Aku tak tahu harus menulis apa saat aku mulai menyadari, aku kehilanganmu…
Beberapa hari yang lalu kau datang dalam kesendirianku, menjadi satu-satunya teman dalam keterasinganku. Tertawa bersama, saling mengejek, atau terkadang sedikit marah dan jengkel karena kenakalanku yang kadang kelewat batas.
Lalu kemarin…kita juga masih asyik bersama. Saling bercerita, berkeluh kesah dan berbagi tawa. Duduk atau berbaring bersama menonton tayangan televisi yang kadang membosankan.
Lalu aku…aku tidak akan lupa…
Bagaimana aku membuatmu tidak nyaman di ruanganmu sendiri.
Mengganggumu saat kau ingin menjemput mimpi, mengganti channel TV saat kau tengah menikmati keseruannya atau sekedar menyalakan TV saat kamu sedang ingin mendengarkan musik dan rangkaian lagu dari laptopmu.
Aku juga tidak akan lupa…
Saat kamu mengkritikku dengan gayamu yang paling menyebalkan. Membuatku merasa terpojok dan seolah menjadi manusia paling bersalah dalam sebuah masalah. Kejujuran yang menyakitkan sebenarnya…
Atau ketika wajahku mulai memucat, kamu memaksaku menelan makanan yang tidak kuinginkan, menyuruhku mematikan kipas agar aku tidak kedinginan dan semakin pucat, membelikan obat untukku dan kemudian meminumkannya.
Dan yang tidak akan kulupa…
Sore itu dengan hati yang berdebar, aku menyambangi ruanganmu, duduk di hadapanmu dan merengek memintamu ke kamarku karena laptopku yang tidak bisa di charge. Kamu menurut, meskipun awalnya enggan, aku paham itu hanya gurauan.
Kamu duduk di ruanganku, melihat keadaan laptopku dan akhirnya tau apa masalahnya.
Tapi mungkin itulah yang terakhir untukmu mendatangi ruanganku dan duduk di dalamnya.
Kenakalanku….
Gurauanku…
Candaku…
Guyonanku…
Mungkin malam itu menjadi “tidak menyenangkan” bagimu…
Kupikir itu hanya iseng, main2 dan canda yang tak jauh berbeda dengan biasanya.
Saat aku dengan spontan mencubit kakimu…
Kau berlalu begitu saja dengan wajah marah dan jengkel yang sebelumnya tidak pernah kulihat.
Teman…
Maafkan aku jika aku terlampau berlebihan…
Maafkan aku yang tak bisa dewasa…
Maafkan aku…
Mungkin aku memang tak layak untuk mendapat arti “teman” dalam hidupmu.
Ya, aku memang kekanak-kanakan, tidak dewasa dan mungkin merepotkan…
Ya, mungkin aku bukan teman yang hebat, karena aku hanya bisa diam dan menatapmu bingung disaat kau kesakitan…
Ya, mungkin aku memang bukan teman yang bisa kau andalkan…
Meski aku bukan yang baik bagimu, tapi terima kasih karena kehadiranmu membawa makna dalam hidupku.
Terima kasih telah menjadi satu dari yang terbaik dan singgah dalam hidupku.
Terima kasih untuk segala yang kau berikan padaku…
Kata maaf yang terucap dari bibirku memang tidak akan merubah keadaan.
Air mata yang menetes dari pipiku, juga tidak akan cukup membuatmu bertahan dalam hidupku.
Suatu saat nanti, mungkin aku bisa mempersembahkan padamu sesuatu yang membuatmu tau, aku ingin menjadi teman yang pantas untukmu….
Suatu saat nanti…ketika aku sudah cukup tau bagaimana untuk berterima kasih dan menjadi lebih dewasa…
Terima kasih untuk segalanya…
U are my best friend….
Beberapa hari yang lalu kau datang dalam kesendirianku, menjadi satu-satunya teman dalam keterasinganku. Tertawa bersama, saling mengejek, atau terkadang sedikit marah dan jengkel karena kenakalanku yang kadang kelewat batas.
Lalu kemarin…kita juga masih asyik bersama. Saling bercerita, berkeluh kesah dan berbagi tawa. Duduk atau berbaring bersama menonton tayangan televisi yang kadang membosankan.
Lalu aku…aku tidak akan lupa…
Bagaimana aku membuatmu tidak nyaman di ruanganmu sendiri.
Mengganggumu saat kau ingin menjemput mimpi, mengganti channel TV saat kau tengah menikmati keseruannya atau sekedar menyalakan TV saat kamu sedang ingin mendengarkan musik dan rangkaian lagu dari laptopmu.
Aku juga tidak akan lupa…
Saat kamu mengkritikku dengan gayamu yang paling menyebalkan. Membuatku merasa terpojok dan seolah menjadi manusia paling bersalah dalam sebuah masalah. Kejujuran yang menyakitkan sebenarnya…
Atau ketika wajahku mulai memucat, kamu memaksaku menelan makanan yang tidak kuinginkan, menyuruhku mematikan kipas agar aku tidak kedinginan dan semakin pucat, membelikan obat untukku dan kemudian meminumkannya.
Dan yang tidak akan kulupa…
Sore itu dengan hati yang berdebar, aku menyambangi ruanganmu, duduk di hadapanmu dan merengek memintamu ke kamarku karena laptopku yang tidak bisa di charge. Kamu menurut, meskipun awalnya enggan, aku paham itu hanya gurauan.
Kamu duduk di ruanganku, melihat keadaan laptopku dan akhirnya tau apa masalahnya.
Tapi mungkin itulah yang terakhir untukmu mendatangi ruanganku dan duduk di dalamnya.
Kenakalanku….
Gurauanku…
Candaku…
Guyonanku…
Mungkin malam itu menjadi “tidak menyenangkan” bagimu…
Kupikir itu hanya iseng, main2 dan canda yang tak jauh berbeda dengan biasanya.
Saat aku dengan spontan mencubit kakimu…
Kau berlalu begitu saja dengan wajah marah dan jengkel yang sebelumnya tidak pernah kulihat.
Teman…
Maafkan aku jika aku terlampau berlebihan…
Maafkan aku yang tak bisa dewasa…
Maafkan aku…
Mungkin aku memang tak layak untuk mendapat arti “teman” dalam hidupmu.
Ya, aku memang kekanak-kanakan, tidak dewasa dan mungkin merepotkan…
Ya, mungkin aku bukan teman yang hebat, karena aku hanya bisa diam dan menatapmu bingung disaat kau kesakitan…
Ya, mungkin aku memang bukan teman yang bisa kau andalkan…
Meski aku bukan yang baik bagimu, tapi terima kasih karena kehadiranmu membawa makna dalam hidupku.
Terima kasih telah menjadi satu dari yang terbaik dan singgah dalam hidupku.
Terima kasih untuk segala yang kau berikan padaku…
Kata maaf yang terucap dari bibirku memang tidak akan merubah keadaan.
Air mata yang menetes dari pipiku, juga tidak akan cukup membuatmu bertahan dalam hidupku.
Suatu saat nanti, mungkin aku bisa mempersembahkan padamu sesuatu yang membuatmu tau, aku ingin menjadi teman yang pantas untukmu….
Suatu saat nanti…ketika aku sudah cukup tau bagaimana untuk berterima kasih dan menjadi lebih dewasa…
Terima kasih untuk segalanya…
U are my best friend….
0 respons:
Post a Comment