Monday, October 6, 2014

SANDAL JEPIT SEBUAH IRONI UNTUK AROGANSI APARAT HUKUM

| |

Awal tahun 2012 ini mata kita sudah dibuat tercengang dengan pemberitaan kasus pencurian sandal jepit milik salah satu anggota brimob oleh anak SMK di daerah Palu, Sulawesi Selatan. Awalnya kasus ini memang tidak membuat saya tertarik untuk menyaksikannya. Yah, sebelumnya saya juga sudah biasa dengan berita-berita pencurian yang hampir setiap hari ditayangkan oleh layar televisi. Satu hal yang membuat rasa ingin tahu saya mendidih adalah ketika saya mendengar ucapan narator berita yang mengatakan jika si pencuri ini mendapat tuntutan selama lima tahun dari pengadilan yang ada di wilayah itu.

Kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi, ini bukan kebodohan penerapan hukum pertama yang ada di Indonesia. Sebelum ini, saya yakin kalianpun sudah banyak mendengar berita-berita semacam ini. sebut saja kasus Prita Mulyasari. Ibu yang satu ini bahkan harus rela berpisah sementara dengan anaknya karena harus mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan ucapannya dalam sebuah email dan jejaring sosial. Apa yang diucapkannya dalam email itu sebenarnya sederhana saja. Menurut apa yang dia bilang pada stasiun TV yang meliputnya, ia tidak bermaksud melakukan tuduhan atau pencemaran nama baik. Ia hanya ingin mengungkapkan kekecewaannya sekaligus memberikan kritiknya pada rumah sakit bertaraf internasional itu. Sebuah hal yang terdengar klise, tapi ternyata menyampaikan kritik itu bisa mengantarkan kita ke penjara. Saya tidak tahu harus bangga atau merasa aneh, karena fenomena seperti ini hanya pernah saya dengar dari Negara Indonesia yang notabene adalah penganut paham demokrasi.
Tidak hanya harus mendekam di balik terali besi, Prita juga dituntut untuk “memberikan” sejumlah uang pada rumah sakit tersebut sebagai kompensasi atas apa yang sudah dilakukannya. Tuntutan rumah sakit yang begitu arogannya ini membuat masyarakat Indonesia tergugah kepeduliannya. Lalu dengan sangat terorganisir mereka mulai membentuk perkumpualan yang akan membantu Prita memenuhi tuntutan tersebut dengan mengumpulkan uang koin dari masyarakat Indonesia. Melihat fenomena seperti ini saya kemudian berpikir, demokrasi apa yang sebenarnya dianut oleh bangsa kita ini? Apakah masih layak kita disebut penganut azas demokrasi jika hanya untuk menyampaikan pendapat dan kritikan juga harus membayar? Jika pemerintah mengatakan bahwa Negara kita menganut demokrasi yang bertanggung jawab maka apakah artinya uang adalah sebagai bukti tanggung jawab itu? Waw!!

Di kasus kali ini kita juga kembali dihadapkan pada kasus yang sama menggelitiknya dengan apa yang dialami Prita. Seorang pelajar SMK berinisial AAL di Daerah Palu dituntut selama lima tahun karena ketahuan mencuri sandal milik seorang anggota brimob. Meskipun pada akhirnya AAL dibebaskan karena faktor usia, saya yakin hal tersebut tetap saja menggoreskan trauma tersendiri dalam hidupnya. Bagaimana tidak, menurut cerita yang saya dengar dari beberapa berita, AAL bahkan sudah mengalami kekerasan terlebih dahulu dari si empunya sandal sebelum akhirnya dilaporkan pada kantor kepolisian. Ia tidak hanya mendapatkan penganiayaan secara fisik, tapi juga secara psikologis karena harus menerima ucapan yang bernada hinaan dan cemoohan dari anggota brimob ini. Masyarakat Indonesia yang saat ini sedang beranjak cerdas tentu saja sangat sensitif dengan hal-hal yang tidak wajar semacam ini. Tidak perlu menunggu lama, kepedulian masyarakat kembali muncul. Komnas Perlindungan Anak dan HAM juga tidak tinggal diam. Dua lembaga itu bersatu membentuk program “1000 SANDAL JEPIT”. Berbagai opini muncul ke permukaan tentang masalah ini. Banyak dari kita yang kemudian mengatakan hukum Indonesia aneh dan tidak wajar dan ini hanyalah sebuah kasus kriminalisasi anak oleh oknum terkait yang bisa memiliki tujuan bermacam-macam. Saya sebenarnya tidak benar-benar setuju, karena yang aneh dan tidak wajar itu bukan hukum atau sistem hukumnya, melainkan otak-otak yang menjalankan sistem hukum itu. Lalu siapa pemilik otak-otak aneh dan tidak wajar itu? Tentu saja mereka, orang-orang yang ada di belakang layar dan mengaku paling paham tentang hukum.

