Monday, October 6, 2014

UKIRAN CITA DIATAS LUKA CINTA

| |

Malam sudah terlalu larut, tapi mataku tak kunjung hanyut dalam buaian mimpi. Foto-foto itu berserakan di tempat tidurku, tak ku pedulikan. Wajah-wajah yang dulu menghiasi kamarku kini hanya berserakan bagai sampah yang tak ingin kujamah. Aku menghela nafas panjang, menyibakan selimut dan membiarkan foto-foto itu terjatuh memeluk lantai. Aku tak peduli, atau tak ingin peduli lebih tepatnya. Wajah yang dulu kuangap paling menyenangkan entah kenapa kini menjelma menjadi begitu menyakitkan. Aku tak ingin memandangnya, tak ingin lagi, sudah cukup. Air mataku sudah kering, aku tak sanggup lagi menangis. Mataku menerawang menatap seluruh dinding, memastikan wajahnya tak ada lagi di setiap sudut kamarku. Memang tidak ada, tapi di relung hatikku wajah itu masih bertahta. Senyumnya, hidungnya, alis tegasnya dan mata tajamnya… Akh, sudahlah! Aku sibuk mengenangnya, sedangkan ia? Mungkin ia sudah lupa padaku. Lupa pada wanita yang dulu ia bilang paling cantik, lupa pada wanita yang dulu ia buat terpesona pada setiap detail ucapannya, lupa padaku, pada wanita yang dinding hatinya sudah terluka dalam karena goresan yang sengaja ia pahat disana.
Namaku Nadia dan laki-laki di foto-foto sampah itu Nathan.
**********
Aku merapatkan jaket tipisku, rasa dingin seolah makin bernafsu melumpuhkanku. Tapi aku tak terpengaruh, di taman sepi ini aku terduduk sendiri, menikmati malam tanpa bintang. Awan hitam menghias tebal di atap dunia itu, mungkin sesaat lagi akan turun hujan. Aku menatap arlojiku, pukul 22.20 tapi ia belum juga datang. Pikiranku sedikit khawatir, hatiku cemas tak terkira. Ia tak pernah seperti ini. Ia selalu datang menepati janjinya, menemuiku sesuai waktu yang sudah kami sepakati. Tapi malam ini? ia terlambat dan aku, dengan segenap cinta dan seluruh rindu aku masih menantinya. Menantinya di tempat duduk yang sama seperti dua tahun lalu sebelum kepergiannya ke Australia.
Samar-samar mataku menangkap bayanagan seseorang di balik rimbun dedaunan. Langkah kakinya mendekat. Dan kini….ia ada di hadapanku, tepat dihadapanku. Wajahnya tak berubah, tetap tampan dan menarik bagiku. Senyumnya masih manis, semanis kata-katanya yang selalu membuaiku dan mengajaku terbang ke langit cinta. Hanya sedikit perubahan yang kutangkapa dari sosoknya. Pakaiannya, ia jauh lebih rapi daripada dua tahun lalu. kemeja krem bermotif kotak dan celana hitam panjang serta dipadukan dengan sepatu yang sepertinya dari merk ternama. Ia makin terlihat mempesona, sangat mempesona.
Alu mendekat, langkah kaki mengantarkanku mendekati sosoknya. Sejenak kunikmati wajahnya, kupeluk tubuhnya dan seketika aku kembali dibuat mabuk kepayang oleh aroma parfumnya yang menggairahkan. Dia memang benar-benar istimewa. Beberapa saat aku merasa tenang di pelukannya, ia membiarkanku menikmati hangat tubuhnya yang selama ini selalu ku rindukan. Aku berharap bisa lebih lama lagi memeluk tubuhnya, tapi ia melepaskan aku.
“Nathan, apa kamu baik-baik saja?” tanyaku dengan wajah berbinar dan ia hanya mengangguk. Tangannya menarikku ke tampat duduk, ia duduk di sampingku seperti dua tahun lalu. aku menghirup nafas dalam-dalam, wangi parfum itu kini bukan lagi sebatas fatamorgana yang wanginya menghantuiku, saat ini Nathan benar-benar ada di sampingku.
