Malam sudah terlalu larut, tapi mataku tak kunjung hanyut dalam
buaian mimpi. Foto-foto itu berserakan di tempat tidurku, tak ku
pedulikan. Wajah-wajah yang dulu menghiasi kamarku kini hanya berserakan
bagai sampah yang tak ingin kujamah. Aku menghela nafas panjang,
menyibakan selimut dan membiarkan foto-foto itu terjatuh memeluk lantai.
Aku tak peduli, atau tak ingin peduli lebih tepatnya. Wajah yang dulu
kuangap paling menyenangkan entah kenapa kini menjelma menjadi begitu
menyakitkan. Aku tak ingin memandangnya, tak ingin lagi, sudah cukup.
Air mataku sudah kering, aku tak sanggup lagi menangis. Mataku
menerawang menatap seluruh dinding, memastikan wajahnya tak ada lagi di
setiap sudut kamarku. Memang tidak ada, tapi di relung hatikku wajah itu
masih bertahta. Senyumnya, hidungnya, alis tegasnya dan mata tajamnya…
Akh, sudahlah! Aku sibuk mengenangnya, sedangkan ia? Mungkin ia sudah
lupa padaku. Lupa pada wanita yang dulu ia bilang paling cantik, lupa
pada wanita yang dulu ia buat terpesona pada setiap detail ucapannya,
lupa padaku, pada wanita yang dinding hatinya sudah terluka dalam karena
goresan yang sengaja ia pahat disana.
Namaku Nadia dan laki-laki di foto-foto sampah itu Nathan.
**********
Aku
merapatkan jaket tipisku, rasa dingin seolah makin bernafsu
melumpuhkanku. Tapi aku tak terpengaruh, di taman sepi ini aku terduduk
sendiri, menikmati malam tanpa bintang. Awan hitam menghias tebal di
atap dunia itu, mungkin sesaat lagi akan turun hujan. Aku menatap
arlojiku, pukul 22.20 tapi ia belum juga datang. Pikiranku sedikit
khawatir, hatiku cemas tak terkira. Ia tak pernah seperti ini. Ia selalu
datang menepati janjinya, menemuiku sesuai waktu yang sudah kami
sepakati. Tapi malam ini? ia terlambat dan aku, dengan segenap cinta dan
seluruh rindu aku masih menantinya. Menantinya di tempat duduk yang
sama seperti dua tahun lalu sebelum kepergiannya ke Australia.
Samar-samar
mataku menangkap bayanagan seseorang di balik rimbun dedaunan. Langkah
kakinya mendekat. Dan kini….ia ada di hadapanku, tepat dihadapanku.
Wajahnya tak berubah, tetap tampan dan menarik bagiku. Senyumnya masih
manis, semanis kata-katanya yang selalu membuaiku dan mengajaku terbang
ke langit cinta. Hanya sedikit perubahan yang kutangkapa dari sosoknya.
Pakaiannya, ia jauh lebih rapi daripada dua tahun lalu. kemeja krem
bermotif kotak dan celana hitam panjang serta dipadukan dengan sepatu
yang sepertinya dari merk ternama. Ia makin terlihat mempesona, sangat
mempesona.
Alu mendekat, langkah kaki mengantarkanku mendekati
sosoknya. Sejenak kunikmati wajahnya, kupeluk tubuhnya dan seketika aku
kembali dibuat mabuk kepayang oleh aroma parfumnya yang menggairahkan.
Dia memang benar-benar istimewa. Beberapa saat aku merasa tenang di
pelukannya, ia membiarkanku menikmati hangat tubuhnya yang selama ini
selalu ku rindukan. Aku berharap bisa lebih lama lagi memeluk tubuhnya,
tapi ia melepaskan aku.
“Nathan, apa kamu baik-baik saja?” tanyaku
dengan wajah berbinar dan ia hanya mengangguk. Tangannya menarikku ke
tampat duduk, ia duduk di sampingku seperti dua tahun lalu. aku
menghirup nafas dalam-dalam, wangi parfum itu kini bukan lagi sebatas
fatamorgana yang wanginya menghantuiku, saat ini Nathan benar-benar ada
di sampingku.
