuk sesuatu yang penting. Aku merapikan diriku di depan cermin besar yang memang kusediakan di ruanganku, setelah yakin dengan penampilanku, aku mengambil map biru berisi proposal.
"Oke Mbak Mia, mungkin ledekannya bisa dilanjutkan nanti. Aku pergi dulu ya." Aku bergegas meninggalkan ruanganku, meninggalkan Mbak Mia yang masih duduk di pinggiran meja kerjaku.
Tidak lama kemudian aku sampai di tempat yang kujanjikan untuk menemuinya. Aku melihat-lihat di sekelilingku. Ponselku ketinggalan, entah dimana. Kepanikan kembali menghampiriku, bagaimana aku bisa menemukan orang yang ingin kutemui jika aku tidak membawa ponselku? Kami belum pernah bertemu sebelumnya dan aku sama sekali tidak tau ia seperti apa. Aku kembali menatap sekelilingku, pandanganku kemudian melihat ke arah seorang pria yang duduk sendirian di salah satu meja kafe itu. Tampilannya rapi, jas bermerek, dengan wajah yang cukup tampan. Aku menghampirinya, ia terlihat asyik membaca majalah.
"Maaf, apa Anda Bapak Indra?" tanyaku sedikit ragu, aku takut salah orang.
"Dia menutup majalahnya dan meletakan diatas meja, lalu memandangku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan.
"Zicha?" tanyanya datar.
Aku mengangguk.
Laki-laki bernama Indra itu melihat arlojinya.
"Kamu telat setengah jam." Ia tersenyum kecil, "Silahkan duduk, mungkin kita bisa langsung bicara ke intinya saja, waktu untuk basa-basi sudah terbuang untuk menunggumu."
"Satu lagi, aku sudah menghabiskan tiga gelas kopi selama setengah jam, karena kamu yang terlambat, tolong jangan keberatan untuk membayarnya."
Aku menatapnya tak percaya, lelucon macam apa ini? Semua yang dikenakannya jelas barang-barang bermerek. Lalu hanya untuk sekedar membayar tiga gelas kopi di tempat seperti ini, dia minta aku yang melakukannya? Benar-benar tidak masuk akal.
"Baiklah, akan kubayar semuanya. Tapi harga tiga gelas kopi yang kamu minum itu setara dengan persetujuan kamu tentang kerja sama ini. Jadi tidak ada penolakan!" Sedikit rasa sebalku akhirnya membuat kekakuan dantara kami sedikit menghilang.
"Hai, kamu membayar kopiku itu karena kesalahanmu. Kenapa kamu juga menghukumku yang sudah menunggumu dengan tidak boleh menolak perjanjian ini? Aneh sekali kamu ini!"
Aku tidak menghiraukan kata-katanya, segera saja kujelaskan secara singkat apa isi proposal yang kubawa tadi. Ia mendengarkan sambil membaca proposalku, sesekali ia mengangguk atau menggeleng dan terkadang mengajukan beberapa pertanyaan. Setelah sempat bertanya jawab tentang proposal itu, laki-laki di hadapanku sepakat untuk menandatangani proposalnya. Aku tersenyum senang, ia menyetujuinya.
"Aku harap kerja sama kita menjadi kerja sama yang akan selalu menyenangkan." Ia menyerahkan kembali proposal itu kepadaku.
"Yah, semoga saja. Terima kasih sudah mau bertemu dan menungguku hari ini." Aku meminum kopiku, merapikan kertas-kertas di meja.
"Sekali lagi terima kasih, aku harus segera kembali ke kantor. Banyak yang harus kukerjakan." Aku berpamitan.
"Tunggu, kamu lupa membayar kopiku?" tanyanya santai.
Aku sudah beberapa langkah meninggalkannya, saat aku menengok ke arahnya ia sedang tersenyum meledekku. Mau tidak mau aku kembali menghampirinya.
"Berapa yang harus kubayar?" tanyaku sebal.
Dia tertawa kecil, "Oke, sepertinya kamu keberatan membayar kopiku. Kalau begitu lupakanlah masalah kopi. Tapi tentu saja, lupakan aku pernah menandatangani proposalmu. Setuju?"
Aku tersenyum kecil, senyum terpaksa yang jelas sekali kubuat-buat. "Siapa bilang aku keberatan, berapa yang harus kubayar?" Kali ini pertanyaanku lebih terdengar seperti rayuan.
Dia tertawa kecil, "Apa kamu melihat aku butuh uangmu? Kuantarkan kamu kembali ke kantormu." Ia menggenggam tanganku begitu saja dan menarikku keluar dari kafe.
"Jangan konyol!", aku menghempaskan tanganku dari genggamannya. "Kamu pikir aku perempuan apa hingga kamu bisa perlakukan aku seperti ini? Kamu pikir aku hanya seharga tiga gelas kopimu? Baiklah, lupakan perjanjian itu!" Kali ini aku benar-benar marah hingga melemparkan proposal yang tadi ditandatanganinya.
Ia memungut proposal itu, aku masih berdiri dengan penuh rasa kesal, menunggu reaksinya.
"Tidak akan ada yang dibatalkan." tangannya menyerahkan proposal yang baru saja dipungutnya. "Aku tidak akan melakukan hal bodoh untuk seorang perempuan milik manajer perusahaan terkemuka." Ia tersenyum kecil membuat keherananku semakin bertambah.