“Kamu baik-baik saja, Nad?” suaranya…suaranya kembali kudengar. Suara yang selama ini selalu kudengar dalam mimpi kini menjadi benar-benar nyata terdengar di telingaku. Nathanku telah kembali, kembali ke sampingku, kembali akan memelukku dengan segenap cinta kasihnya.
“Aku baik-baik saja. Aku kangen banget sama kamu.” Aku bertanya dan masih terus menatap matanya, mata yang teduh, mata yang selalu memberiku kesejukan. Mata yang membuatku tenang jika memandangnya.
Nathan terdiam, entah apa yang sedang ia pikirkan. Apa ia tak merasakan apa yang aku rasakan? Kebahagiaan bertemu Sang Kekasih, apa ia tak merasakan itu di hatinya? Wajah tampan di hadapanku masih terus terdiam, beberapa kali aku mencoba mengajaknya bicara, tapi hanya komentar kecil dan gumaman lirih yang terdengar dari bibir manisnya. Akhirnya aku juga terdiam. Kami berdua terdiam, menikmati dingginnya angin malam yang mulai menembus ke tulang. Nathan tak pernah seperti ini, ia selalu tahu jika aku meras kedinginan. Ia tak pernah membiarkanku sendiri bertarung melawan dinginnya malam, ia selalu memelukku. Tapi kali ini tidak, kami bahkan duduk layaknya anak SMP yang malu-malu mengakui perasaan cintanya. Ia benar-benar lain, Australia benar-benar mengubah Nathanku menjadi dingin dan tak sehangat dulu. Aku berharap ini tak akan lama.
“Vern…” aku menengok ke arahnya. Kami berhadapan begitu dekat, tapi ia malah kembali menunduk. Kulihat wajahnya sedikit kikuk. Ada keraguan, entah keraguan tentang apa. Aku sama sekali tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.
“Kenapa?” ucapku berusaha mencairkan kebekuan diantara kami.
Nathan diam lagi.
“Aku gak bisa sama kamu. Kita akhiri hubungan kita sampai disini saja.”
Aku terhenyak, tubuhku lemas, aliran darah seolah berhenti bekerja di tubuhku. Ucapan Nathan benar-benar mengagetkanku, aku tak mengerti, aku tak paham dan aku benar-benar tak tahu ada apa dengannya. Segalanya sudah kulewati, hubungan jarak jauh Indonesia-Australia selama dua tahun sudah kami lalui hingga saat ini ia kembali. Lalu apa maksudnya ini? apa kepulangannya hanya untuk mengatakan selamat tinggal padaku? Jika itu yang terjadi, kenapa ia harus kembali?
“Kenapa?” bibirku gemetar, aku mulai merasa sudut mataku memanas karena menahan air mata yang sudah memaksa keluar.
“Aku merasa kita gak akan cocok, aku akan jadi Dokter lulusan Adelaide Australia dan kamu hanya akan jadi gadis tamatan D3 Universitas swasta. Aku butuh perempuan sederajat untuk menjadi pendamping hidupku, perempuan yang bisa kuajak berdiskusi tentang satu dan lain hal. Setidaknya aku ingin perempuanku memiliki pendidikan yang hampir setara denganku. Ini bukan saatnya untuk bermain-main lagi, aku mencari calon istri, bukan sekedar pacar atau teman bermain.” Nathan menjelaskan alasannya. Tapi aku tak tahu kenapa ia sama sekali tak memandangku, ia menunduk dan terus menunduk seolah sedang menciptakan interaksi dengan tanah basah berhiaskan rumput hijau di bawahnya. Ia sama sekali tak memandangku, sedikitpun! Ekor matanya bahkan juga tak melirikku, apa aku sudah benar-benar dianggap tidak ada?