“Kamu baik-baik saja, Nad?” suaranya…suaranya
kembali kudengar. Suara yang selama ini selalu kudengar dalam mimpi kini
menjadi benar-benar nyata terdengar di telingaku. Nathanku telah
kembali, kembali ke sampingku, kembali akan memelukku dengan segenap
cinta kasihnya.
“Aku baik-baik saja. Aku kangen banget sama kamu.”
Aku bertanya dan masih terus menatap matanya, mata yang teduh, mata
yang selalu memberiku kesejukan. Mata yang membuatku tenang jika
memandangnya.
Nathan terdiam, entah apa yang sedang ia pikirkan.
Apa ia tak merasakan apa yang aku rasakan? Kebahagiaan bertemu Sang
Kekasih, apa ia tak merasakan itu di hatinya? Wajah tampan di hadapanku
masih terus terdiam, beberapa kali aku mencoba mengajaknya bicara, tapi
hanya komentar kecil dan gumaman lirih yang terdengar dari bibir
manisnya. Akhirnya aku juga terdiam. Kami berdua terdiam, menikmati
dingginnya angin malam yang mulai menembus ke tulang. Nathan tak pernah
seperti ini, ia selalu tahu jika aku meras kedinginan. Ia tak pernah
membiarkanku sendiri bertarung melawan dinginnya malam, ia selalu
memelukku. Tapi kali ini tidak, kami bahkan duduk layaknya anak SMP yang
malu-malu mengakui perasaan cintanya. Ia benar-benar lain, Australia
benar-benar mengubah Nathanku menjadi dingin dan tak sehangat dulu. Aku
berharap ini tak akan lama.
“Vern…” aku menengok ke arahnya. Kami
berhadapan begitu dekat, tapi ia malah kembali menunduk. Kulihat
wajahnya sedikit kikuk. Ada keraguan, entah keraguan tentang apa. Aku
sama sekali tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.
“Kenapa?” ucapku berusaha mencairkan kebekuan diantara kami.
Nathan diam lagi.
“Aku gak bisa sama kamu. Kita akhiri hubungan kita sampai disini saja.”
Aku
terhenyak, tubuhku lemas, aliran darah seolah berhenti bekerja di
tubuhku. Ucapan Nathan benar-benar mengagetkanku, aku tak mengerti, aku
tak paham dan aku benar-benar tak tahu ada apa dengannya. Segalanya
sudah kulewati, hubungan jarak jauh Indonesia-Australia selama dua tahun
sudah kami lalui hingga saat ini ia kembali. Lalu apa maksudnya ini?
apa kepulangannya hanya untuk mengatakan selamat tinggal padaku? Jika
itu yang terjadi, kenapa ia harus kembali?
“Kenapa?” bibirku gemetar, aku mulai merasa sudut mataku memanas karena menahan air mata yang sudah memaksa keluar.
“Aku
merasa kita gak akan cocok, aku akan jadi Dokter lulusan Adelaide
Australia dan kamu hanya akan jadi gadis tamatan D3 Universitas swasta.
Aku butuh perempuan sederajat untuk menjadi pendamping hidupku,
perempuan yang bisa kuajak berdiskusi tentang satu dan lain hal.
Setidaknya aku ingin perempuanku memiliki pendidikan yang hampir setara
denganku. Ini bukan saatnya untuk bermain-main lagi, aku mencari calon
istri, bukan sekedar pacar atau teman bermain.” Nathan menjelaskan
alasannya. Tapi aku tak tahu kenapa ia sama sekali tak memandangku, ia
menunduk dan terus menunduk seolah sedang menciptakan interaksi dengan
tanah basah berhiaskan rumput hijau di bawahnya. Ia sama sekali tak
memandangku, sedikitpun! Ekor matanya bahkan juga tak melirikku, apa aku
sudah benar-benar dianggap tidak ada?
Nathan, jadi selama ini aku
hanya menjadi “teman main” nya? Jika benar begitu, lalu apa artinya
kata-kata cinta yang selama ini ia ucapkan padaku? Hatiku perih
mendengar ucapan Nathan, jadi aku yang tak pantas untuknya? Aku yang
terlalu rendah dan tak setara untuknya? Aku tak tahu apa yang terjadi
dengannya di Australia sana, ia berubah menjadi sosok yang tak ku kenal.