"Bagaimana kamu bisa tau tentang itu?"
Indra tidak menjawab pertanyaanku, ia melihat arlojinya.
"Mau makan siang denganku?" kali ini aku benar-benar tidak bisa membedakan apakah dia sedang menawarkan atau memaksa.
"Aku masih kenyang karena kopi tadi. Baiklah, kalau kamu tidak mau menjelaskan. Mungkin aku bisa bertanya pada Azvin nanti." Aku membalikan badanku, ingin bergegas meninggalkannya meskipun masih merasa penasaran.
"Kami teman dekat saat dulu di SMA." Ucapannya menghentikan langkah kakiku yang sedang beranjak meninggalkannya.
"Kenapa Azvin tidak mengatakan padaku kalau hari ini aku akan menemui temannya?" Aku masih merasa tidak mengerti.
"Sedikit kejutan sebenarnya, itulah kenapa aku meminta kepada ketua divisimu untuk tidak langsung mempertemukan aku dengan manajermu dan memilih bertemu public realationnya."
Aku memutar balik langkahku, kembali mendekat kepadanya.
"Kamu tidak ingin bertemu dia?"
Dia tertawa "Kamu mengira ada masalah diantara kita? Tidak, aku sangat ingin bertemu dengannya. Kita dekat di SMA dan hampir lebih dari lima tahun kita tidak bertemu. Aku hanya ingin memberinya kejutan, bahwa ternyata ia bekerja sama dengan teman lamanya. Jadi dari awal, aku memang tidak ada niat untuk menolak perjanjian kerja sama ini dan lagipula, perusahaan kalian juga cukup bonafit."
"Lalu bagaimana kamu tau kalau aku ini pacarnya?" Keherananku masih belum lenyap sepenuhnya.
"Berapa lama kalian pacaran?" Indra balik bertanya.
"Hampir enam tahun lebih."
"Lima tahun yang lalu sebelum aku dan Azvin benar-benar kehilangan kontak, ia sempat bercerita padaku kalau ia sudah mendapatkan seorang perempuan yang ia pikir akan menemaninya hingga nanti, namanya Zicha. Lima tahun lalu aku dan Azvin belum jadi siapa-siapa. Kita masih sama-sama menyusuri jalanan untuk meraih mimpi masing-masing. Aku di Surabaya dan dia di Jakarta, seiring berjalannya waktu kita makin sibuk dengan urusan masing-masing, untuk waktu yang sangat lama aku tidak menghubunginya. Hingga kemarin, aku sempat melihat profil perusahaanmu dan mencari tau siapa manajernya. Azvin, aku pasti tidak akan lupa, aku berencana bekerja sama dengannya tapi diluar dugaan kabar ajakan kerja sama itu justru datang dari perusahaanmu duluan. Tadinya aku ingin memberinya kejutan saat aku mengajaknya bekerja sama, tapi karena cerita awalnya berubah, aku terpaksa mengedit seluruh bagian skenarionya."
Aku tersenyum kecil, mulai memahami apa yang sedang terjadi.
"Azvin mengobrol dengan asistenku, dia jelas tidak mendengar suaraku. Aku memilih untuk tidak bertemu dengannya dan memilih bertemu dengan public relationnya, saat itulah ketua divisimu menyebut namamu. Jelas aku sudah tau pasti, Azvin bukan orang yang bisa mudah beradaptasi dengan mantan pacarnya, jadi pasti kalian masih pacaran."
Aku mengangguk paham, ternyata Indra tidak semenyebalkan yang kupikir.
"Tapi bagaimana Azvin bisa tidak tau kalau kamu adalah salah satu orang dibalik perusahaan itu?"
"Tidak semua perusahaan mencantumkan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Dan perusahaanku salah satu yang merahasiakannya."
"Kalau begitu, kamu sangat mengenal Azvin, ya?"
"Iya. Tapi pasti tidak sebaik kamu yang pasti akan paham setiap detail isi hatinya."
Aku mengangkat bahu "Mungkin."
Tanpa aku sadari, obrolan panjang antara aku dan Indra sudah membawa kita ke tempat parkir, tepat di samping mobil Indra.
"Sekarang, kamu tidak punya alasan untuk menolak aku mengantarmu." Indra membukakan pintu mobilnya untukku.
Aku tersenyum kecil, "Hari ini harus kuakui, kamu cerdas. Ceritamu mungkin sedikit mengacaukan isi otakku hingga tanpa sadar aku mengikuti langkah kakimu kemari dan pada akhirnya mengikuti keinginanmu."
"Itu salah satu kemampuanku." ia tersenyum lagi, lalu menutup pintu mobil yang tadi ia buka untukku.
"Oke Zicha, jadi tolong rahasiakan tentang ini. Rahasiakan pertemuan kita ini hingga aku sendiri nanti yang akan membukanya." Indra memandangku, matanya sedikit terlihat berharap.
"Akan kurahasiakan ini."
"Mungkin tidak hanya ini, tapi juga nanti."
"Hei, berapa lama itu?" aku tertawa kecil.
"Lihat saja nanti." Indra mengedipkan mata ke arahku.
0 respons:
Post a Comment