Nathan, jadi selama ini aku hanya menjadi “teman main” nya? Jika benar begitu, lalu apa artinya kata-kata cinta yang selama ini ia ucapkan padaku? Hatiku perih mendengar ucapan Nathan, jadi aku yang tak pantas untuknya? Aku yang terlalu rendah dan tak setara untuknya? Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya di Australia sana, ia berubah menjadi sosok yang tak ku kenal. Asing. Ia yang selalu berkata lembut paadaku kini ucapannya menjadi lebih tajam dari sekedar anak panah Sang pendekar. Ucapannya tadi benar-benar melukaiku. Luka yang teramat dalam, lebih dari kawah gunung atau bahkan Laut Merah. Luka yang tak terperikan, luka yang justru diciptakan olehnya, oleh laki-laki di sampingku yang teramat ku cintai. Termat kurindukan kehadirannya.
“Lalu apa artinya selama ini kamu bilang cinta seandainya kamu berpikir aku hanya teman mainmu?” pikiranku melayang, e-mail dari Nathan masih memenuhi inboxku. Aku ingat betul bagaimana Nathan merangkai tiap katanya. Aku tak akan pernah lupa bagaimana hangatnya ia menyaapaku dalam setiap jejak kalimatnya. Jadi ini semua hanya sebuah permainan?
Nathan tak menjawab, mulutnya terkunci rapat. Ia masih enggan memandangku, matannya hanya terlihat menikmati rumput segar yang diinjaknya.
“Aku yakin kamu bisa dapat yang lebih baik dari aku dan aku juga akan mendapatkan yang lebih baik dari kamu.” Nathan pergi begitu saja, meninggalkanu dalam kesepian, membiarkanku dalam keheningan dan menyerahkanku pada dinginnya malam.
Aku menatap kepergiannya dengan rasa yang tak dapat terungkapkan. Hujan memang benar-benar turun malam ini dan hujan itu turun deras di hatiku, membasahi tiap celah yang ada disana. Menciptakan sensasi perih yang teramat dahsyat di atas gores luka yang baru ia buat.
**********
Layar laptop masih menyala terang di hadapanku walaupun lampu kamar sudah sengaja ku padamkan. Jariku asyik menari-nari diatas keyboard, berusaha menyelesaikan kisah yang baru sepenggal kubuat. Aku memang tergila-gila dengan tulisan dan di sela-sela waktu, aku selalu menulis. Tentang apapun, sekedar cerita pendek, puisi atau bahkan kritikan dan semacamnya. Beberapa majalah pernah memuat karyaku dan membuatku merasa bangga pada diriku sendiri. Aku seperti menemukan cintaku dalam setiap kata yang ku rangkai di kisahku, aku seperti menemukan cintaku yang telah dirampas dan dicampakkan begitu saja oleh seorang Nathan. Aku lupa sejak kapan tepatnya aku mulai menyukai tulisan, entah sejak kapan aku bermimpi menjadi seorang penulis tapi hingga kini mimpi itu masih ada, bercokol kuat di hatiku dan aku rasa tulisan bukan tempat yang salah untuk mengalihkan perhatianku dari seorang Nathan, sosok yang pernah benar-benar ku kagumi.
Sudah hampir sebulan ini aku melewati hariku tanpa Nathan, foto-fotonya sudah kusimpan rapi dalam kardus yang kuletakkan di kolng tempat tidurku. Ku biarkan ia tersimpan disana, entah sampai kapan. Sejujurnya aku belum benar-benar melupakan sosok Nathan. Kami menjalin hubungan hampir tiga tahun dan aku rasa satu bulan bukan waktu yang bisa ku gunakan untuk benar-benar melupakannya. Hampir tiga tahun kami merajut semua kenangan, tersenyum dan tertawa berasama walau dua tahun terakhir itu hanya bisa dilakukan lewat e-mail atau telpon internasional. Kertas berisi kenangan dan bahagia itu masih menumpuk di otakku, dan satu bulan tak pantas dianggap sebagai api yang mampu membakar semua kenangan itu dan menyisakan abu sebagai jejaknya. Semuanya masih terasa amat sulit untukku. Tapi aku tahu, hidup tak akan berhenti hanya karena aku terluka. Jarum jam akan terus berjalan melewati angka-angkanya dan melewatkan waktu tiap detiknya. Aku tak boleh terus menangis, meratapi nasib atau bahkan membodohkan diriku sendiri. Ini bukan saatnya dan aku akan tetap hidup apapun alasannya. Aku masih punya cita-cita dan mimpi, luka cinta tak akan sanggup meluluhkan semangatku. Aku ingin mengejar mimpiku, meraihnya dan kemudian memeluk mimpiku selamanya. Tak akan kubiarkan mimpiku larut karena luka cinta yang menciptakan bekas abadi tak terhapuskan.