Pemberian sanksi pada seorang terdakwa atau oknum yang dianggap bersalah memang wajar. Tapi itu juga bukan alasan yang kemudian bisa selalu dijadikan legitimasi untuk terus memberikan hukuman pada seseorang yang bersalah. Hukum memang harus terus diterapkan, entah pada siapapun yang membuat kesalahan. Yang perlu diperhatikan adalah kecerdasan para manusia yang mengaku ahli hukum agar bisa membuat hukum tetap terlihat cerdas dan tidak menggelikan seperti sekarang ini.

Memang bukan hal yang asing lagi, di Indonesia hukum seperti sudah menjadi budak bagi para kaum berada dan mereka yang menggenggam wewenang serta kekuasaan. Jika para orang berduit sudah bisa mengendalikan hukum dengan begitu mudah, lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat miskin? Tidak ada pilihan lain, kita mungkin harus diam saja dan “menikmati” arogansi mereka yang sering sekali iseng bermain-main dengan hukum. Tapi jika itu terus terjadi, maka kelakuan para pemilik wewenang itu juga pasti akan semakin menjadi. Dan hasilnya, bagi kita semua hal tersebut pasti akan sangat memuakan!

Lalu bagaimana seharusnya “hukum” memandang masalah semacam ini?

Seperti apa yang sudah saya katakan sebelumnya, untuk kasus-kasus semacam ini hukum harus benar-benar menggunakan otak cerdas dan mata tajamnya agar bisa menerapkan keputusan yang benar dan bijak bagi si pelaku kejahatan. Seperti apa keputusan yang bijak, keputusan yang bijak tentu saja harus mempertimbangkan banyak faktor. Keputusan yang bijak harus bisa melihat dengan jelas dan baik siapa pelaku yang sebenarnya. Dalam kasus pencurian sandal jepit ini, sebuah berita pernah mengatakan jika sebenarnya terdakwa AAL tidak melakukan kesalahan itu. Ia terpaksa harus mengakui sesuatu yang tidak diperbuatnya hanya karena tidak ingin merasakan sakit yang lebih lama lagi karena tindakan arogan si anggota brimob. Jika memang yang terjadi benar-benar seperti itu, bukankah malang sekali nasib AAL jika harus mendekam di penjara selama lima tahun hanya karena arogansi si pemegang wewenang? Hukum yang bijak, tidak akan berpihak pada arogansi semata.

Hal kedua yang harus diperhatikan untuk menentukan seperti apa hukuman yang bijaksana dan layak bagi AAL adalah dengan melihat kondisi kesehatannya. Baik kesehatan secara fisik maupun kesehatan psikologis. Memang sih hal ini sudah sering dijadikan media berbohong bagi para pejabat yang pintar akting. Sebut saja Nunun Nurbaeti yang pernah mengaku sakit lupa. Tapi kebohongan semacam ini pasti akan segera ketahuan jika kondisi si terdakwa langsung diperiksakan pada Dokter dan tim medis yang bisa dipercaya. Ingat, hanya yang dipercaya! Bukan tim medis yang mau menerima sogokan dan suapan dari si pejabat yang memiliki wewenang dan kepentingan. Jika sudah melakukan tahapan seperti ini pasti penyakit bohongan atau benar-benar penyakit juga akan bisa segera dipastikan. Pada kasus AAL yang masih dibawah umur, dia juga sebenarnya berhak mendapatkan pemeriksaan untuk bisa menentukan hukuman apa yang layak diterimanya. Seseorang yang memiliki gangguan pada kondisi psikologisnya mungkin saja akan melakukan hal-hal kriminal bukan dengan tujuan kejahatan. Itulah yang masih perlu dipahami lebih lanjut. Ataupun jika memang AAL tidak memiliki gangguan psikologis, hukum yang seharusnya diterapkan padanya bukanlah hukum untuk orang-orang yang sudah cukup umur. Indonesia, seperti Negara lainnya juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap anak-anak dibawah umur. Banyak UU anak yang sudah disahkan. Tapi disahkan saja tidak cukup, itu juga harus diterapkan terutama untuk kasus anak dibawah umur yang terjadi pada AAL.