Asing. Ia yang selalu berkata lembut paadaku kini ucapannya menjadi
lebih tajam dari sekedar anak panah Sang pendekar. Ucapannya tadi
benar-benar melukaiku. Luka yang teramat dalam, lebih dari kawah gunung
atau bahkan Laut Merah. Luka yang tak terperikan, luka yang justru
diciptakan olehnya, oleh laki-laki di sampingku yang teramat ku cintai.
Termat kurindukan kehadirannya.
“Lalu apa artinya selama ini kamu
bilang cinta seandainya kamu berpikir aku hanya teman mainmu?” pikiranku
melayang, e-mail dari Nathan masih memenuhi inboxku. Aku ingat betul
bagaimana Nathan merangkai tiap katanya. Aku tak akan pernah lupa
bagaimana hangatnya ia menyaapaku dalam setiap jejak kalimatnya. Jadi
ini semua hanya sebuah permainan?
Nathan tak menjawab, mulutnya
terkunci rapat. Ia masih enggan memandangku, matannya hanya terlihat
menikmati rumput segar yang diinjaknya.
“Aku yakin kamu bisa dapat
yang lebih baik dari aku dan aku juga akan mendapatkan yang lebih baik
dari kamu.” Nathan pergi begitu saja, meninggalkanu dalam kesepian,
membiarkanku dalam keheningan dan menyerahkanku pada dinginnya malam.
Aku
menatap kepergiannya dengan rasa yang tak dapat terungkapkan. Hujan
memang benar-benar turun malam ini dan hujan itu turun deras di hatiku,
membasahi tiap celah yang ada disana. Menciptakan sensasi perih yang
teramat dahsyat di atas gores luka yang baru ia buat.
**********
Layar
laptop masih menyala terang di hadapanku walaupun lampu kamar sudah
sengaja ku padamkan. Jariku asyik menari-nari diatas keyboard, berusaha
menyelesaikan kisah yang baru sepenggal kubuat. Aku memang tergila-gila
dengan tulisan dan di sela-sela waktu, aku selalu menulis. Tentang
apapun, sekedar cerita pendek, puisi atau bahkan kritikan dan
semacamnya. Beberapa majalah pernah memuat karyaku dan membuatku merasa
bangga pada diriku sendiri. Aku seperti menemukan cintaku dalam setiap
kata yang ku rangkai di kisahku, aku seperti menemukan cintaku yang
telah dirampas dan dicampakkan begitu saja oleh seorang Nathan. Aku lupa
sejak kapan tepatnya aku mulai menyukai tulisan, entah sejak kapan aku
bermimpi menjadi seorang penulis tapi hingga kini mimpi itu masih ada,
bercokol kuat di hatiku dan aku rasa tulisan bukan tempat yang salah
untuk mengalihkan perhatianku dari seorang Nathan, sosok yang pernah
benar-benar ku kagumi.
Sudah hampir sebulan ini aku melewati
hariku tanpa Nathan, foto-fotonya sudah kusimpan rapi dalam kardus yang
kuletakkan di kolng tempat tidurku. Ku biarkan ia tersimpan disana,
entah sampai kapan. Sejujurnya aku belum benar-benar melupakan sosok
Nathan. Kami menjalin hubungan hampir tiga tahun dan aku rasa satu bulan
bukan waktu yang bisa ku gunakan untuk benar-benar melupakannya. Hampir
tiga tahun kami merajut semua kenangan, tersenyum dan tertawa berasama
walau dua tahun terakhir itu hanya bisa dilakukan lewat e-mail atau
telpon internasional. Kertas berisi kenangan dan bahagia itu masih
menumpuk di otakku, dan satu bulan tak pantas dianggap sebagai api yang
mampu membakar semua kenangan itu dan menyisakan abu sebagai jejaknya.
Semuanya masih terasa amat sulit untukku. Tapi aku tahu, hidup tak akan
berhenti hanya karena aku terluka. Jarum jam akan terus berjalan
melewati angka-angkanya dan melewatkan waktu tiap detiknya. Aku tak
boleh terus menangis, meratapi nasib atau bahkan membodohkan diriku
sendiri. Ini bukan saatnya dan aku akan tetap hidup apapun alasannya.