**********
Aku memeluk teman-temanku dengan wajah bahagia, beberapa kali kami bahkan sempat foto bersama. Hari ini kita melepas semua beban dan sejenak berbahagia menikmati hari wisuda. Hari yang kami tunggu setelah tiga tahun selalu berkutat dengan buku-buku akuntansi tebal yang nyaris saja membuat kepala kami botak. Hanya ada angka-angka nominal uang yang terpampang disana dan dengan telatennya kami menghitung, menjumlahkan-mengurangi-menjumlahkan dan kemudian menguranginya lagi, begitulah seterusnya hingga kemudian dengan wajah lega kami tersenyum puas karena berhasil merumuskan berapa laba yang diperoleh perusahaan, entah perusahaan siapa, entah uang siapa, kami hanya bekerja menghitungnya, tanpa gaji.
Dan hari ini…kami bahagia, aku lulus di tahun yang tepat bersama beberapa kawanku dan bahkan seperti sebuah mimpi saja, aku mendapatkan nilai terbaik di antara semua kawanku. Aku menyandang gelar cumlaude, sebuah pencapaian yang membanggakan. Pencapaian yang kudapat dari kerja kerasku. Pencapaian tertinggi sekaligus terindah yang akan mengantarku pada dunia kerja. Aku masih berfoto dengan kawan-kawanku, menikmati hari yang mungkin akan menjadi hari terakhir kebersamaan kami di kampus beralmamater biru ini. Aku melirik sejenak wajah dua orang tuaku yang juga terlihat berseri diliputi kebahagiaan dan kebanggan atas prestasi yang berhasil dicapai putri tercintanya. Mereka tersenyum ke arahku, membiarkan aku menghabiskan waktu bersama kawanku walaupun ahrus sedikit mengabaikan keberadaan mereka. Kulihat Ibuku melambaikan tangannya ke arahku, menunjuk keluar ruangan. Auditorium ini terlalu sempit untuk menampung dua ratus mahasiswa yang lulus beserta keluarganya. Aku mengangguk dan dengan sedikit berdesakan kedua orang tuaku melangkah keluar ruangan, mencari udara segar di tengah sesaknya lautan manusia.
Setelah puas berfoto dengan kawan-kawanku, aku keluar dari ruangan auditorium yang tadi menjadi saksi bisu betapa gemetarnya tubuhku saat menerima penghargaan langsung dari rector kampus tempatku kuliah. Aku menatap kesana kemari hingga kemudian menatap wajah dua orang tuaku yang sedang berteduh di bawah sebuah pohon rindang tapat di depan UPT Perpustakaan kampusku. Aku menghampiri mereka, dan dengan gaya selebriti dunia kulepas topiku dan membungkukan sedikit badanku di hadapan mereka. Ayah tersenyum menatap tingkah konyolku, ia membelai rambutku, mengecup keningku dan kemudian mengucapkan selamat padaku. Kulihat mata Ibu memerah, ada sedikit air mata yang kutangkap di sudut matanya yang sudah mulai dikelilingi gurat-gurat ketuaan. Aku memeluk Ibuku.
“Selamat ya, Sayang.” Ucap Ibuku lirih, bahkan nyaris berbisik di telingaku.
Aku mengangguk bahagia.