Lalu bagaimana dengan hukum yang benar? Berbicara masalah hukum yang benar adalah kita juga akan membicarakan masalah keadilan. Sebuah hal yang juga dibahas dalam pancasila sila ke lima. Adil adalah mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jadi, pada dasarnya hukum yang benar adalah hukum yang adil, hukum yang yang bisa menempatkan dirinya secara cerdas tanpa peduli seperti apa latar belakang individu di dalamnya atau setebal apa dompetnya.
Menerapkan hal yang benar memang sesuatu yang cukup sulit dilakukan apalagi ditengah orang-orang yang tidak benar. Tapi sulit bukan tidak mungkin kan?

Kemampuan untuk menerapkan hukum dengan sebenar-benarnya selalu dimiliki setiap manusia, karena pada dasarnya manusia adalah mahluk yang selalu ingin dibenarkan dengan semua yang dilakukannya. Sayangnya, kemampuan itu seringkali tergerus habis karena godaan kemewahan yang ditawarkan dan uang yang disodorkan. Jika sudah seperti ini, kita kembali membicarakan masalah mental. Siapa yang bisa mengatur kondisi mental seseorang? Jawabannya tentu saja diri sendiri. Keluarga menjadi satu tempat sosialisasi dan mendapatkan pendidikan yang pertama. Seperti apa mental manusia terbentuk adalah tergantung bagaimana keluarga memberikan pendidikan dasar dan menanamkan nilai-nilai moral.

Membicarakan hukum memang rumit, karena ketika berbicara tentang hukum kita juga harus membicarakan tentang politik yang identik dengan kelicikan dan cara untuk meraih kekuasaan dan wewenang. Hukum adalah aturan yang dimiliki suatu Negara untuk menciptakan kondisi Negara yang teratur dan tertib. Tapi jika hukum masih dijadikan budak oleh arogansi pejabat yang memiliki wewenang, apakah tujuan itu masih akan tercapai? Dan jika tujuan itu tidak tercapai, masih pantaskah itu disebut hukum?

Prita Mulyasari, nenek pengambil kokoa, pencuri pisang di Cilacap yang memiliki keterbelakangan mental dan AAL dengan sandal jepitnya sepertinya hanya sebuah simbol dari perbudakan hukum oleh arogansi pejabat berwenang. Sindiran mengumpulkan koin, pengumpulan seribu pisang dan sandal jepit pada aparat hukum seharusnya sudah mampu membuat otak paling bodohpun bereaksi atas tindakan ini. Apa tujuannya? Ini adalah salah satu bentuk protes pada ketidakjelasan dan ketidakcerdasan penerapan hukum di Indonesia. Jika ini masih terjadi lagi, benarkah ahli hukum itu memang ahli? Atau hanya pura-pura ahli? Lebih parah lagi, apa mungkin nurani mereka mati tenggelam karena arogansinya?
Koruptor melenggang bebas keluar Negeri dan berwisata menikmati pesona luar hotel prodeonya, sementara si maling sandal yang hanya bernilai sepersekian milyar dari nominal yang “dinikmati” koruptor, malah harus mendekam di penjara selama lima tahun. Sebuah kenyataan yang membuat kita merasa miris, sebuah kenyataan yang membuat kita semakin tahu bahwa aparat hukum kita tidak benar-benar cerdas dan hanya meninggikan arogansinya, sebuah kenyataan yang memberi tahu kita bahwa uang masih mampu membeli hukum Indonesia, sebuah kenyataan yang harusnya membuat para aparat malu dengan semua sindiran yang sudah ada.

Sandal jepit? Apakah itu seperti hukum yang masih dan akan selalu menjepit si miskin? Kokoa pahit, apakah hukum akan tetap terasa pahit untuk rakyat miskin? Jika nurani mereka masih aktif dan otak mereka sedikit saja lebih cerdas, semoga kenyataan memilukan sekaligus menggelikan seperti ini tidak akan terjadi lagi. Dan kita tidak perlu dibuat tertawa pilu lagi. Semoga saja…

0 respons:

Ir arriba

Post a Comment

How time is it? :)

Hello Kitty In Black Magic Hat

In this BlogHaz click para ver Archivo

 
 

Diseñado por: Compartidísimo
Con imágenes de: Scrappingmar©

 
Ir Arriba