Aku masih punya cita-cita dan mimpi, luka cinta tak akan sanggup
meluluhkan semangatku. Aku ingin mengejar mimpiku, meraihnya dan
kemudian memeluk mimpiku selamanya. Tak akan kubiarkan mimpiku larut
karena luka cinta yang menciptakan bekas abadi tak terhapuskan.
**********
Aku
memeluk teman-temanku dengan wajah bahagia, beberapa kali kami bahkan
sempat foto bersama. Hari ini kita melepas semua beban dan sejenak
berbahagia menikmati hari wisuda. Hari yang kami tunggu setelah tiga
tahun selalu berkutat dengan buku-buku akuntansi tebal yang nyaris saja
membuat kepala kami botak. Hanya ada angka-angka nominal uang yang
terpampang disana dan dengan telatennya kami menghitung,
menjumlahkan-mengurangi-menjumlahkan dan kemudian menguranginya lagi,
begitulah seterusnya hingga kemudian dengan wajah lega kami tersenyum
puas karena berhasil merumuskan berapa laba yang diperoleh perusahaan,
entah perusahaan siapa, entah uang siapa, kami hanya bekerja
menghitungnya, tanpa gaji.
Dan hari ini…kami bahagia, aku lulus di
tahun yang tepat bersama beberapa kawanku dan bahkan seperti sebuah
mimpi saja, aku mendapatkan nilai terbaik di antara semua kawanku. Aku
menyandang gelar cumlaude, sebuah pencapaian yang membanggakan.
Pencapaian yang kudapat dari kerja kerasku. Pencapaian tertinggi
sekaligus terindah yang akan mengantarku pada dunia kerja. Aku masih
berfoto dengan kawan-kawanku, menikmati hari yang mungkin akan menjadi
hari terakhir kebersamaan kami di kampus beralmamater biru ini. Aku
melirik sejenak wajah dua orang tuaku yang juga terlihat berseri
diliputi kebahagiaan dan kebanggan atas prestasi yang berhasil dicapai
putri tercintanya. Mereka tersenyum ke arahku, membiarkan aku
menghabiskan waktu bersama kawanku walaupun ahrus sedikit mengabaikan
keberadaan mereka. Kulihat Ibuku melambaikan tangannya ke arahku,
menunjuk keluar ruangan. Auditorium ini terlalu sempit untuk menampung
dua ratus mahasiswa yang lulus beserta keluarganya. Aku mengangguk dan
dengan sedikit berdesakan kedua orang tuaku melangkah keluar ruangan,
mencari udara segar di tengah sesaknya lautan manusia.
Setelah
puas berfoto dengan kawan-kawanku, aku keluar dari ruangan auditorium
yang tadi menjadi saksi bisu betapa gemetarnya tubuhku saat menerima
penghargaan langsung dari rector kampus tempatku kuliah. Aku menatap
kesana kemari hingga kemudian menatap wajah dua orang tuaku yang sedang
berteduh di bawah sebuah pohon rindang tapat di depan UPT Perpustakaan
kampusku. Aku menghampiri mereka, dan dengan gaya selebriti dunia
kulepas topiku dan membungkukan sedikit badanku di hadapan mereka. Ayah
tersenyum menatap tingkah konyolku, ia membelai rambutku, mengecup
keningku dan kemudian mengucapkan selamat padaku. Kulihat mata Ibu
memerah, ada sedikit air mata yang kutangkap di sudut matanya yang sudah
mulai dikelilingi gurat-gurat ketuaan. Aku memeluk Ibuku.
“Selamat ya, Sayang.” Ucap Ibuku lirih, bahkan nyaris berbisik di telingaku.
Aku mengangguk bahagia.
**********
Aku
menatap layar komputer di meja kerjaku, menyusun laporan keuangan
perusahaan yang harus segera diselesaikan sore ini juga. Ada rapat
direksi di kantorku besok dan laporan keuangan ini harus kuselesaikan
saat ini juga. Aku tepekur menatap layar komputer, mengerahkan seluruh
konsentrasiku. Pekerjaan ini kudapatkan langsung karena nilai terbaikku
saat wisuda kemarin, pekerjaan yang diidam-idamkan hampir semua orang
lulusan Akuntansi. Aku bersyukur, hidupku memang selalu penuh
keberuntungan.
Beberapa jam kemudian aku sudah selesai dengan
laporan keuangan yang memang menjadi kewajibanku. Segera saja aku
mengeprint file tersebut dan kemudian merapikannya dalam sebuah map lalu
kemudian mengantarkan laporan itu ke ruangan Direktur. Bos tersenyum
setelah melihat hasil yang kukerjakan, ia memujiku dan aku menjadi
semakin bangga pada diriku sendiri.
Aku kembali ke ruanganku, kali
ini aku membuka laptop yang memang sengaja kubawa dari rumah. kubuka
file novelku dan beberapa saat kemudian aku sudah asyik merajut kata dan
merangkai setiap kalimat yang muncul begitu saja dari pikiranku. Kisah
yang kutulis ini memang hampir selesai, dengan memanfaatkan koneksiku,
aku berniat mengirimkan karyaku ini ke sebuah penerbit ternama di Ibu
kota.
**********
Seperti biasanya, jam makan siang ini aku
berada di kantin kantor bersama kawan-kawanku. Menikmati sepiring makan
siang dan segelas minuman dingin yang membasahi tenggorokan. Aku menatap
wajah-wajah lelah di sekelilingku, aku tahu mereka tak jauh berbeda
sepertiku, mencoba tersenyum dibalik kelelahan yang menggunung karena
pekerjaan yang menumpuk, tapi inilah konsekuensinya bagi para pekerja
seperti kami. Aku terdiam, melamun memikirkan diriku sendiri. Segala
yang terjadi dalam hidupku selalu memberiku pelajaran terindah yang akan
selamanya menjadi pengalaman dan guru terbaikku di masa depan
mendatang. Otakku berputar bagai sebuah CD player, mengingat setiap
peristiwa yang sudah ku lalui. Masa SMP, SMA hingga duduk di bangku
kuliah masih kuingat, tak ada sedikitpun yang kulupa. Bahkan tentang
Nathan, jujur saja hingga saat ini namanya masih ada di hatikku, tapi
luka yang ia torehkan menuntutku untuk senantiasa melupakannya.
Ponselku berbunyi, lamunanku buyar seketika. Sebuah nomor lokal, entah siapa.
“Halo…selamat
siang, ini siapa ya?” tanyaku to the point, jam makan siangku terbatas
dan aku tak ingin telefon tak penting akan membuatku kelaparan hingga
sore nanti. Masih banyak pekerjaan yang harus ku rampungkan hari ini dan
seperti kebiasaanku, aku tahu betul jika aku tak akan mampu
menyelesaikan semua pekerjaanku dalam keadaan perut keroncongan.
“Selamat
siang. Apa saya berbicara dengan Nadia Fathrani?” tanya si penelefon
misterius, bahasanya terdengar santun seolah menunjukan tingkat
pendidikannya.
“Iya, saya sendiri. Maaf, saya bicara dengan siapa?” tanyaku santai, aku meminum sedikit jus strawberry ku.
“Saya
Arifin, pimpinan redaksi Penerbit Grafia. Beberapa minggu yang lalu
kami menerima kiriman naskah novel dari Mbak Nadia, dan setelah
membacanya tim redaksi kami memutuskan untuk menerbitkan novel yang Mbak
Nadia buat. Untuk itu saya menghubungi Nadia, apa Mbak Nadia tidak
keberatan jika novelnya kami terbitkan?” laki-laki bernama Arifin itu
mengucapkan kata-katanya sesopan mungkin.
Aku melonjak kegirangan,
keberuntungan apalagi ini? kawan-kawanku mulai bertanya-tanya, aku
yakin mereka langsung melihat perubahan di wajahku. Aku memang
benar-benar bahagia. Sesuatu yang sungguh tak kuduga, aku bahkan sudah
tak berharap lagi pada naskah yang ku kirimkan tersebut dan sudah mulai
menulis lagi kisahku yang baru. Ini benar-benar kejutan. Dengan teriakan
girang aku mengatakan apa yang baru saja terjadi dengan kawan-kawan
semejaku. Mereka juga berteriak girang, kelelahan yang tadi nampak jelas
di wajah kawan-kawanku kini sirna sudah, berganti wajah-wajah bahagia.
Kebahagiaanku benar-benar menjalar pada seluruh kawanku. Beberapa pasang
mata menatap aneh kea rah kami, aku tersadar. Ini ruangan publik dan
bagaimanapun bahagianya aku, aku harus bisa menjaga sikapku di tempat
umum macam restoran ini. kami kembali diam dan aku kembali menatap layar
ponselku, ku suruh teman-temanku diam dengan menempelkan telunjukku di
bibir.
“Saya setuju.” Ucapku pasti, kebahagiaan masih benar-benar meliputi seluruh hatiku.
“Baiklah,
kalau begitu kami tunggu kedatangan Mbak Nadia di kantor untu
membicarakan beberapa hal yang memang perlu dibicarakan.” Ucap Arifin
singkat dan jelas.
“Baik.” Aku benar-benar yakin denga jawabanku, aku tak pernah merasa seyakin ini sebelumnya.
Ini benar-benar makan siang yang hebat! Aku berbisik lirih dalam hati, mensyukuri keberuntunganku yang kesekian kalinya.
**********
Ruangan
auditorium yang besar, lebih besar dari ruangan auditorium di kampusku
dulu. Di hadapanku duduk berjajar ratusan mahasiswa dan mahasiswi yang
akan mendengarkan seminarku. Aku menjadi pembicara utama di sebuah acara
bertajuk “URAIKAN BAHASAMU DENGAN CINTA DAN AKTUALISASIKAN CINTAMU
DENGAN TULISAN”. Aku duduk tepat di hadapan mereka dengan perasaan
bangga yang tak terkira. Hari ini aku akan berbagi dengan mereka,
berbagi tentang darimana inspirasiku menulis dan bagaimana caraku
menulis. Seminar yang sebenarnya dibuka untuk umum ini kebanyakan
dikunjungi Mahasiswa yang notabene memiliki mimpi yang sama denganku,
menjadi seorang penulis. Aku benar-benar tak pernah mengira akan menjadi
seperti ini. Aku menjadi kepala staf Accounting di sebuah perusaahaan
ternama dan juga menjadi seorang penulis best seller yang bukunya
terjual puluhan ribu eksemplar. Sedangkan kali ini, kali ini aku duduk
di hadapan ratusan kaum intelektual muda yang memiliki mimpi yang sama
denganku dulu. Aku akan berbicara di hadapan mereka, berbagi dengan
orang-orang cerdas tentang dunia penulis yang kini berhasil ku genggam
dalam perjalanan karierku. Hari ini aku benar-benar merasa debaran yang
ratusan keli lebih cepat di seluruh tubuhku. Semoga acara ini berjalan
lancar, doakku dalam hati.
Moderator membuka acara seminar ini.
menucapkan salam, sedikit berbasa-basi dan kemudian mengenalkanku
sebagai seorang pembicara. Ia membahas sedikit tentang novel karyaku
yang berjudul “SETETES CINTA UNTUK CATHRINE”. Novel itu adalah sebuah
novel fiksi yang menceritakan tentang kehidupan seorang gadis kecil
bernama Cathrine. Gadis yatim piatu yang menjalani hidupnya di sebuah
Panti Asuhan. Di novelku itu aku menceritakan tentang pemberontakan
Cathrine terhadap panti asuhan yang dianggap mengekang kebebasannya dan
terlalu banyak menyuruhnya bekerja. Cathrine kecil akhirnya kabur, lari
meninggalkan Panti Asuhannya dan melalui kehidupannya seorang diri. Ia
melakukan segala hal untuk mempertahankan hidupnya. Mencopet dan
mengemis juga ia lakukan. Hingga kemudian ia bertemu seorang Dokter yang
menemukannya di jalanan. Dokter Hans, si Dokter yang baik hati tapi
mengalami syndrome phedopillia itu ternyata makin menjerat Cathrine
dalam lingkaran masalah yang tak kunjung berakhir. Dengan segala
kecerdasannya Cathrine kecil mampu melalui semua “kejutan” kecil dalam
hidupnya dan kisahnya berakhir saat ia kemudian menjadi seorang
pengusaha kaya yang mengabdikan hidupnya untuk merawat anak-anak yatim
yang nasibnya tak jauh berbeda dengan ia sendiri.