**********
Aku menatap layar komputer di meja kerjaku, menyusun laporan keuangan perusahaan yang harus segera diselesaikan sore ini juga. Ada rapat direksi di kantorku besok dan laporan keuangan ini harus kuselesaikan saat ini juga. Aku tepekur menatap layar komputer, mengerahkan seluruh konsentrasiku. Pekerjaan ini kudapatkan langsung karena nilai terbaikku saat wisuda kemarin, pekerjaan yang diidam-idamkan hampir semua orang lulusan Akuntansi. Aku bersyukur, hidupku memang selalu penuh keberuntungan.
Beberapa jam kemudian aku sudah selesai dengan laporan keuangan yang memang menjadi kewajibanku. Segera saja aku mengeprint file tersebut dan kemudian merapikannya dalam sebuah map lalu kemudian mengantarkan laporan itu ke ruangan Direktur. Bos tersenyum setelah melihat hasil yang kukerjakan, ia memujiku dan aku menjadi semakin bangga pada diriku sendiri.
Aku kembali ke ruanganku, kali ini aku membuka laptop yang memang sengaja kubawa dari rumah. kubuka file novelku dan beberapa saat kemudian aku sudah asyik merajut kata dan merangkai setiap kalimat yang muncul begitu saja dari pikiranku. Kisah yang kutulis ini memang hampir selesai, dengan memanfaatkan koneksiku, aku berniat mengirimkan karyaku ini ke sebuah penerbit ternama di Ibu kota.
**********
Seperti biasanya, jam makan siang ini aku berada di kantin kantor bersama kawan-kawanku. Menikmati sepiring makan siang dan segelas minuman dingin yang membasahi tenggorokan. Aku menatap wajah-wajah lelah di sekelilingku, aku tahu mereka tak jauh berbeda sepertiku, mencoba tersenyum dibalik kelelahan yang menggunung karena pekerjaan yang menumpuk, tapi inilah konsekuensinya bagi para pekerja seperti kami. Aku terdiam, melamun memikirkan diriku sendiri. Segala yang terjadi dalam hidupku selalu memberiku pelajaran terindah yang akan selamanya menjadi pengalaman dan guru terbaikku di masa depan mendatang. Otakku berputar bagai sebuah CD player, mengingat setiap peristiwa yang sudah ku lalui. Masa SMP, SMA hingga duduk di bangku kuliah masih kuingat, tak ada sedikitpun yang kulupa. Bahkan tentang Nathan, jujur saja hingga saat ini namanya masih ada di hatikku, tapi luka yang ia torehkan menuntutku untuk senantiasa melupakannya.
Ponselku berbunyi, lamunanku buyar seketika. Sebuah nomor lokal, entah siapa.
“Halo…selamat siang, ini siapa ya?” tanyaku to the point, jam makan siangku terbatas dan aku tak ingin telefon tak penting akan membuatku kelaparan hingga sore nanti. Masih banyak pekerjaan yang harus ku rampungkan hari ini dan seperti kebiasaanku, aku tahu betul jika aku tak akan mampu menyelesaikan semua pekerjaanku dalam keadaan perut keroncongan.
“Selamat siang. Apa saya berbicara dengan Nadia Fathrani?” tanya si penelefon misterius, bahasanya terdengar santun seolah menunjukan tingkat pendidikannya.
“Iya, saya sendiri. Maaf, saya bicara dengan siapa?” tanyaku santai, aku meminum sedikit jus strawberry ku.
“Saya Arifin, pimpinan redaksi Penerbit Grafia. Beberapa minggu yang lalu kami menerima kiriman naskah novel dari Mbak Nadia, dan setelah membacanya tim redaksi kami memutuskan untuk menerbitkan novel yang Mbak Nadia buat. Untuk itu saya menghubungi Nadia, apa Mbak Nadia tidak keberatan jika novelnya kami terbitkan?” laki-laki bernama Arifin itu mengucapkan kata-katanya sesopan mungkin.
Aku melonjak kegirangan, keberuntungan apalagi ini? kawan-kawanku mulai bertanya-tanya, aku yakin mereka langsung melihat perubahan di wajahku. Aku memang benar-benar bahagia. Sesuatu yang sungguh tak kuduga, aku bahkan sudah tak berharap lagi pada naskah yang ku kirimkan tersebut dan sudah mulai menulis lagi kisahku yang baru. Ini benar-benar kejutan. Dengan teriakan girang aku mengatakan apa yang baru saja terjadi dengan kawan-kawan semejaku. Mereka juga berteriak girang, kelelahan yang tadi nampak jelas di wajah kawan-kawanku kini sirna sudah, berganti wajah-wajah bahagia. Kebahagiaanku benar-benar menjalar pada seluruh kawanku. Beberapa pasang mata menatap aneh kea rah kami, aku tersadar. Ini ruangan publik dan bagaimanapun bahagianya aku, aku harus bisa menjaga sikapku di tempat umum macam restoran ini. kami kembali diam dan aku kembali menatap layar ponselku, ku suruh teman-temanku diam dengan menempelkan telunjukku di bibir.
“Saya setuju.” Ucapku pasti, kebahagiaan masih benar-benar meliputi seluruh hatiku.
“Baiklah, kalau begitu kami tunggu kedatangan Mbak Nadia di kantor untu membicarakan beberapa hal yang memang perlu dibicarakan.” Ucap Arifin singkat dan jelas.
“Baik.” Aku benar-benar yakin denga jawabanku, aku tak pernah merasa seyakin ini sebelumnya.
Ini benar-benar makan siang yang hebat! Aku berbisik lirih dalam hati, mensyukuri keberuntunganku yang kesekian kalinya.
**********
Ruangan auditorium yang besar, lebih besar dari ruangan auditorium di kampusku dulu. Di hadapanku duduk berjajar ratusan mahasiswa dan mahasiswi yang akan mendengarkan seminarku. Aku menjadi pembicara utama di sebuah acara bertajuk “URAIKAN BAHASAMU DENGAN CINTA DAN AKTUALISASIKAN CINTAMU DENGAN TULISAN”. Aku duduk tepat di hadapan mereka dengan perasaan bangga yang tak terkira. Hari ini aku akan berbagi dengan mereka, berbagi tentang darimana inspirasiku menulis dan bagaimana caraku menulis. Seminar yang sebenarnya dibuka untuk umum ini kebanyakan dikunjungi Mahasiswa yang notabene memiliki mimpi yang sama denganku, menjadi seorang penulis. Aku benar-benar tak pernah mengira akan menjadi seperti ini. Aku menjadi kepala staf Accounting di sebuah perusaahaan ternama dan juga menjadi seorang penulis best seller yang bukunya terjual puluhan ribu eksemplar. Sedangkan kali ini, kali ini aku duduk di hadapan ratusan kaum intelektual muda yang memiliki mimpi yang sama denganku dulu. Aku akan berbicara di hadapan mereka, berbagi dengan orang-orang cerdas tentang dunia penulis yang kini berhasil ku genggam dalam perjalanan karierku. Hari ini aku benar-benar merasa debaran yang ratusan keli lebih cepat di seluruh tubuhku. Semoga acara ini berjalan lancar, doakku dalam hati.
Moderator membuka acara seminar ini. menucapkan salam, sedikit berbasa-basi dan kemudian mengenalkanku sebagai seorang pembicara. Ia membahas sedikit tentang novel karyaku yang berjudul “SETETES CINTA UNTUK CATHRINE”. Novel itu adalah sebuah novel fiksi yang menceritakan tentang kehidupan seorang gadis kecil bernama Cathrine. Gadis yatim piatu yang menjalani hidupnya di sebuah Panti Asuhan. Di novelku itu aku menceritakan tentang pemberontakan Cathrine terhadap panti asuhan yang dianggap mengekang kebebasannya dan terlalu banyak menyuruhnya bekerja. Cathrine kecil akhirnya kabur, lari meninggalkan Panti Asuhannya dan melalui kehidupannya seorang diri. Ia melakukan segala hal untuk mempertahankan hidupnya. Mencopet dan mengemis juga ia lakukan. Hingga kemudian ia bertemu seorang Dokter yang menemukannya di jalanan. Dokter Hans, si Dokter yang baik hati tapi mengalami syndrome phedopillia itu ternyata makin menjerat Cathrine dalam lingkaran masalah yang tak kunjung berakhir. Dengan segala kecerdasannya Cathrine kecil mampu melalui semua “kejutan” kecil dalam hidupnya dan kisahnya berakhir saat ia kemudian menjadi seorang pengusaha kaya yang mengabdikan hidupnya untuk merawat anak-anak yatim yang nasibnya tak jauh berbeda dengan ia sendiri.