Secara singkat
aku juga menceritakan tentang bagaiman Cathrine menghadapi semua masalah
hidupnya. Disisi lain sebenarnya aku ingin memotivasi para pembaca
novelku untuk tidak menyerah pada masalah yang membelenggu mereka, lari
dari keadaan atau bahkan mengakhiri hidup hanya karena merasa tak kuat
menanggung masalah yang ada. Itu terlalu pengecut. Aku sudah belajar
cukup banyak dari pengalaman-pengalaman hidupku. Di hadapan para
intelektual muda itu aku hanya menitipkan pesan untuk tidak udah meyerah
pada keadaan. Tuhan mungkin menciptakan ratusan masalah dalam hidup,
tapi ia juga menyediakan jutaan solusi atas permasalahan-permasalahan
tersebut. Aku ingin wajah-wajah di hadapanku menjadi sosok tegar yang
kelak juga akan membuat Bangsa ini lebih maju dibanding Bangsa yang
lainnya. Semoga keberuntungan belum enggan menghampiriku dan aku bisa
kembali mewujudkan cita-citaku. Tapi aku tahu, keberuntungan bahkan akan
menghampiriku hanya jika aku tak berhenti berusaha.
Dan akhirnya acara ini berjalan sesuai dengan yang ku harapkan.
**********
Aku
mengemasi barang-barangku, menutup notebook dan menyimpannya ke dalam
tas yang sudah kusiapkan sebelumnya. Kusapa beberapa orang yang masih
ada di ruangan itu dengan senyumanku, mereka juga tersenyum ke arahku.
Aku bahagia hari ini, sangat bahagia. Kulangkahkan kakiku keluar dari
ruangan auditorium itu. Tapi tak lama, langkahku terhenti. Sosok yang
teramat kukenal itu berdiri di hadapanku, hanya dalam jarak beberapa
meter saja.
Nathan.
Ia dengan seragam khas Dokternya berdiri
di hadapanku, kakiku kaku seketika. Aku seperti membeku di tempatku
berdiri, tak bisa melangkah apalgi berkata-kata. Kenapa laki-laki itu
harus kembali muncul di hadapanku justru dalam keadaan seperti sekarang
ini? Nathan melangkah menghampiriku, mendekat dan terus mendekat. Kini
jarak diantara kami hanya beberapa senti saja.
“Selamat, ya.” Nathan mengulurkan tangannya ke arahku, dengan gerakan sedikit ragu aku menerima uluran tangannya.
“Thanks.”
Ucapku datar, rasa sakit kembali muncul di permukaan hatiku. Ia
membangunkan ingatanku ke masa lalu, ingatan yang menciptakan luka perih
sepanjang umurku.
“Apa masih ada kesempatan untukku?” tanyanya
tanpa rasa bersalah, aku belum terlalu mengerti apa yang sedang
dibicarakannya. Tapi aku sudah merasakan geram di hatikku.
“Kesempatan apa?” datar saja, aku tak ingin menunjukan reaksiku yang berlebihan terhadapnya.
“Kita
bisa mulai dari awal lagi, kan? Menjalani hubungan seperti dulu.” Ia
memberiku tawaran, tawaran yang sudah pasti akan kutolak. Jangankan
untuk kembali menerima tawarannya, hanya mendengar saja aku sudah merasa
sangat jengkel sebenarnya.
Aku tersenyum sinis
“Kamu tidak pantas untuk aku.” Tajam, skeptis dan sinis.
Aku
berlalu meninggalkan Nathan yang mematung sendirian, aku tak sedikitpun
menoleh ke arahnya. Semuanya sudah berakhir dan tidak ada yang harus
dimulai lagi.
Aku bukan keledai yang akan jatuh di lubang yang sama.
Nathan, aku bukan orang yang bisa kau sakiti lebih dari satu kali.
Monday, October 6, 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 respons:
Post a Comment