Secara singkat aku juga menceritakan tentang bagaiman Cathrine menghadapi semua masalah hidupnya. Disisi lain sebenarnya aku ingin memotivasi para pembaca novelku untuk tidak menyerah pada masalah yang membelenggu mereka, lari dari keadaan atau bahkan mengakhiri hidup hanya karena merasa tak kuat menanggung masalah yang ada. Itu terlalu pengecut. Aku sudah belajar cukup banyak dari pengalaman-pengalaman hidupku. Di hadapan para intelektual muda itu aku hanya menitipkan pesan untuk tidak udah meyerah pada keadaan. Tuhan mungkin menciptakan ratusan masalah dalam hidup, tapi ia juga menyediakan jutaan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut. Aku ingin wajah-wajah di hadapanku menjadi sosok tegar yang kelak juga akan membuat Bangsa ini lebih maju dibanding Bangsa yang lainnya. Semoga keberuntungan belum enggan menghampiriku dan aku bisa kembali mewujudkan cita-citaku. Tapi aku tahu, keberuntungan bahkan akan menghampiriku hanya jika aku tak berhenti berusaha.
Dan akhirnya acara ini berjalan sesuai dengan yang ku harapkan.
**********
Aku mengemasi barang-barangku, menutup notebook dan menyimpannya ke dalam tas yang sudah kusiapkan sebelumnya. Kusapa beberapa orang yang masih ada di ruangan itu dengan senyumanku, mereka juga tersenyum ke arahku. Aku bahagia hari ini, sangat bahagia. Kulangkahkan kakiku keluar dari ruangan auditorium itu. Tapi tak lama, langkahku terhenti. Sosok yang teramat kukenal itu berdiri di hadapanku, hanya dalam jarak beberapa meter saja.
Nathan.
Ia dengan seragam khas Dokternya berdiri di hadapanku, kakiku kaku seketika. Aku seperti membeku di tempatku berdiri, tak bisa melangkah apalgi berkata-kata. Kenapa laki-laki itu harus kembali muncul di hadapanku justru dalam keadaan seperti sekarang ini? Nathan melangkah menghampiriku, mendekat dan terus mendekat. Kini jarak diantara kami hanya beberapa senti saja.
“Selamat, ya.” Nathan mengulurkan tangannya ke arahku, dengan gerakan sedikit ragu aku menerima uluran tangannya.
“Thanks.” Ucapku datar, rasa sakit kembali muncul di permukaan hatiku. Ia membangunkan ingatanku ke masa lalu, ingatan yang menciptakan luka perih sepanjang umurku.
“Apa masih ada kesempatan untukku?” tanyanya tanpa rasa bersalah, aku belum terlalu mengerti apa yang sedang dibicarakannya. Tapi aku sudah merasakan geram di hatikku.
“Kesempatan apa?” datar saja, aku tak ingin menunjukan reaksiku yang berlebihan terhadapnya.
“Kita bisa mulai dari awal lagi, kan? Menjalani hubungan seperti dulu.” Ia memberiku tawaran, tawaran yang sudah pasti akan kutolak. Jangankan untuk kembali menerima tawarannya, hanya mendengar saja aku sudah merasa sangat jengkel sebenarnya.
Aku tersenyum sinis
“Kamu tidak pantas untuk aku.” Tajam, skeptis dan sinis.
Aku berlalu meninggalkan Nathan yang mematung sendirian, aku tak sedikitpun menoleh ke arahnya. Semuanya sudah berakhir dan tidak ada yang harus dimulai lagi.
Aku bukan keledai yang akan jatuh di lubang yang sama.
Nathan, aku bukan orang yang bisa kau sakiti lebih dari satu kali.

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba